Dalam lemah, dalam keputusasaan, dengan hanya busana lusuh yang tersisa satu melekat di badan, Jasmine menjatuhkan dirinya di tengah dua pusara yang baru saja menimbun tubuh ayah dan ibunya.
Di seberangnya--berdampingan dengan pusara sang ibu, adik laki-lakinya juga turut dikebumikan.
Bagaimana ia tak akan marah?
Bagaimana relungnya tak berteriak?
Kehidupan menghakiminya dengan jatuhan hukum yang bahkan ia tak tahu ... apa salahnya.
Dua hari lalu, sebuah pesawat jatuh tanpa diduga menimpa perkampungan yang di mana Jasmine dan keluarganya tinggal.
Puluhan jiwa melayang, termasuk kedua orang tua Jasmine beserta adik laki-lakinya.
Sekelimpung rumah-rumah hancur merenggut naungan tanpa kompromi.
Jasmine selamat dari bencana, karena saat kejadian, ia tengah bergelut dengan pekerjaan di sebuah perusahaan yang cukup jauh dari kediamannya.
-----
Kaki Gunung Salak, Bogor - Jawa Barat.
Tempat di mana Jasmine dan keluarganya merangkai kehidupan mereka dari nol--sejak dua tahun lalu. Setelah toko mebel milik ayahnya di Jakarta, musnah dilalap api, tanpa diketahui apa penyebab pastinya hingga saat ini. Seseorang mungkin merasa iri karena sebentuk keberhasilan--itu yang mereka yakini. Tapi entah.
Kerugian besar membuat ekonomi keluarga Jasmine mencapai titik terendah kala itu. Kuliahnya terbelangkalai, sekolah adik laki-lakinya meninggalkan cicilan dari biaya didik yang tak terbayarkan.
Hutang berceceran di mana-mana, hanya demi menutupi kekurangan dan menyumpal lambung mereka yang meraung kelaparan setiap harinya.
Opsi terakhir, rumah sederhana mereka terpaksa dijual sang ayah untuk membayar hutang-hutang itu, dan sisanya mereka gunakan untuk modal bisnis barunya di kota yang berbeda--Bogor.
Kehidupan perlahan membaik di kota kecil nan sejuk tersebut. Namun Jasmine memilih bekerja terlebih dulu, sebelum meneruskan kuliahnya yang tertunda. Untuk tambah-tambah biaya pendidikan itu sendiri nanti, agar tak terlalu membebankan orang tuanya, alasan mulia Jasmine.
...*****...
Satu tahun berlalu ....
Duka kehilangan tak mungkin bisa terhapus di hati Jasmine begitu saja semudah menjentik jari. Namun ia tak mungkin terus menerus bergelung dalam luka yang entah kapan akan mengering.
Jasmine harus tetap melanjutkan hidup.
PT. Sagarmas Duta Makmur.
Perusahaan berbasis Estate, yang juga menyediakan layanan penginapan berupa villa, hotel, dan suguhan indahnya lapangan golf yang memenuhi hampir di sehamparan bagian yang terdiri dari ratusan hektar tersebut.
Jasmine bertengger di salah satu rantingnya--Hotel, sebagai Office Girl.
Tak mudah mendapatkan posisi bagus saat yang diandalkan hanya sehelai ijazah SMA.
Jasmine memilih pindah tempat tinggal setelah empat puluh hari kepergian keluarganya ke alam baka.
Dan yang ia pilih adalah sebuah kamar kost kecil yang letaknya tak jauh dari perusahaan. Hunian mini itu memang kebanyakan diisi oleh para karyawan yang juga bekerja di tempat yang sama dengannya.
Selain menunggu renovasi rumah hasil uluran tangan pemerintah sangatlah lama menurut Jasmine, ia juga tak ingin terus bergumul dalam bayangan keluarganya yang hanya akan menjadi sayatan luka dalam hati, jika harus terus bertahan di tempat yang penuh kenangan itu.
Jasmine menikmati pekerjaan, walau hanya berteman dengan kain pel dan sapu setiap harinya. Namun tentu ada yang berbeda. Tragedi kehilangan itu membuatnya berubah menjadi sosok introvert. Tak banyak berinteraksi dengan orang-orang yang dikenalnya di tempat kerja. Dan semua cukup paham dengan keadaan itu.
