Matahari senja perlahan memudar menyambut datangnya langit malam Kota Jakarta. Lalu lintas di sepanjang jalan tol nampak lengang, saat sebuah sedan BMW melintas dengan kecepatan sedang.
Kedua penumpangnya sibuk dengan urusan masing-masing, sementara sang sopir tak sekalipun melepaskan pandangannya pada ruas jalan tol yang mereka lalui.
Mereka tak saling menegur satu sama lain, hingga pria berkacamata yang duduk di kursi belakang mengalihkan pandangannya ke arah pria yang duduk di samping kiri sopir.
"Bagaimana dengan rumah yang akan saya tempati?Apa hari ini sudah siap?"
"Sudah, Pak Ethan. Lingkungan sekitarnya cukup aman, bangunannya luas, ada ruang perpustakaan yang sudah kami ubah menjadi ruang kerja untuk anda gunakan. Dan yang utama, jaraknya dekat dari Hotel. Anda hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dengan mobil untuk tiba di sana," jawab pria yang duduk disamping sopir seraya mengutak atik iPad yang dipegangnya.
"Kalau begitu kita kesana sekarang."
"Baik, Pak"
Perbincangan singkat mereka pun terhenti. Pria yang duduk didepan segera mengalihkan pandangannya ke layar GPS, setelah meletakkan iPad yang ia genggam ke atas pangkuannya. Ia mulai sibuk mencari alamat yang akan mereka tuju, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sementara pria bernama Ethan yang duduk di belakang, segera menutup laptopnya dan bersandar pada kursi mobil. Ia melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya dan menekan pelan pangkal hidungnya.
Setelah merasa lebih baik, Ethan mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil yang sudah terbuka sejak tadi. Perlahan ia memejamkan kedua matanya yang sendu dan menikmati hembusan angin yang bertiup dari luar. Seolah lelah yang telah dipikulnya berhari-hari, terhempas bersama angin sore yang menyapu wajahnya.
...****************...
Malam telah menyambut saat Sedan BMW yang ditumpangi Ethan tiba di depan sebuah rumah kosong, di salah satu kompleks perumahan elit.
Sang sopir yang baru saja memarkirkan mobil di halaman rumah, melirik ke arah kaca spion mobil dan mengamati Ethan yang sedang tertidur lelap.
Tak berani mengganggu waktu istirahat sang atasan, ia pun mengalihkan pandangannya pada rekannya yang duduk bersamanya di depan.
"Mas Deni!" Panggil sang sopir sambil memberi kode pada Deni dengan lirikan matanya, agar membangunkan Ethan.
Deni yang sedari tadi asyik menatap layar iPad-nya, segera tersadar begitu rekannya memberi isyarat.
"Pak Ethan, kita sudah sampai," Deni menggoyangkan lutut Ethan dengan pelan, berusaha membangunkannya selembut mungkin.
Perlahan Ethan membuka mata dan memasang kembali kacamatanya. Ia melirik ke arah jam tangannya yang telah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Kita sudah sampai?" tanya Ethan dengan suara parau.
"Sudah, Pak. Barang-barang anda sudah dirapikan oleh housekeeping yang saya tugaskan. Anda sudah bisa menempatinya malam ini jika anda mau," jawab Deni yang masih saja sibuk dengan iPad-nya.
Tanpa memberi tanggapan apapun pada Deni, Ethan segera turun dari mobil. Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut, lalu berjalan ke arah rumah kosong yang ada di hadapannya.
Saat Ethan membuka pintu utama, aroma segar pengharum ruangan langsung menyeruak dari dalam rumah. Ethan pun melangkah masuk dan mengelilingi setiap ruangan.
Setelah memeriksa seluruh ruangan di lantai satu, Ethan beralih ke lantai dua. Ia berjalan ke arah ruang perpustakaan yang telah Deni renovasi menjadi ruang kerja sesuai permintaannya.
Ethan sempat berhenti sebentar di depan pintu, sebelum akhirnya ia menarik gagang pintu dan memandangi ruang kerjanya dari luar. Ia sengaja tak menghidupkan lampu dan membiarkan pintu ruang kerjanya terbuka, agar cahaya dari luar bisa menerangi ruangan tersebut.
