Brak!
Shera tersentak kala nampan yang dipegang terjatuh tiba-tiba untuk kesekian kalinya. Entah mengapa perasaan tak nyaman merasuk ke relung hatinya saat ini. Sebuah perasaan yang tak bisa ia jabarkan sama sekali.
Untuk sejenak kedua mata beriris amber itu menatap nanar piring dan makanan yang berserakan di rantai.
"Shera! Apa kau mau membuatku bangkrut ha?!" Seorang pria berkumis lebat menyelenong masuk ke dalam dapur saat mendengar bunyi pecahan kaca barusan. Dialah bos di tempat Shera berkerja.
"Maaf, Mister. Aku tidak sengaja, tadi–"
"Sudah, jangan banyak alasan kau! Kau di pecat!" Tanpa berpikir panjang, pria berperawakan tinggi dan besar itu memecat Shera. Sebab dalam sepekan ini, Shera sudah memecahkan piring sebanyak tiga kali.
Sekali lagi Shera terkejut. "Jangan Mister, aku mohon, potong saja gajiku, tapi jangan pecat aku!" katanya sambil mengatupkan kedua tangan di dada dan menunjukkan tatapan mata memelas.
Pria itu malah menyeringai tipis sambil menyeret paksa Shera keluar dari dapur."Tidak! Keluar kau sekarang!"
"Mister, aku mohon, potong saja gajiku tapi jangan pecat aku." Shera berusaha menahan tangan bosnya namun, tenaganya kalah telak.
Sesampainya di luar toko, pria itu mendorong kuat Shera hingga wanita itu tersungkur ke tanah.
Bruk!
"Ahk!" Shera meringis pelan saat kerikil-kerikil di tanah menggores kulit tipisnya seketika.
"Cih! Jangan pernah kau ke sini lagi! Tidak ada uang pesangon untukmu! Ini tasmu! Pergi kau dari sini!" Pria itu melempar tas kecil tepat di kepala Shera. Lalu masuk ke dalam toko secepat kilat.
Shera hanya mampu menatap sendu kepergian bosnya itu. Mengabaikan tatapan aneh dari para manusia yang lalu lalang di depan toko, Shera bangkit berdiri tertatih-tatih sambil mengambil tas kecil miliknya.
Dering handphone di dalam tas, menghentikan langkah kaki Shera seketika. Dia mengambil benda pipih tersebut dan mengangkat panggilan.
"Apa?! Di rumah sakit mana?" Shera begitu terkejut mendapatkan kabar bahwa Mama angkatnya ada di rumah sakit. Setelah mengetahui di rumah sakit mana Mamanya di rawat, dia bergegas pergi menggunakan taksi.
***
Selang beberapa menit. Shera telah sampai di rumah sakit. Dia langsung bertanya di mana ruang rawat inap Mamanya kepada petugas medis.
"Dok, apa yang terjadi dengan Mama saya?" Baru saja masuk ke ruangan, Shera melihat Dokter sedang memeriksa Mamanya yang tergolek tak berdaya di atas brangkar.
"Penyakit Nyonya Lenka kambuh, seharusnya dia memperhatikan makanan yang masuk ke dalam perutnya," jelas Dokter singkat.
Raut wajah Shera berubah drastis seketika. Denvan dahi berkerut kuat ia bertanya, "Apa maksud Dokter?"
"Apa Nyonya Lenka tidak memberitahu penyakitnya pada anda?"
Shera menggeleng kuat.
Dokter pun mulai menjelaskan perihal penyakit Lenka, Mama angkat Shera. Lenka sudah lama mengidap kanker lambung dan berobat sesekali ke rumah sakit. Namun, entah kenapa dalam beberapa bulan terakhir ini Lenka tak berkunjung ke rumah sakit.
Mendengar hal itu, napas Shera tercekat, tak menyangka Mama angkatnya menyembunyikan penyakit mematikan tersebut darinya selama ini.
Shera Winfred merupakan anak angkat dari Lenka Winfred. Beberapa tahun silam, Lenka dan suaminya mengambil Shera di panti asuhan. Namun, setahun yang lalu, suami Lenka meninggal dunia tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas dan meninggalkan hutang di mana-mana. Mau tak mau Lenka menjual rumahnya dan berakhir hidup luntang-lantung bersama Shera.
