NovelToon NovelToon

Aku Tak Sempurna

1. Rasa Yang Mati

Tawa dan canda tercipta di ruang IGD ketika ruangan itu sepi. Dokter jaga dan para perawat yang bertugas di sana sudah sangat dekat. Di antaranya ada Aleeya yang bertugas sebagai dokter jaga di sana.

Anak bungsu Radit itu akan berubah menjadi orang yang berbeda jika sudah masuk ke rumah sakit. Dia akan menjadi dokter yang hangat dan penuh senyum. Beda hal jika dia sudah keluar dari sana. Dia akan menjadi pribadi yang berbeda.

Aleeya menghela napas ketika dia sudah berada di luar area rumah sakit di mana dia praktek. Wajah lelahnya nampak begitu jelas. Rambutnya pun sudah dia Cepol ke atas. Jam sepuluh malam dia baru meyelesaikan shift-nya.

Aleeya mengambil ponsel dan hendak memesan ojek online. Sebuah pesan membuat dia menghela napas kasar.

Kak Mirza

"Cantik, kenapa telepon aku gak dijawab? Kamu sibukkah?"

Aleeya tak membalasnya. Dia yang masih mematung di area halaman rumah sakit dan sedang membuka aplikasi ojek online dikejutkan dengan suara klakson mobil. Dia menoleh, dan senyum hangat seorang pria tunjukkan. Dulu, Aleeya dan pria itu dekat. Dia memanggil pria itu ayah, tapi setelah tahu pria itu siapa Aleeya mulai sungkan dan memilih untuk menjaga jarak.

"Saya antar."

Aleeya menggeleng dengan senyum sangat lembut. Namun, pria itu malah keluar dari mobil. Menarik tangan Aleeya dengan begitu lembut dan menyuruh Aleeya duduk di kursi penumpang depan.

"Tidak baik anak perawan pulang sendirian di malam hari."

"Perawan."

Air muka Aleeya berubah seketika. Sangat sedih dan sakit ketika mendengar kata itu. Aleeya tak mengeluarkan suara sedikit pun selama di dalam mobil. Sesekali pria yang berada di balik kemudi menatap Aleeya.

"Kenapa?" Aleeya hanya menggeleng.

Tibanya di kosan, Aleeya duduk di pojokan kamar dengan tangan yang memeluk kedua kakinya. Ada air mata yang tertahan di sana. Dia bagai manusia yang kehilangan arah. Dia seperti anak sebatang kara dengan wajah yang teramat sendu. Dia teringat kejadian hampir setahun lalu. Juga teringat akan perpisahan yang dia inginkan enam bulan lalu setelah sang kakak menikah.

"Aku ke sini hanya ingin memberitahukan jika aku akan pergi. Jangan pernah mencariku lagi karena mulai sekarang aku sangat membenci kamu."

Aleeya memejamkan matanya. Sungguh sakit bukan main jika dia mengingat balasan dari lelaki yang sangat berengsek.

"Percaya diri sekali kamu! Tak sudi aku mencari kamu. Pergilah yang jauh! Kalau perlu enyahlah dari dunia ini."

Jika, Aleeya tidak memiliki iman yang kuat mungkin dia akan bunuh diri karena perkataan itu sangatlah mengacaukan mentalnya. Namun, dia menjadikan perkataan itu cambukan untuk dirinya. Dia anggap itu adalah karmanya dan dia harus menjalankannya. Termasuk sebuah niatannya untuk tidak menikah.

Ponselnya terus berdering, selama enam bulan ini Mirza yang tak lain adalah sahabat Rangga mencoba mendekatinya. Dia juga sudah beberapa kali datang ke rumah sakit di mana Aleeya praktek. Namun, Aleeya masih berpegang teguh pada niatannya.

Aleeya tak menjawab telepon dari Mirza. Setelah mendengar kata perawan, hatinya kembali sakit. Sedihnya hadir lagi. Dia memang tidak menangis, tapi genangan air mata ada di matanya.