Ethan melangkah pelan memasuki ruang kerjanya. Ia mengitari meja yang berada di tengah ruangan sambil menatap satu persatu buku-buku miliknya yang sudah tersusun rapi di rak. Dihirupnya dalam-dalam aroma khas buku tua yang tercium dari ruangan tersebut. Entah mengapa, hatinya selalu merasa damai setiap kali ia melakukannya dalam keadaan hening dan gelap.
Di waktu yang bersamaan, tiba-tiba terdengar dentingan piano yang memainkan instrumen karya Chopin, Waltz in A Minor. Entah dari mana asalnya, namun alunan musik itu berhasil mengalihkan perhatian Ethan.
Dalam sekejap Ethan menghentikan langkahnya. Ia mematung dengan tatapan kosong. Namun detik berikutnya, dadanya tiba-tiba sesak, seolah ada yang mencekiknya. Tanpa sadar, air matanya menetes begitu ingatannya di masa lampau terlintas di pikirannya. Ingatan tentang mendiang Ayahnya yang sering memainkan instrumen itu.
Ayahnya yang meninggal secara tiba-tiba, membuat Ethan dan keluarganya begitu terpukul. Ethan yang saat itu sedang berada di luar negeri, terpaksa kembali ke Indonesia untuk mengambil alih jabatan Ayahnya sebagai Komisaris, sekaligus pemilik saham terbesar Group Halim dan mengemban seluruh tanggung jawab besar.
Cukup lama Ethan tenggelam oleh kenangan masa lalu yang belum bisa ia relakan. Setelah berhasil menenangkan diri, Ethan segera mencari asal suara piano itu. Ia berjalan ke arah pintu kaca yang terhubung ke balkon dan menarik tirai yang menutupi pintu tersebut.
Alunan Instrumen itu semakin jelas terdengar dari luar, tepatnya dari arah rumah seberang. Ia pun mengalihkan pandangannya ke salah satu ruangan di rumah itu yang menunjukkan seorang wanita sedang duduk sambil memainkan piano.
Ethan sangat penasaran ingin melihat wajah wanita itu. Saking penasarannya, Ethan tanpa sadar terus berdiri di tempatnya tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya. Bahkan di saat angin mulai bertiup cukup kencang, ia tak juga beranjak dari sana.
Sayang, wanita itu duduk sambil membelakangi Ethan dan tak sekalipun menoleh kebelakang. Yang nampak hanyalah rambut ikalnya yang hitam tergerai dengan indah.
Ethan pun mengalihkan perhatiannya dari wanita itu. Ia memejamkan mata, mendengarkan instrumen yang dimainkannya dengan raut wajah penuh kesedihan. Kilas balik masa lalunya pun kembali terngiang di kepalanya. Betapa bahagianya ia saat berkumpul dan bercengkrama bersama keluarganya. Masa itu takkan pernah bisa terulang lagi setelah kepergian Ayahnya.
"Pak Ethan, apakah anda akan tinggal disini atau kembali ke apartemen?", suara Deni tiba-tiba menghentikan ingatan masa lalu Ethan.
Ethan pun menoleh ke arah Deni sambil tersenyum lirih. "Aku akan tinggal mulai hari ini"
...****************...
Ethan baru saja terbangun dan menyadari jika dirinya berada di rumahnya yang baru. Ia bangun dengan suasana hati yang baik. Ini pertama kalinya sejak Ayahnya meninggal, ia bisa tidur dengan sangat nyenyak. Ia pun melirik ke arah jam yang bertengger di atas nakas, sudah pukul lima subuh.
Setelah membersihkan diri, Ethan bersiap mengenakan pakaian sport. Ia berencana lari pagi seperti yang biasa ia lakukan tiap hari sebelum berangkat kerja.
Saat Ethan baru saja melangkah keluar pagar, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia tak tahu menahu tentang lingkungan barunya itu. Ethan pun menoleh ke kanan dan kiri, mencoba melihat situasi sekitar rumahnya.
Di waktu yang bersamaan, seseorang dari rumah depan tampak keluar dari pintu pagar rumah.
Refleks Ethan menoleh ke arah orang itu. Namun ia justru terkesiap saat melihat orang itu ternyata seorang wanita berambut ikal yang mencuri perhatiannya semalam. Wanita itu tengah berdiri di seberang jalan, tepat di hadapannya.
