NovelToon NovelToon

I Want To Change Myself

Anak Itu

Matahari sedang bersinar terik, panas matahari membuat orang merasa enggan untuk keluar, kebanyakan akan diam di rumah dan menikmati sejuknya AC atau Kipas angin.

Tapi meski dengan panasnya matahari, anak-anak akan tetap semangat untuk pergi bermain.

Taman di perumahan tidak pernah sepi kecuali malam hari, bahkan di siang terik sekalipun, anak-anak akan tetap semangat untuk bermain. Namun, sepertinya ada pemandangan yang tidak mengenakkan.

Sekelompok anak sedang mengerubungi seorang anak lainnya, anak itu tampak kecil dan ringkih, pemandangan ini tampak seperti pembullyan jika melihat anak kurus dengan wajah tertunduk itu.

"Kau mau ikut atau tidak?" Seorang anak yang membawa bola bertanya kepada anak di tengah.

"A-a-a-a-ku..."

"Dasar aneh! Ngomong yang benar dong!"

"Dasar membosankan, sudahlah teman-teman, kita pergi saja."

"Iya ayo, tinggalkan saja anak tidak jelas itu."

Rooney, di usianya yang ke-7 tahun, dia sudah sering mendengar berbagai cacian serta makian dari anak seusianya.

Aneh, pemalu, tidak jelas, membosankan. Adalah kalimat yang paling sering didengar oleh anak itu.

Untuk kesekian kalinya, Rooney lagi-lagi ditinggal pergi oleh anak-anak lain, dia dibiarkan tertunduk di taman kompleks pada siang hari yang terik.

Aku juga ingin main, aku juga ingin ikut. Kenapa tidak ada yang mau bermain denganku? Apa karena bicaraku yang terbata-bata?

Rooney serasa ingin menangis, dia hanyalah anak kecil kurus yang ingin bermain dengan teman seusianya. Tapi sayangnya, anak-anak di sekitar Rooney kurang memiliki pemahaman akan dirinya

Sehingga, untuk kesekian kalinya, Rooney hanya bisa menangis sendirian di pojokan taman, ditinggal oleh anak-anak lain, yang bermain dengan riang.

...****************...

Kring Kring Kring

Sebuah jam weker berbunyi di dalam kamar kecil yang gelap, seorang anak yang tidur di dalamnya, terbangun oleh suara jam weker dan dengan malas mematikannya.

Alarm berhenti berbunyi, namun anak itu tidak segera beranjak bangun, ia tetap berbaring sambil menatap langit-langit dan memegang keningnya seolah sedang menghadapi masalah yang berat.

"Hhahhhhhh....." Hembusan napas yang berat dan panjang terdengar dari anak itu.

Dia belum mau beranjak dari kasur seolah-olah kasurnya memiliki gravitasi yang kuat sehingga membuatnya sulit bangun.

"Rooooneeeyyyy... Ayo bangun! Sarapan hampir siap." Suara melengking terdengar dari lantai bawah, memanggil Rooney.

"Hhahhhhh...." Dengan menghembuskan napas berat sekali lagi, Rooney beranjak dari kasur dengan perasaan enggan dan turun ke bawah.

Di dapur rumahnya.

Ibunya sedang sibuk melakukan berbagai hal, mulai dari mencuci piring hingga memasak. Aroma harum masakan tercium dengan jelas.

Rooney duduk di kursi dan merebahkan pipinya ke atas meja kayu, dia tampak lelah seolah baru saja bekerja keras meski dia baru saja bangun tidur.

Ibunya yang melihat Rooney masih bermalas- malasan menjadi kesal.

"Ya ampun Rooney, sudah jam berapa ini!? Kamu bisa terlambat, cepat bersihkan dirimu dahulu baru ke meja makan." Ucap ibunya tanpa berhenti dari pekerjaan memasaknya.

Rooney menjawab dengan wajah mengantuk, "Baik bu." Lalu berjalan dengan lambat ke kamar mandi untuk mandi

Air dingin yang membasuh wajahnya, membuat kesadaran Rooney membaik, wajahnya tampak lebih baik dan tidak sekusut sebelumnya. Walau tetap saja dia terlihat lelah walau ini masih pagi.

Segera setelah dia selesai mandi, Rooney beranjak kembali ke meja makan. Di dapur, ibunya sudah selesai memasak dan mencuci peralatan makan dan sekarang sedang membersihkan dapur yang kotor bekas memasak, entah kapan pekerjaannya selesai.

Rooney duduk di kursi dan mengambil piring untuk menyantap makanan yang ada. Rooney mengambil gelas dan menuangkan segelas susu untuk dirinya sendiri dan meneguknya dalam sekali tegukan, Rooney cenderung tidak pilih-pilih makanan, sehingga tetap menyantap apa pun yang ada tanpa protes.

Ibunya datang setelah selesai membuang sampah keluar dengan wajah lelah.

"Ya ampun, keterlaluan sekali mereka, bisa-bisanya sampah kemarin masih belum diangkut juga. Awas saja nanti, biar kulaporkan mereka!" Ibunya menggerutu dengan kesal ketika kembali, kedengarannya dia sedikit bermasalah dengan petugas kebersihan yang harusnya mengangkut sampah.

Rooney hanya diam tanpa menanggapi, dia hanya melanjutkan sarapannya dengan lambat.

Ibunya bergabung ke meja makan setelah selesai mencuci tangannya.

"Rooney, kamu mau ibu antar atau mau berangkat sendiri saja?" Ibunya bertanya kepada Rooney, namun Rooney tidak menjawab.

Sekali lagi, ibunya bertanya, "Rooney, jawab kalau ibu bertanya dong!"

Nyem Nyem Nyem

Dan Rooney tetap diam mengunyah makanannya dengan lambat.

Gemas karena terus dicueki oleh anaknya sendiri, ibu Rooney menarik pipi Rooney yang menggembung karena makanan.

"Rooneyyyyyyy.... Kalau ibu bertanya jangan dicueki, jawab dong minimal!" Ucap ibunya dengan wajah gemas dan jengkel.

Rooney langsung tersadar dari lamunannya karena cubitan ibunya, dengan mengaduh sakit, Rooney meminta maaf, "Aduh, aduh, sakit. Iya, iya, maaf bu."

"Makanya, jangan kebanyakan melamun, nanti kerasukan loh."