Sulit dijelaskan.
.....
Sampai suatu hari, sebuah tragedi kembali menyapa gadis berusia 19 tahun itu.
Saat itu tepat pukul 21.00, Jasmine baru akan keluar setelah menghabiskan waktu lemburnya di tempat kerja.
Sebuah tas berukuran 30 x 20 sentimeter, telah apik ia selempangkan di pundaknya. Jasmine mulai berjalan menyusur jalanan sepi menuju bangunan kost yang berjarak sekitar dua ratus meter dari tempatnya bekerja.
Mulanya biasa-biasa saja. Jalanan cukup tenang dipijak kaki. Sampai tiba langkahnya di sebuah kelokan sepi yang jaraknya masih setengah jalan dari arah bangunan kostannya berdiri.
Jasmine memundurkan tubuhnya kaku. Diremasnya tali tas yang melingkar di depan dada. Wajahnya menegang ketakutan. Sebuah pemandangan mengerikan ditangkap penglihatannya. Tiga orang pria terlihat tengah menganiaya seseorang, hingga terkapar di bawah kaki mereka.
"Ya, Tuhan, siapa dan sedang apa mereka?" Jasmine ketar-ketir. Tubuhnya mendadak gemetar tak terkendali. Buliran keringat menggelinding cepat melewati pelipis. Ia berharap orang-orang itu tak sampai melihatnya karena jarak ia dan mereka tak terlalu jauh. Jika ia memilih berbalik dan berlari, orang-orang itu pasti akan menangkapnya dengan mudah.
Lalu apa yang harus ia lakukan?
Akhirnya, pandangan Jasmine jatuh pada pohon yang berjarak sekitar kurang lebih satu meter di samping kirinya. Dengan hati-hati, agar tak menimbulkan pergerakan yang memancing orang-orang itu menangkap bayangannya, Jasmine menyelipkan tubuh ke balik pohon yang berdiameter hanya setara dirinya tersebut. Cukup sulit bagi gadis itu untuk mengepaskan posisi persembunyian.
Terdengar erangan menyakitkan dari mulut pria yang dipukuli orang-orang ber-hoodie itu. Jasmine menutupi telinganya menggunakan kedua telapak tangan. Matanya ia pejamkan berpulas ringisan ngeri.
Dan kengerian itu semakin menjadi ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Mata Jasmine sontak terbuka lalu terbelakak.
Seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan, salah seorang pria berhoodie itu kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Hay, Nona."
"Si-siapa, ka-kamu?"
Pria itu nampak menyeringai menanggapi pertanyaan Jasmine. "Apa pertunjukan yang Nona liat tadi cukup menghibur?"
Telapak tangan Jasmine meraba-raba pohon di belakang melalui sisian tubuhnya. Ia menggeser diri dengan gemetar. "Ng-nggak. Pe-permisi, aku mau lewat. A-aku mau pulang.” Jasmine tergagap.
"Oh, ya? Pulang? ... Mau kuantar?" Pria itu menawarkan. Sekilas tertangkap Jasmine, senyuman itu ... walaupun dalam keremangan--jujur saja, luar biasa menawan, ia mengakui.
"Ng-nggak perlu! Rumah aku deket!" tolak Jasmine terbata-bata, seraya menunjuk ke arah di mana kost-annya berada.
“Umm ...?” Si pria mengikuti sekilas arah pandangnya, lalu kembali menatapnya masih disertai senyum.
Tatapan yang mengerikan, kata hati Jasmine.
Namun tak sempat ia berkata lagi, seseorang lain dari mereka membekap mulutnya dari belakang. Jasmine terkejut bukan kepalang. Telapak tangannya refleks menimpal telapak kekar yang membekap mulutnya itu untuk melepaskan. Namun tentu tak akan semudah membalik tangan. Kekuatannya tak bisa menandingi.
Jasmine meronta-ronta dengan teriakan yang tentu saja hanya terdengar seperti orang tercekik.
Sedangkan pria di depannya, hanya diam dengan senyuman ringan. Kedua tangannya nampak tenang tersusup ke dalam saku hoodie yang berada tepat bersejajar dengan perutnya.