"Kondisi Nyonya Lenka begitu kritis. Operasi harus secepatnya dilaksanakan." Dokter membuka suara lagi kala melihat Shera terdiam membisu saat ini.
"Berapa biaya operasinya Dok?" Shera bertanya sambil menghapus cepat cairan bening yang mengalir di kedua pipinya.
"Sekitar 80 juta, sebaiknya operasinya dilakukan hari ini, saya mau keluar dulu,"ucap Dokter sambil melenggang pergi dari ruangan.
Nominal yang disebutkan Dokter barusan membuat Shera tercengang, lidahnya sangat sulit untuk digerakkan sekarang. Bagaimana bisa dia mendapatkan uang sebanyak 80 juta, sementara uang makan saja ia dan Mamanya sangatlah pas-pasan. Ditambah lagi sekarang ia tak memiliki perkerjaan lagi.
Shera mengalihkan pandangan ke arah Lenka yang nampak pucat pasi. Menatap sendu pada wanita yang sudah mengasuh dan memberikannya kasih sayang selama ini.
Tanpa mengucapkan satu patah kata pun dia berjalan perlahan keluar ruangan.
"Bagaimana ini? Di mana aku harus mencari uang sebanyak itu," gumam Shera sambil menyenderkan kepala di dinding rumah sakit.
Ingin meminta bantuan kepada keluarga Mama angkatnya, Shera jelas tidak berani sebab tempo lalu ketika mau meminjam uang untuk membayar rumah sewaan. Keluarga Mama angkatnya malah mengusir mereka, menghina dan mencaci maki mereka bahkan mengatakan tak usah datang ke sana lagi.
Shera semakin sedih. Dalam kesedihannya, entah mengapa pandangannya bertemu dengan seorang wanita yang dikenal saat ia masih berumur belasan tahun dulu. Dengan jarak beberapa meter seorang wanita bernetra biru laut melangkah pelan, mendekati Shera.
"Shera?"
Shera menengakkan tubuh. Dia tahu betul siapa wanita di hadapannya kini, orang terkaya dan berkuasa di negeri paman sam ini. Meskipun bergelimangan harta, Lily sangatlah baik hati dan ramah. "Iya, Aunty Lily."
Lily memeluk Shera dengan erat seketika lalu melonggarkan pelukannya."Oh my God, aku pikir siapa ku sudah lama tidak bertemu denganmu. Sedang apa kau di sini? Mengapa kau terlihat sedih?" tanyanya sambil menelisik penampilan Shera yang berubah drastis tak seperti dahulu. Kala itu Lily pernah mendengar desas-desus tentang keluarga Winfred yang jatuh miskin.
"Mama di ruang rawat inap, Aunty. Dia sakit keras, aku bingung, bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membayar operasinya," ucap Shera lemah.
Lily terlonjak kaget mendengarnya. Namun, dalam sepersekian detik mimik mukanya berubah."Shera, memangnya berapa biaya operasi Mamamu?"
"Sekitar 80 juta Aunty."
"Aunty bisa memberikan uang padamu, asalkan kau mau menikah dengan anak Aunty," ucap Lily tersenyum penuh arti.
Kedua mata Shera berkedip cepat, tak mengira Lily akan memberikannya penawaran yang cukup aneh, menurutnya.
Shera terpaku di tempat sejenak.
"Shera, maaf kalau Aunty terlalu ikut campur, Aunty tahu keadaanmu dan Mamamu, putuskanlah sekarang Shera."
"Tapi Aunty, mengapa harus aku? Dan bagaimana bisa aku menikahi anak Aunty yang tidak aku cintai dan tidak pernah aku temui," ucap Shera kemudian.
"Shera, kau tidak perlu tahu alasan Aunty apa, percayalah sama Aunty, cinta akan datang seiring waktunya, kau tinggal jawab iya atau tidak?" Lily menggengam kedua tangan Shera seketika.