'Dia wanita yang semalam!', pikir Ethan
Ethan begitu terpesona melihat sosok wanita itu. Matanya bulat dengan iris berwarna hitam. Hidungnya mancung dengan ujung hidung yang kecil. Bibir bawahnya agak berisi, menambah kesan sensual di wajahnya yang cantik.
Cukup lama Ethan terpaku menatap wanita berkulit kuning langsat itu. Namun ia terkejut saat pandangan mereka secara tak sengaja bertemu.
Wanita itu memandangi Ethan dengan tatapan aneh, seolah sedang memikirkan sesuatu tentangnya. Karena itu Ethan canggung dan berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Apa anda orang baru di lingkungan ini?" Tanya wanita itu pada Ethan.
Tak menyangka wanita itu akan bertanya padanya, Ethan pun mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu. "Iya. Saya baru saja pindah tadi malam."
Namun wanita itu tak langsung menanggapi jawaban Ethan. Ia justru memperhatikan gerak-gerik Ethan, seakan dirinya tahu, jika Ethan sedang kebingungan
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya berencana lari pagi. Hanya saja saya bingung harus kearah mana. Saya sama sekali tidak mengenal lingkungan sekitar sini," jawab Ethan kikuk. Ia mengelus kepala belakangnya untuk meredakan kecanggungannya.
Wanita itu pun mengangguk, seolah paham apa yang dibutuhkan Ethan.
"Saya Ethan", kata Ethan, berusaha memperkenalkan diri sebelum wanita itu mengatakan sesuatu.
"Saya Lily", jawab wanita itu sembari menundukkan kepala.
"Jika anda keluar dari blok ini, anda cukup berbelok ke kanan, lalu lurus saja. Jika anda terus berjalan lurus hingga melewati tiga blok, anda akan menemukan taman bermain dan lapangan bola di sebelah kiri jalan. Di sana juga ada gedung olahraga dan tempat untuk gym." Wanita bernama Lily itu menjelaskan dengan suara lembut.
"Terima kasih atas bantuannya." Ethan membungkukkan sedikit badannya.
"Sama-sama. Semoga anda betah tinggal di sini" Lily, tersenyum ramah, membuat lesung pipi di pipi kirinya nampak.
Tak lama kemudian, sebuah mobil muncul dari balik pagar rumah Lily. Ia permisi untuk pergi lebih dulu pada Ethan, lalu masuk ke dalam mobilnya.
'Lily.Namanya secantik orangnya', batin Ethan.
Setelah mobil Lily berlalu, Ethan pun kembali fokus pada tujuannya.
Sedari tadi Lily mengamati ponselnya dengan perasaan gelisah. Sudah dua hari sejak keberangkatan suaminya, Adam ke Malaysia dan belum juga ada kabar apapun darinya. Ia cemas memikirkan keadaan Adam di negara orang. Apakah ia baik-baik saja di sana?
Tak ingin pikiran negatif terus menghantuinya, Lily pun mencoba menghubungi nomor telepon Adam sekali lagi. Namun sayang, yang terdengar hanyalah suara operator telepon.
Lily menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan dirinya yang sedang gusar. Ia berjalan kearah piano yang berada di ruang tengah di lantai dua rumahnya. Saat merasa sedih, Lily selalu memainkan piano agar pikirannya menjadi lebih tenang.
Kali ini Lily memainkan instrumen karya Chopin,Waltz in A Minor. Tuts demi tuts ia tekan dengan lincah. Raut wajahnya begitu tenang, menandakan jika ia menghayati permainan pianonya.
Saat memainkan instrumen karya Chopin ini, Lily selalu teringat pada Adam. Rasanya ia ingin kembali ke masa-masa itu. Masa tujuh tahun lalu, di mana ia dan Adam sering menghabiskan waktu sebagai sepasang kekasih saat mereka masih kuliah. Masa dimana Adam begitu mencintainya dan selalu bersikap romantis.
Tapi masa itu telah berlalu dan tak akan pernah terulang kembali. Terlebih malam ini, untuk pertama kalinya Lily merasakan keresahan dalam hatinya, karena Adam yang mulai memperlihatkan perubahan sikap yang sangat drastis.
