NovelToon NovelToon

Istriku Murid Nakal!

Jangan Nakal Ara!

Arei Ratoka Zahreksa. Guru mapel Biologi itu tengah berjalan menyusuri koridor, dengan gagah dan perkasa, melewati beberapa siswa, hingga tiba menerobos kondisi kerumunan di sana.

Sorak-sorai dari mulut-mulut siswa, berdenging di telinga. Mereka melontarkan kata yang mengacu pada peristiwa hari ini.

"Pak mereka lagi lesbi!" teriak sesosok murid lelaki gondrong.

"Bego, mereka berantem Gon!"

"Bukan, mereka lagi main basah-basahan. Katanya belum mandi siang!"

"Jangan dengerin bocah-bocah gila Pak! Sebenarnya kejadian ini karena mereka lagi rebutin Bapak!"

Arei sempat menghela napasnya. Menatap dua manusia berjenis perempuan yang sedang asik berjambak-jambakan di dalam toilet.

Aksi mereka telah menjadi pertontonan, yang di mana saat itu tak yang memisahkan sama sekali, justru kerap mereka menjadi dukungan di antaranya.

Mereka terlihat basah, dengan kancing baju terlepas ke mana-mana. Sampai Tamara yang berjilbab, harus memperlihatkan surai indahnya.

"Jangan deketin pak Arei bangsat!"

"Lo siapa bego? Istrinya? Terserah guelah anjg!"

"Kalau gue gak suka gimana? Arghh muka lu kayak taik, benci banget gue!"

"Lepas aja hijab lo anj kelakuan lo kayak pig!"

"Siapa lo ngatur-ngatur, hah?!"

"Anj*ng!"

"Sialan!"

"BERHENTI KALIAN!!"

Seketika tak ada yang berani melanjutkan aktivitas kriminal itu lagi. Mereka saling adu pandang, bukan menyalahi perbuatan, justru berdendam lewat kontak mata. "Mau lanjut lagi? Apa nikmat bolak-balik ruang BK?"

Ucapan mematikan yang berhasil keluar dari guru tampan itu, mampu menundukkan keduanya. "Susah payah ayah saya mengharumkan nama sekolah. Namun tingkah memalukan dari kalian, sangat mencoreng Citra Bangsa!" gertaknya.

"SEMUANYA GUBAR!!"

Tanpa aba-aba, manusia-manusia yang menjadi saksi sudah hilang dari pandangan Arei. Kini, hanya ada ketiganya.

Tamara vs Rintika.

Jika mendengar keributan, maka nama merekalah yang tercantum dalam benak. Biang keladi para murid, memang dari keduanya, dan siapapun yang mengetahui mereka pasti tak akan habis pikir.

"Pak Regan tolong tangani Rintika!" pinta Arei kepada guru olahraga yang baru saja tiba.

"Gak mau!" tolak Rintika menepis. "Saya maunya sama Pak Arei!"

"Orangtua kamu sudah datang Rintika, terpaksa saya harus menghantar kamu pada mereka!" ucap Regan. Rintika tak lagi menolak, dia sedang di ambang maut saat ini.

'Please kali ini jangan sampe hilang fasilitas gue!'

Tamara terlihat tersenyum, menyaksikan musuhnya telah enyah dari pandangan. Namun bukan berarti dia selamat.

Kini dia tengah berhadapan dengan suaminya.

"Ini yang sudah ke berapa kali, Ara? Saya benci sekali tubuh kamu dipertontonkan!" Arei mendekati istrinya, menyelampirkan jas hitam milik dia.

Sempat, saat keduanya baku hantam dalam toilet, aksi mereka menimbulkan issue miring. Seorang gadis berjilbab, menampilkan diri tanpa berkerudung!

Pakaiannya hampir terlucuti akibat tarikan Rintika, sebaliknya pun dengan Tamara.  "Maaf ....." cicitnya.

Tamara gadis berjilbab, dia perempuan ayu yang memiliki paras imut bak sesosok bayi. Namun, kenakalannya lah yang menutupi betapa cantiknya dia.