"Itu kan cuman mitos bu."

"Heh! Udah, kalau orang tua ngasih tahu jangan ngelawan terus kamu."

"Iya bu maaf." Rooney akhirnya menyerah untuk berdebat dan meminta maaf sekali lagi.

Mendengar putranya yang tidak lagi keras kepala, ibu Rooney tersenyum senang, "Nah gitu dong, oh iya, mau ibu anterin pake motor atau tidak ke sekolah? Mumpung ibu lagi tidak sibuk."

"Tidak usah bu, aku berangkat jalan kaki saja sendiri."

"Owh yasudah, hati-hati di jalan yah. Liat kanan- kiri kalau mau menyeberang jalan, hati-hati kalau ada mobil, jalan lari-lari, dan juga-"

"Iya bu, aku paham, aku sudah SMA, aku bukan anak kecil yang melakukan hal berbahaya di jalan."

"Ih kamu mah, kalau dikasih tahu selalu tidak mau dengar."

"Iya bu, maaf."

Rooney segera menyelesaikan sarapannya, segera setelah selesai, dia mengambil tas sekolahnya dan berangkat pergi.

"Aku berangkat dulu bu."

"Iya, hati-hati di jalan."

Melihat putranya yang berangkat ke sekolah, ibu Rooney merasa sedikit cemas. Sebagai seorang ibu, dia sudah tahu kalau Rooney memiliki kesulitan dalam bersosial yang membuatnya sulit memiliki teman.

Ibunya ingin tahu bagaimana kehidupan sekolah Rooney, namun sayangnya, putranya itu terlalu tertutup tentang kehidupan sekolahnya, sehingga dia tidak tahu apa pun.

"Hufffttt, aku berharap Rooney memiliki banyak teman yang baik di sekolahnya." Ucap ibu Rooney dengan penuh pengharapan.

Rooney berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, itu bukan perjalanan yang panjang, hanya 10 menit dari rumahnya.

Melewati komplek perumahan tempat tinggalnya, Rooney melihat bagaimana kehidupan berjalan di sekitarnya. Para anak-anak keluar di antar oleh orang tua mereka, para orang tua asyik mengobrol sembari berbelanja di toko atau penjual keliling, orang-orang akan saling menyapa dengan ramah ketika melihat kenalan mereka.

Namun, Rooney seolah berjalan melewati kehidupan itu, tidak ada orang tua yang berada di sampingnya untuk mengantarnya, tidak ada yang menyapanya dengan ramah, dia hanya berjalan melewati itu semua seperti hantu yang tidak terlihat oleh siapa pun.

Bagi orang lain tentu ini menyedihkan, tapi Rooney meyakinkan dirinya sendiri dengan satu hal.

Beruntung, aku ini beruntung.

Dengan tidak ada yang menyapanya, Rooney tidak perlu memikirkan kata-kata untuk basa-basi dengan orang yang tidak terlalu akrab dengannya. Dengan begitu, dia tidak pernah berada pada situasi canggung dimana seorang tetanggal yang tidak terlalu akrab menyapanya.

Di sekolah pun sama, bahkan sebelum memasuki gerbang, para murid yang saling mengenal dengan akrab langsung menempel satu sama lain sambil tertawa riang dan mengobrol tentang berbagai hal.

Rooney pun berpikir dia itu sangat beruntung, tidak ada yang mengganggunya saat masih lelah di pagi hari.

Lagipula, bercanda di jalanan itu berbahaya.

Rooney juga sangat beruntung pada pembagian tempat duduk, dia mendapat tempat di paling belakang tanpa teman sebangku karena murid di kelasnya ganjil.

Dengan begini, tidak ada teman sebangku yang akan mengganggu. Ditambah, guru tidak akan tahu jika aku sedang tidur.

Rooney sangat beruntung, guru jarang sekali memanggil namanya untuk mengerjakan soal, dia hanya sering dipanggil saat absen.

"Andre, ayo maju dan kerjakan soal ini."

"Jangan saya dong bu, saya belum paham soal ini."

"Jangan banyak alasan, cepat maju."

"Yahhh Bu."

"Ahahahahahahaha."

Disaat teman sekelasnya dipanggil maju hingga membuat seisi kelas tertawa, Rooney bisa tidur dengan tenang jika mengantuk tanpa khawatir akan dipanggil.

Benar, aku beruntung.

Rooney juga tidak pernah kesulitan mendapat bangku dan meja untuk makan di kanting, sepasang kursi dan meja yang sudah reyot di pojok kantin tidak pernah terisi, kecuali oleh Rooney.

Disaat anak lain makan sambil bercanda, saling berebut makanan satu sama lain untuk menjahili temannya, Rooney selalu bisa makan dengan tenang tanpa peduli gangguan.

Aku beruntung, dengan begini tidak akan ada yang meminta makananku.

Dengan menjadi transparan di sekolah, Rooney juga selalu bebas setiap saat, tidak ada anak yang akan mengganggunya saat sedang ke toilet, tidak ada yang akan mengganggunya di kelas, tidak ada yang akan membuatnya kesulitan karena meminta tolong padanya, dia juga bisa fokus pada pelajaran di sekolah tanpa terganggu oleh bercandaan anak lainnya.

Ya, dia sangat beruntung, atau setidaknya itulah yang dia yakini.

"Sial... Ini sangat menyakitkan... Aku tidak mau sendiri terus. Beruntung apanya!? Hanya enak sesekali saja, jika sendiri terus seperti ini rasanya terlalu menyakitkan."

Jauh di lubuk hatinya, Rooney tidak menyukai hal ini. Dia memang tidak terlalu suka bersosialisasi, tapi bukan berarti dia tidak mau bersosialisasi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Rooney juga ingin sesekali merasakan pengalaman bermain dengan teman seusianya.

Walau sudah meyakinkan dirinya sendiri setiap harinya, Rooney tetap tidak bisa membohongi dirinya sendiri.

Di belakang sekolah yang sepi, Rooney tidak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri atas ketidakmampuannya untuk bersosialisasi.

"Sial! Kenapa aku selalu gugup di depan orang lain? Kenapa aku tidak bisa menjadi diri sendiri di hadapan orang lain!? Sial, sial, sial! Hiks..." Dengan terisak, Rooney tetap mengutuk dirinya sendiri.