Tubuh Jasmine diseret paksa masuk ke dalam sebuah mobil, yang kemudian melaju cepat meninggalkan sosok tubuh bersimbah darah yang terkapar di tepi jalan--hasil aniaya mereka.
Suara burung hantu terdengar mengerikan di telinga Jasmine. Sinkron dengan keadaan dirinya yang terlihat amat mengenaskan.
Di sebuah ruangan--boleh disebut ... kamar, yang sebenarnya lebih pantas dijuluki gudang antah berantah daripada tempat manusia melepas penat.
Ragam tumpukan barang bekas berserak di sekitarnya, menciptakan aroma pengap yang menyiksa. Bohlam kuning berdaya lima watt, tergantung asal di atas kepala Jasmine, mendukung perasaan suram yang menyelimuti diri wanita muda itu.
Di alas sehelai kasur yang busanya nyaris sejajar lantai, ditempati Jasmine dengan posisi meringkuk kedinginan.
Tidak! Itu jelas bukan kedinginan karena sergapan udara malam, melainkan ketakutan yang menerjang kejam, hingga membuat tubuhnya gemetaran tak terkendali.
Ia terkurung!
Air matanya tak henti mengalir, mencetak basahan di sekitaran bantal yang menyangga kepalanya.
Hatinya tak henti menghujat nasib. Sebagai wanita dan tentu saja manusia biasa, Jasmine sungguh tak bisa menerima ketidakadilan ini.
Sesaat sebelumnya, sosok pria ber-hoodie yang ia temui di jalan menuju pulang ke kostannya beberapa jam lalu, pria yang terlibat dalam kekejaman penganiayaan yang terpaksa ditangkap mata kepalanya, telah merenggut yang berharga dalam diri Jasmine.
Pria-pria itu menyeretnya setelah keluar dari dalam mobil yang terhenti di halaman sebuah bangunan terpencil--entah di mana.
Perasaan ngeri Jasmine semakin meradang saat itu, ketika dilihatnya beberapa pria lain menyambut di depan pintu, melakukan gerak merunduk seolah memberi hormat pada ketiga pria yang baru saja keluar dari dalam mobil yang membawanya tersebut.
Jasmin tak bisa berontak sedikit pun. Tangannya dicekal kuat dua pria--selain dari pria ber-hoodie yang berjalan santai di depannya. Diperparah dengan mulutnya yang terbalut lakban. Ia diseret memasuki bangunan itu.
Selanjutnya setelah berada di dalam, ia dipindahtangankan secara kasar oleh dua pria pencekal pada si pria ber-hoodie. Lantas dengan tanpa ragu-ragu dan malah terkesan kejam, pria itu menghempasnya ke dalam sebuah kamar yang tak bukan adalah kamar yang kini Jasmine tempati dalam kerapuhan.
Setelah mengunci slot di pintu itu, si pria ber-hoodie melanjutkannya dengan membuka helai demi helai pakaiannya, hingga hanya menyisakan bawahan celana panjangnya yang terdapat sedikit percikan darah di bagian lutut. Itu pasti darah milik orang yang telah disiksanya, pikir Jasmine ngeri.
Jasmine bahkan tak berani menatap wajah pria itu. Katakutannya bertambah menjadi kengerian yang luar biasa. Teriakannya seolah dianggap nyanyian malam.
"Teriak saja sepuasmu." Pria itu menyeringai seraya terus berjalan pelan bertelanjang dada mendekati Jasmine yang dengan konyolnya menggedor-gedor pintu meminta dibukakan.
Siapa pula yang akan mengabulkan? Ketika yang ada di hadapannya ternyata adalah pemimpin dari para pria yang berada di luar sana.
Ironi!
"Mungkin cuma kunang-kunang yang akan mendengar suaramu," lanjut pria itu lagi. Telapak tangannya mulai bergerak membelai pipi basah Jasmine.
"Jangan, aku mohooonn." Jasmine menggeleng-gelengkan kepala dengan suara lemah dalam isak ketakutan. Tubuhnya telah turun memeluk lututnya sendiri. "Lepasin aku ...."
