NovelToon NovelToon

Istri Tertukar Tuan Anres

Bab 01

Benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas nakas itu memerdengarkan bunyi cukup nyaring.

wanita cantik yang terpaku sejak sekian menit lalu, segera meraih ponsel tersebut, dan melihatnya. Ada satu nama tertera di atas layarnya yang berwarna biru. Edward.

"Halo."

"Kau sudah bangun?" Suara tanya pria itu masih saja terdengar datar.

"Ya."

"Lima menit lagi, asistenmu akan datang. Dia akan memberitahukan apa saja yang harus kau kerjakan hari ini."

"Iya."

"Pastikan kau melakukan semuanya dengan benar."

"Aku usahakan," jawab wanita itu seraya tersembunyi menghela napasnya.

"Kau sudah mempelajari buku panduan itu?"

"Ya, sesuai perintahmu."

"Jangan sampai ada kesalahan. Terutama di hadapan tuan Anres. Ingat, aku selalu memantau semuanya dari tempatku." Tersirat ancaman dari ucapan itu.

"Aku paham ..."

Wanita cantik itu belum juga menuntaskan ucapan, tapi sudah terdengar bunyi Tut, pertanda sambungan telah diputuskan. Ia pun hanya menghela napas seraya meletakkan kembali ponselnya di atas nakas.

Pandangannya kembali terarah pada bingkai foto besar yang dipajang di dinding kamar. Foto seorang wanita cantik berambut panjang yang kecantikannya seakan mengalahi seminar lampu kamar yang begitu benderang. "Kau sangat cantik," gumamnya pelan. Untuk kesekian kalinya ia memuji kecantikan wanita yang ada dalam gambar.

Dan untuk kesekian kalinya juga ia menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin besar yang berada tepat di samping foto tersebut. "Kita mirip. Memang sangat mirip." Semakin dipandang, ia semakin yakin dengan apa yang dicetuskannya sekarang. Bahkan kemudian satu pemikiran mencuat dalam benaknya. "Ataukah aku memang adalah saudara kembarmu yang hilang, Nyonya Elea."

Dan bersamaan dengan ucapan itu, senyum mencibir terhias di bibir. "Mana mungkin kita kembar. Kau dan aku bagaikan sang ratu dan upik abu." Wanita itu kini menertawakan ucapannya sendiri.

Tok .. Tok .. Tok ..

Suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamar yang besar.

"Masuk!" titahnya dengan suara yang sedikit serak.

Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan memasuki ruangan. Ia mengenakan pakaian rapi. Blus lengan panjang warna biru sky yang dipadankan dengan rok span selutut warna navy. Rambutnya juga digelung rapi dengan sepasang anting permata putih yang mempermanis tampilannya.

"Selamat pagi, Nyonya Elea," sapanya, sambil menyertakan senyuman manis di wajah.

"Ranti?"

"Iya, Nyonya. Sudah waktunya sarapan."

Wanita cantik yang masih enggan beranjak dari duduknya di tepi ranjang king zisenya dari tadi itu mengangguk singkat. "Arabella ?"

"Indah, sedang menyiapkan nona kecil juga untuk ikut sarapan." Ranti, sang asisten nyonya besar itu melaporkan.

Selanjutnya wanita itu menyilakan dengan tangannya. "Silakan, Nyonya."

Elea bangkit perlahan setelah terlebih dahulu menghempaskan napasnya sebentar. Ranti mengiringinya di belakang. Mereka keluar dari kamar utama yang sangat besar itu menyusuri beberapa koridor sebelum akhirnya menuju tangga melengkung yang menuju ke lantai bawah.

"Ranti." Elea menghentikan langkah dan menatap Ranti yang berjalan jarak lima langkah di belakangnya.

"Ya, Nyonya." Ranti sigap mendekat.

"Berjalanlah di sampingku. Aku khawatir terjatuh. Rumah ini terlalu besar," ucap Elea dengan sepasang mata mengitari langit-langit rumah yang begitu megah dengan lampu-lampu kristal yang tergantung dimana-mana.

"Mak- maksud nyonya?" Ranti terlihat heran dengan apa yang dikatakan oleh sang nyonya barusan.

"Tidak ada." Elea menggeleng singkat dan tangannya segera meraih lengan Ranti untuk mendekat. Ia benar-benar meminta asisten pribadinya itu untuk berjalan beriringan di sampingnya bahkan tanpa jarak.

Di atas meja makan yang besar sudah terhidang beraneka macam sarapan. Dari yang paling ringan sampai yang cukup berat untuk disantap. Aneka hidangan itu sedang menunggu untuk dicicipi. Sayangnya, tak ada siapa-siapa di sana. Hanya Elea saja yang datang bersama Ranti.

"Di mana yang lain?" tanya Elea dengan tatapan janggal.

"Yang lain siapa maksud nyonya?" Ranti malah membalikkan tanya. Karena meja makan keluarga Tanujaya itu memang selalu sepi setiap harinya.