Ponselnya berdering kembali, kali ini sang bubu yang menghubunginya. Aleeya menarik napas panjang sebelum menjawabnya.

"Iya, Bu."

"Ateu, pulang Tini! Si Yayan tatit."

Wajah sang keponakan yang sangat tampan membuat Aleeya tersenyum begitu lebar. Sedih dan sakit yang tengah dia rasakan menguar begitu saja. Pelipur lara Aleeya untuk sekarang adalah kalimat lembut sang ibu dan juga sang keponakan tampannya.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih Abang Er." Aleeya tersenyum dan meletakkan ponsel di dadanya.

.

Pagi hari grup chat sudah ramai dengan berita manager rumah sakit di mana Aleeya praktek pamit dan akan diganti oleh yang lain. Aleeya terdiam sejenak.

"Apa semalam pertemuanku yang terakhir dengannya? Tapi, kenapa dia gak bilang apa-apa?" Aleena bergumam seraya berpikir.

Dia membaca kembali pesan di bawahnya yang sudah sangat banyak. Dahinya mengkerut ketika membaca akan ada dokter baru dari Singapura untuk membantu mereka di sana. Aleeya hanya membacanya saja tanpa membalas apapun.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Perutnya sudah berbunyi. Hari ini jadwalnya untuk membeli kebutuhan isi kulkas.Selesai mandi dan mengenakan celana training panjang juga Hoodie, tak lupa masker Aleeya membuka kunci kosan. Matanya melebar ketika dia melihat seseorang yang sudah bersandar di dinding teras kosan dan menatap ke arahnya.

"K-kak Mirza," panggilnya.

Pria itu menegakkan tubuhnya. Dia pun mendekat ke arah adik ipar Rangga.

"Kenapa telepon aku semalam gak diangkat?"

Aleeya bingung harus menjawab apa. Dia hanya diam dan membeku. Apalagi wajah Mirza sangat serius.

"Semalam aku ingin bilang ke kamu kalau aku akan terbang ke Jogja karena ada kerjaan di sini." Kalimat yang begitu lembut.

Belum juga Aleeya menjawab, Mirza sudah meraih tangan Aleeya dan mengambil kunci yang ada di belakang pintu.

"Sebelum kerja aku ingin menikmati waktu bersama kamu dulu."

Mirza memang bukan orang yang senang basa-basi. Aleeya tahu akan itu. Pria itu juga cenderung pemaksa karena tidak pernah ijin dan langsung membawa dirinya seperti ini.

"Kebiasaan!"

Mirza hanya tertawa ketika mendengar Aleeya bersungut. Dia tidak akan marah.

"Kamu mau ke mana emangnya?" tanya Mirza.

"Ke minimarket. Mau isi kulkas."

Aleeya menurunkan kupluk Hoodie yang ada di kepalanya. Tangan Mirza terulur ke arah rambut Aleeya seraya merapihkan rambutnya. Aleeya menatap ke arah Mirza dan senyum manis Mirza tunjukkan.

"Kita makan dulu, ya."

Namun, mata Aleeya melebar ketika Mirza menghentikan mobilnya di restoran mewah. Aleeya menatap ke arah Mirza yang tengah membuka seatbelt.

"Kenapa ke sini?"

"Mau makan." Jawaban yang sungguh sangat menyebalkan.

"Maksud aku kenapa ke restoran ini? Aku begini loh!" tunjuknya pada penampilannya.

"Emang kenapa?"

Mirza malah membuka pintu mobil dan itu membuat Aleeya menganga. Mirza pun membuka pintu penumpang samping. Dia tersenyum ke arah Aleeya.

"Segembel apapun penampilan kamu, mereka tidak akan bisa melarang kamu untuk makan di sini selagi aku menggenggam tangan kamu."