Tentu saja, Rooney pernah berusaha untuk berubah, saat pertama masuk SMP, Rooney sengaja memilih SMP yang jauh agar tidak bertemu orang yang mengenalnya dengan buruk.

Namun, orang dengan lingkungan berbeda, memiliki kebiasaan yang berbeda. Hanya dengan mendengar topik yang mereka obrolkan saja, Rooney sudah merasa minder, dia tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sehingga dia terpaksa mengakhiri masa SMP-nya dengan sendirian lagi.

Ketika masuk SMA, Rooney memilih SMA yang dekat karena berpikir terlalu sulit untuk bertemu orang yang terlalu berbeda.

Namun, dia justru mengalami kecelakaan saat ke sekolah dan berakhir melewati MOS yang padahal bisa menjadi kesempatan emas baginya untuk mendapatkan teman.

Dan ketika masuk, semua anak di kelasnya sudah membentuk kelompok tanpa ada celah baginya untuk masuk.

Sudah 1 semester Rooney lalui tanpa memiliki teman, rasanya menyakitkan terus melalui hari bagaikan hantu dan hanya bergantung pada pemikiran bahwa dirinya beruntung walau sebenarnya itu bertentangan dengan hatinya sendiri.

Rooney duduk dengan penuh rasa kesedihan, dia merapatkan kedua kakinya, dan membenamkan wajahnya kedalamnya.

Aku ingin memiliki teman. Pikir Rooney dengan penuh frustasi.

Percakapan Pertama

Jam 12 malam.

Waktu dimana anak-anak remaja sudah tertidur karena esok paginya mereka harus bersekolah, karena itu mereka perlu tidur yang cukup agar tidak mengantuk di sekolah besoknya.

Namun, ada beberapa anak yang tidak tidur meski lewat tengah malam. Mereka biasanya terdiri dari remaja nakal yang masih asyik dengan gadget dan game online mereka atau remaja ambis yang masih belajar demi mendapatkan nilai yang bagus dan diterima di universitas bergengsi.

Dan ada satu remaja yang melakukan hal yang tidak biasa, mungkin ada seorang remaja dengan kesulitan bersosialisasi yang rela begadang hingga pagi hanya demi belajar cara untuk bersosialisasi.

"Hmm... Jadi ini game yang biasa trend di kalangan anak laki-laki."

Dan disinilah Rooney, sibuk membaca artikel tentang hal-hal yang trend di kalangan remaja laki-laki demi bisa berbaur dengan yang lainnya.

Inilah yang membuatnya mengantuk belakangan ini karena sibuk mencari topik obrolan yang biasa diperbincangkan oleh anak-anak sekolahnya.

Bermodalkan satu buah smartphone dan wifi yang dipasang oleh ibunya, Rooney rajin mencari berbagai hal trend di kalangan remaja agar bisa mengikuti topik obrolan. Walau hanya menumpuk karena belum dia pakai.

"Oh! Ada group yang membahas tentang sepak bola. Tunggu, kenapa isinya hanya saling ejek Ro***do dan Me**i? Apa lagi ini, 'Piala dunia Me**i itu hanya settingan' Apa ini topik yang biasa dibicarakan? Masukin dulu saja ke catatan."

Game online, sepak bola, basket, gosip-gosip artis, makanan, challenge internet, hingga fashion pakaian yang sedang trend dicari oleh Rooney dan dia simpan ke dalam catatan smartphonenya untuk dia pakai mengikuti obrolan. Walau sampai sekarang dia masih belum mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam percakapan.

Rooney selalu asyik sendiri mencari topik obrolan seperti ini walau belum mempraktekkannya sampai sekarang. Dan baru akan tertidur saat jam 3 pagi.

Beruntung bagi Rooney, dia adalah tipe yang bisa bangun pagi meski kurang tidur meski efeknya dia akan sangat lelah dan mengantuk.

...****************...

Di sekolah saat jam istirahat makan siang.

"Hoammmm..." Rooney menguap sendirian di bangku belakang efek dari kurang tidur selama beberapa hari ini.

Suasana kelas masih sama seperti biasanya, penuh dengan suara obrolan, kunyahan dan dentingan sendok serta garpu.

Rooney sedang malas ke kantin, dia merasa terlalu lelah untuk berjalan ke kantin belakang dan memilih untuk makan roti yang kebetulan dia bawa tadi pagi.

Aku membawanya karena akan basi besok, tidak disangka akan pas sekali.

Rooney membuka bungkus roti isi selai stroberi yang tanggal kadaluarsanya sudah dekat dan bersiap menyantapnya sebelum...

Pluk

Sesuatu mendarat ke kepala Rooney dan disusul dengan permintaan maaf yang terdengar tergesa- gesa.

"Waduh, maaf, maaf, sosisnya tidak sengaja terlempar." Seseorang meminta maaf dari arah belakang Rooney.

Rooney mengambil benda yang terlempar ke atas kepalanya dan melihat benda apa itu. Itu adalah sebuah sosis goreng biasa.

"Waduh maaf yah, woy zi! Minta maaf sini, gara-gara lu tadi!"

"Ahahahahaha... Apaan sih, kan elu yang tadi ngelempar sosisnya."

"Gak bakal kelempar kalau tadi lu gak bercanda kayak gitu."

Rooney menengok ke belakang, dan orang yang sangat dikenal Rooney meski sayangnya orang itu tidak mengenal Rooney berdiri di belakangnya.

Roy, anak paling gaul dan terkenal di kelasnya. Tampan, pintar, atletis dan mudah bergaul, walau terkenal nakal karena sering membuat ulah sehingga sering bolak-balik masuk BK. Dia masuk ke dalam kelompok anak-anak gaul di kelas, atau lebih tepatnya, dialah yang membentuk kelompok anak-anak gaul dan secara alami membuat yang lainnya masuk.

Rooney selalu ingin bisa masuk, tapi dia selalu kesulitan karena gaya bahasa mereka yang berbeda dengan Rooney. Rooney takut jika dia akan ditertawakan karena masih memakai "Aku" "Kau" atau "Kamu"

Roy dan teman-temannya biasa berkumpul di belakang kelas dan makan bersama-sama sambil bercanda.

Sepertinya sosis yang terbang ke atas kepala Rooney adalah hasil candaan mereka.

"I-ini." Rooney menyodorkan sosis goreng Roy kearahnya.

