Intan masih menangis sesenggukan disamping pusara sang ibu yang telah pergi meninggalkannya terlebih dahulu menghadap sang khalik.
"Tan, sudahlah, jangan menangis lagi ya. Abang tahu kamu sangat berduka, tapi Abang percaya Ibu juga tidak akan suka bila melihat kamu larut dalam kesedihan ini," ujar Erland masih berusaha menenangkan gadis cantik yang telah ia anggap seperti adik sendiri.
"Aku takut, Bang, aku sudah tak mempunyai siapapun. Hiks..." Intan semakin menguatkan pelukannya pada lelaki yang ada disampingnya. Ah, andai saja lelaki itu bisa menerimanya sebagai seorang kekasih, maka ia pasti akan meminta untuk dinikahi agar rasa takut segera sirna.
"Sudah, sudah, Ayo kita pulang sekarang ya. Kamu tidak perlu takut, anggaplah Abang sebagai keluargamu sendiri. Apakah kamu lupa bahwa kita sekarang sama-sama yatim piatu. Abang juga selama ini hidup seorang diri, kamu dan ibulah yang Abang anggap sebagai keluarga sendiri," jelas Erland pada wanita itu.
"Bang, kenapa Abang masih saja menganggapku sebagai seorang adik? Aku ingin sebagai kekasihmu. Kenapa Abang tidak bisa sedikit saja membuka hati untukku?" ujar Intan melepaskan dekapan pria itu.
"Tan, Abang tidak bisa," jawab Erland tegas.
"Kenapa tidak bisa, Bang? Apakah Abang sudah mempunyai kekasih?" tanya Intan tampak cemas.
"Ya, Abang sudah mempunyai kekasih. Abang tak mungkin menyakiti perasaannya, dan tentu saja kamu tidak akan mau diduakan," ujar pria itu jujur.
Seketika air mata Intan kembali jatuh berderai. Sakit sekali mendengar kalimat jujur itu, namun ia harus bisa menerima kenyataan.
"Terimakasih Abang sudah jujur, aku memang tidak mau diduakan, namun aku akan tetap menunggu. Andai suatu saat nanti Abang tak bahagia, tolong buka pintu hati Abang untuk aku. Karena Samapi kapanpun hanya Abang cinta pertama dan terakhir bagiku," ujar gadis itu dengan berurai air mata.
"Dek, jangan bicara seperti itu. Abang percaya kamu pasti bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Abang. Buka hatimu untuk lelaki lain, kamu itu tak ada kekurangan, kamu cantik dan kamu..."
"Cukup, Bang! Aku wanita yang banyak kekurangan, karena kalau tidak, Abang tidak mungkin memilih wanita lain," lirihnya masih sesenggukan.
"Tapi ini masalah perasaan, Dek, karena Abang memang menganggapmu dari dulu hanya sebagai adik." Erland masih berusaha untuk menjelaskan agar wanita itu memahami.
"Ya, aku tahu Bang. Maaf telah membuat Abang tidak nyaman, tapi aku mohon tolong izinkan aku mencintaimu meskipun perasaan ini tak bertuan," ungkap Intan berusaha untuk tegar sembari menghapus air matanya, meskipun hatinya sangat perih atas apa yang ia dengar dari sebuah kejujuran lelaki itu.
Intan segera beranjak mendahului Erland yang masih terpaku disana. Pria itu menghela nafas berat, ia bingung harus berbuat apa? Perasaan memang tak bisa dipaksakan.
***
Tiga hari setelah kepergian sang ibu, kini intan sudah mulai kembali melanjutkan studinya di universitas yang ada di kota itu. Masih terngiang dalam ingatannya tentang kejujuran Erland yang mengakui bahwa dirinya telah mempunyai kekasih hati.
Intan berusaha untuk tetap tenang dan bersikap sewajarnya. Rasanya sudah cukup untuk berharap terlalu dalam. Ia akan tetap mencintai, namun cinta itu akan tersimpan rapi dalam sanubarinya.
"Pagi, Dek!" seru seseorang sembari mensejajarkan langkahnya dengan Intan.