Mirza benae menggenggam tangan Aleeya dan membawanya masuk ke restoran mewah tersebut. Lembut dan sangat gentle, tapi sayangnya rasa cinta Aleeya sudah mati. Sentuhan yang Mirza berikan tidak menimbulkan rasa apapun.

Sambil menunggu makanan yang datang, Mirza membuka laptopnya. Dia juga hanya mengenakan kaos putih saja. Jaket denim yang dia gunakan sudah dia lepaskan.

Aleeya yang terus memperhatikan Mirza sedari tadi hanya terdiam. Terlihat Mirza berbicara sangat serius di depan layar laptopnya. Tak lama, terlihat senyum yang sangat manis yang terukir di wajahnya.

"Kamu terlalu sempurna, Kak. Kamu berhak mendapatkan wanita yang sempurna juga."

...***To Be Continue***...

Absen yuk!

2. Bayang Dirinya Di Masa Lalu

Seorang pria memakai kacamata hitam dengan masker yang menempel di bagian mulut dan hidung sudah duduk di kursi penumpang pesawat. Ditugaskan ke negara di mana dia pernah merasakan rasa yang sakit dan belum hilang sampai saat ini.

"Itu beda Kota. Ayah yakin, cerita di setiap Kota itu berbeda."

Dia menghela napas kasar. Ingin rasanya dia menolak, tapi rumah sakit itu adalah rumah sakit keluarga di mana dia tidak boleh menolak. Pria itu menoleh ke arah kanannya. Matanya melebar ketika melihat wanita yang pernah dia cintai satu pesawat dengannya. Wanita itu bersama suaminya. Wanita cantik itu terlihat sangat bahagia. Apalagi suaminya memperlakukan wanita itu dengan sangat lembut.

"Dia sudah bahagia? Kapan kamu bahagia? Hanya pria bodoh yang masih menangisi wanita yang bukan jodohnya."

Dia masih ingat kalimat yang menusuk dari ayahnya itu. Dia memilih memalingkan wajah. Memejamkan matanya dan mulai mengatur mindset-nya dari awal lagi.

"Sudah waktunya move on."

.

"Gak usah dianter, Kak."

Aleeya menolak diantar oleh Mirza. Namun, pria itu memaksa dan itu membuat Aleeya harus menuruti keinginannya.

"Kak Mirza tunggu di luar, ya. Aku gak mau ada fitnah." Mirza mengangguk.

Aleeya membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk tugas di rumah sakit. Ponselnya berdering dan lengkungan senyum terukir di wajahnya.

"Iya, Bu."

"Udah berangkat?"

"Ini baru mau berangkat." Aleeya menjawabnya dengan senyum indah.

"Tetap semangat ya, Dek. Jadilah dokter yang bermanfaat."

"Pasti itu, Bu."

Setiap hari sang ibu akan menghubunginya. Hal remeh, yakni menanyakan kabarnya dan juga yang lain. Namun, Aleeya tak pernah merasa risih. Ibunya adalah kekuatannya. Ibunya adalah orang yang tidak marah ketika dia mengakui apa yang sudah terjadi padanya. Echa memang kecewa, tapi dia masih mau memeluk dan merangkul Aleeya.

"Bubu harap dari kejadian ini kamu bisa sadar atas apa yang sudah kamu lakukan. Jika, nanti semua orang menjauhi kamu, mencemooh kamu bahkan membenci kamu, jangan pernah hiraukan mereka. Kamu masih memiliki Bubu yang akan selalu menggenggam tangan kamu dan memberikan pelukan hangat untuk kamu."

Aleeya tersenyum di depan cermin. Air matanya ingin terjatuh jika teringat akan perkataan sang ibu. Rasa bersalah dan ingin menjadi anak yang berbakti semakin kuat di dalam dirinya. Mimpinya kali ini hanya ingin membuat bahagia kedua orang tuanya juga membuat bangga keluarga besarnya.

Kedatangan Aleeya bersama Mirza ke rumah sakit membuat perawat dan dokter yang mengenal Aleeya tersenyum menggoda. Sungguh mereka berdua pasangan serasi.