Shera tak langsung menjawab, hatinya dilanda dilema sekarang. Pernikahan adalah hal yang sakral, di mana ia dan pasangannya akan bersumpah di hadapan Tuhan, mengikat janji suci sehidup semati.
Suara alarm dari ruangan Mamanya, mengalihkan perhatian Shera dan Lily tiba-tiba. Lantas keduanya melangkah cepat hendak masuk ke dalam ruangan
Namun, langkah kaki mereka terhenti, saat tenaga medis meminta mereka menunggu di luar saja.
Dari kaca pembatas antar ruangan dan lorong, Shera dapat melihat Mamanya tengah di berikan pertolongan oleh para medis. Di sebagian tubuh Mamanya di tempeli alat pacu jantung (defibrillator).
"Shera, lihatlah Mamamu, kasihan dia. Dia sedang kritis sekarang, bagaimana, apa kau mau menerima tawaran Aunty tadi?" Lily menyentuh pundak Shera dari belakang.
Tanpa berpikir ulang lagi, Shera mengangguk cepat. Berharap pilihan yang ia tentukan dapat menyelamatkan nyawa Mamanya sekarang. Seorang wanita yang selalu menyayangi Shera selayaknya anak kandungnya. Sudah saatnya Shera membalas budi pada Mama angkatnya itu. Dia akan melakukan apapun hanya demi Mamanya.
Bertahanlah Ma
Shera menyentuh kaca pembatas ruangan, dan tanpa permisi cairan bening menetes lagi di pelupuk matanya.
Setelah membayar biaya operasi di administrasi rumah sakit, Lenka langsung menjalani prosedur operasi.
Selang beberapa jam, Shera sangat bahagia karena operasi berjalan dengan lancar. Dan sekarang Lenka dipindahkan ke ruangan khusus untuk menjalani masa pemulihan. Selagi menunggu Lenka siuman, Lily mengajak Shera untuk berkunjung ke rumah hendak mempertemukan dirinya dan Samuel.
Mau tak mau Shera mengiyakan ajakan Lily meski hatinya gamang. Tak lupa Lily menyuruh perawat di rumah sakit, melihat keadaan Lenka jika sewaktu-waktu wanita itu tersadar.
Setengah jam kemudian, Shera sudah berada di kediaman Anderson. Untuk pertama kalinya, Shera menapaki lantai marmer berwarna beige itu. Sedari tadi kedua matanya bergerak ke segala arah, mengagumi bangunan megah di hadapannya sekarang.
"Shera, tunggulah di sini, Mommy mau ke dalam sebentar." Lily menepuk pelan pundak Shera sambil melengkungkan senyuman.
Anggukan pelan sebagai balasan Shera.
Setelah melihat punggung Lily menghilang, Shera duduk perlahan di sofa, lalu mengedarkan pandangan di sekitarnya lagi.
***
Di sisi lain. Hawa panas menyelimuti ruangan berwarna cafe noir itu, di dalamnya tiga orang manusia saling memandang satu sama lain. Sejak wanita beriris biru laut berbicara, tak ada yang membuka sama sekali sedari tadi, Sementara itu, di sudut ruangan, seorang pria berperawakan tinggi dan berotot memperhatikan dari kejauhan aktivitas pemilik mansion ini.
Setelah mendengar perkataan Lily barusan, raut wajah Samuel berubah drastis, yang meminta dia untuk menikah dengan wanita pilihan Mommynya.
Samuel tak habis pikir, baru saja datang di kota Los Angeles, kedua orangtuanya malah mengatakan sesuatu yang membuat dia kesal setengah mati. Padahal Leon dan Lily jelas sangat tahu, Samuel sudah memiliki kekasih, bernama Anne, yang sekarang berada di luar kota, tengah berkerja menemani atasannya.
"Apa Mommy sedang bercanda?" Samuel menaikan satu alis mata tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali.
"Tidak, Sam, Mommy tidak bercanda, kau tahu kan hanya dirimu yang belum menikah, Mommy mau kau menikah sekarang, tenanglah dia gadis yang baik dan sangat cantik, Mommy mengenali kedua orangtuanya, Sam," ucap Lily seketika, menatap penuh harap. Lily tak mengira, kunjungannya ke rumah sakit, yang kebetulan tengah menjenguk teman sosialitanya membuat Lily tanpa sengaja bertemu Shera, gadis manis dan ramah itu.