"Ya pagi, Bang. Mau ke kampus?" tanya Intan pada lelaki yang masih merajai hatinya. Lelaki yang selama ini begitu baik dan penuh perhatian, namun semua itu hanya sebatas perhatian Abang pada adiknya.
"Ya, kamu udah sarapan?" tanya Erland yang masih seperti biasanya, itulah yang membuat Intan semakin dalam menaruh perasaan. Tak rela hanya dianggap sebagai seorang adik, namun juga tak ingin merusak kebahagiaannya. Intan berusaha untuk ikhlas meskipun ia tak tahu bagaimana caranya menyingkirkan nama Pria itu dalam kalbunya.
"Sudah, Bang," jawabnya singkat.
"Dek, Abang minta maaf ya bila telah mengecewakan kamu," ujar Erland meminta maaf atas percakapan mereka tiga hari yang lalu. Ia tahu sikap Intan sudah tak seperti biasanya, gadis itu tampak menjaga jarak.
"Tidak perlu minta maaf, Bang, karena disini akulah yang salah. Aku yang tak mampu mengendalikan perasaanku, tapi Abang tak perlu khawatir. Aku akan berusaha menerima segala kenyataan yang ada. Semoga Abang bahagia," jawab Intan berusaha tegar.
Erland hanya menghela nafas dalam dengan raut wajah rasa bersalah pada wanita cantik itu. Sebenarnya tak ada yang kurang. Dia cantik, pintar, dan sangat ramah juga berakhlak baik. Namun kembali lagi, ini adalah tentang perasaan, hatinya telah terpaut pada seorang wanita yang bekerja sebagai seorang model ternama.
Seperti biasanya mereka menunggu busway untuk sampai ke kampus. Mereka memang satu kampus, namun Erland sebentar lagi akan menyelesaikan studinya, ia dalam penyusunan skripsi. Sementara intan baru menjalani lima semester.
Tin! Tin!
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan kedua insan yang tengah menunggu armada busway. Maklum mereka yang hidup dalam kesederhanaan. Erland dan intan adalah terbilang murid yang pintar, karena itu mereka mendapatkan beasiswa di universitas yang sama.
"Sayang, yuk barengan," seru seseorang dari dalam mobil yang berhenti tepat di depan mereka.
"Nindi! Tumben banget kamu nyamperin aku?" ujar Erland pada wanita yang telah dipastikan adalah kekasihnya. Sebenarnya mereka sudah lama menjalin hubungan, namun entah kenapa Intan sama sekali buntu informasi tentang Pria itu bila dia telah mempunyai kekasih. Apakah Erland sengaja menyembunyikan darinya demi menjaga perasaannya?
"Iya, karena hari ini aku sedang free makul, jadi bisa nyamperin kamu. Udah, ayo masuk!" ajak wanita cantik itu dengan senyum menawannya.
"Ah, tapi aku bawa adikku. Nggak apa-apa 'kan?" tanya Erland yang tak tega meninggalkan Intan sendirian.
"Ya, tidak apa-apa. Ayo masuklah!"
Erland mengajak Intan untuk ikut bersamanya, namun gadis itu menolak, lebih baik pergi sendiri naik bus daripada harus melihat kemesraan pasangan itu.
"Ayolah, Intan, nanti kamu terlambat," ujar Erland masih berusaha untuk membawanya.
"Tidak perlu, Bang, aku naik busway saja. Itu bus-nya sudah datang, aku duluan ya," balas Intan yang segera masuk kedalam armada yang bermuatan banyak penumpang itu.
Erland masih terpaku menatap kepergian gadis itu. Ia segera masuk kedalam mobil mewah sang kekasih.
"Kok kamu bengong, Sayang?" tanya Nindi pada Pria itu.
Memang sejak mendengar pengakuan Intan beberapa hari yang lalu membuat hatinya sedikit terusik, tentunya ada rasa bersalah dan tak tega. Namun ia sudah berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Intan sampai kapanpun.
Erland masih terngiang amanah ibunya Intan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Sang Ibu memintanya untuk melindungi dan menjaga intan sampai kapanpun. Semoga saja Intan segera mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik darinya.
Bersambung....