Tapi Roy malah tertawa kencang melihatnya, "Ahahahaha, ngapain lu ngasih lagi, sudah buang saja." Teman-teman Rooney ikut tertawa melihatnya.

Rooney menjadi malu karena ditertawakan oleh mereka, dia buru-buru mengambil tisu untuk membungkus sosis goreng itu dan nantinya akan dia buang ke tempat sampah.

Puas setelah tertawa, Roy tersenyum aneh, dan mengucapkan hal yang sangat mengejutkan.

"Omong-omong, lu sendirian saja nih? Mau ikut gabung makan kagak?"

Rooney melongo, ini adalah pertama kalinya ada yang mengajak dia untuk makan bersama, tentu saja Rooney mau untuk makan bersama mereka.

Makan bersama? Kalau begitu, aku bisa menggunakan semua topik yang sudah aku kumpulkan. Apa dengan begitu aku bisa masuk ke kelompok mereka? Apa mungkin aku juga akan diajak main keluar? Ke mall? Bioskop? Apa aku akan jadi lebih dikenal juga?

Rooney langsung mengkhayal mendengar tawaran Roy, pikirannya terbang membayangkan hal-hal menyenangkan yang mungkin akan terjadi jika dia menerima tawaran Roy.

Pikirannya berkata "Iya!" Namun mulutnya malah menjawab.

"Tidak usah, aku makan disini saja."

"Oh yasudah, selamat makan." Roy beranjak pergi kembali ke tempatnya.

Rooney berbalik dan memegang rotinya, dia tampak tenang, namun...

Akhhhhhhhhh.....!!!!! Kenapa aku tolak!? Padahal tadi itu kesempatan emas, akkkhhhhhhh!!!!! Dasar mulut nakal! Kenapa kau tidak bisa mengikuti kata hatiku sih!?

Rooney merasa ingin memotong lidahnya yang gagal bersuara yang mengakibatkan hilangnya kesempatan emasnya itu.

...****************...

Jam pelajaran ke-4, Biologi.

Pelajaran Biologi kali ini akan belajar mengamati tumbuhan secara langsung keluar, karena itu kelas Rooney berbondong-bondong keluar dengan perasaan riang karena bisa keluar dari kelas yang sesak.

"Akhirnya bisa keluar dari kelas."

"Keluar juga dari tempat membosankan itu."

"Asyikkkk... Belajar di luar."

Semuanya senang, kecuali Rooney. Dia berjalan dengan perasaan lesu karena terus teringat dengan kesempatan yang gagal dia ambil saat istirahat makan siang.

Akhhh... Kenapa sih aku malah menolaknya!? Kesempatan seperti tadi tidak mungkin datang dua kali.

Keluh Rooney dalam hatinya, dia dengan tidak semangat mendengarkan gurunya menjelaskan karakteristik dari pohon mangga.

Rooney masih menyesal karena melewatkan kesempatan emas yang tidak mungkin terulang lagi, atau mungkin tidak?

"Baiklah anak-anak, sekarang bentuk kelompok berisi 4 orang. Tugasnya adalah menggambar pohon mangga lalu kemudian tuliskan bagian- bagian dari pohon mangga dan tuliskan karakteristiknya sesuai dengan yang sudah ibu jelaskan tadi."

"Yahhh... Bu, jangan digambar dong, susah."

"Diam Wahyu, kalau protes terus nanti ibu tambah lagi tugas kamu."

"Yahhhh... Bu, jangan dong."

Semua murid tertawa mendengar Wahyu yang diancam oleh ibu guru.

Lalu dalam sekejap, semuanya sudah saling membentuk kelompok dengan teman akrab masing-masing, atau dengan orang yang pintar.

"Eh, elu sama gua dong."

"Woy Ndra, lu jago gambar kan? Sama gua aja yuk."

"Ayu, kamu sama aku aja yah."

"Ogah gua sama lu, sering gak mau kerja elu mah."

Semuanya saling sibuk mencari kelompok mereka, kecuali Rooney dan beberapa anak lain yang kurang bisa berbaur di kelas.

Sudahlah, gabung dengan anak-anak yang tersisa nanti.

Tapi, ada satu hal yang sama sekali tidak disangka oleh Rooney.

Roy menghampiri Rooney dan berkata.

"Hei, mau gabung dengan kelompok kami? Pas sekali kurang 1 orang."

Rooney membeku, dia tidak pernah menyangka kalau Roy akan mengajaknya bergabung.

Kelompok Roy memang ganjil yaitu 7 orang, karena itu biasanya saat pembagian kelompok seperti ini, mereka akan membagi kelompok mereka menjadi 2 dan mengajak orang luar untuk bergabung bersama mereka.

Tapi Rooney tidak pernah menyangka kalau dia yang akan diajak bergabung.

Rooney membeku, dia tidak bisa menjawab jika ditanya tiba-tiba seperti ini.

Serius ini? Kesempatan emas datang 2 kali pada hari yang sama? Apa nanti saat pulang aku akan tersambar petir? Tidak! Yang lebih penting adalah kali ini aku harus bisa menjawab 'Iya'.

Rooney memaksa lidahnya bergerak, hanya demi mengucapkan satu kata sederhana, 'Iya' hanya satu kata itu saja.

"I...." Dengan susah payah Rooney mengucapkan huruf pertama.

Namun...

"Ey Roy, lu kurang orang kan? Gua boleh gabung?"

"Tadinya gua mau ngajak dia sih, tapi kayaknya dia gak mau. Yaudah ayo."

Seseorang muncul dan kembali merebut kesempatan emas Rooney. Membuatnya mematung sendirian setelah berkelahi susah payah dengan dirinya sendiri.

Sial.

Rooney pun berakhir bersama dengan kelompok yang berisi anak-anak yang sama dengannya.

...****************...

Teng Teng Teng

Bel sekolah berbunyi sebagai tanda berakhirnya sekolah, murid-murid pulang dengan senang setelah seharian berada di ruang kelas.

Ya, semuanya kecuali satu orang.

"Gagal lagi hari ini." Ucap Rooney dengan kecewa.

Rooney pulang dengan perasaan kecewa dan lesu karena gagal untuk bersosialisasi lagi hari ini.

Usahanya mencari topik percakapan berakhir dengan sia-sia lagi setelah dia dengan bodohnya membuang 2 kesempatan emas untuk bisa bergaul dengan anak paling gaul di kelasnya.