Decihan pelan terdengar dari bibir Samuel. Sambil menyilangkan kaki dan menopang dagunya, ia berkata, "Mommy sudah tahu kan kalau aku sudah punya pacar, aku akan menikah, ketika Anne siap, bersabarlah sedikit Mom."
Saat nama Anne di sebut, Lily mendengus kasar. "Tidak, Mommy maunya sekarang, lagipula Mommy tidak mau memiliki menantu murahan seperti Anne!"
"Mom!" Tanpa sadar Samuel bangkit berdiri, melayangkan tatapan dingin pada wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Apa?!" Lily melototkan mata sambil beranjak dari tempat duduknya.
Suasana di ruangan semakin membara.
"Honey, Sam, jangan seperti ini, mari kita bicara dengan kepala dingin." Leon langsung menengahi istri dan anaknya agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Ayo duduklah dulu," ucapnya sambil menatap Lily dan Samuel bergantian.
Tanpa mengeluarkan satu katapun, Samuel dan Lily kembali duduk.
"Sam, Mommy mau yang terbaik untukmu, Anne bukan-"
"Cukup Mom! Jangan menghina Anne lagi, apa Mommy mau mengatakan dia wanita tidak benar dan selalu mabuk-mabukan. Oh come on, di zaman modern begini, itu hal yang wajar, lagipula setelah menikah Anne pasti akan berubah menjadi ibu rumah tangga yang baik dan mengurus anak-anakku!" sela Samuel cepat, sebelum Mommynya menghina Anne lagi.
Dia sudah sering mendengar cercaan dari Mommy yang dilayangkan untuk Anne. Namun, karena cinta, Samuel memakluminya, lagipula sejauh ini, Anne selalu mencoba mendekati Lily, akan tetapi Mommynya itu enggan menanggapi Anne. Ditambah lagi, Anne juga belum siap untuk menikah. Kekasihnya itu terkadang ingin menyerah dan menyudahi hubungannya bersama Samuel. Tapi Samuel berusaha memberinya pengertian dan menyuruhnya bersabar, sampai Lily menyetujui hubungan mereka.
Lily mengeram rendah, melihat sikap Samuel yang begitu keras kepala dan susah sekali di bujuk. Dia melirik Leon sekilas, memberi kode yang hanya dimengerti ia dan sang suami, meminta bantuan agar Samuel mau menuruti perkataannya.
"Sudahlah Mom, aku mau keluar, aku tidak mau menikah dengan wanita pilihan Mommy." Samuel mengangkat bokong seketika dan menoleh ke arah tangan kanan di sudut ruangan. Lalu mulai menggerakan kakinya menuju pintu.
"Kalau kau tidak menuruti permintaan Mommymu, semua aset dan warisan tidak Daddy beri padamu."
Suara Leon yang berat dan tegas, menghentikan langkah kaki Samuel. Dengan napas mulai memburu, ia bertanya, "Apa maksud Daddy?!"
"Jika kau tidak mau menikahi wanita pilihan Mommymu, Daddy tidak akan membagi harta untukmu." Leon mengulangi perkataannya. "Kau pasti tidak mau kan? Kalaupun kau menolak, kau tetap akan menikah dengan..." Pria paruh baya yang wajahnya masih terlihat tampan itu, menghentikan ucapannya seketika, saat lupa nama wanita yang akan menjadi menantunya nanti. Leon melirik Lily sekilas.
"Shera!" sahut Lily cepat.
Samuel berdecak sebal. Mau menolak pun percuma sebab dia tahu kedua orangtuanya sangat keras kepala. Ditambahlagi ancaman yang terucap dari bibir Daddynya tadi membuat ia dilema dan serba salah sekarang. "Terserah!"
Lily dan Leon melemparkan pandangan sejenak ketika mendengar jawaban Samuel.
"Besok kalian akan menikah, Mommy akan menyiapkan semuanya, oh ya Shera ada di luar bertemulah dengannya di luar," kata Lily kemudian.