"Kau bilang barusan kalau Arabella akan ikut sarapan."

"Mungkin sebentar lagi, Nyonya."

"Baiklah. Lalu tuan Anres?" tanya Elea lagi dengan suara yang hampir tertahan di tenggorokan. Saat nama Anres ia sebutkan.

"Tuan Anres sudah lama tidak pernah ikut sarapan bersama," jawab Ranti.

"Oya, kenapa?" Elea terlihat penasaran. Ia sampai mengabaikan kursi yang disiapkan oleh asistennya itu untuk segera diduduki.

"Untuk jawabannya, Nyonya pasti lebih tahu." Jawaban Ranti itu membuat Elea langsung diam. Ia hanya memberikan anggukan singkat lalu segera duduk di kursi. Tatapannya memindai macam-macam menu sarapan yang ada di atas meja.

"Nyonya mau yang mana? Biar saya siapkan."

Elea menggeleng. "Tidak. Biar aku sendiri."

Saat wanita berparas jelita itu sedang sibuk menentukan sarapannya, seorang wanita muda yang mengenakan baju serupa dengan Ranti, tergesa menghampiri.

"Maaf, Nyonya. Nona kecil menolak untuk sarapan bersama."

Elea terdiam. Ia langsung teringat pada peristiwa semalam, saat pertama kali ia datang. Arabella, Batita nan jelita itu menolak kehadirannya. Ia bahkan menangis saat Elea berusaha mendekati.

"Tidak apa-apa," katanya dengan pelan. Selanjutnya ia menoleh pada Ranti. "Bisakah temani aku sarapan?"

"Tentu nyonya, saya akan tetap di sini, sampai nyonya selesai sarapan." Sudah menjadi tugas Ranti selama ini. Berdiri dalam jarak lima langkah di belakang nyonya Elea yang sedang menikmati sarapannya.

"Bukan seperti itu. Duduklah!" Elea menunjuk kursi di sebelahnya. "Kita sarapan bersama."

"Saya duduk di sini?" Ranti terlihat sangat heran.

"Iya. Sayang 'kan makanan sebanyak ini kalau harus aku dinikmati seorang diri," kata Elea santai. Sedangkan Ranti nampak bertukar pandang dengan Indah, keduanya sama-sama terlihat heran.

"Indah juga, duduklah! Kita sarapan bersama," ajak Elea pula pada pengasuh putrinya itu.

"Mm anu, Nyonya, saya harus segera kembali ke kamar non Abel." Dan indah pun berlalu meninggalkan Ranti yang terlihat mulai duduk memenuhi keinginan sang nyonya untuk sarapan bersama.

Sedangkan Dalam hati, Ranti bertanya-tanya, bukankah Elea adalah first lady keluarga Tanujaya yang sangat menjaga jarak dengan setiap asistennya. Meski semua kebutuhan wanita itu selama hampir dua puluh empat jam dilayani oleh para asisten, tapi berakrab-akrab dengan mereka adalah satu pantangan yang tak akan pernah dilakukan oleh Elea selama ini. Semua itu karena wanita yang selalu tampil elegant tersebut sangat menjunjung tinggi kedudukannya sebagai istri Anres Alvaro Tanujaya, satu dari sekian keluarga pebisnis sukses di Indonesia. Bahkan keluarga Tanujaya menduduki jajaran sepuluh orang terkaya di negeri ini, setelah keluarga William Pramudya.

"Arabella sepertinya sangat menolak kehadiranku." Terdengar ucapan Elea memecah keheningan. Wanita itu tengah mengadukan apa yang menjadi keresahan dalam maya pikirnya.

"Eh." Ranti sampai berjengit kaget mendengar hal itu. Bukan saja karena dia sedang berkelana jauh dengan pemikirannya sendiri, lalu tiba-tiba ditarik untuk segera kembali. Tapi, karena ia juga menangkap adanya hal tak biasa, yang bukan menjadi kebiasaan Elea. Yaitu membicarakan tentang dirinya sendiri pada sang asisten, seperti kali ini.

"Nona mungkin kecewa pada nyonya. karena selama ini sering ditinggal pergi," jawab Ranti.

"Begitu ya?" Elea terlihat berpikir atas jawaban asistennya itu.

Ranti mengangguk. "Selama ini, Nyonya juga tidak dekat dengan non Abel. Jadi wajar, kalau nona kecil lebih memilih bersama Indah, dari pada bersama, Nyonya," lanjut Ranti lagi. Kali ini wanita itu menyuarakan pendapatnya dengan lebih berani, guna melihat bagaimana reaksi Elea atas semua ini.

Ranti mengenal Elea sebagai pribadi yang tidak suka dibantah, dan tidak suka meminta pendapat pada orang yang ada di bawahnya.