"Sang pangeran pasti lagi tugas di sini, ya," goda Feby, perawat yang dekat dengan Aleeya.

Mirza tersenyum beda halnya dengan Aleeya yang menunjukkan wajah datar.

"Aku ke hotel dulu, ya. Nanti malam aku jemput."

"Gak--"

Mirza malah melebarkan matanya dan itu membuat Aleeya terdiam. Kepada Mirza dia bagai anak kucing, akan menjadi sosok yang penurut.

"Kak Liya, kurang apa sih si pangeran itu? Ganteng, kaya, pengusaha. Masa sih gak tertarik?"

Aleeya melenggang meninggalkan Feby. Dia tidak ingin membahas perihal itu. Mirza memang baik, tapi hatinya sudah dia tutup dengan sangat rapat. Malah kuncinya sudah dia buang ke dasar lautan.

Siang ini banyak pasien dan membuat tenaga medis di IGD sangat lelah. Istirahat pun mereka bergantian. Aleeya sudah ada di kantin sendirian. Dia menikmati susu cokelat hangat dan roti. Perutnya masih kenyang dan belum mau makan berat.

"Besok akan ada dokter IGD baru. Katanya sih ganteng."

Aleeya mengunyah roti sambil memainkan ponsel. Mulai besok tugasnya sedikit ringan karena akan ada yang membantunya. Sudah dua bulan ini dia bertugas sendirian di IGD di shift-nya karena salah satu dokter jaga cuti hamil. Jika, sudah banyak pasien dia sedikit kewalahan.

Banyak yang Aleeya dengar, tapi dia sama sekali tak tertarik. Ponselnya berdering dan Feby yang menghubunginya.

"Ada pasien, Kak."

Aleeya menghela napas kasar. Roti yang baru dua gigitan masuk ke dalam perutnya harus dia sudahi. Dia hanya menghabiskan susu dan kembali ke ruang IGD. Aleeya sudah biasa menghadapi pasien yang berlumuran darah.

"Korban tabrak lari katanya." Aleeya mengangguk.

Luka yang dalam membuat darah itu terus mengalir. Aleeya memberikan pertolongan pertama. Jeritan dari pasien sudah sering Aleeya dengar.

"Sakit!"

Aleeya sudah biasa bertemankan dengan jarum, suntikan, obat, darah, benang jahit khusus luka. Itu adalah sahabat sejati Aleeya. Selesai menangani pasien tabrak lari, datang seorang perempuan muda yang sudah berlumuran darah di nadinya.

"Mencoba untuk bunuh diri karena hamil."

Bisikan itu membuat Aleeya terdiam. Dia melihat ke arah perempuan muda yang terbaring lemah di atas bed IGD.

"Jangan tangani saya, Dok. Biarkan saya mati."

Sungguh hati Aleeya sangat sakit. Pikirannya berputar ke belakang. Di mana dia menangis sendirian dan berpikiran untuk mengakhiri hidup karena sebuah kejadian yang tak dia ingat sepenuhnya. Ketika dia membuka mata dia sudah tak memakai sehelai benang pun kain dan sprei di atas kasur sudah ada bercak darah. Dia menangis histeris dan meminta pertanggung jawaban. Namun, apa yang dia terima? Hanya sebuah cacian dan makian dari pria yang dia cintai. Sungguh sakit sekali.

"Dok, darahnya semakin deras mengalir."

Teguran Feby membuatnya tersadar dan segera menangani si pasien. Perempuan cantik itu terus melarang Aleeya untuk menanganinya. Namun, Aleeya tak menggubrisnya.

"Dok, biarkan saya mati."

Kalimat itu lagi yang Aleeya dengar. Bosan mendengarnya, Aleeya menatap tajam ke arah pasien tersebut.

"Kalau kamu ingin mati, mati saja sendiri. Jangan bawa janin yang tak berdosa yang tak bersalah apa-apa."