Sejak menjabat sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan enam bulan lalu, Adam semakin terobsesi ingin meningkatkan karirnya. Ia ingin membuktikan pada Ayahnya yang seorang Jenderal, bahwa dirinya bisa sukses, meski ia tak berkarir di kemiliteran seperti Ayah dan kedua kakak laki-lakinya.
Akibatnya, Adam jadi jarang pulang ke rumah dan sering keluar negeri untuk dinas tanpa memberi kabar tentang keadaannya pada Lily.
Yang lebih mengejutkan lagi, sikap Adam juga mulai berubah. Ia lebih mudah tersinggung dan tersulut emosi, saat Lily menanyakan hal yang membuatnya tidak nyaman.
Padahal selama tiga tahun pernikahan, Adam tak pernah sekalipun berkata kasar padanya. Hal itulah yang membuat Lily semakin bingung, mengapa Adam menjadi orang yang sangat asing baginya?
Tanpa sadar, air mata Lily jatuh tepat di atas tuts piano. Ia menghentikan jari-jemarinya dan terdiam beberapa saat, mencoba mengendalikan perasaannya.
Setelah lebih tenang, Lily segera bangkit dari kursi. Dengan langkah berat, ia berjalan ke kamarnya dan tidur.
...****************...
Lily tiba-tiba terbangun di tengah malam saat Adam mendadak menelponnya. Dengan tergesa-gesa ia meraih ponselnya dan menjawab panggilan telepon Adam.
"Halo sayang, kamu kemana saja? Kenapa handphonemu tidak aktif dua hari ini? Kenapa kamu tidak memberiku kabar sekalipun?" Lily langsung memborbardir Adam dengan pertanyaan, begitu panggilannya tersambung.
"Maaf sayang, aku langsung ke kantor cabang begitu tiba di Malaysia dan langsung mengadakan rapat dua hari berturut-turut. Aku bahkan tidak sempat ke Hotel untuk istirahat."
Lily terdiam begitu mendengar jawaban Adam. Ia jadi tidak tega untuk marah setelah tahu suaminya ternyata sangat sibuk, bahkan tak memiliki waktu untuk beristirahat dengan baik.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau kamu sakit, semua pekerjaanmu akan terbengkalai. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup sesibuk apapun." Suara Lily melembut.
"Iya sayang, pasti! Aku tahu kamu sangat khawatir, makanya aku langsung menghubungimu begitu aku luang. Bagaimana keadaan di sana?"
"Baik, seperti biasa. Tidak ada hal lain selain aku membantu Bi Darsih mengobrak abrik dapur." Cerita Lily sambil tersenyum kecil. Ia paling bersemangat jika bercerita soal kegiatannya memasak di dapur yang merupakan hobinya.
"Setidaknya kamu bisa melakukan hal yang kamu sukai. Aku ikut senang kalau kamu bahagia."
Lily tertegun mendengar ucapan Adam. Menjalani hobinya memang sangat menyenangkan, namun hal itu tak lantas membuat Lily bahagia. Bahagia yang dimaksud Adam barusan, berbeda dengan bahagia yang Lily pikirkan.
"Oh ya, besok pesawatku tiba jam lima sore. Kamu bisa menjemputku kan?!" Pertanyaan Adam sontak menyadarkan Lily dari lamunannya.
"Bisa. Aku dan Pak Indra akan menjemputmu. Ngomong-ngomong, apa kamu mau dimasakkan sesuatu?"
"Terserah kamu mau masak apa. Tidak ada yang begitu spesifik ingin aku makan." Adam menjawab sekedarnya, membuat Lily kecewa.
"Sudah dulu ya! Aku harus kembali bekerja. Sampai jumpa besok sayang! I miss you." Pamit Adam lalu memutuskan panggilan teleponnya.
"I miss you too," ucap Lily lirih setelah Adam menutup teleponnya. Ia menghela nafas panjang lalu kembali melanjutkan tidurnya.
...****************...
Keesokan paginya.....
Lily sudah bangun sejak subuh dan sedang bersiap-siap ingin ke pasar tradisional, membeli bahan-bahan makanan yang akan ia masak untuk Adam. Ia lebih dulu keluar pagar dan menunggu Pak Indra, sang sopir yang sedang memanaskan mesin mobil.