"Aku akan ke kamar Arabella." Elea langsung berdiri dari duduknya. Ia meninggalkan sarapan padahal masih ada beberapa suap di piringnya. Lagi-lagi ini bukan kebiasaan seorang Elea. Biasanya Elea akan mengabaikan apa pun termasuk jerit tangis Arabella bila sedang di meja makan, atau pun saat sedang mengerjakan aktivitas lain. Alasannya karena ia sudah membayar asisten untuk mengurusi berbagai hal. Jadi biarlah setiap pribadi bertanggung jawab atas urusannya sendiri-sendiri, ia merasa tak perlu ikut campur sekali pun itu untuk urusan sang putri.

"Nyonya Elea, mau ke kamar non Abel?" Ranti gegas mengejar.

"Iya," jawab Elea singkat dan meneruskan langkahnya hendak ke lantai atas.

"Bukankah kamar non Abel ada di lantai bawah, Nyonya."

"Oh." Elea segera menghentikan langkah dengan raut wajah terkejut. "Ah iya aku lupa. Tolong antarkan aku kesana, Ranti."

"Baik, Nyonya."

Di dalam kamar Arabella.

Sang nona kecil sudah selesai mandi, kini Indah sedang merias anak asuhnya itu di depan cermin. Elea yang semula hanya menatap saja, perlahan mulai menghampiri. "Boleh aku yang merapihkan rambutnya, Abel, Indah?" Ia bertanya sopan. Membuat Indah sejenak memandang heran pada Ranti. Pasalnya, selama bekerja sebagai pengasuh Abel dari dua tahun yang lalu, ia tak pernah mendapatkan sikap yang seperti ini dari nyonya Elea.

Ranti mengangguk meyakinkan seraya tersenyum.

"Silakan, Nyonya."

Indah mundur beberapa langkah, memberi kesempatan Elea untuk merias putrinya.

"Abel, mau rambutnya diikat gimana, Sayang?" Wanita itu sejenak mendaratkan ciuman lembut di ubun-ubun Arabella, sambil bertanya.

Abel menggeleng pelan, seraya tak melepaskan tatapan dari wajah cantik Elea. Di mata bening balita cantik itu seakan tersirat banyak kata tanya yang tak bisa dibahasakan.

"Diikat satu ya, biar rapi." Elea berinisiatif memilih sendiri. Dan Abel mengangguk setuju.

"Mama." Lirih kata itu terucap dari bibir mungil Abel, ketika Elea hampir selesai merapikan rambutnya yang licin dan bergelombang.

"Iya, sayang." Elea segera menghentikan gerakannya menyisir rambut Abel. "Apa mama terlalu kasar ya, nyisir rambutnya? Apa Abel kesakitan?"

Elea menatap manik mata bening itu dengan raut khawatir.

Arabela menggeleng. "Mama mau pelgi?" tanyanya seraya menatap lekat manik mata Elea.

"Gak sayang. Mama gak mau pergi kemana-mana. Apa Abel ingin jalan-jalan?"

Arabella menggeleng lagi.

"Atau, mau main ditemani mama?" tebak Elea pelan seraya menatap gemas putri cantik di depannya.

"Mau." Abel langsung menjawab dengan sepasang mata yang terlihat berbinar.

"Tapi, sebelum main, Abel sarapan dulu ya."

Arabella mengangguk dengan antusias. Bahkan kali ini ada seutas senyum yang terbit di bibir mungilnya.

"Mau sarapan apa? Biar mama buatin." Elea tampak semakin bersemangat dengan hal itu.

Beberapa saat kemudian.

"Mbak Ranti, yang ada di depan kita sekarang, benar-benar nyonya Elea atau bukan?" tanya Indah dengan suara lirih. Sementara tatapannya terus mengarah pada Elea yang sedang menyuapi Arabella. Mereka kini kembali berada di ruang makan, lantaran sang nona kecil memilih untuk sarapan di sana, setelah barusan sempat menolak untuk sarapan bersama sang mama.

Ranti hanya menoleh sekilas pada Indah, dan tak mengatakan apa-apa.

"Ini semua bukan kebiasaan nyonya Elea yang aku kenal. Mbak Ranti juga merasakan itu 'kan?"

"Hmmm." Ranti hanya mengangguk kecil.

"Apa nyonya Elea kejedot tembok ya, Mbak, sampai dia berubah gini," bisik Indah dengan tampang heran.

"Hussh, apa-apaan kamu," hardik Ranti. Sebenarnya ia pun merasa lebih heran. Karena ia lebih banyak menemukan perubahan pada diri Elea yang sekarang. Termasuk barusan ketika Elea bahkan tidak tahu di mana kamar Arabella. Hanya saja Ranti mengemasnya dalam diam.

"Apa nyonya Elea tertukar dengan orang lain?" gumam Indah yang sangat didengar jelas oleh Ranti.

"Jangan aneh-aneh, Ndah!"

"Kayak cerita telenovela yang pernah saya tonton dulu, Mbak. Ada cerita yang kayak gitu."