Suatu hal yang perlu diketahui, Tamara selalu lemah berhadapan dengan lelaki ini. Fisiknya tak sekuat anak lain, tapi dia berlagak layaknya seorang pria perkasa.

Grep!

Dalam satu rangkapan, gadis itu jatuh dalam dekapan. "Kamu selalu buat saya susah. Sialnya saya mencintai kamu!" gerutu Arei. Kemudian, membopong tubuh istrinya yang sudah tak sadarkan diri.

****

Bagaimana bisa seorang murid dapat berstatus istri, dan lebih menarik lagi sang pendamping dia adalah gurunya sendiri?

Itulah yang terjadi pada rumah tangga Arei dan Tamara. Keduanya telah dijodohkan atas permintaan dari pihak keluarga Arei, terlebih Arei sendiri memang sangat mencintai sosok Tamara. Dengan dilandasi, 'Saya menikahi Tamara, atas dasar berbakti kepada Allah untuk menyempurnakan akhlaknya.'

Mengetahui Tamara adalah gadis yang cukup nakal, Arei gatal ingin mengoreksi dirinya. Namun tak semudah yang dibayangkan, Tamara bukanlah gadis penurut dan gampang dirubah. Jika sudah menjadi keinginannya, maka mustahil untuk Arei mencegah.

Pernikahan mereka diprivat, karena ini termasuk melanggar peraturan sekolah. Namun karena sekolah Citra Bangsa adalah milik sang ayah Arei, mungkin jika terbongkar pun tak ada yang dapat dipermasalahkan. Terkecuali, saat Tamara hamil.

Akan tetapi, sampai saat ini Tamara masih terjaga dari kata itu, walau dirinya bukan lagi seorang gadis atau perawan.

Di UKS berada.

"Kita pulang sekarang!"

"Gak mau!"

Arei kembali menghembuskan napasnya. Begitu sabar dia menghadapi istri nakalnya ini. "Jangan nakal Ara, sekali saja ikuti kata saya!"

"Jangan cerewet Bapak, sekali saja turuti saya!"

Arei tampak menyilang tangannya di bawah dada, bertatap sinis lalu berkata, "Percuma di sekolah, kalau akhirnya tidur di kelas. Lebih baik pulang, atau main ke rumah mertua saya!"

Seketika Tamara berkedip-kedip menggoda. "Masih mau nampol muka Rintika, boleh ya Sayang ....?"

"Terus bertengkar lagi, main cakar-cakaran lagi, sampai pingsan lagi? Jangan nak—"

"Jingin nikil iri, jingin nikil ...." Ekspresi wajah anak itu dibuat-buat seakan meledek. "Issh! Diatur-atur mulu kayak besek!"

***

[Masih ngaku musuh, datengi tempat biasa!]

Waktu sudah menunjukkan pukul 23:15 pm. Masa ini adalah saatnya anak remaja bermain.

Mas Arei udah pules banget, gak apa-apa kali ya?

batinnya.

Tamara mulai bergerak dari ranjang, memisahkan diri dari sang suami yang masih terlelap dalam mimpi. Seharian penuh dia menghandle banyak kegiatan, tentu saja rasa itu akan melebur dan membuatnya tertidur dari tadi sore.

***

"Ayo balap anj*ng!"

Baru saja tiba, Tamara sudah mendapat perkataan kasar dari sang musuh. Ia menatap sengit, menyangga kedua tangannya di atas helm.

"Taik!" cemoohnya.

"Garda Ferdinandso akan selalu terdepan. Balapan malam ini bersyarat. Kalau menang, lo harus siap check in sama gue. Sebaliknya kalau gue kalah, lo gak dapat apa-apa, gimana, deal?!"

"Cihhh, lagu lo kayak ee!" ledek Tamara.

"Jangan banyak bacot Ra, deal atau nggak? Malam ini kita bersaing secara ringan!"