Enggan menanggapi, Samuel malah melangkah cepat menuju ambang pintu, tanpa berpamitan terlebih dahulu pada kedua orangtuanya.
Sebagai tangan kanan Samuel, Dimitri yang berada di pojok ruangan mendekati Samuel dan mengekorinya dari belakang.
Sesampainya di luar.
Shera bangkit berdiri saat melihat kedatangan Samuel. Sebelumnya, Lily sudah memperlihatkan foto Samuel padanya.
Pria setinggi 185 cm itu, melangkah cepat bersama seorang pria di belakangnya. Shera dapat merasakan aura yang berbeda menguar dari tubuh Samuel. Dari jarak beberapa meter, Shera dapat mencium aroma parfum calon suaminya itu yang sangat menyengat. Saat Samuel berhenti tepat di hadapannya tiba-tiba, Shera melemparkan senyum tipis lalu membungkuk sedikit.
Suasana mendadak canggung seketika.
Shera tampak salah tingkah, kala Samuel menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Maaf, apa ada yang salah dengan penampilanku?" Shera memberanikan diri bertanya, meski jantungnya sekarang berdetak kencang kala melihat sorot mata Samuel yang tajam.
Tak ada sahutan, baik Samuel dan Dimitri bergeming di tempat, tanpa mengeluarkan suara sama sekali.
"Murahan," desis Samuel kemudian sambil menyeringai tipis.
"Ha?" Shera sampai melonggo. Apa dia tidak salah mendengar jika Samuel mengatakan 'murahan'. "Maksudnya?"
Samuel enggan menjawab. Pria itu mengalihkan pandangan ke depan lalu memasukan kedua tangan ke saku celana. "Dimitri, ayo kita ke rumah Kak Nickolas sekarang, aku tak sanggup berada di rumah ini, di dekatku ada bau busuk yang sangat menyengat sekarang," sahutnya sambil melirik sinis Shera.
"Baik Mister," Dari belakang Dimitri menjawab.
Sebelum Shera menanggapi perkataannya, Samuel dan Dimitri melangkah cepat menuju pintu utama. Meninggalkan Shera terpaku di tempat.
Saat melihat sikap Samuel barusan, yang berbanding terbalik dengan sikap Lily. Perasaan Shera semakin tak menentu sekarang.
Apa keputusanku tepat?
Shera bertanya pada dirinya sendiri. Apakah keputusannya benar untuk menikahi pria yang tak dicintainya. Meskipun Lily sudah membujuknya tadi, namun tetap saja hatinya gelisah.
Shera Winfred
Samuel Anderson
Pagi pun tiba, setelah menjenguk Lenka di rumah sakit yang belum sadarkan diri, Shera terpaksa meninggalkan Mamanya kala Lily menghubunginya barusan untuk datang ke mansion sekarang juga. Mau tak mau Shera pun pergi ke sana' menggunakan taksi.
Di dalam mobil, Shera bersender di kursi sambil tercenung' menghadap keluar jendela. Sepasang mata itu memperhatikan jalanan perkotaan. Sesekali ia menarik napas pelan, tengah memikirkan apakah pilihan yang ia tentukan kemarin adalah benar?
Kebimbangan melandanya seketika. Walaupun ia menolak pernikahan ini, Shera tak akan bisa berlari, sebab janjinya pada Lily harus ditepati.
Lima menit kemudian, kendaraan yang ditumpangi Shera berhenti tepat di gerbang kediaman Lily. Setelah membayar biaya transportasi kepada supir, Shera turun dari mobil kemudian melempar senyum tipis, saat melihat bodyguard membukakan gerbang berganda tersebut.
"Akhirnya kau datang Shera, ayo masuklah ke dalam, kau harus dirias sebentar lagi kita harus pergi ke gereja untuk pemberkatan pernikahanmu." Di depan pintu utama–Lily berdiri tegap menyambut kedatangannya.
"Iya Aunty,maaf aku terlambat, jalanan lumayan macet tadi," Shera berkata jujur.
"Eits, mulai dari sekarang panggil aku Mommy, sebentar lagi aku akan menjadi mertuamu, iya, tidak apa-apa, ayo masuk!" Lily segera menarik tangan Shera untuk masuk ke dalam mansion.