NB. Hai, jangan lupa tinggalkan jejak ya agar Author semangat Update 🙏🤗
Happy reading 🥰
Setibanya di kampus Intan segera menuju kantin untuk mengisi perutnya yang memang belum makan apapun sedari tadi. Saat ia ingin duduk tak sengaja netranya menatap pasangan kekasih yang sedang duduk di meja pojokan.
Kembali hatinya merasa tak nyaman melihat pemandangan itu. hatinya terasa nyeri, namun tak mempunyai hak untuk marah, bahkan untuk cemburu saja ia tak di izinkan.
Intan menyurutkan langkahnya untuk kembali keluar dari kantin. Ia memilih untuk menepi sejenak sembari menunggu pasangan itu selesai makan.
Tak banyak yang ia lakukan hanya duduk di taman sembari membaca bermacam artikel terkait materi pelajarannya. Gadis itu tampak fokus, ia berusaha menekan perasaan yang sedang tak menentu.
"Disini rupanya, kamu tidak sarapan?" tanya Erland sembari duduk disampingnya.
"Ah, iya, ini mau sarapan," jawab Intan segera beranjak meninggalkan Pria itu duduk sendiri disana.
Intan berusaha untuk menguasai perasaannya, menjauh dari Pria itu adalah hal yang tepat demi kebaikan hati dan pikirannya. Tak ingin mengusik kebahagiaan mereka.
Walau Intan selalu menghindar, namun Erland selalu menjaga dan mengawasi meskipun dari kejauhan. Ia tahu saat ini Intan sedang menepi untuk kebaikan diri dan perasaannya.
Erland mencoba untuk memahami hal itu. Ia juga tak ingin menyakiti perasaan Intan dengan kehadirannya yang dianggap oleh Intan sebagai seorang lelaki yang memberi perhatian palsu.
***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hari ini adalah hari bersejarah bagi Erland, yaitu ia baru saja menyelesaikan studinya. Erland berhasil meraih gelar sarjana ekonomi dan mendapat nilai terbaik.
Intan ikut bahagia atas kelulusan Pria yang selama ini ia cintai. Dari kejauhan ia memperhatikan betapa tampannya Pria itu dengan atribut wisuda yang sedang ia kenakan.
"Semoga setelah ini kamu bisa mencapai cita-citamu, Bang. Do'aku untukmu akan selalu aku langitkan." Gadis cantik itu bergumam dalam hati sembari tersenyum menatap wajah tampan itu.
Erland berdiri didepan podium untuk memberi ungkapan rasa terima kasih pada seluruh jajaran dosen pembimbingnya selama ini, hingga ia menjadi mahasiswa teladan dan berhasil mendapat peringkat terbaik di universitas yang ada di kota itu.
"Dan apa yang telah saya raih hari ini, yaitu tak lepas dari dukungan seorang gadis cantik yang selama ini selalu memberi saya semangat dan memotivasi saya agar tetap gigih dalam menuntut ilmu..."
Netranya mencari-cari sosok itu. Intan sudah firasat bahwa yang sedang dicari Erland adalah kekasihnya. Namun sesaat tatapan itu bertemu dengannya. Seulas senyum terukir di bibir Pria tampan yang berumur dua puluh enam tahun itu.
"Gadis itu adalah dia..." Erland menunjuk Intan yang sedang duduk di kursi bagian paling pojok. Seketika tubuhnya menjadi kaku saat semua mata tertuju padanya. Dan bermacam seruan yang keluar dari mereka. Tentu saja mereka mengira bahwa Intan adalah kekasihnya. Namun seketika Pria itu meluruskan.
"Dia adalah adik saya," ungkapan itu kembali di suarakan oleh Erland, sehingga semua orang tahu bahwa Intan adalah adiknya.
Gadis itu tak tahu harus bagaimana mengeksprersikan perasaannya, apakah dia harus senang mendengarnya? Atau sedihkah, seakan Erland sedang menyadarkan dirinya agar sadar bahwa hubungan mereka memang sebatas Kakak adik.
Intan berusaha untuk tersenyum senang mendengar ucapan Pria itu. Atas permintaan Erland Intan naik keatas panggung untuk memberikan sebuah ucapan selamat padanya.