Bukan kali pertama seorang Tamara mampu mengalahkan banyak saingan. Sesosok Garda dengan dendam terbuka, selalu berjuang menjatuhkannya. Namun apa? Kata kalah belum pernah terlintas untuk Tamara.

"Kalau gue menang lo bisa 'kan enyah dari hidup gue?"

Garda mendekat, melajukan motornya tepat di hadapan Tamara. Dia tersenyum miring, memandang remeh keseluruhan Tamara. "Gak akan, bahkan hal yang paling menyenangkan yang gue tunggu di saat di mana lo, mati! Maka, mulai itu juga gue berhenti gangguin lo! So, jangan berpikir bego!"

"Sialan, bangs*t!"

Bughh

Dagghh

BRUKHH!!

****

Aman aman aman ....

"Balap lagi, Ara?"

Tap!

Lampu menyala, menampilkan sosok pria bertubuh setengah telanjang sedang menikmati secangkir kopi di ruang tengah.

Tamara menggembungkan pipinya, membuang napas secara terpaksa. Sial banget nih om-om, bangun tengah malam segala.

"Bahkan kamu tidak membiarkan saya tidur nyenyak malam ini. Apa salahnya, satu malam saja tidur sepenuhnya di samping saya sampai matahari terbit?"

"Maaf, maaf, maaf ...."

Kini Arei dibuat geram. Istrinya pulang dalam kondisi lutut berdarah, siku terbuka, bibir yang sedikit koyak, dan kurang sabar apalagi dia. "Berantem atau jatuh?"

"Dua-duanya ...."

"Saya benci sekali, saat kamu selalu menuruti tantangan anak STM itu!"

Ketika Rasa Sabar Setipis Tissu

"AREI KOK BISA BERTAHAN SAMA ANAK MAUT ITU?"

Tamara yang tengah memakai sepatu di teras, hampir ketelak permen batang yang sedang ia ****. Lengkingan dari mulut tetangganya itu sangat mengoyak telinga.

"Emang kudu dipangkas itu moncongnya. Entog nila sialan!" geram Tamara.

"Jangan diladeni, sama gilanya kamu!" cetus Arei yang sedang menikmati kopinya di sofa depan.

Tamara hanya mampu berdehem, merilekskan emosinya. Meredam rasa kesal dengan menatap sengit sang tetangga julid yang tengah asik memberi makan anj*ng peliharaannya.

Bukan hanya ini, tetangga montok berpinggul gempal itu memang kerap mengusik Tamara, lantaran dirinya selalu dijahili dan merasa tak terima. Alhasil, wanita seksi bernama Bona itu dendam. Tamara pun selalu menjadi bulan-bulanannya saat pagi.

"LOLLY SAYANG .... LIHAT ANAK MUDA DI SANA. ASTAGA, BAHKAN KAMU LEBIH BAIK."

Batang permen yang baru saja ia patahkan seakan tak terasa sakit, padahal itu sedikit menggores tangannya. "Bangs*t gue dibandingin sama anj*ng!"

"Kita berangkat sekolah, sekarang!" ajak Arei, sebelum kata-kata kasar istrinya itu kembali ia muntahkan untuk tetangga usilnya.

"TANTE BONA SAMA LOLLY GAK ADA BEDANYA YA. SAMA-SAMA ANJ*NG!" teriak Tamara, langsung ditarik paksa oleh suaminya.

"Astaghfirullah ...."

***

"Badmood badmood badmood!"

Di perjalanan menuju sekolah, Tamara terus saja menggerutu dalam mobil. Lengan Arei sudah menjadi pelampiasan di kala rasa geramnya. Bahkan bekas cengkraman terlihat kontras di punggung tanganya.

"Gak mau tau, aku mau pindah pokoknya, ke mana pun yang penting jauh dari manusia sialan itu!"

Arei terlihat fokus mengemudi.  Jika ia layani istrinya yang sedang bersuasana buruk, mungkin dia tak akan pernah benar. "Mas ngerti perasaan aku gak si? Jawab gitu, bicara gitu, bisu kok mendadak! Arrghhhh aku mau bolos sekolah, gak mau sekolah, gak nafsu sekolah!"