Waktu menunjukan pukul sembilan pagi, Shera telah selesai dihias oleh MUA yang disewa Lily. Kini pemilik mata berwarna amber itu tengah berdiri di depan cermin, sedang melihat penampilannya yang berbeda 180° sekarang. Shera tersenyum lebar melihat pantulannya di cermin, namun, dalam sekejap mata, air mukanya berubah sendu. Shera baru saja teringat jika ia akan menikahi pria yang tak dicintainya.
Shera bertanya-tanya, apakah setelah menikah nanti dirinya dan Samuel bisa saling mencintainya. Seperti yang dikatakan Lily kemarin, mengatakan padanya bahwa cinta akan datang seiring waktunya.
"Wow, kau sangat cantik, Shera!" Dengan semangat Lily berucap.Wanita terkesima sejenak saat melihat penampilan Shera yang mempesona dan menawan sekarang.
"Terima kasih Mom." Sebisa mungkin Shera melengkungkan senyuman meski hatinya saat ini mendung.
"Ya sudah, ayo sekarang kita ke gereja!" Lily merangkul tangan Shera seketika dan menuntunnya keluar dari ruangan.
Tak butuh waktu yang lama, Shera dan Samuel sudah berada di depan altar. Keduanya sedang mendengarkan pembacaan doa yang dilakukan oleh romo. Sedari tadi Shera curi-curi pandang ke arah Samuel. Mencoba membaca isi pikiran calon suaminya itu.
Shera tak habis pikir, tadi, saat dia dan Leon berjalan ke depan altar, kakinya tersandung heels dan hampir saja terjatuh. Shera panik bukan main, akan tetapi, Leon' calon mertuanya menahan tubuhnya seketika. Shera dapat bernapas lega. Meski jauh dilubuk hatinya, ia berharap Samuel lah yang akan datang menolongnya. Akan tetapi pria itu hanya diam saja dan tak berniat sama sekali membantunya.
"Dengan ini saya umumkan bahwa Samuel Anderson dan Shera Winfred, mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia," ucap Romo kemudian. Yang artinya Samuel dan Shera sudah sah menjadi pasangan suami istri secara agama dan negara.
Shera terhenyak setelah melihat cincin indah berbahan dasar berlian itu melingkar di jari manisnya.
Semoga saja keputusanku ini benar.
Shera menatap Samuel tiba-tiba sambil melengkungkan senyum hambar saat mengingat pria itu melabuhkan kecupan di keningnya tadi. Namun, Samuel hanya diam saja, tanpa ekspresi sama sekali.
Selesai acara pemberkataan, Shera dan Samuel pergi ke hotel yang sudah ditentukan Lily. Keheningan tercipta sesaat di dalam mobil. Untuk kesekian kalinya Shera curi-curi pandang lagi ke arah Samuel. Pria berwajah tegas dan memiliki bulu-bulu halus di rahangnya itu hanya diam saja, memandang ke arah luar jendela, mengabaikan dirinya sedari tadi.
"Sam." Tanpa sadar Shera memanggil nama Samuel. Terkejut, dia sampai membekap mulutnya sendiri saat ini.
Astaga, apa yang aku lakukan.
Samuel menoleh ke samping, enggan menanggapi sapaan Shera. Dia malah melototkan mata hingga menembus ke iris mata Shera.
Untuk sejenak Shera bergedik ngeri. Dengan terpaksa ia tersenyum kaku. Dalam hitungan detik, pria itu kembali menatap ke arah jendela.
Sepuluh menit kemudian, mobil hitam merk roll royce itu berhenti tepat di hotel bintang lima. Samuel langsung turun tanpa mempedulikan Shera sama sekali. Sementara wanita berwajah manis itu terdiam sebentar, melihat sikap sang suami lagi lagi mengabaikannya. Tak mau ambil pusing Shera mencoba keluar dari dalam mobil. Namun, karena gaun pengantin yang ia kenakan sedikit berat, Shera kesusahan untuk turun.