Perawat yang bertugas di sana terdiam mendengarnya. Juga pasien tabrak lari ikut terdiam. Sungguh perkataan yang sangat menusuk ulu hati bagi mereka yang mendengarnya. Aleeya melanjutkan tugasnya, dia ingin menjadi dokter sejati yang bermanfaat.

Setelah selesai menangani pasien yang hendak bunuh diri, Aleeya ijin ke toilet. Namun, dia berhenti di salah satu lorong gelap. Dia bersandar di dinding lorong tersebut. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Hingga pada akhirnya Tubuhnya pun luruh ke lantai. Aleeya menunduk dalam. Dia menangis tanpa suara, punggungnya bergetar cukup hebat.

Melihat perempuan tadi, seperti melihat dirinya di masa terpuruk. Rasa sakit, sedih, kecewa, dan tidak ada gairah hidup muncul kembali. Rasa bersalah pun sangat menghantui. Tubuh Aleeya semakin bergetar. Bayang dirinya yang tengah memegang botol pembasmi serangga pun memutari kepalanya..

"Maafkan Adek, Bubu. Maafkan Adek, Baba. Adek hanya bisa membuat nama kalian jelek. Adek hanya bisa membuat kalian kecewa. Maafkan, Adek."

Seorang pria berbadan tegap menatap Aleeya dari kejauhan. Dia melihat jelas tubuh perempuan itu bergetar. Bisikan hatinya membuat dia melangkah menghampiri Aleeya. Walaupun gelap dia melihat punggung Aleeya bergetar. Semakin mendekati Aleeya, dia mendengar betapa lirihnya suara tangis perempuan itu.

"Are you okay?"

...**"To Be Continue***...

Komen dong, biar aku gak merasa sendiri.

3. Dokter Jaga Baru

Seseorang baru saja keluar dari salah satu ruang yang ada di lorong gelap. Ketika dia menutup pintu ruangan yang sudah dia matikan lampunya, dia melihat seseorang berdiri di lorong gelap tersebut. Tubuhnya luruh dan orang itu menunduk dalam. Cukup lama dia memperhatikan dari depan ruangan, hingga dia melihat punggung orang itu bergetar.

Hati kecilnya menyuruhnya untuk mendekat, ketika beberapa langkah maju dia melihat jika orang itu adalah perempuan. Di mana rambut sang perempuan dicepol ke atas. Dia semakin mendekat. Mulai terdengar Isakan tangis begitu lirih. Langkahnya terus mendekat ke arah perempuan itu. Dia berhenti di jarak satu meter tepat di depan si perempuan pilu itu.

"Are you okay?"

Suaranya terdengar begitu lembut. Perempuan yang menunduk itu, perlahan menegakkan kepalanya dengan wajah yang basah dan air mata yang masih mengalir. Mata mereka berdua pun bertemu. Dahi pria yang berdiri di depan Aleeya pun mengkerut.

"Wanita bo doh!"

Aleeya mengusap kasar wajahnya yang basah. Dia tahu siapa orang itu. Terdengar helaan napas kasar dan dia pun perlahan mulai berdiri. Dia memalingkan wajah dari pria yang masih menatapnya dengan tajam. Tak ada satu buah kalimat yang keluar dari mulut mereka berdua. Hingga Aleeya memilih untuk meninggalkan pria itu.

Baru saja membalikkan tubuhnya, pria itu mencekal tangan Aleeya. Langkah Aleeya pun terhenti.

"Jangan buang air mata untuk manusia tak berguna."

Aleeya pun menoleh. Pria itu masih menatapnya dengan serius. Aleeya hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Tangan pria itupun perlahan mulai mengendur. Aleeya melanjutkan langkahnya dan pria itu masih menatap perempuan yang memakai jas putih berjalan menjauhi dirinya.

"Apa dia bertugas di sini?"

.

Aleeya membasuh wajahnya yang sembab. Dia menghembuskan napas kasar. Menatap wajahnya di cermin.