Setibanya di luar pagar, Lily tiba-tiba merasakan hawa dingin yang menembus cardigan-nya. Ia pun merapatkan pelukannya sembari meniup telapak tangannya agar terasa hangat.
Bersamaan dengan itu, Lily mengedarkan pandangannya ke area sekitar rumahnya. Tak sengaja tatapannya tertuju pada seorang pria berwajah oriental dengan potongan rambut yang sangat rapi, berdiri di depan pagar rumah kosong yang ada di depan rumah Lily.
Meski badan pria itu tertutupi oleh pakaian, namun posturnya yang tegap bisa terlihat dari balik kaos sport yang ia kenakan. Ia juga terlihat sangat tinggi untuk ukuran pria Indonesia kebanyakan, sekitar 185 cm.
Pria itu berdiri tepat di hadapan Lily. Pandangan pria itu tertuju ke arah Lily, saat ia menoleh ke arahnya. Lily merasa aneh, karena baru pertama kali melihatnya pagi ini.
'Apa dia orang baru disini ya?' Tanya Lily dalam hati.
Di saat yang sama, pria itu terlihat canggung dan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Lily pun memberanikan diri menyapanya lebih dulu.
"Tetangga baru ya?" Lily mencoba mencairkan suasana.
"Iya, saya baru saja pindah tadi malam." Jawab pria itu. Ia tampak kebingungan, namun segan untuk bertanya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin lari pagi, tapi bingung mau ke arah mana?" Tutur pria itu, sedikit ragu.
Lily paham maksud pria itu dan berniat menolongnya. Namun baru saja Lily ingin mengarahkannya ke gedung olahraga perumahan, pria itu tiba-tiba memperkenalkan dirinya.
"Saya Ethan"
"Saya Lily" Lily membalas sambil menundukkan kepalanya. Kemudian ia menunjukkan arah jalan pada Ethan dan dibalas dengan ucapan terima kasih.
"Sama-sama, semoga anda betah tinggal disini." basa-basi Lily sambil tersenyum ramah ke arah Ethan
Tak lama kemudian, sebuah mobil keluar dari arah garasi mobil Lily. Ia pun pamit dan pergi meninggalkan Ethan yang masih berdiri di tempatnya sambil memandangi mobil Lily hingga tak nampak lagi.
Tepat pukul lima sore, Lily tiba di bandara. Sebelumnya Adam sudah mengabarinya terlebih dahulu, saat pesawat yang ia tumpangi akan segera lepas landas.
Berkat itu, Lily tak perlu waktu lama untuk menunggu kedatangan Adam di bandara. Saat dirinya tiba di gedung kedatangan, para penumpang juga telah keluar satu persatu.
Lily melambaikan tangan begitu sosok Adam muncul dari balik pintu. Ia langsung mencium tangan suaminya dan memeluknya dengan erat, saat Adam datang menghampirinya.
"Bagaimana pekerjaannya?lancar?." Tanya Lily sembari berjalan.
"Lancar!" Jawab Adam sekedarnya. Ia sibuk mendorong troli yang penuh dengan barang. Dan meski wajahnya begitu lelah, namun Adam berusaha tersenyum pada Lily.
Belum jauh mereka melangkah, ponsel Adam tiba-tiba berbunyi. Ia memberi isyarat pada Lily untuk menunggu. Kemudian ia berbalik sembari berbicara dengan orang yang meneleponnya.
Lily tak mengejar Adam dan hanya berdiri di tempatnya. Dengan sabar ia menunggu, hingga Adam selesai menelepon dan datang menghampirinya.
"Maaf sayang, sepertinya aku tidak bisa langsung pulang ke rumah. Aku masih ada urusan di kantor," kata Adam saat tiba di hadapan Lily usai menelepon.
Lagi-lagi Lily kecewa. Padahal ia telah menyiapkan makan malam untuk Adam di rumah. Jika Adam tak pulang, siapa yang akan memakannya?
"Apa kamu tidak bisa pulang dulu ke rumah? Mandi dan makan malam, lalu balik ke kantor?" Bujuk Lily.