"Dimitri, bisa kah kau membantuku keluar, gaun ini sangat berat, aku mohon." Tanpa berpikir dua kali, Shera langsung menatap ke depan, meminta bantuan pada tangan kanan Samuel. Sedari tadi Dimitri memperhatikan tingkah laku Shera dari kursi depan secara diam-diam.
Tak ada sahutan, Dimitri membuka cepat pintu mobil dan keluar.
Senyum tipis terlukis di wajah Shera seketika karena Dimitri mau membantunya. Akan tetapi, senyuman itu langsung menghilang saat melihat Dimitri malah berjalan cepat ke depan sana. Meninggalkan dirinya sendirian di dalam mobil.
"Oh my God, tidak bos, tidak bawahannya sama-sama dingin, sudahlah, lebih baik aku keluar sendiri." Tak mau menyerah Shera memutuskan turun dari mobil sendiri. Dengan susah payah ia keluar dan akhirnya bisa berada di luar mobil walau penampilannya sedikit berantakan sekarang.
***
"Samuel, ini aku, aku masuk ya." Sebelum masuk ke dalam kamar, Shera mengetuk pintu terlebih dahulu.
Shera mengerutkan dahi karena tak ada jawaban. Tanpa pikir panjang ia melangkah masuk ke dalam kamar.
Kosong.
Shera bingung, tak ada penghuni di dalam ruangan berwarna putih itu. Hanya ada tempat tidur yang dihiasi bunga-bunga mawar berwarna merah. Secepat kilat ia menutup pintu dan melangkah cepat' masuk ke dalam.
"Kemana dia?" Mata Shera celingak-celinguk, berusaha mencari keberadaan Samuel.
Tak sampai lima menit, bunyi pintu terbuka bergema di telinga Shera. Dia membalikkan badan, melihat Samuel tengah berjalan cepat ' mendekatinya.
Ketakutan menjalar di sekujur tubuh Shera tatkala melihat mata Samuel terpancar jejak kemarahan yang tak bisa dijabarkan sama sekali saat ini.Tanpa sadar Shera memundurkan langkah kakinya.
"Aku pi-kir kau di ma-na– Ahk!"
Shera terlonjak ketika Samuel mencekik lehernya dengan sangat kuat sekarang hingga kedua kakinya terangkat ke udara.
"Sam...le-pas-kan a..ku...." Tanpa permisi cairan bening keluar dari pelupuk mata Shera.
"Berapa Mommyku membayar kau ha! Kau pikir, aku mau tidur denganmu! Jangan harap Shera Winfred! Sampai kapan aku tidak akan pernah menyentuhmu!" seru Samuel berapi-api sambil mengeratkan tangannya.
Shera sudah kehabisan napas sekarang. Dia mendongakkan kepalanya ke atas. Menatap langit-langit kamar terlihat amat terang.
Apa ini waktuku untuk pergi?
Bruk!
Samuel melepaskan Shera seketika.
"Uhuk, uhuk, uhuk." Shera terbatuk-batuk sesaat kemudian meraup udara di sekitarnya.
Samuel mencengkram dagu Shera tiba-tiba."Dengarkan aku, besok kau akan pergi di mansionku, selama kau tinggal di sana, jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku! Kau hanyalah bayangan bagiku! Mengerti?!"
Shera begitu ketakutan sekarang. "Shfft...." Ia meringis pelan kala kuku-kuku Samuel menusuk ke pipinya.
Air mata Shera semakin mengalir deras. Ternyata mimpi untuk menjalin hubungan bersama Samuel kandas begitu saja sebab Samuel terang-terangan mengatakan dirinya hanyalah bayangan.
"Kau dengar aku tidak!" Samuel mencengkram dagu Shera dengan sangat kuat.
"Iy-a," sahut Shera terbata-bata sambil mendongakkan kepala ke atas.
Samuel menyeringai tipis lalu menghempas kasar dagu Shera seketika. "Malam ini kau tidurlah di sini, aku mau pergi, jangan cari aku! Aku akan kembali besok pagi."
Suara Samuel terdengar dingin dan tajam membuat tubuh Shera bergetar kuat. Secepat kilat pria itu melangkah menuju ambang pintu dan keluar dari kamar hotel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!