"Kenapa dia ada di sini?"

Aleeya harus kembali ke IGD karena ada pasien lagi. Ketika tiba di sana dia bekerja dengan profesional. Meletakkan kesedihannya dan memberikan yang terbaik untuk mereka yang membutuhkan pertolongan darurat.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bukan hanya Aleeya, perawat yang ada di IGD pun menghela napas lega. Tugas mereka hari ini selesai.

"Kerja bagus," ucap Aleeya dengan sebuah senyum.

"Dokter hebat." Lagi-lagi Aleeya hanya tersenyum.

Aleeya sudah berganti pakaian dan sudah waktunya dia pulang. Baru saja keluar dari pintu rumah sakit, senyum seseorang melengkung indah. Seorang pria tampan menghampiri Aleeya.

"Kok, Kak Mirza--"

Mirza meraih kedua tangan Aleeya. Dia menatap dalam wajah adik ipar sahabatnya itu.

"Aku tidak akan mengingkari janjiku."

Aleeya hanya terdiam. Tidak ada getaran apapun di hatinya. Hingga Mirza membawa Aleeya menjauhi rumah sakit. Seseorang di belakang mereka berdua menukikkan kedua alisnya melihat Aleeya dengan seorang pria yang pernah dia lihat sebelumnya.

"Jika, pria itu sudah bersama si bodoh. Kenapa tadi dia menangis?" Pria itu berpikir keras.

.

Grup chat sudah ramai dan mengatakan jika akan ada dokter jaga baru di shift Aleeya bekerja. Aleeya hanya membaca pesan tersebut tanpa membalasnya. Pagi ini tubuhnya terasa tidak enak. Perutnya terasa sakit dan kepalanya sedikit pusing.

Setelah sarapan, Aleeya meminum obat yang selalu dia sediakan. Beristirahat sebentar sebelum dia pergi ke rumah sakit. Mirza pun tak menghubunginya dan itu bisa membuat hidup Aleeya lebih tenang.

Feby yang dekat dengan Aleeya terus memperhatikan Aleeya yang beda dari biasanya. Wajah Aleeya nampak tak bergairah.

"Kak Liya gak apa-apa?" tanya Feby yang tengah berada di ruang ganti bersama Aleeya. Gelengan kepala menjadi jawaban dari Aleeya.

Jas putih sudah Aleeya kenakan. Rambut dicepol ke atas sudah menjadi ciri khas dari dokter cantik itu. Sapaan sopan nan ramah banyak diterima Aleeya. Aleeya dan Feby masuk ke IGD dan ada beberapa pasien yang sudah ditangani, tapi belum dipindahkan ke ruang rawat.

Aleeya duduk di tempat biasa. Mengecek dan mempelajari sakit pada pasien yang masih ada di IGD. Tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat hingga tangannya memegang pelipisnya. Aleeya memejamkan matanya sejenak, berharap sakitnya akan hilang.

"Selamat siang."

Suara seorang pria yang baru masuk ke ruang IGD membuat tenaga medis yang ada di sana termasuk Aleeya menoleh. Pria itu sangat ramah dan menyunggingkan senyum yang sangat manis. Aleeya terkejut hingga pulpen yang ada di tangannya terjatuh.

Pria itupun menoleh ke arah Aleeya. Dia terlihat tidak terkejut. Malah menyunggingkan senyum mengejek kepada Aleeya.

"Saya dokter Khairan Kharisma yang akan bertugas di shift ini."

Matanya masih tertuju pada Aleeya dan itu membuat Aleeya menggelengkan kepala. Semuanya menyapa Khairan, tapi tidak dengan Aleeya.

Sedari tadi Khairan memperhatikan Aleeya yang nampak aneh. Jika, tidak memegang kepala, memegang perutnya. Telepon IGD berdering.

"Pasien anak yang tadi mengalami kejang pindahkan ke ruang rawat."