"Kata mas Edward, saat bepergian kemarin, nyonya sempat mengalami kecelakaan dan terjadi benturan. Hal itu menyebabkan ada beberapa ingatannya yang terhapus." Ranti menjelaskan sesuai apa yang diberitahukan oleh Edward kepadanya semalam.

"Oh begitu." Indah mengangguk-angguk paham. "Jadi bukan karena tertukar dengan orang lain ya, Mbak?"

"Kamu ini. Aneh-aneh saja pemikirannya."

Ranti melihat gemas pada temannya itu yang terlihat menahan tawa.

🌺🌺🌺

Assalamualaikum.

Hadir lagi di sini. Cerita Tania dan Atalia berlanjut di buku ini ya. Dengan nama dan wajah baru seperti yang sempat saya jelaskan kemarin.

Maaf baru bisa rilis hari ini, tak sesuai dengan janji, karena masih menunggu cerita Atalia dihapus dulu oleh Ntun. Kalau cerita baru ini dirilis, sedangkan yang lama belum terhapus saya khawatir akan terjadi kebingungan.

Selamat membaca ya...

Love u All

Najwa Aini

Bab 02

Brakk.

Terdengar suara keras, seperti suara tangan yang menggebrak meja, disusul suara benda pecah yang frekuensinya lebih rendah dari suara gebrakan meja sebelumnya.

Elea berjengit kaget. Wanita itu sampai meraba dadanya. Tatapannya lalu memindai asal datangnya suara, yang sepertinya berasal dari salah satu ruang dalam rumah besar itu juga, tapi entah di bagian yang mana. Namun, saat ia menoleh pada Arabella, nona kecil itu tak menunjukkan kekagetan yang sama. Ia bahkan tetap fokus dengan mainan di tangannya, dan tak ada hal apa pun yang dapat mengusiknya. Tidak dengan suara keras yang ia dengarkan baru saja.

Elea sedang memenuhi janjinya untuk menemani Arabella bermain, saat suara gebrakan itu terdengar jelas. Bahkan wanita cantik itu masih celingukan mencari asal suara. Tiba-tiba saja,

"Itu papa," kata Abel. Ia yang semula terlihat tak terusik malah kini memberikan jawaban atas pencarian Elea.

"Hah? Papa?" Elea masih bertanya.

Arabella mengangguk.

Anak ini seperti sudah sangat hafal dengan suara tersebut, dan ia terlihat tak merasa terganggu. Apa memang si tuan Anres punya kepribadian temperamen yang terbiasa menggebrak meja seperti barusan?

Bukankah itu kurang baik, untuk psikologi anak yang sedang bertumbuh seperti Arabella. Pikir Elea.

"Nyonya!"

Ranti memanggilnya dengan suara pelan, seakan takut kalau suaranya akan terdengar sampai ke ruangan yang lain. Wanita yang berdiri di sebelah Indah--pengasuhnya Arabella--itu memberikan isyarat tangan.

Elea menghampiri, memenuhi isyarat tangan yang diberikan oleh Ranti.

"Apa benar, papanya Abel yang menggebrak meja barusan?" tanya Elea.

"Iya. Tuan Anres sedang bersama dengan dokter Hangga, di ruang baca," jawab Ranti masih dengan suara pelan.

"Dokter Hangga?"

"Dokter keluarga, Nyonya."

Elea memgangguk paham. "Ada apa dokter Hangga datang sepagi ini, apa kesehatan tuan Anres sedang dalam masalah?"

"Saya kurang tahu," jawab Ranti.

"Jika Nyonya ingin kesana, silakan!" lanjutnya lagi.

"Tidak apa-apa jika aku kesana?"

"Iya. Mungkin jika melihatmu, kemarahan tuan Anres bisa reda, usul Ranti yang mendapat anggukan persetujuan dari Indah.

"Baiklah." Elea mengangguk setuju. Karena telah hadir rasa penasaran yang begitu kuat tentang apa yang terjadi pada tuan Anrres itu.

Wanita itu pun mengayun langkah, namun hanya tiga langkah saja ia berhenti. Terlihat bingung sendiri, namun bentuk kebingungannya tidak ia lafadzkan sama sekali.

"Perlu kuantar, Nyonya?" Ranti menawarkan diri di saat yang tepat.

"Terima kasih, Ranti."

Mereka kemudian melangkah melintasi ruang keluarga yang cukup luas, dan melewati satu koridor yang tak seberapa panjang, barulah tiba di depan ruang baca. Ranti segera berpamit pergi kala pintu yang tertutup itu terkuak sedikit dari dalam. Dan terdengar suara laki-laki dengan nada berat, "kau boleh pergi "

Dalam hitungan menit, seseorang keluar dari balik pintu yang terkuak sedikit. Ia nampak kaget mendapati seorang wanita cantik berdiri di depan ruangan. "Nyonya Elea?!"

Dokter Hangga.