"Selamat buat Abang, aku selalu mendo'akan yang terbaik. Tentunya yang utama kebahagiaan Abang. Sukses selalu, Bang." Intan menyalami tangan Pria itu. Setelah sekian lama ia menjaga jarak, hari ini kembali ada skinship diantara mereka. Erland memeluk gadis itu sembari mengucapkan rasa terima kasih.
"Terimakasih, Dek, Abang masih berharap hubungan kita masih bisa seperti dulu. Jadilah Intanku yang manja dan selalu membutuhkan pertolongan aku," lirihnya sembari mengusap punggungnya dengan lembut.
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh jua saat mendengar ucapan Pria itu. Intan tak tahu apakah dirinya mampu bersikap sedemikian yang diminta oleh Erland. Ia sudah berusaha untuk mencobanya, namun hati kecilnya sangat sulit dibujuk.
Intan hanya mengangguk pelan, sembari menyusut air matanya, lalu melepaskan pelukan pria itu. Tak ada anggukan ataupun suara mengiyakan seakan menandakan bahwa hatinya belum rela.
Intan beranjak meninggalkan tempat itu. Kembali ia menepi untuk mencari ketenangan. Tempat yang nyaman ia kunjungi adalah taman yang ada di belakang kampus itu.
"Hati, kenapa kamu keras sekali? Ayo berdamailah dengan kenyataan yang ada. Bang Erland hanya menganggapmu sebagai adik, tolong jangan menyimpannya lagi, hapus dia mulai sekarang," gumam gadis itu seorang diri.
Hatinya terasa begitu perih, tak rela harus menghapus nama Pria yang selama ini telah mengusiknya. "Tidak! Aku tidak akan menghapus namanya dalam hati ini. Sampai kapanpun dia akan tetap menjadi cinta pertama dan terakhirku."
Pendiriannya begitu teguh, sehingga ia memutuskan akan selalu menyimpan nama Pria itu dalam relung hati yang paling dalam. Biarkan jika takdir tak mempersatukan mereka, namun segala kenangan akan tetap segar dalam ingatan.
Intan duduk seorang diri hingga hatinya merasa sedikit tenang. Perlahan ia meninggalkan gedung tempat dirinya menuntut ilmu. Tentunya untuk hari-hari selanjutnya ia akan melangsungkan sendiri tanpa kehadiran Pria itu lagi.
Saat Intan hendak meninggalkan taman belakang, tak sengaja ia mendengar suara sepasang kekasih sedang adu argumen dengan pembenaran masing-masing.
"Kenapa kamu masih saja cemburu padanya? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa dia sudah seperti adikku sendiri! Sedari kecil kami hidup bersama. Kami dibesarkan oleh wanita yang sama. Dan aku sudah berjanji pada ibunya untuk menjaga dan melindungi dia seperti adik kandungku sendiri!" tegas Pria itu pada Nindi, yang tak lain adalah kekasihnya.
"Tapi aku melihat dia tidak bisa menganggapmu sebagai kakak! Seharusnya kamu bisa memberikan jarak!" seru Nindi tak ingin kalah.
Sesaat Erland dan Intan terpaku mendengar pernyataan gadis cantik nan modis itu. Intan semakin menyembunyikan tubuhnya dibalik gundukan bunga yang ada di taman itu.
Apakah segitu besar perasaannya hingga ketara dari raut wajahnya bila sedang bersama Pria itu. Intan berusaha untuk tetap tenang dan menguasai hatinya yang sedang membuncah.
Ternyata perasaan yang ia sembunyikan dari orang lain dapat jua terlihat. Sungguh perasaan ini menyulitkan dirinya, bahkan untuk hubungan Erland dan Nindi. Kembali buliran bening menetes disudut matanya.
Intan mempercepat langkahnya untuk segera menjauh dari kedua pasangan itu. Setibanya dirumah ia menghempaskan tubuhnya diatas ranjang sederhana yang ada di kamarnya.
Kembali racauan keluar dari bibirnya dengan air mata yang setia menetes. Tak tahu harus berbuat apa. Sepertinya berpisah adalah jalan terbaik untuk kebaikan hati dan hubungan mereka.
Bersambung....