"Baik kalau mau kamu kayak gitu, hamil saja dan urus bayi saya di rumah!"

"Lebih gak nafsu!"

"Ya sudah, gak ada kata bolos hari ini!"

"Isshhh, bukannya nenangin malah bikin badmood, huaaaaa pengen sama mama!"

"Ara—"

"Gak usah ngomong, kamu nyebelin!"

Nah 'kan! Memang seperti itu, tak ada yang bisa mengendalikan sikap absurd Tamara. Anak perempuan itu selalu berprilaku sesuka hatinya.

"Mau ke rumah, mama!"

"Harus sekolah, kalau tidak kamu saya buat hamil dan tak bisa sekolah lagi!"

****

"PAK AREI, TAMARA NGUNCIIN TEMAN SAYA DI GUDANG!!"

Dari dalam ruang BK, Arei tampak terburu-buru mengikuti langkah kaki, dari salah satu murid yang terlihat terpontang-panting ke sana-kemari. Mengkhawatirkan sosok temannya yang tengah di ambang maut.

Sampai di pintu gudang, Arei segera merogoh kunci serep yang ia punya. Sebab, mungkin kunci utama masih digenggam Tamara.

Ia Membuka pintu, mendorongnya, kemudian terpampanglah tubuh manusia yang terkulai lemas di dalam sana.

Tamara kamu benar-benar keterlaluan.

"Indah, kamu baik-baik saja?"

"Pak, Indah sesak napas. Dia punya riwayat asma!" ucap, dari teman gadis malang yang menjadi korban kejahatan Tamara, itu.

"Astaghfirullahalazdim. Kamu ikuti saya ke UKS ya!"

"Baik Pak!"

Di UKS.

Arei segera menolongnya dengan bantuan alat pernapasan. Dia membantu Indah mengembalikan napas normalnya dengan inhaler. Begitu telaten, hingga Indah terpaku akan kebaikan guru tampan ini.

"Sudah berapa lama penyakitmu?" tanyanya.

Indah menjawab dengan tundukkan kepalanya. "Sejak kecil, Pak. Hmm maafkan saya sudah merepotkan!"

"Tidak apa-apa, ini termasuk tugas saya sebagai guru. And, untuk masalahmu dengan Tamara tolong menghadap ke ruangan saya ya!"

"Baik Pak!"

****

Arei mengikuti langkah murid yang berstatus istrinya saat ini. Ya, Tamara tengah berjalan santai menuju toilet. Interaksi aman memang hanya di dalam sana. Namun aksi Arei tanpa sepengetahuan dirinya, semata-mata agar Tamara tak dapat menghindar.

Saat murid itu sudah membuka pintu, Arei begitu cekatan menerobos masuk terlebih dahulu. "Pak Arei!"

Cepat-cepat Arei mengunci pintu, merapatkan posisinya pada sang istri, kemudian ia menyalangkan tatapan. "Kamu sadar akan kesalahanmu, sekarang?"

Tamara terlihat menunduk, dalam hati ia menggerutu. Sial, dia selamat lagi. Kenapa dia gak mati aja si. Selalu Mas Arei yang nolong!

"Aku gak suka, dia mau kasih bekal buat kamu!" jujur Tamara, menunduk.

"Saya bisa menolak jika kamu tidak suka, tapi apa pantas kamu menguncinya di dalam gudang? Ara, kamu tahu dia punya penyakit asma? Tolong jangan kekanakan, kamu selalu mementingkan kepuasan hati!" bentaknya.

Entah api emosi dari mana, saat itu amarah Arei benar-benar berkobar atas tindak kejahatan istrinya. Sampai-sampai kata tegas terlontar begitu lantang, "Saya benci prilaku kamu Ara, kamu keterlaluan!!"

Percayalah, Tamara tak sekuat dan tak seberani saat bertarung dengan musuh-musuh lelakinya. Jika berhadapan dengan Arei, ia sangat lemah. Bahkan untuk menatap saja ia enggan.