Aleeya menutup telepon dan mencoba untuk berdiri. Dahi Khairan mengkerut ketika dia melihat tubuh Aleeya yang sulit untuk bangun. Namun, Khairan belum bergerak hingga Aleeya melewatinya menuju pasien yang dimaksud.

"Feb, bawa ke ruang rawat khusus anak." Feby dan perawat yang lain mengangguk.

Setelah pasien dibawa ke ruang rawat, di ruang IGD hanya ada Aleeya dan Khairan. Aleeya yang sudah duduk di tempatnya kini menundukkan kepalanya dengan tangan yang memijat dahi. Wajahnya pun sudah sedikit memucat.

Aleeya terkejut ketika kursinya diputar oleh seseorang. Di depannya Khairan sudah berdiri. Dia menyingkirkan tangan Aleeya dan dia meletakkan punggung tangannya di dahi Aleeya tanpa berkata.

"Gua gak apa-apa." Aleeya mencoba untuk menyingkirkan tangan Khairan di dahinya.

Namun, Khairan malah meletakkan stetoskop di dada Aleeya. Sungguh Aleeya terkejut. Bukan hanya itu, Khairan juga menekan perut Aleeya hingga Aleeya mengaduh. Terdengar decakan dari mulut Khairan.

Dia kembali ke mejanya dan menuliskan sesuatu. Kemudian, merobek kertas tersebut dan memberikannya kepada Aleeya.

"Tebus resep itu di apotek. Terus pulang."

Aleeya tak mengambilnya. Dia masih menatap ke arah kertas yang bertuliskan resep obat.

"Lu sakit, Bo doh!"

Khairan kesal sendiri dan menarik tangan Aleeya dan meletakkan resep itu di telapak tangan Aleeya.

"Lu emang dokter, tapi lu juga manusia yang bisa sakit." Ketus sekali ucapan Khairan kepada Aleeya.

"Gua gak apa-apa."

Aleeya meletakkan resep itu di meja Khairan dan kembali duduk di kursinya. Khairan bangkit dari tempatnya dan meninggalkan Aleeya. Menutup pintu ruang IGD dengan cukup keras hingga Aleeya menghela napas kasar.

"Cobaan apa lagi ini?" keluh Aleeya.

Dia tengah pusing, tapi malah diberikan partner yang membuat kepalanya makin pusing tujuh keliling. Ingin rasanya protes, tapi ini bukan rumah sakit keluarga besarnya. Di mana dia harus patuh pada kebijakan rumah sakit.

Suara pintu terbuka dan kantong plastik putih bertuliskan rumah sakit tempat Aleeya bekerja ada di atas mejanya. Dia menoleh ke arah pria yang sudah berdiri di samping mejanya.

"Minum, dan pulang sekarang. Taksi online udah nunggu lu di luar."

"Tapi--"

Khairan menyerahkan tas Aleeya dan menarik tangan perempuan keras kepala itu. Tak lupa dia memasukkan kantong berisi obat ke dalam tas Aleeya. Menarik lembut tangan Aleeya menuju depan rumah sakit di mana mobil berwarna hitam sudah menunggu Aleeya. Khairan membukakan pintu taksi online. Dia menyuruh Aleeya masuk ke dalam mobil.

"Hari ini dan besok lu harus istirahat. Minum obatnya yang benar. Kalau udah sembuh total baru lu boleh praktek."

Setelah mengatakan itu Khairan menutup pintu mobil taksi online dan itu membuat Aleeya menghela napas kasar.

"Pacarnya perhatian banget, Mbak." Sopir taksi online membuka suara.

"Hah?"

"Mas itu nyuruh saya buat hati-hati bawa mobilnya. Katanya si Mbaknya perutnya lagi sakit. Jalan menuju rumah Mbaknya sedikit jelek, takut perutnya makin sakit."

"Bentar-bentar ... dari mana dia tahu kosan gua?"

...***To Be Continue***...

Komen atuh ...

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!