"Bisa-bisanya aku membuang kesempatan emas 2 kali, sepertinya lidahku ini memang terkutuk." Rooney tidak henti-hentinya menggerutu dan mengutuk lidahnya sepanjang perjalanan ke gerbang sekolah.

Keluar dari gedung kelasnya, Rooney melihat seseorang yang sedang mencari sesuatu di taman sekolah yang sebelumnya dipakai untuk belajar biologi.

Biasanya Rooney akan pergi tanpa peduli, tapi kali ini berbeda, karena orang yang sedang ada di taman itu adalah Roy.

Dan Roy sedang sendirian tanpa kelompoknya.

Rooney berpikir ini adalah kesempatan emas terakhirnya, dia sudah gagal 2 kali, dan mungkin ini adalah kesempatan ke-3nya sekaligus yang terakhir.

Walau lidahnya sulit untuk berbicara hal yang dia inginkan, tapi Rooney masih bisa memaksa badannya untuk bergerak.

Rooney pun pergi ke tempat Roy, disana Roy sedang mencari sesuatu di rumput dan semak-semak dengan ekspresi gelisah.

Roy yang menyadari keberadaan Rooney segera berbalik untuk melihatnya, ekspresinya Roy tampak sangat menyedihkan. Dia seperti anak kecil yang ditinggal oleh orang tuanya.

"Ada apa?" Tanya Roy dengan suara bergetar.

Rooney gagal 2 kali karena lidahnya yang kaku, tapi pada kesempatan ke-2 dia hampir berhasil sehingga kali ini dengan sedikit paksaan...

"Ma-mau kubantu?" Tanya Rooney dengan sedikit terbata-bata.

Ekspresi Roy berubah menjadi sedikit lega, "Lu mau bantu? Beneran?"

Rooney mengangguk sedikit.

"Kalau begitu tolong bantu cari gelang gua yang warna hitam. Tadi pas pelajaran biologi hilang."

Tanpa bertanya lagi, Rooney melepas tasnya dan menaruhnya di bangku taman dan menggulung celananya.

Kemarin baru hujan, karena itu rumput taman sangat basah.

Mengabaikan sensasi lembab dan basah, Rooney mencari gelang Roy dengan giat. Dia bertekad untuk tidak membuang kesempatan terakhirnya.

10 menit mereka mencari, hasilnya nihil.

Roy tampak semakin gelisah, bahkan dia terlihat seperti akan menangis karenanya.

Kemudian, Rooney merasakan sesuatu yang keras di dalam genangan air, dengan keyakinan bahwa itu gelang Roy, Rooney menariknya.

Dan benar saja, itu adalah gelang manik-manik Roy yang berwarna hitam.

Rooney segera memanggil Roy, "A-Ada."

Melihat gelangnya di tangan Rooney, Roy langsung menghampiri Rooney dengan ekspresi takut bercampur lega.

Roy segera memegang gelangnya untuk memastikannya. Segera setelah dia yakin, Roy langsung memeluknya.

"Syukurlah bisa ketemu, aku sudah takut akan hilang."

Rooney tidak bisa berkata-kata melihatnya.

"Terimakasih, terimakasih sekali, ummm..."

"Rooney, Rooney Smith." Ucap Rooney dengan lebih lancar.

"Oh iya, terimakasih Rooney. Asli, makasih banget sudah bantuin nyari. Lu butuh apa buat bayarannya?"

"Ti-tidak usah."

"Beneran? Wah, lu baik banget ternyata. Tidak seperti teman-teman gua, saat gua minta mereka untuk bantu nyariin, mereka malah nolak. Mereka bilang 'Relain saja, cuman gelang biasa doang' padahal mereka tahu seberapa penting gelang ini bagi gua."

Rooney cukup penasaran dengan kisah dibalik gelang itu, tapi dia menahan dirinya sendiri karena merasa itu terlalu sensitif.

"Oh iya, kenalkan, gua Roy Valencia, sekali lagi makasih. Walau lu bilang gak usah, lain kali gua bakal traktir makanan enak di kantin." Ucap Roy sambil menyodorkan tangannya yang penuh lumpur.

Walau disodorkan tangan yang kotor oleh lumpur, Rooney tanpa ragu menjabat tangan Roy.

Melalui kejadian tadi, mereka jadi banyak mengobrol, atau lebih tepatnya Roy lah yang paling banyak berbicara sementara Rooney kebanyakan mendengarkan.

Mereka berdua pergi untuk mencuci tangan, dan Roy terus berbicara sepanjang perjalanan hingga saat sedang mencuci tangan. Rooney tidak banyak berbicara, dia hanya sesekali menanggapi perkataan Roy, disinilah pengetahuan Rooney tentang hal-hal trend menjadi berguna. Walau tidak bisa mengobrol seutuhnya, tapi Rooney masih bisa menanggapi beberapa pertanyaan.

"Hadeh, akhir-akhir ini gua sedih dan kesal banget karena klub favorit gua kena bantai lagi sama klub yang sama."

"Sayang sekali memang, kalah 2 kali di final."

"Iya, padahal Ro***do sudah pindah, tapi Re*l Ma**rid masih kuat banget nih."

Hanya obrolan ringan yang mereka bicarakan, tapi hal ini sudah membuat Rooney senang karena merasa seperti remaja normal.

Percakapan mereka berlanjut hingga mereka berpisah di gerbang sekolah.

"Sampai besok Rooney." Ucap Roy sambil melambaikan tangannya.

"I-Iya... Sampai besok." Balas Rooney sambil melambaikan tangan dengan pelan.

Rooney pun berjalan pulang, hari sudah sore dan matahari hampir terbenam. Tapi perasaan Rooney sangat senang seperti matahari yang baru terbit.

Tidak kusangka bisa berbicara sebanyak itu dengan Roy, ini pencapaian yang sangat besar. Akhirnya aku bisa melangkah maju!

Rooney sangat senang hingga tidak melihat ke depan. Dia tidak menyadari ada jalanan yang baru selesai di cor dan masih sangat basah.

Pluk

Kaki Rooney menginjak jalanan yang baru selesai di cor itu, kaki Rooney tenggelam ke dalam jalanan yang baru selesai di cor itu.