"Ara minta maaf ....." Tanpa terasa buliran bening milik perempuan itu meluruh, seiring kesesakan dadanya.

****

Kini, Arei tampak melamun di dalam ruangan. Jam mengajar dia telah habis, tinggal dirinya mengurus beberapa siswa yang bermasalah hari ini.

Menghandle dua profesi sekaligus bukan hal mudah. Dia menjadi pengurus bimbingan konseling, dan harus memberi materi setiap hari. Mengetahui sang istri yang begitu nakal, Arei mencemaskan jika bukan dirinya yang menangani Tamara, anak itu akan semakin brutal dan tak tahu aturan.

"Sepertinya aku terlalu kasar tadi," gumamnya.

Mungkin beberapa hari ini ia harus menerima keadaan, karena setelah ini ia pasti akan didiami oleh istrinya.

Sementara di basecamp pribadi, Tamara sedang menghisap tiga batang rokok yang terhampit di sela-sela jarinya.

"Ra lo habis ketemplokan setan di mana?"

Ya itu sahutan dari Vio, sahabat Tamara. Jika berpikir anak brandal sepertinya tak mampu memiliki teman, maka itu salah. Justru, masih banyak anak-anak yang ingin menjadi sahabat dia. Katanya, mereka ingin menjadi lord seperti Tamara yang pemberani.

"Gilak, tiga batang woy. Gue sebagai cowok ceool aja setengah batang gumoh!" sela Gona. Dia lelaki, tapi masih diragukan. Suka jepitan, dan terkadang memakai bandana. Ragu 'kan?

"Mungil-mungil, ngisepnya kuat!" sahut Pian teman lelakinya juga.

"Ada masalah apalagi Ra?" tanya Dorri. Kenapa dipanggil Dorri? Kata orang dia adalah spesies Dora yang tersisihkan. Bahkan, poni dia tak beda sedikit pun. Akan tetapi gaya rambutnya itu yang membuat dia tampak imut. Kata dia.

Memang, makhluk-makhluk yang berteman dengan Tamara ini aneh-aneh.  Namun sampai saat ini persahabatan mereka begitu terjalin rapi, dan sangat kuat.

"Kalau ada masalah ngomong Ra, jangan tiba-tiba lu ngelebok sampe tiga batang kayak gitu. Kalau kena paru-paru gimana? Pokoknya gue maju paling depan deh, ngadepin musuh-musuh lo!" Walaupun begitu, Gona selalu menjadi yang terdepan, bahkan di antara yang lain Gona lah yang paling disayangi oleh Tamara.

"Kencing masih dipegangin, sok-sok'an!" sahut Pian, meremeh.

"Cebok masih pake tangan, jangan belagu!!"

"Wisssh, keren-keren. Gona udah berubah. Pasti jepit rambutnya makin nambah, haha!" ledek Via terkikik.

Membiarkan para temannya bercengkrama masing-masing, Tamara tak tergoyahkan oleh lamunannya. Mengingat bagaimana sang suami membentak, seakan menciptakan kebencian yang semakin dalam terhadap gadis itu.

"Cara buang mayat Indah tanpa sepengetahuan suami gue gimana ya?"

"HAH!"

"Dark ...."

Minta Maaf Lagi

"Kalian tahu istri saya di mana sekarang?"

Arei menatap ke-empat muridnya yang masih bermalas-malasan di basecamp buatan mereka, padahal semua pelajaran sudah beberapa waktu lalu.

Tepat di belakang sekolah, di bawah pohon mangga, terdapat rumah kecil yang berlindung di balik benteng sekolah, dan itu berada di bawah pohon. Jika mencari kelima anak nakal yang kerap tak hadir saat jam belajar berlangsung, maka di sinilah tempat mereka.

"Dia pulang duluan Pak, katanya mau ngasih makan buaya yang ada di aquarium," sahut Gona.