Elea segera bisa mengenali lelaki itu sebagai dokter Hangga. Meski lelaki kisaran usia 40 tahun tersebut, tak bersneli dokter seperti biasanya.

Elea tersenyum singkat, yang dibalas serupa oleh dokter Hangga sebelum kembali meneruskan langkah untuk pergi. Wanita itu kemudian mengatur napasnya lebih dulu, sambil mengumpulkan keberanian untuk masuk ke ruangan. Namun, sebelum Elea meneruskan langkah, keluar seorang lagi dari dalam sana. Seorang lelaki yang kini berdiri di depan Elea, dan menatapnya dengan tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Aku ingin masuk," ujar wanita itu, karena Edward hanya tetap terdiam.

"Silakan." Lelaki itu menggeser tubuhnya memberi jalan. Dan ia tetap di posisi semula saat Elea memberanikan diri melangkah masuk ke dalam ruangan.

Di dalam ruangan baca tersebut, terlihat seorang Lelaki yang berdiri di depan jendela yang terbuka. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Dan Elea dapat melihat kalau dua tangan itu mengepal kuat, meski ruangan ini tak memiliki lampu penerangan yang cukup jelas, sebagaimana ruangan yang lain dari rumah besar ini. Sedikit aneh, mengingat ini adalah ruangan baca, tetapi tak dilengkapi dengan lampu yang terang menyala.

"Kau sudah datang?" Lelaki itu bertanya, dengan tanpa membalikkan badan.

"Eh i-i-iya." Elea menjawab gugup, bahkan sangat gugup, seiring suara dug dug dug, bak ada orang yang sedang menabuh bedug. Dan dengan konyolnya, wanita itu menoleh kanan kiri untuk mencari asal suara itu. Kemudian ia pun menelan ludah getir, saat menyadari kalau itu adalah suara denyut jantungnya sendiri. Yang jelas sudah di luar batas normal.

Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa ia menjadi segugup ini, hanya karena mendengar suara suaminya sendiri.

Bahkan wanita itu masih berdiri terpaku, dan tak segera duduk dengan anggun, sebagaimana biasanya tiap kali ia menemui Anres di ruang baca.

Hingga,

"Duduklah, Elea!" Anres pun menyuruhnya duduk.

Wanita itu hanya mengangguk dan mengedarkan pandang untuk memilih tempat duduk. Dia merasa harus duduk dengan nyaman untuk menetralisir perasaan. Dan satu-satunya tempat duduk yang tersedia ada di depan lelaki itu sendiri. Yang membuat Elea menahan diri dan tetap bertahan di posisi berdiri.

Lelaki itu membalikkan badannya, dan kini tepat menghadap ke arah posisi berdiri Elea. Ampun, wanita itu harus menahan napas dan menahan suara. Karena indah nian pahatan tuhan pada seraut wajah yang terlihat begitu rupawan di depannya. Tampan, rupawan dan menawan secara bersamaan. Semakin terlihat pesonanya, karena pria itu seperti sudah tiba pada masa keemasan usianya.

"Kabarnya, kau mengalami kecelakaan." Masih Anres yang memimpin topik pembicaraan. Karena Elea telah bertransformasi jadi perempuan bisu dengan seketika. Kalau pun bisa bicara malah gagap dan tak segera membentuk kata sempurna.

"Iya," jawab Elea singkat.

"Apa kau baik-baik saja?" Anres terlihat maju satu langkah. Dan satu langkah darinya itu mendatangkan puluhan detakan di dada Elea. Dan pasti karena hal itulah, wanita itu menjawab dengan suara sedikit gugup.

"Ba-baik."

"Kau terdengar gugup," tukas Anres. Dan ucapan itu bak ketokan palu di jidat Elea Walhasil, kesadaran yang pergi, kini datang lagi.

"Ma'af, Tuan Anres. Kita harus bicara," kata wanita itu cepat.

"Tuan Anres?" Lelaki tampan itu bertanya heran.

"Mak-maksudku, Anres. Aku mau bicara." Elea meralat ucapannya dengan cepat.

"Mau bicara?" Anres pun masih balik bertanya. Mungkin ia heran dengan sikap dan cara Elea bicara.

"Iya, ada hal yang harus aku bicarakan," tegas Elea.

"Kalau begitu, duduklah!" Anres memberi isyarat pada kursi tak jauh di depannya. Elea mengangguk dan segera mengambil langkah untuk meraih posisi duduk. Namun, wanita itu tak melihat kalau ada pecahan gelas yang masih berserakan begitu saja di atas lantai. Bahkan suara pecahan gelas itu juga didengar sendiri olehnya barusan.

Namun, saat Elea memasuki ruangan dan melihat sosok Anres, maka tak ada apa pun dalam ruangan ini yang menjadi perhatiannya, selain sosok suaminya itu. Apalagi hanya pecahan gelas di lantai. Akibatnya kini, ia tergores pecahan itu di telapak kakinya yang memang tak sedang menggunakan alas kaki.