Dengan panik Rooney mengangkat kakinya dan berjalan mundur. Melihat kondisi sepatunya yang sudah kotor, Rooney memilih untuk melepasnya saja. Dia lalu duduk di pinggir jalan untuk melepas sepatunya.

Tapi, dia malah tidak sengaja menduduki kotoran kucing yang membuat celananya menjadi bau.

Sepertinya, keberuntunganku sudah habis dipakai untuk berbicara dengan Roy.

Makan Bersama.

Pagi yang cerah datang, anak-anak remaja berangkat ke sekolah dengan setengah hati. Banyak yang masih mengantuk karena begadang semalaman, entah bermain game atau belajar.

Tentu saja Rooney termasuk.

"Hoammmm... Masih ngantuk."

Rooney berangkat dengan perasaan senang dan lelah yang tercampur, walau sudah mencapai kemajuan besar setelah mengobrol dengan Roy, ada satu alasan yang membuatnya tetap lelah.

"Uuuuhhhh... Kemarin dimarahi habis-habisan oleh ibu."

Ya, salah satu hal yang paling sering dialami oleh setiap remaja. Dimarahi oleh orang tua mereka.

Pulang dengan keadaan sepatu kotor oleh semen dan celana oleh kotoran kucing, tentu saja Rooney berakhir dimarahi oleh ibunya.

"Kok bisa kayak gini sih!? Kamu habis ngapain sih? Ini kan celana masih dipake besok, kamu nyuruh ibu nyuci celana kamu malam-malam? Sepatu juga, haduhhhhh.... Susah dibersihin kalo gini."

Rooney hanya menunduk dan meminta maaf mendengar omelan ibunya. Tentu saja dia merasa bersalah karena membuat ibunya repot, tapi mau bagaimana lagi, dia sendiri tidak sengaja atau pun berniat untuk mengotori sepatu dan celananya.

Rooney masuk ke gerbang sekolah, banyak diantara anak sekolahnya yang juga datang dengan keadaan mengantuk dan lelah. Setidaknya ini membuat Rooney menjadi tidak merasa bahwa dia satu-satunya yang berbeda.

Rooney pun berjalan dengan santai dan tidak terburu-buru, dia sudah terbiasa dengan hal ini, berjalan sendirian tanpa menyapa murid yang lainnya.

Atau, begitulah yang dia pikirkan.

"Euy, sendirian saja lu."

Seseorang tiba-tiba merangkul pundak Rooney. Dari suaranya, Rooney tahu siapa orang itu, meski begitu dia tetap berbalik untuk melihatnya.

"Oy, apa kabar?" Yap, dia adalah Roy, si anak paling gaul yang menjadi akrab dengan Rooney karena satu kejadian.

"Selamat pagi Roy." Sapa Rooney dengan pelan. Walau Roy mencoba akrab dengannya, Rooney masih belum terbiasa dengan keramahan yang ditunjukkan oleh Roy.

"Iya, selamat pagi. Omong-omong, lu selalu sendirian gini yah setiap hari?"

"Iya."

"Sayang banget, gak seru kalau sendirian terus. Kalau lu lihat gua, langsung sapa saja, gak usah ragu buat nyapa."

"Beneran?" Tanya Rooney dengan nada tidak percaya.

"Bener lah, ngapain juga bohong."

"Umm... Ok."

"Hehe." Roy menyeringai.

Rooney tidak bisa membalasnya selain dengan senyuman yang canggung. Mereka berdua pun akhirnya masuk ke dalam kelas bersama.

Saat mereka masuk ke dalam kelas, teman-teman Roy sudah berkumpul dan asyik mengobrol. Tapi obrolan mereka langsung terhenti ketika Roy masuk. Dengan wajah gembira, mereka langsung menyapa Roy.

"Oy Roy, kemarin lu jadi buat nyari gelang lu yang hilang?" Sapa salah satu dari mereka.

Roy dengan ceria membalas mereka sambil berjalan ke arah teman-temannya, meninggalkan Rooney.

"Iyalah jadi, pengkhianat kalian, gua minta bantu malah kabur semua."

"Yahahahaha... Yah gimana bro, kemarin gua perlu pulang cepet-cepet."

"Halah, bilang saja tidak setia kawan."

Rooney melihat mereka dengan tatapan yang iri. dia ingin ikut bergabung dengan Roy, tapi untuk ikut bergabung dengan obrolan kelompok besar seperti itu, masih terlalu sulit bagi Rooney.

Rooney pun langsung pergi ke bangkunya.

"Oh iya, berarti lu nyari sendiri sampe sore?"

"Ya tidaklah, kemarin dibantuin sama Rooney, oy Rooney kesini." Roy memanggil Rooney tanpa menyadari bahwa Rooney sudah duduk dibangkunya terlebih dahulu.

Melihat Rooney yang sudah duduk dan mengabaikannya, Roy merasa sedikit heran dan bingung, teman-temannya pun juga bingung.

"Beneran lu dibantu sama dia? Padahal anak itu terkenal cuek loh. Tidak pernah mau ikutan kegiatan kelas, dipanggil atau diajak main juga sering diem aja."

"Bener kok, gua kemarin dibantu sama dia. Dia emang rada pendiem, tapi tidak separah itu deh." Roy sangat membela Rooney.

Namun, Rooney tidak sempat mendengarnya, dia terlanjur duduk dan tidur di kursinya karena mengantuk.

-Pelajaran pertama.

Seperti biasa, Rooney merasa sangat bosan karena sudah belajar tentang pelajaran ini. Walau sudah tidur sebelum pelajaran dimulai, dia masih sedikit mengantuk.

Rasa bosan ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus dari jendela di sebelahnya, membuat Rooney mengantuk.

Rooney berpikir untuk tidur, tapi entah kenapa dia merasa sayang jika tidur sekarang. Dia melihat ke sekeliling, ke arah teman sekelasnya.

Berbeda dengan dirinya, teman sekelasnya tidak mengantuk karena mereka bisa bercanda dengan teman sebangku mereka.

Ada yang bermain kartu sembunyi-sembunyi, ngobrol pelan-pelan, bermain teka-teki di kertas bahkan ada yang sedang makan.

Irinya... Tidak sepertiku yang kebosanan sendirian di belakang sini.

Rooney mengeluh, dia berharap ada sesuatu atau seseorang yang akan membuatnya tidak bosan. Dan sepertinya harapannya itu akan terkabul.