Kenapa Arei mampu bertanya pada mereka? Bukankah pernikahannya private? Tidak, selain mereka tak ada yang tahu, dan memang hanya mereka. Sebab, permintaan Tamara yang ingin semua temannya turut hadir saat pernikahan, itupun dengan keterkejutan mereka masing-masing.

"Jangan dengerin si kubul pancing Pak. Ara pergi sama Garda ke area balapan!" sahut Dorri asal.

"Lo kok bocor banget si Dor, kata Ara gak boleh kasih tau Pak Arei!" bisik Vio.

"No coment!" timpal Pian, yang kala itu tengah asik mengorek-ngorek lubang hidungnya.

"Gue gak ikut-ikutan ya, kalau besok Ara cosplay jadi reog!" ucap Vio.

****

Sudah sore, tepat saat Arei pulang dari rumah sakit. Tamara tak kunjung hadir di rumahnya. Rasanya ingin sekali ia membanting semua barang yang ada. Istrinya selalu membuat emosi tersulut.

"Tamaraaaa!" Tangannya tergenggam kuat, melampiaskan amarahnya dengan rasa geram.

Dia mengira Tamara akan sadar setelah perbuatan. Namun apa? Anak itu semakin bebas dan melupakan segala kekangannya.

Harus dengan cara apalagi Tamara, astaghfirullahalazdim.

Hingga tiba di malam hari, Arei masih kelimpungan. Jika dia tahu keberadaan sang istri saat ini, sudah pasti ia cari, hanya saja itu akan membuang waktu. Tamara tak akan bisa terlihat walaupun disusuri kesana-kemari.

"Assalamualaikum ....."

Arei menetralkan ekspresinya, masih duduk santai di atas sofa dengan tatapan maut yang mengintimidasi

Lagi-lagi Tamara pulang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Wajah mungilnya penuh memar, dan terlihat goresan dalam di hujung mata kakinya. Bahkan, dia pulang dengan keadaan kaki telanjang tak beralas.

Tamara mulai berjongkok dengan meringis-ringis. Menatap memohon pada suaminya, berharap mendapat ampunan. "Dari mana?"

"Jawab salam aku dulu!"

"Waalaikumsalam."

"Ara minta maaf ...."

Tamara sempat memejamkan matanya, melihat tangan Arei yang terkepal begitu erat. Mengira sang suami akan memukulnya, perempuan itu pun seakan sudah siap.

"Saya tidak akan pernah bisa marah denganmu, Ara!" Arei segera merengkuh tubuh istrinya, membawanya dalam dekapan. Untuk yang sekian kalinya, dia masih mampu bersabar kepada sang istri walau dia tahu keesokannya akan tetap sama.

"Kenapa gak pukul aku aja? Aku siap!"

"Saya tidak bisa melukai istri saya, membentakmu saja merasa manusia paling jahat di bumi!"

Tamara cukup tertegun. Selama pernikahan yang hampir berjalan 7 bulan, memang tak sama sekali Arei berbuat kasar, membentak pun jikalau kesalahannya di luar batas. Jika marah, Arei lebih sering membanting barang yang ada di sekitar, sekedar melampiaskan emosinya.

"Diam di sini, lepas hijab kamu. Biar saya obati!"

Tamara menjauh, menyandarkan tubuhnya di sandaran. Ia masih mengingat bagaimana kuatnya pukulan Garda tadi.

Jangan sampe anj*ng itu deketin kakak gue.

"Kalau saya minta kamu menjauhi dan berdamai secara baik-baik dengan anak lelaki itu, apakah kamu bisa Ara? Saya akan bantu nanti," ujar Arei kala dirinya tiba dengan membawa p3k mini.

Tamara menyodorkan lengannya kepada Arei untuk diobati. "Mau aja. Tapi, jangan sampai dia tahu kalau kamu suami aku!"

"Itu mudah, asal kamu tidak lagi berurusan dengannya." Arei masih tampak fokus mengobati.

"Baiklah .... aucchh, pelan-pelan dong Sayang!" Sementara Tamara mulai menggoda.