"Aduuh." Wanita itu berdesis singkat.

"Apa yang terjadi?" tanya Anres sigap.

"Pecahan beling, aku terkena pecahan beling."

"Apa kau terluka?" Dari pertanyaan Anrres ia terdengar kawatir dan ada terkesan memberi perhatian. Tapi, kenyataannya lelaki itu tetap berdiri saja di posisi semula. Walau satu inchi ia tak menggeser tubuhnya, apalagi untuk memeriksa keadaan istrinya.

"Tidak apa-apa. Hanya sedikit tergores."

Memang benar, hanya ada goresan kecil akibat pecahan beling itu di kakinya. Memang sedikit mengeluarkan darah, tapi perempuan itu sudah mengatasinya.

"Sepertinya aku akan membersihkan pecahan beling ini dulu," kata Elea dan hendak bergegas. Wanita sudah berhasil mengusir rasa gugupnya. Walau masih belum semuanya.

"Tidak usah Elea. Itu bukan tugasmu. Kau duduk saja!"

Kalimat Anres itu terdengar manis. Sebentuk perhatian dan kepedulian. Walau ia masih enggan beranjak dari posisinya.

"Maaf," ujarnya lagi singkat.

Elea hampir terperangah mendengarnya. Meski tak jelas permintaan maaf itu karena hal apa. Tapi Elea sudah menganggap itu adalah nilai plus untuk seorang Anres. Di samping plus plus yang lain.

Ternyata, Lelaki yang terlihat tegas dan berwibawa itu sangat mudah mengucap kata maaf. Padahal meminta maaf bagi kaum adam itu adalah perkara yang langka. Hal itu menandakan kalau perasaan Anres penuh kelembutan. Demikian pikir Elea.

Kemana saja wanita itu selama ini. Kenapa baru menyadari adanya kelembutan di balik sikap tegas sang suami.

"Maaf untuk ...?"

"Aku yang menyebabkan pecahan gelas itu berserakan dan mengenaimu."

"Ya, suara gelas pecah ini terdengar sampai keluar."

"Abel mendengarnya?" tanya Anres cepat. Terlihat ia sangat menghawatirkan putrinya.

"Iya."

Terdengar embusan napas pria itu pelan, yang membuat Elea diam-diam mencuri pandang. Tatapan mata pria itu nampak lurus. Seperti tak menyentuh salah satu objek apa pun. Dan sejauh ini, ia juga tak melihat lelaki itu menjatuhkan pandangan padanya dengan sengaja. Tapi, bisa saja kalau Anres mencuri pandang saat Elea sedang tak melihatnya.

"Kau terdengar sangat emosi tadi, Anres."

"Iya, aku marah dan merasa kecewa," sahut Anres.

"Kenapa?" tanya Elea penasaran. Sepertinya ia telah lupa dengan niat awalnya ingin bicara, ketika kini topik pembicaraan telah berubah.

"Aku tidak bisa, mendapatkan donor mata."

"Donor mata?!" Demi apa pun Elea sangat kaget mendengar itu. Ia sampai menegakkan tubuh dan menatap raut tampan rupawan yang duduk di depannya.

"Iya, pendonor yang kemarin sempat diberitahukan ada, ternyata membatalkan semuanya. Tidak tahu karena apa. Padahal aku sudah membayar mahal untuk itu." Lelaki itu terus bertutur tentang apa yang menjadi penyebab kemarahannya. Tanpa peduli pada reaksi kaget yang diperlihatkan lawan bicaranya.

"Mungkin aku tidak akan pernah bisa melihat lagi selamanya, Elea."

Jadi, Anres buta?

Anrres tidak bisa melihat?

Pantas saja tatapan itu selalu datar, tatapan itu kosong bagai tanpa makna. Tatapan itu tak mengarah. Ternyata netra coklat gelap nan bening itu sudah kehilangan daya. Ia ada, namun tak ada artinya.

Bab 03

"Nyonya." Ranti menegur sang nyonya dengan tatapan heran, saat menemukan wanita itu melongok kanan kiri seperti sedang mencari-cari.

"Edward, di mana?"

"Baru saja pulang."

"Pulang?"

Berarti Edward tidak tinggal di rumah ini, batin Elea.

"Mungkin masih ada di halaman depan. Karena suara mobilnya belum kedengaran," tambah Ranti.

"Aku akan mengejarnya." Elea segera bergegas, namun langkahnya justru mengarah ke halaman samping, bukan ke halaman depan di mana Edward mungkin masih berada saat ini.

"Lewat sini, Nyonya." Ranti menunjukkan arah, sembari mengemas keheranan dalam dada.

"Oh iya, terima kasih, Ranti."

Setelah melangkah melewati beberapa ruang, akhirnya Elea menemukan undakan yang menghubungkan teras dengan halaman. Rumah itu sungguh besar. Sampai membuat napas ngos ngosan untuk bisa mencapai halaman depan dari ruang keluarga, dimana Elea berada sebelumnya.