Happy reading 🥰
Intan terbangun di pukul delapan malam, entah sudah berapa lama ia tertidur membawa kekecewaan dalam hati. Suara ketukan pintu membuatnya terjaga dari tidur lenanya.
"Intan?" panggil Erland dari luar.
Malas sekali untuk beranjak dari ranjang, namun panggilan Pria itu membuat telinganya tidak nyaman.
"Tan, buka pintu!" serunya kembali.
Dengan malas wanita itu bangkit dan segera membuka pintu. "Apa sih, Bang?" tanyanya dengan nada serak.
"Kok apa? Ini udah jam berapa, kamu masih tidur aja. Sana mandi!" titahnya melebarkan pintu kamar.
"Malas, aku ngantuk pengen tidur," jawabnya sembari berjalan ingin masuk kembali.
"Eh, nggak boleh. Ih, jorok banget, ayo mandi sana!" Erland meraih tangannya.
"Aku tidak mau, Bang, lepaskan!" Intan berusaha lepas dari pegangan Pria itu.
"Iya, kalau tidak mau mandi setidaknya bersih-bersih sana, habis itu kita makan," ucap Erland masih dengan perintah.
"Tidak mau!" Intan menghempaskan tangan Erland dengan kuat. Rasanya kesal sekali, kenapa Pria itu masih saja memberinya perhatian. Jika seperti ini terus bagaimana ia bisa menghapus perasaan yang selama ini telah menyulitkan dirinya.
"Tan, kamu kenapa?" tanya Erland tak mengerti dengan sikap gadis itu.
"Abang mau tahu kenapa? Aku minta mulai sekarang Abang jangan pernah memberiku perhatian apapun lagi! Karena aku tidak suka. Urus saja diri Abang sendiri!" sentak gadis itu yang membuat Erland terdiam sepi.
Intan kembali menutup pintu kamar dengan sedikit keras. Kesal sekali rasanya, kenapa Pria itu tak jua mau mengerti. Apakah dia tidak tahu bagaimana sakitnya berseteru dengan batin sendiri.
Intan tertegun sembari menyandarkan punggungnya didaun pintu. Dadanya terasa sesak, netra memanas, ada sesuatu yang ingin jatuh dari kelopak mata. Ia benci sekali dengan perasaan ini.
"Intan, buka pintunya! Abang minta maaf jika Abang banyak salah selama ini. Abang janji setelah ini Abang tidak akan membuat hatimu sakit lagi," seru Erland dari luar.
Intan menyusut air matanya, apa maksud Pria itu mengatakan hal sedemikian? Apakah dia akan pergi? Bermacam pertanyaan memenuhi otaknya.
Intan membuka pintu kamar itu kembali. Sesaat netra mereka bertemu. "Apa maksud Abang?" tanya Intan tak paham.
"Ayo sekarang kamu mandi, setelah itu kita makan diluar. Ada yang ingin Abang bicarakan padamu," ujar Erland yang membuat Intan tak bisa menolak.
Intan kembali masuk kamar untuk bersih-bersih. Tak perlu lama gadis itu sudah terlihat rapi sedikit polesan di wajahnya.
"Udah?" tanya Erland yang sudah menunggu.
"Hmm." Gadis itu hanya menjawab dengan gumaman.
Pasangan itu berangkat hanya berjalan kaki. Mereka memilih makan di warung angkringan yang tak jauh dari kediaman mereka. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai diwarung makan itu.
"Mau pesan apa, Dek?" tanya Erland yang penuh perhatian.
"Seperti biasanya," jawab Intan datar.
Erland yang sudah hapal menu kesukaan gadis itu, ia segera memesan dengan minumannya. Mereka makan dalam keheningan. Sebenarnya Intan sudah tak sabar untuk mendengar apa yang ingin lelaki itu sampaikan.
"Makan harus tepat waktu, jangan lupa waktu dalam belajar, ingat kesehatan," nasehat Erland di sela makan mereka.
"Baiklah," jawab Intan singkat, meskipun hatinya semakin penasaran dengan ucapan Pria itu.
Tak banyak percakapan mereka, Erland sebenarnya ingin bicara banyak, namun sepertinya gadis itu tak begitu berminat maka ia urungkan niatnya.