"Semua pasti menyenangkan kalau kamu mau bekerja sama," tutur pria yang tak lagi berhoodie itu. Posisinya telah ia sejajarkan dengan Jasmine--berjongkok. "Kamu manis." Suara beratnya. Kepalanya telah berada tepat di tengkuk polos Jasmine, karena gadis itu mengikat tinggi rambutnya membentuk kuciran kuda. "Juga wangi."
"Nggak ... jangan ... tolong lepasin akuuu ...." Jasmine mulai meraung. "Aku janji gak bakal bilang siapa pun apalagi polisi soal yang kalian lakuin." Gadis itu mencoba bernego.
Namun sepertinya ....
"NGGAAAAAKKKK!!!" teriakan Jasmine membahana, disusul tawa cekakan para pria di luar ruangan.
Semua sia-sia saja, hanya sekali sergap, pria itu telah memulai aksinya. Mengoyak dan menghancurkan mahkota kehormatan Jasmine tanpa perasaan. Beberapa lama, hingga terpuaskan segala hasratnya.
Bejatnya, setelah puas menuntaskan aksi, pria itu meninggalkan dan mengurungnya layaknya binatang peliharaan.
Namun seulas yang diingat Jasmine ....
Selain tubuh tinggi, pria laknad itu memiliki warna mata coklat keemasan, berambut pirang, juga memiliki rahang tegas yang sempurna.
Dari penggambaran visual semacam itu, Jasmine tahu betul, bahwa pria itu ... bukanlah berasal dari negara ini.
Dia jelas seorang bule. Bule biadab!
Setelah puas bergelung dalam ratapan kesakitan, dengan perlahan Jasmine berusaha mengangkat tubuhnya yang tak terbalut sehelai benang pun untuk terduduk. Mata bengkak memerah karena tangisnya tak kunjung mau berhenti.
Setelah berhasil menetralkan kepalanya yang terasa merayang berputar-putar, telapak tangan Jasmine terjulur gemetar meraih pakaiannya yang tercecer di dua sudut berbeda di ruangan sesak itu, lalu mengenakannya dengan susah payah.
Bagian selangkangannya terasa nyeri untuk ia bawa berdiri tegak. Namun tetap dipaksakannya walau dengan wajah meringis-ringis. Ia harus keluar dari tempat mengerikan itu sesegera mungkin.
Tapi bagaimana caranya?
Mata Jasmine mulai mengedar mengamati seisi ruangan. Tak ada yang bisa diharapkan. Hanya barang-barang lapuk yang jelas tak lagi digunakan pemiliknya. Ia mendesah putus asa.
Sampai matanya menangkap sebuah bingkai kayu lebar terhalang tumpukan kardus di satu sisi. Dan itu mungkin ... sebuah jendela!
Mata Jasmine berbinar seketika. Ia mulai melangkah mendekati sejurus harapannya.
Dan ....
....
....
....
....
"Hey! Wanita itu tidak ada!!" Salah seorang pria yang ditugaskan menjaga Jasmine berteriak terkejut, setelah mendapati ruangan pengap itu telah kosong.
Satu lainnya datang tergopoh. Wajahnya sama terkejut, namun belum mengatakan apa-apa, setelah akhirnya matanya menangkap daun jendela yang sedikit berkibar ditiup angin di belakang tumpukan kardus. "Dia kabur lewat sana."
"Gimana, nih? Mana si Bos udah balik!" keluhnya kebingungan.
Rekan di sebelahnya membeliak sebal. "Ya, dikejarlah, Bodoh!"
Dengan langkah berat dipaksakan, Jasmine terus menyusur jalanan sepi itu tanpa henti. Semakin jauh dan jauh. Sesekali wajahnya menengok ke belakang, cemas pria itu akan berhasil mengejar dan menyusulnya.
Dan longokan wajahnya berikutnya, membuat Jasmine ketar-ketir setengah mati.
Benar saja!
Dari kejauhan sana, ia mulai melihat dua orang pria berlarian seraya melongok kiri dan kanan, terlihat jelas mereka tengah mencari sesuatu. Dan Jasmine menerka tepat! Pasti ia yang mereka cari!
Kelabakan, Jasmine menengok sana-sini, mencari tempat untuk sembunyi. Tak ada apa pun! Pintu-pintu kedai bambu sederhana di sekitarnya bahkan telah tertutup. Jika ia sembunyi di belakangnya, mereka pasti berhasil menemukan dan menangkapnya.