Edward sudah melangkah menuju mobil yang telah siap membawa sang tuan meninggalkan rumah besar. Ketika Elea tergesa memanggil. Wanita itu melangkah cepat menghampiri, mengabaikan rasa sakit pada kedua kaki akibat kecelakaan kemarin yang sempat ia alami.

Meski tak menjawab panggilan dari Elea, tapi Edward nampak menghentikan langkah dan menatap wanita yang menghampirinya itu dengan seksama.

"Anres itu buta." Elea mengatakan itu dengan napas sedikit terengah.

"Iya, memang buta. Ada masalah?" Edward bertanya dengan nada bicara datar seperti biasa.

"Ada masalah, kau tanya? Harusnya aku yang nanya. Kau suruh aku berbohong pada orang buta?" Elea menatap tajam lelaki di depannya itu.

"Membohongi orang buta itu jauh lebih mudah, dari pada membohongi orang yang bisa melihat. Elena." Edward masih berkata datar-datar saja. Seakan apa yang sangat menjadi masalah buat Elea sama sekali bukan masalah baginya.

"Tidak." Elea menggeleng cepat. "Aku tidak bisa membohongi Arabella yang membutuhkan ibunya. Aku juga tak bisa membohongi Anres yang tak bisa melihat wajah istrinya. Aku mau berhenti dari kesepakatan ini. Aku mau keluar dari sini." Wanita itu sudah membuat keputusan dengan cepat.

"Itu artinya kau akan kembali pada Baron, Elena?" Tanya Edward sambil melipat tangan di depan dada.

"Tidak akan. Aku pasti bisa menghindarinya dengan cara apa pun," jawabnya dengan sepenuh tekad.

"Kau pikir, akan semudah itu membatalkan kesepakatan kita? Kau pikir aku akan diam saja dengan keputusanmu ini?" Edward bertanya dengan suara dingin, dan tatapan matanya setajam elang menyapu wajah cantik yang berdiri di depannya sekarang.

"Edward tolong, aku tak bisa melanjutkan semuanya. Aku akan mengembalikan uang itu dan aku ..."

"Tak ada jalan bagimu untuk mundur, Elena. Selangkah saja kau keluar dari gerbang ini, mobil anak buah Baron yang akan menjemputmu di depan gerbang sana," ancam Edward dengan tatapan penuh intimidasi.

"Kau mengancamku?" tanya Elea dengan suara bergetar.

"Itu hal yang pantas kau dapatkan."

"Tapi aku tidak bisa terus berpura-pura menjadi Elea. Aku Elena. Dan aku tidak bisa terus menjadi Elea. Tidak bisa." Wanita cantik itu menggeleng kuat dengan suara bergetar menahan isak. Berharap Edward iba dan lalu meluruskan permintaannya. Permintaan untuk berhenti dari peran yang sedang ia mainkan. Peran sebagai nyonya Elea, istri Anres Alvaro Tanujaya. Dan sekaligus ibu dari Arabella.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa wanita yang dikenal sebagai nyonya Elea, justru menyebut dirinya dengan nama Elena.

Flash back on

Elena.

Wanita cantik berusia 28 tahun itu berlari sekuat tenaga, demi untuk menghindari kejaran anak buah Baron yang ingin menangkapnya. Ia tak memedulikan apa pun selain selamat dari dua lelaki tinggi besar berkepala plontos yang sangat bernafsu untuk menangkapnya. Hingga ia tak hirau bahwa ada bahaya lain yang sedang mengintai.

Mobil SUV hitam melaju dengan cepat ke arah Elena, sang pengemudi tak sempat menghindar ketika menyadari bahwa ada santapan empuk berupa tubuh cantik di depan. Walhasil.

Brakk. Suara benturan disertai decit rem yang memekakkan telinga pun terdengar.

Dapat dipastikan kalau Elena tertabrak mobil hitam mengkilap tersebut.

Beberapa jam berlalu. Saat wanita itu membuka mata dan mendapati diri berada dalam satu ruang perawatan sebuah rumah sakit di Ibukota.

"Kau sudah sadar?" Terdengar suara lelaki bertanya, saat wanita itu memindai tatapan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna putih susu.

Elena memutar kepala, mencari arah datangnya suara. Seorang lelaki tampan nan gagah menatapnya dengan pandangan datar.

"Si-siapa kamu?"

"Edward. Aku yang menabrakmu tadi."

Elena menghela napas, setelah kini semua ingatannya terkumpul dengan jelas. Tubuhnya memang hampir saja terlindas, oleh mobil hitam dan hampir tergilas. Beruntung tubuh Elena terhempas, sehingga terhindas dari maut yang hampir merampas.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku."