Ctakkk

"Aww." Ran mengerang pelan.

Ada sesuatu yang menabrak lengannya dengan kecepatan tinggi. Rooney melihat apa yang baru saja menabraknya, dan itu merupakan sebuah karet beserta kertas yang dijepit oleh karet itu.

Rooney melihat kesekelilingnya untuk mencari tahu siapa yang menembakkan karet itu. Dan ketika melihat Roy yang duduk di baris sebelah Rooney dan berada lebih depan 2 bangku dari tempat Rooney, Roy melihat balik ke arah Rooney dan menyeringai sambil membuat simbol peace. Dari situ, Rooney tahu siapa pelakunya.

Dengan penasaran Rooney membuka kertas yang ditembakkan oleh Rooney secara perlahan agar tidak ketahuan oleh guru.

Ketika dibuka, kertas itu berisikan tulisan yang menceritakan sebuah anekdot.

Kemarin gua beli obat tidur di apotek, pulangnya gua jalan pelan-pelan karena takut obatnya kebangun.

"Pffttt." Rooney tertawa kecil membaca anekdot tersebut.

Anekdot tersebut adalah bercandaan receh yang sering muncul dalam obrolan bapak-bapak. Tapi Rooney yang tidak punya pengalaman bercanda dengan teman sebelumnya, bisa tertawa hanya dengan bercandaan receh seperti itu.

Roy ikut tertawa melihat Rooney yang tertawa kecil. Dia berbalik dan mengambil sesuatu di laci mejanya, itu adalah sebuah kertas berisikan sebuah gambar.

Wajah botak plontos dengan ekspresi wajah menggembung kesal seperti orang yang sedang ngambek, nama guru mereka yang saat ini sedang mengajar di depan kelas tertulis di gambar itu. Lalu Roy mempraktekkan wajah di gambarnya, dia menggembungkan pipinya, alisnya naik hingga tampak seperti orang yang marah.

"Pffffttt... Euphhh... Ehehehe..." Rooney hampir tertawa kencang melihat wajah gurunya yang diejek oleh Roy.

Rooney tahu itu tidak baik, tapi dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa ketika melihat wajah dengan ekspresi konyol yang dilebih-lebihkan oleh Roy.

Roy seperti tidak puas mengejek, dia menggoyang-goyangkan kepalanya sambil menggerakkan bibirnya seperti orang yang sedang mengomel.

"Bwuuuhhh..." Rooney melepas tawanya, dengan susah payah dia menutup mulutnya dan menunduk agar tidak ketahuan oleh guru.

Tapi Roy tidak peka, dia tetap membuat ekspresi mengejek tanpa sadar bahaya yang sedang mendekat.

"Roy.... Lagi ngapain kamu!?" Suara yang mengintimidasi terdengar dari belakang Roy.

Roy kaget hingga lupa untuk melepas ekspresinya sebelum menengok ke belakang.

Ya, gurunya berdiri di belakang Roy dengan ekspresi marah dan jengkel sambil memegang tongkat rotan.

"Bagus... Lagi belajar lagi malah bercanda. Enak yah kamu!? Seru yah!? Itu apaan lagi? Sini kasihin." Gurunya merampas paksa kertas bergambar wajahnya dari Roy.

Hanya dalam sepersekian detik, ekspresinya bertambah marah melihat namanya di gambar buatan Roy.

"Royyy!!!! Apaan ini!? Kamu mengejek saya yah!? Lucu buat beginian Hah!?" Teriak gurunya dengan lantang hingga terdengar oleh satu kelas.

Roy tidak bisa membela, dia hanya membalas dengan, "Hehe..." Namun dia lupa untuk melepas ekspresinya yang konyol.

Gurunya bertambah marah, tanpa memberi toleransi dia menjewer telinga Roy dan menariknya keluar kelas, "Lucu yah kamu hah!? Sini ikut bapak ke BK!"

"Ahhhhhh... Ampun pak..."

Brak

Pintu kelas terbuka dan tertutup kembali dengan kasar.

Tapi tak ada satu pun yang kaget, malahan semuanya tertawa karena merasa sudah biasa dengan situasi ini.

"Hehehehe... Kena lagi tuh anak."

"Tidak ada kapok-kapoknya yah anak itu."

"Mantap! Jam kosong!"

"Haduh... Sudah dibilangin berkali-kali juga."

Tapi tidak bagi Rooney, dia tidak bisa tertawa atau mengacuhkan hal ini karena sifatnya sendiri dan satu hal.

Waduh... Karena aku, Roy jadi dihukum.

-Jam makan siang.

Roy baru kembali setelah diseret ke ruang BK, walau baru saja kembali dari BK, tapi dia tampak tidak lelah atau pun takut. Sebaliknya, justru dia tampak ceria dan bersemangat.

Teman-teman Roy menyambutnya dengan canda tawa.

"Yahahaha, kena lagi lu."

"Buset dah Roy, tidak ada kapok-kapoknya lu diseret ke BK."

"Yoi bro, sudah langganan, jadi biasa saja. Lagian disana cuman dimarahi dan diceramahi dikit doang. Tidak sampe dipanggil orang tua. Biasa saja, toh gak bakal sampe dikeluarin dari sekolah."

"Wah mulai sombong nih, awas loh, nanti beneran dikeluarin dari sekolah baru nangis-nangis."

Melihat Roy yang tetap ceria, Rooney merasa sedikit lega. Tapi dia ingin tetap meminta maaf karena secara tidak langsung sudah membuat Roy berada dalam kesulitan.

Tapi, Roy yang sedang bercanda dengan teman- temannya terlihat tidak memberikan celah bagi orang asing untuk masuk.

Sama seperti tadi pagi, Rooney sadar bahwa dia hanyalah orang asing yang tidak pantas untuk masuk dalam kelompok pertemanan mereka. Menyadari fakta itu, Rooney merasa sedikit sakit hati.

Irinya... Seandainya aku juga bisa ikut bergabung dengan mereka, pasti sangat menyenangkan.

Tahu jika dirinya akan terus merasa sakit jika tetap diam di dalam kelas, Rooney berniat pergi ke kantin untuk sekalian makan siang.

Ketika Rooney melewati Roy yang sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya, Roy mencegatnya.

"Eh? Mau kemana Rooney?"