"Kalau begitu, akan memakan waktu. Belum lagi kalau jalan macet. Aku bisa terlambat!" Jawab Adam dengan raut gelisah.
"Baiklah." Lily menunduk lesu.
Namun tiba-tiba Lily mengangkat kepalanya dan menatap Adam penuh harap. "Mau aku antar ke kantor?"
Adam berfikir sejenak sebelum menjawab Lily. "Tidak perlu! Kamu langsung pulang saja, sekalian bawa koperku. Aku ke kantor naik taxi saja. Oh ya, ada hadiah buat kamu di dalam koper."
Adam mengecup kening Lily tanpa memperhatikan wajah muram istrinya. Ia mengantarnya sampai ke parkiran, lalu mencari taxi begitu Lily sudah pergi.
...****************...
Lagi-lagi Lily menelan kekecewaannya. Begitu sampai di rumah, ia tak langsung membongkar koper Adam. Bahkan hadiah yang dimaksud Adam saat di bandara, tak lantas membuatnya penasaran dan ingin membongkar barang-barang suaminya. Lily bukanlah tipe wanita yang bisa membaik hanya dengan diberi hadiah.
Setelah meletakkan koper-koper Adam di ruang ganti, Lily segera beranjak menuju meja makan di lantai satu. Ia begitu sedih, melihat semua masakan yang sudah disiapkannya tak disentuh sama sekali.
Disaat yang sama, Lily teringat pada pria yang ditemuinya tadi pagi. 'Tetangga baru!'
Lily bergegas ke dapur dan mengambil beberapa tempat bekal. Ia memasukkan satu persatu masakan buatannya kedalam tempat bekal tersebut dan hanya menyisakan sedikit untuk dia dan Bi Darsih makan. Setelah selesai, Lily mengantarnya langsung ke rumah Ethan.
Begitu mendapat izin dari satpam rumah Ethan, Lily berjalan menuju pintu utama dan memencet bel rumah. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah yang mendekat dan menarik gagang pintu.
"Selamat malam," sapa Lily
Ethan langsung terperanjat begitu melihat kedatangan Lily. "Malam..."
"Maaf, saya mengganggu waktu anda malam-malam. Saya membuat makan malam cukup banyak, jadi ingin berbagi dengan anda. Saya harap anda tidak keberatan." Ucap Lily gugup, sambil mengulurkan keranjang berisi tempat bekal pada Ethan.
Dengan senang hati, Ethan menerima pemberian Lily. "Terima kasih."
"Kalau begitu saya permisi dulu. Anda bisa mengembalikan tempat bekalnya kapan-kapan." Pamit Lily
"Sekali lagi terima kasih. Tempatnya akan segera saya kembalikan begitu selesai dicuci." Ethan menyunggingkan senyum penuh.
Namun detik berikutnya, ekspresi Ethan tiba-tiba berubah, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tolong panggil saja saya Ethan. Rasanya canggung kalau berbicara terlalu formal."
"Baiklah. Kalau begitu aku permisi dulu, Ethan" Lily tersenyum canggung. Ia langsung berbalik dan berlalu pergi meninggalkan Ethan yang masih berdiri di depan pintu.
...****************...
Ethan senang bukan main saat menenteng keranjang berisi masakan buatan Lily. Ia berjalan dengan wajah sumringah ke meja makan dan membongkar isi keranjang pemberian Lily.
Setelah tertata rapi di atas meja, Ethan membuka penutup bekalnya satu persatu. Seketika aroma masakan Lily menyeruak, membuat perutnya keroncongan.
Apalagi masakannya terlihat sangat menggoda. Ada rendang, udang saus asam manis, telur balado, sambal tempe, cap cay dan cream soup.
Ethan duduk dan mengambil sendok untuk mencicipi masakan buatan Lily. Ekspresi wajahnya mendadak berubah, begitu makanan masuk ke dalam mulutnya. Bahkan senyumannya tak pernah lepas, meski ia sedang mengunyah.
"Enak!" Ucapnya pada diri sendiri.
Karena terlanjur ketagihan, Ethan pun mengambil sepiring nasi. Dengan lahapnya ia memakan semua masakan Lily. Sudah lama ia tak menikmati masakan rumah seperti ini. Terakhir kali saat ia masih tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya. Dan itu sudah empat belas tahun yang lalu.