Lelaki yang bernama Edward itu hanya mengangguk singkat. Selanjutnya ia menyisih untuk menerima panggilan telepon di dekat jendela ruangan yang terbuka. Saat itulah terdengar suara gaduh dari luar. Semula Elena hanya mengabaikan, dan menganggap mungkin ada pasien baru yang datang. Akan tetapi kemudian ia mendengar kalau namanya yang disebutkan, membuat wanita itu segera memasang pendengarannya dengan tajam.

"Suster, saya mencari pesien bernama Elena. Dia dirawat di rumah sakit ini."

"Di ruangan apa, Pak?"

"Kurang tahu juga, Sus."

"Bapak siapa?"

"Keluarganya, saya kakaknya Elena. Dia, dia tadi mengalami kecelakaan hampir tertabrak mobil, Suster."

Mendengar pembicaraan di depan kamarnya itu, Elena terhenyak. Karena wanita itu tidak punya kakak, selama ini ia hanya tinggal bersama ibunya, setelah sang ayah berpulang ke haribaan-Nya. Lalu siapa laki-laki yang mengaku sebagai kakak Elena di luar sana.

Didorong oleh rasa penasaran yang sangat kuat, Elena berusaha untuk turun dari hospital bed, guna menengok keluar dan melihat siapa yang datang. Tapi, rasa nyeri pada kaki kanannya akibat jatuh terhempas tadi menghalangi niatnya. Wanita itu akhirnya hanya bisa melongok melalui kaca pintu kamar perawatan yang berukuran kecil. Dan sekilas saja ia dapat melihat sesosok lelaki yang sudah cukup ia kenal.

"Anak buah Baron," desis Elena dengan muka pucat. "Oh ya Tuhan, jangan sampai ia masuk ke dalam kamar ini dan menemukan aku," harapnya dalam hati.

"Saya ingin masuk ke kamar ini, Sus. Barangkali adik saya yang dirawat di sini." Lagi, terdengar suara lelaki itu dari luar, dan sepertinya tepat berada di depan pintu kamar. Wajah Elena semakin pucat karena ketakutan. Sesaat lagi pasti anak buah Baron alan menemukannya, dan menyerahkan wanita cantik tersebut pada sang atasan.

Elena bergidik ngeri.

"Karena kau sudah sadar. Dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku bisa meninggalkanmu sekarang." Itu suara Edward, lelaki tampan itu sudah selesai berteleponan dan kembali menghampiri Elena yang menampilkan raut crmas dan khawatir secara bersamaan.

"Tapi jangan khawatir, kau masih akan terus dirawat sampai pulih. Dan semua biaya perawatan sudah aku selesaikan," lanjut Edward. Dan lelaki itu segera memutar tumitnya hendak berlalu.

"Edward." Elena memanggil tertahan. "Bi-bisakah kau membantuku?" Pinta Elena dengan tatap harap-harap cemas, begitu Edward sudah kembali menatap ke arahnya.

"Di-di luar kamar ini, anak buah Baron sedang mencariku. Tolong, bantu aku jangan sampai mereka tahu kalau aku di sini."

"Siapa Baron?"

"Seorang rintenir. Aku terlibat hutang dalam jumlah besar padanya--"

"Hutang memang harus dibayar," potong Edward sebelum Elena selesai dengan kalimatnya.

"Untuk saat ini aku belum mampu. Tapi ... aku akan cerita nanti saja. Sekarang bantu aku dulu." Elena sampai menyatukan kedua tangannya di depan dada, karena sangat berharap Edward sudi untuk membantunya.

"Ada harga yang harus kau bayar untuk bentuan ini, Nona." Edward ternyata tak memberikan bantuan secara gratis pada Elena.

"Apa pun itu caranya, aku akan bayar. Yang penting sekarang, tolong selamatkan aku, Edward."

Bersamaan dengan titik pada kalimat yang diucapkan oleh Elena, bersama itu pula pintu ruang rawat itu dibuka. Sontak Elena merebahkan diri di atas sofa bednya dengan menutup separuh dari wajahnya memakai selimut.

Dua orang lelaki memasuki ruangan. Mereka mengikuti suster jaga yang hendak memeriksa kondisi Elena.

"Kalian siapa?" tanya Edward.

Kedua lelaki yang sama-sama fokus menatap Elena yang sedang berusaha menyembunyikan wajah itu, terlihat sedikit kaget dengan pertanyaan dari Edward itu.

"Ka-kami ingin mengunjungi adik saya yang mungkin dirawat di sini," jawab salah satu dari kedua lelaki itu kepada Edward.

"Kalian salah kamar. Ini ruang perawatan istri saya," kata Edward dengan tatapan tak ramah.

"Istri?"

"Iya. Itu istri saya. Dan istri saya itu bukan adik kalian," tandas Edward dengan ekspresi selayaknya seorang suami yang tak suka melihat ada orang yang ingin mengusik istrinya.

"Oo maaf. Kami permisi." Kedua lelaki itu pun pergi dan tanpa menoleh lagi.

💐💐💐

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!