Rooney kaget karena tiba-tiba dihentikan, dia tidak menyangka jika Roy akan menyadarinya.

"Ah, mau makan ke kantin." Jawab Rooney dengan sedikit rasa bingung.

Dan yang mengejutkannya, Roy juga memasang ekspresi bingung di wajahnya.

"Lah? Ngapain? Makan disini aja bareng-bareng, daripada di kantin ramai banget. Mending disini saja lebih enak. Mending beli makan di kantin terus ke kelas saja, makan sama kita-kita."

Rooney sangat terkejut hingga berkata-kata, tawaran makan siang Roy bak undangan makan malam di sebuah restoran mewah yang hanya bisa dipesan jauh-jauh hari. Sebuah kesempatan emas yang tidak mudah diperoleh.

Tentu saja Rooney ingin mengambil kesempatan itu, baginya ini adalah kesempatan yang bagus untuk melatih kemampuan sosialisasinya.

Ini harus kuterima, bilang saja beli makanan di kantin dan akan dibawa ke kelas.

Rooney memantapkan hatinya untuk menerima tawaran Roy. Namun, hatinya goyah ketika melihat tatapan teman-teman Roy.

Tatapan mereka terlihat seperti melihat orang asing dan merasa tidak nyaman, rasa bingung dan penolakan terlihat jelas dari sorot mata mereka.

Walau mereka hanya diam, Rooney serasa mendengar kalimat-kalimat penolakan dari mereka.

Apaan sih? Ngapain ngajak anak itu?

Males banget makan sama dia.

Dia emang siapa?

Deg Deg Deg

Jantung Rooney berdebar kencang karena ketakutan. Dia takut jika dirinya tidak akan diterima oleh mereka.

Karena itu, Rooney mengubah keputusannya.

"Tidak usah, aku lebih nyaman makan di kantin, lain kali saja yah. Sampai jumpa." Ucap Rooney dengan perasaan tidak enak.

"Owh, begitu, yasudah kalau lebih suka di kantin. Tapi lain kali kita makan bareng yah."

Rooney sudah keburu pergi sebelum membalas ajakan Roy, dia tidak mau melihat tatapan teman- teman Roy lagi.

Sayang sekali... Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak kuat melihat tatapan seperti itu.

-Di kantin.

Seperti biasa, Rooney memesan makanan yang biasa dia pesan dan pergi duduk di kursi yang biasanya.

Ini sudah biasa, tapi Rooney masih merasa sakit dan menyayangkan satu hal.

Makanan yang dia makan menjadi tidak terasa enak, rasanya hambar karena perasaannya yang buruk. Tatapan teman-teman Roy membuat kenangan buruk Rooney bangkit.

Tidak apa-apa, tidak apa-apa, ini kan sudah biasa. Ucap Rooney di dalam hatinya berkali-kali untuk menguatkan dirinya sendiri.

Disaat itu, disaat kondisinya buruk. Seseorang datang, atau lebih tepatnya beberapa orang.

"Owh, lu duduk disini toh Rooney."

"Eh?" Rooney terkejut dan melihat ke depan, tampak Roy bersama dengan teman-temannya datang bersama-sama sambil membawa makanan mereka.

"Loh? Kenapa kalian kesini?"

"Tidak kenapa-napa, hanya bosan saja makan di kelas, sekali-kali pengen juga makan di kantin saja." Jawab Roy dengan menyeringai.

Rooney merasa sangat senang, tapi sekaligus takut melihat teman-teman Roy dibelakangnya.

Roy yang melihat Rooney membuang muka, langsung paham.

"Ah, lu takut sama mereka yah Rooney?" Tanya Roy sambil menunjuk teman-temannya.

"Eh, ti-tidak kok." Ucap Rooney dengan gemetar.

Walau begitu, Roy sudah tahu apa yang membuat Rooney takut walau Rooney menolak untuk mengakuinya.

"Sudah-sudah, gua tahu kok. Lagian mereka emang salah tadi."

"Eh?"

"Woi kalian, minta maaf dong, udah bikin orang jadi tidak nyaman juga."

Teman-teman Roy maju, tatapan mereka sudah berbeda, tidak ada tatapan penolakan dari mereka. Justru hanya ada tatapan ramah yang bersahabat.

Salah satu dari mereka meminta maaf.

"Maaf yah, tadi udah bikin tidak nyaman. Kami tadi tahu kalau udah natap elu berlebihan sampai bikin tidak nyaman. Tapi bukannya kami tidak mau makan sama elu, cuman bingung saja karena anak ini tiba-tiba akrab sama elu."

Mendengar jawaban itu, Rooney merasa lega. Rooney berpikir jika ketakutannya tadi hanya paranoidnya saja, mereka semua tidak punya niat buruk padanya. Mereka hanya bingung saja.

"Oh iya, kenalin, nama gua Farizi." Ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Eh iya, na-namaku, Rooo... Roo-Rooney."

"Ehehehe, iya, gua udah tahu."

Satu persatu mulai maju dan mengenalkan dirinya. Semuanya tampak ramah, tidak ada tatapan tak mengenakkan yang muncul dari sorot mata mereka.

"Gua Fadhil."

"Nama gua Anwar, tapi biasanya sih dipanggil Wawan."

"Kenalin, gua Alen, yang paling ganteng diantara mereka."

"Halah, self claim aja lu."

"Wkwkwkwk."

Semuanya tampak ramah dan menyenangkan, walau Rooney tidak terbiasa dengan ini. Tapi dia tidak merasa membencinya.

"Sudah, sudah, nanti aja kenalannya. Mending makan dulu saja. Gua udah lapar nih!" Roy berteriak karena kelaparan. Yang lain menanggapinya dengan tertawa.

"Ah elah, lapar mulu elu mah."

"Ahahahhaha...."

Mereka semua duduk bersama, beruntung kursinya cukup bagi mereka untuk duduk bersama.

Semuanya saling mengobrol dengan senang dan bercanda ketika makan.

Rooney masih belum bisa masuk ke dalam obrolan mereka sepenuhnya, tapi dengan begini, dia tidak lagi merasakan kesunyian ketika sedang makan.

Sekarang, ada orang yang akan mengajaknya mengobrol dan tertawa bersamanya. Rooney belum yakin untuk menyebut mereka sebagai teman, tapi setidaknya dia senang dengan keadaannya saat ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!