Semenjak Ethan pergi ke luar negeri untuk kuliah, ia lebih sering makan di Restaurant. Dan begitu kembali ke Indonesia, Ethan memutuskan untuk tinggal sendiri di Apartemen dan hanya pulang sesekali ke rumah orang tuanya.
Karenanya, Ethan rindu dengan masa-masa saat itu. Ia menyesal, telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan sebelum Ayahnya pergi.
Mengingat hal itu, hati Ethan sungguh hampa. Air matanya menetes, di saat ia menikmati makanan pemberian Lily hingga habis.
...****************...
Beberapa jam berlalu setelah Lily makan malam ditemani Bi Darsih. Ia tak bisa tidur menunggu kepulangan Adam. Sembari menghilangkan kebosanan, Lily kembali memainkan piano. Ia memainkan instrument karya Liszt, Liebestraum No.3.
Jari jemarinya begitu lincah bergerak kesana kemari, dari tuts satu ke tuts lain, hingga menciptakan harmoni yang sangat indah.
Tiba di akhir instrumen, Lily menekan tutsnya dengan gerakan lambat. Dan tepat disaat permainan piano berakhir, Adam muncul dari arah tangga.
"Kamu belum tidur?"
"Aku menunggumu pulang"
Adam berjalan menghampiri Lily dan mengecup keningnya. Ia melirik ke arah jam tangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Maaf sayang, aku pulang larut malam." Sesal Adam dalam kata, namun tidak dengan ekspresinya.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah makan?"
"Sudah. Tadi aku makan malam dengan rekan kerjaku. Mereka juga lembur hingga larut malam." Adam menjelaskan.
Lily lega mendengarnya karena makanan yang disiapkan untuk Adam sudah ia berikan pada Ethan.
"Kalau begitu masuklah ke kamar dan istirahat. Sebentar lagi aku menyusul, kata Lily sembari menutup tuts piano.
...****************...
Sementara itu di rumah Ethan....
Usai menghabiskan makanan yang diberikan Lily, Ethan bergegas mandi lalu ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan tugas kantor.
Namun belum juga selesai, Deni sudah mengirim sebuah pesan.
Deni : "Saya baru saja mengirim notula rapat tadi siang dan perjanjian kerjasama dengan kontraktor yang akan mengerjakan proyek pemugaran villa kita di kepulauan seribu. Silahkan Bapak cek pesan di email dan pastikan tidak ada yang perlu dikoreksi."
Ethan menghentikan kegiatannya dan segera membuka file yang baru saja dikirim oleh Deni. Saat tengah menunggu file terbuka, ia tiba-tiba mendengar lantunan musik piano yang berasal dari rumah Lily.
Seakan sudah menunggu untuk bisa mendengarkan lantunan piano itu lagi, Ethan bergegas menyingkap tirai dan membuka jendela ruang kerjanya. Ia sangat menantikan instrumen apa yang akan dimainkan Lily. Dan kali ini, Lily memainkan Instrumen karya Liszt, liebestraum no.3.
Ethan sangat menikmati tiap melodi yang mengalun. Instrumen ini seolah mewakili perasaan Ethan saat ini.
Walau tak menyadarinya, namun pikiran Ethan mulai teralihkan pada Lily sejak melihatnya tadi pagi. Bahkan ia sudah jatuh hati padanya sejak mendengarnya bermain piano, meski tak melihat wajahnya.
Selama hidup, Ethan tak pernah merasakan jatuh cinta. Itu sebabnya perasaan yang ia rasakan saat ini terasa begitu asing dan membingungkan untuknya.
Ethan beranggapan, bahwa perasaannya ini hanya sekedar rasa kagum pada Lily. Tak hanya cantik, ia juga anggun, pandai memasak dan bermain piano. Menurutnya, semua pria pasti mengangumi sosok Lily.
Tanpa sadar Ethan tertidur di kursi saat Lily masih memainkan piano. Ia baru bangun saat alarm ponselnya berdering dan menunjukkan pukul empat subuh.
Refleks Ethan ingat jika dirinya belum sempat memeriksa file yang dikirimkan Deni semalam. Segera ia membasuh wajah dan kembali bekerja sebelum pagi menyingsing.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!