Tidak!
Sampai jatuhlah pandangannya pada sebuah mobil bak beberapa meter di ujung belokan di depan sana. Ia melihat si pengemudi tengah asyik mengeluarkan isi kandung kemihnya di bawah pohon kecil.
Tak menunggu apa pun, Jasmin langsung melangkah cepat mendekati mobil yang mengangkut beberapa jenis sayuran itu lalu menaikinya. Ia merunduk ketakutan setelah tubuhnya mendarat di atas badan mobil itu. Hatinya berharap, semoga mobil cepat melaju.
"Buseh, Le. Cape banget gua!" Tara berujar seraya mengempaskan tubuhnya menelungkup di atas kasur milik Austin.
Le adalah kependekan dari sapaan 'Bule', panggilan Bintara khusus untuk Austin. Mereka berdua bersahabat. Persahabatan yang nyaris tanpa disadari kapan kedekatan itu dimulai.
Bintara, pria muda berambut gondrong sebahu itu adalah manusia yang paling berpengaruh untuk segala sisi perjalanan hidup Austin selama berada di negara ini--hingga kini.
Austin si beku jenis kulkas lima pintu, kini lebih ekspresif sama seperti Tara--sama-sama tak beres.
"Gua kagak !" balas Austin sekenanya. Ia memilih sofa untuk menyandarkan tubuh yang sebenarnya sama penat dengan Tara.
“Cihh!” decih Tara.
Jam sebelas lewat dikit malam ini.
Tara membalik tubuhnya menjadi telentang. Melipat kedua tangan untuk ia jadikan penyangga kepala. Lampu dengan bentuk jantung pisang di atas langit-langit menjadi sejurus tatapnya saat ini. "Le, menurut lu, tu cewek bakal baek-baek aja gak, ya?" tanyanya dengan sirat sedikit khawatir.
Berbeda dengan Tara, lengan sofa dijadikan Austin sebagai bantalan untuk menyangga kepala. "Emang kenapa, Tar?" Austin balik bertanya, bernada tanpa minat. Dia mulai sibuk memainkan ponsel yang dua detik mengeluarkan suara dering singkat, pertanda sebuah pesan chat baru saja masuk melalui aplikasi Wangsapp miliknya.
"Gua takut tu cewek jadi gila, Le."
"Apaan sih, lu!” hardik Austin. “Salah dia sendiri ngapa berdiri di situ. Pan gua jadi keterusan," decak kesalnya seraya menggeliatkan tubuh sedikit naik, mencari posisi nyaman di atas sofa.
"Beneran, Le. Gua serius." Tara mengangkat bangkit tubuhnya, dan mendapati Austin ternyata tak begitu fokus pada dirinya. "Heleh, si Kampret! Bacod gua dianggurin!" Sebuah bantal dilemparkannya pada si Bule yang saat ini mulai menunjukkan gejala seperti orang tak waras--terkekeh-kekeh sendiri bersama ponselnya. "Yodah dah, gua mandi dulu. Pedut bacod sama lu!" Dia turun dari ranjang seraya bersungut-sungut.
"Hmm ...." Sesingkat itu Austin menyahuti.
"Taek emang lu!"
"Memang! Pan elu yang ajarin!"
"Gua gibeng, jelek lu!" Tara melanting masuk ke kamar mandi. Sedangkan Austin masih terlena dengan goyangan jarinya di layar ponsel.
....
Tak perlu menunggu sampai subuh, Tara sudah keluar dari dalam kamar mandi yang masih berada dalam petak ruangan yang sama itu.
Rambut basah dengan aroma manly terasa menyeruak di sekitaran, dikeringkan Tara dengan sehelai handuk berwarna putih bergambar kartun Woody dan kawan-kawannya--tokoh-tokoh animasi Toys Story. "Mumpung baru mau tengah malem, karaoke yuk, Le!" Tara mengajak seraya duduk nyerempet di sofa yang ditiduri Austin.
"Lu ngapa mepet-mepetin gua, sih?!" hardik Austin sembari menarik baring tubuhnya menjadi duduk.
"Ikut yak yok!" Sepasang alis Tara dibuatnya naik dan turun.