Sekali lagi Arei menekan lukanya. "Sakit Mas Arei, pelan-pelan ih!"

"Padahal saya melakukannya dengan perlahan," sangkal Arei sembari ia pasangkan kompresan air hangat.

"Ah, hangat ... enak banget!" Saat itu juga Arei kembali menekan luka istrinya dengan kapas basah, dan lagi-lagi Tamara meringis.

"Ah, Mas Arei pelan-pelan, kok makin kasar ihh!"

"ASTAGHFIRULLAHALAZDIM!"

"WOY TAHU TEMPATLAH. GILAK, DI RUANG TAMU AJA JADI!"

"GUE DENGERNYA MERINDING ANJAY. PENGANTIN BARU KELAKUANNYA MINUS, NO LECET, FULL SET, MINAT CHAT!"

Tamara tampak jengah menengar teriakan seseorang di balik pintu. "Masuk dulu makanya, jangan sembarang nguping, kayak kambing budek lo!" sindirnya. Ia sangat hafal kedatangan manusia ini.

Dia Arai, adik dari Arei. Lelaki itu mengintip sedikit di balik pintu depan, sebelum akhirnya ia benar-benar masuk.

"Hehe ... suara lo bikin gue overthinking!" ucapnya menggaruk-garuk kepala.

"Mau ngapain? Numpang makan lagi? Beras mahal!" cetus Tamara.

"Dih seterah gue lah, ini rumah Abang gue!"

"Rumah Abang lo, berarti rumah gue!"

Arai langsung melompat, dan duduk tepat di tengah-tengah mereka. Namun aksi absurd anak itu berhasil mengoar suara nyaring dari Tamara. "ANJ*NG SAKIT LUKA GUA BEGO!"

"Araaa ...." tegur Arei. Percayalah, pria sangat tidak suka istrinya berucap kasar, kepada siapapun.

"Maaf Ayang ....."

"Sama laki aja, berubah jadi Barbie lo!" sewot Arai.

"Papa sendiri di rumah, Rai?" tanya Arei.

"Iya Kak. Ehmm, sebenarnya gue ke sini cuma mau bilang, kalau Garda lagi buat rencana bunuh lo, Ra. Kak Rei, mending wanti-wanti dari sekarang!!"

Kenapa dia begitu perihal kecekcokkan antara Tamara dengan lelaki bernama Garda? Ya, Arai adalah salah satu temannya, dia satu sekolah dengan anak itu. Dalam pertemanan itu, Arai selalu menjadi mata-mata, demi melindungi sang kakak ipar dari ganasnya sang teman.

"Gue gak takut si Rai, buktinya yang masuk rumah sakit selalu dia, pas kita bettle!"

"Bukan cuma itu Ra, Garda juga lagi deket sama kakak lo!"

Arei dapat melihat wajah sendu dari isterinya. Mungkin permasalahan semua berada pada titik itu. "Gue gak mau kakak gue jadi korban. Tapi, negur kak Ira gak gampang, dia keras kepala. Apalagi gue yang sebagai adeknya yang lebih muda, mana mau dia dengerin gue."

"Di coba dulu sebelum terlambat," sahut Arei.

"Nah. Lagian, kata gue si mending Ira sama gue aja Ra, 'kan enak tuh kita satu keluarga yang terikat, ebeww!"

Tamara mendengus. "Terus nanti kalau kalian nikah, gue panggil lo kakak gitu? Kakak ipar ... cuih geli!"

"Saya juga bingung, mau panggil adik atau kakak dengan Ira," timpal Arei.

"Ribet lo berdua. Gue juga mau dicintai dan mencintai, walau ujungnya sama-sama tai, arrghh gak ada yang bisa ngertiin. Lo semua jaharrrrrr!"

Tamara tampak memutar bola matanya. "Drama!"

Tiba-tiba Arei mengingat sesuatu, terlebih setelah mendengar nama 'Ira'.

Dia yang dulu mengutarakan cinta kepada saya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!