Selesai makan, Erland segera membayar, lalu membawa Intan untuk berjalan kembali menyusuri jalanan kota yang sudah mulai sepi. Tak ada percakapan, Erland tak tahu harus memulai darimana obrolan ini.
"Dek, besok pagi Abang akan ke kota xx. Abang harap kamu bisa jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, jika kamu masih menganggapku sebagai kakakmu, maka hubungi aku bila kamu butuh bantuanku," ucap Erland yang membuat dada Intan terasa berhenti berdetak.
Kenapa rasanya sakit sekali saat Pria itu mengatakan ingin meninggalkan dirinya? Bukankah ia sendiri yang menginginkan perpisahan itu, seharusnya ia bahagia, tapi kenapa ini terasa sakit.
Intan sedikit melambatkan langkahnya. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun bibirnya terlalu kelu seakan terasa bisu.
"Tan, Abang tahu kamu mungkin sangat membenciku, tapi ketahuilah, Dek, Abang sangat menyayangimu. Sungguh Abang tak bisa memberikan perasaan lebih dari seorang Kakak. Abang selalu berdo'a agar kamu segera mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Abang. Semoga kamu bahagia, Dek," ucap Erland dengan raut wajah sedih.
Intan berusaha untuk tetap tegar, namun ia tak mampu menahan air mata yang seketika jatuh berderai. Perlahan ia menyusutnya dan menatap wajah Pria itu dengan dalam.
"Bang, maafkan sikapku yang beberapa bulan ini mungkin telah banyak menyakiti hati Abang. Tapi, sungguh aku tidak bisa menghapus perasaan ini, aku sudah mencobanya berulang kali, Bang, andai ada cara lain maka akan aku lakukan, aku malu untuk selalu mengakuinya dihadapan Abang. Aku benci dengan perasaan ini, Bang. Hiks...." Seketika tangis wanita itu pecah.
Erland mengusap wajahnya dengan lembut. Ada perasaan iba menyelimuti hatinya, dirinya benar-benar merasa bersalah karena sikapnya telah membuat gadis itu menaruh hati dengan begitu dalam sehingga dia tak mampu keluar dari belenggu cinta itu.
"Ssshh... Tenanglah, jangan menangis lagi. Abang benar-benar minta maaf, Dek, sekarang katakan apa yang harus Abang lakukan untukmu? Apakah Abang harus berpura-pura mencintaimu? Apakah kamu yakin akan bahagia hidup bersama orang yang tidak mencintaimu?" tanya Erland sembari memberi ketenangan pada gadis itu.
Intan semakin menguatkan pelukannya, ia ingin melepaskan segala rindu untuk malam ini. Ia tahu ini adalah pelukan terakhir bagi mereka.
"Tidak, Bang, Abang tidak perlu melakukan hal itu. Aku tidak akan merusak kebahagiaan Abang. Sepertinya perpisahan ini adalah jalan terbaik untuk kita. Dengan tak adanya pertemuan lagi, maka akan memudahkan aku untuk menghapus segala rasa yang ada. Abang tidak perlu khawatir, aku akan selalu jaga diri dengan baik. Abang juga baik-baik disana ya," ucap Intan mencoba untuk berdamai.
Erland melerai pelukannya, ia menatap wajah gadis yang ia sayangi tak lebih sebagai adik sendiri. Ia tak menyangka kasih sayang dan perhatiannya selama ini akan disalah artikan olehnya. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan perasaan yang datang dengan sendirinya.
Erland selalu berdo'a semoga suatu saat gadis itu akan bahagia menemukan lelaki yang tulus menyayanginya. Tangannya mengusap mahkota gadis itu dengan lembut.
"Sekali lagi maafkan Abang ya," lirihnya dengan sedih.
"Abang tidak perlu minta maaf, Abang tidak salah. Sudahlah, sekarang ayo kita pulang. Besok pagi-pagi Abang harus pergi 'kan?" ucap Intan berusaha untuk baik-baik saja.
Pria itu tersenyum sembari menggusal mahkota wanita itu dengan lembut.
"Ayo kita pulang."
Bersambung....
Happy reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!