"Kagak! Pala gua sakit, Tar!" tolak Austin dramatis. Telapak kiri tangannya mulai naik melakukan gerak memijat di bagian kening dengan siku tertumpu paha. “Lagian katanya lu capek!”
"Kagak! Pan uda mandi!” ujar Tara. “Sakit pala lu pasti sembuh kalo udah ketemu cewek-cewek gemoy di sana! Ayolah, Leee ...."
"Ayu aja blon ampe kelar gua garap. Dan itu gegara lu, Sialan!" Sekali hentak dorongan, tubuh Tara tersungkur ke lantai di bawah kaki Austin.
"Bang-ke! Gua sesep muke lu, ambyar!"
"Muka gua tampan permanen!" Austin membalas seenak udel. "Lagi elu, lembek dipiara!" Ia bangkit dari tempatnya. Melangkah menuju sebuah nakas di mana charger ia letakkan di sana. Ponsel yang nyaris ko'it mulai ia isi.
"Kalo Pak Lurah tahu, anak gadisnya mo lu obrak-abrik, modyar lu, Le!" Tara mengacak isi lemari Austin yang berdiri berdampingan dengan sofa yang tadi mereka singgahi, mencari sesuatu untuk membalut tubuhnya yang masih setengah lanjang.
"Mana ada!" sanggah Austin. Dengan langkah tenang, si bule mendekati Tara lalu berbisik tepat di depan telinganya, "Lu gak amnesia, 'pan?" katanya menyeringai. "Gua ini mafia. Dan Pak Lurah yang lu kata itu ... cuma upil.”
Tara membeliak. "Ya ya ya ... Mafia pasar gembrong!"
Gelak Austin membahana lantang menendang sunyi. "Ya udah deh! Gua mo mandi. Abis tu molor. Tenaga gua kudu full besok."
“Ya udah lah, sono! Baek-baek lu ngadepin Sigi besok.”
Keesokan harinya.
Pukul 02.00 pm.
Suasana di Sirkuit Sentul bagian timur kota Bogor itu telah nampak penuh disesaki orang-orang yang perlahan memadati balkon penonton di sekelilingnya. Bendera-bendera berkibar saling melambai satu sama lain di tiap kubu pendukung, bertuliskan nama pembalap idola mereka masing-masing.
Austin Bennedict dan Bastian Sigi.
Hanya dua nama itu yang ramai dielu-elukan. Meskipun di lintasan jelas tak hanya mereka yang bertanding memacu kuda besi khas MotoGp tersebut.
Bintara telah siap dengan team-nya di pihak Austin tentu saja. Rambut yang diikat serampangan nampak keren menunjukkan sejuta karisma dalam dirinya.
Pun dengan Austin yang juga siap di posisi garis start.
Sejenak Austin beradu pandang dengan lawan balap di sebelahnya--Bastian Sigi. Ekspresi mereka tak dapat dilukiskan karena terhalang helmet.
Dan fokus mereka kembali setelah seorang grid girl mulai bersiap mengibarkan bendera kode memulai laju.
Dan ....
BREEEEEEETTTTT ....
Suara berderet motor dengan pautan gas penuh semangat, menggelegar menyentak telinga.
Lap demi lap, dilewati dengan persaingan ketat.
Hingga di sekian waktu kemudian ....
"LEEEEEEEE ...!!!!!" Teriakan Tara membahana. Dengan langkah-langkah lebar berkecepatan turbo, ia berlari menyongsong Austin yang berguling-guling di area lintasan.
Roda motor yang dipacu Austin nampak masih brputar mandiri, setelah terpelanting cukup jauh akibat tersenggol motor milik pembalap lainnya yang kehilangan kendali cukup keras.
"Le, bangun, Le!" Telapak tangan Tara mengguncang-guncang tubuh Austin yang telah terkulai, tak sadarkan diri. Wajah Tara cemas bukan kepalang. Helm yang menutupi kepala Austin telah dilepas salah seorang lainnya yang berperan sebagai mekanik dari team-nya. Terlihatlah wajah naas Austin dengan rambut berantakan yang menutupi bagian wajahnya.
"Le ... lu jangan bikin gua takut, dong?! Jangan mati dulu!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!