Malam yang begitu sepi, seorang laki-laki tengah menyesap whisky seorang diri di dalam ruangan kantornya. Hari ini begitu melelahkan baginya, seharian ini moodnya berantakan karena ulah sang istri. Abimana Dipta 35 tahun, seorang pengusaha yang bergerak dalam bidang Garment bertengkar hebat dnegan istrinya, Clarissa Daiva 30 tahun, seorang model kelas dunia. Bagi Abimana ini sudah hal yang biasa. Acap kali keduanya bertengkar lantaran hal sepele.
Sikap Clarissa yang merupakan penyandang NPD ( Narsistik Personality Disorder) agaknya mulai membuat Abimana kewalahan dan kelelahan. Lelaki itu terdiam dengan kepalanya yang berdenyut hebat. Pertengkaran kali ini hanya dipicu oleh kebiasaan Clarissa yang selalu saja menolak untuk datang di acara keluarga besar Abimana. Clarissa, begitu mencintai pekerjaannya hingga tak jarang ia mengorbankan waktunya bersama sang suami hanya untuk mengejar job baru.
"Tidak bisa seperti ini terus, semakin lama jurang diantara kami semakin lebar. Aku tidak bisa diperlakukan begini terus," gumam Abimana dengan menyesap lagi Whisky miliknya.
Selama ini, hanya dia yang terus mengalah. Dalam setiap pertengkaran, selalu Abimana yang kalah. Clarissa istrinya selalu saja mengungkit setiap apa yang sudah ia lakukan dan perjuangkan untuk kelanjutan rumah tangga mereka. Iya, itu hanyalah sebuah hal biasa bagi penderita NPD di mana mereka bisa dengan bangganya mengungkit semua apa yang sudah mereka lakukan. Hal ini terjadi karena mereka tidak mempunyai rasa empati.
"Ah, sepertinya aku memang harus mulai membuat dia merasa terabaikan seperti kata psikolog itu. Dia selalu ingin diperhatikan, tetapi caranya itu begitu memuakkan. Aku sebagai laki-laki merasa seperti sampah di hadapannya," kata Abimana dengan dia yang berbicara menatap gambar diri. Ia berdiri di depan cermin dan mulai mengoceh tidak karuan hingga teman sekaligus rekan kerjanya datang.
Novan Saka, 35 tahun yang menjabat sebagai kepala keuangan di perusahaan milik Abimana, yang juga sahabat baik Abimana. Ia datang setelah Clarissa mengamuk kepadanya melalui sambungan telepon. Iya, memarahi dan menuduh teman suaminya juga sudah seperti hobi bagi Clarissa. Wanita itu sungguh menjengkelkan dan nyaris tak beradab. Tak pandang bulu, ia berbicara sesukanya tanpa mau disalahkan.
"Abi, kamu di sini rupanya. Ayo aku antar pulang. Istrimu yang cerewet itu sudah menelponku. Dia sangat marah dan menuduhku mengajakmu pergi ke klub malam, ayolah pulang aku juga ingin beristirahat dengan tenang malam ini. Apa tidak bisa kalian ini tidak bertengkar satu Minggu saja?" cerocos Novan panjang lebar meluapkan segala kekesalannya.
"Satu Minggu? Hahahaha, bisa mati rasa lidahnya kalau satu Minggu tidak mengomeliku. Dia itu yang salah, tapi dia juga tidak mau disalahkan. Kamu tahu betapa malunya aku di acara ulang tahun tanteku? Semuanya membicarakan istriku yang sudah 8 kali tidak pernah mau datang ke acara ulang tahun anggota keluarga kami.
Kami sudah menikah selama 8 tahun Novan, tapi kami tidak punya anak. Hahaha itu lucu bukan? Gunjingan orang di luar sana selalu mengatakan bahwa akulah yang tidak ingin punya anak. Omongan seperti itu juga terlahir dari mulut Clarissa. Dia bisa dengan mudahnya menjadikan aku tersangka dalam keadaan rumah tangga kami." Abimana memuntahkan semua uneg-unegnya.
"Iya, iya aku tahu. Sekarang ikut aku ya, kita pulang. Akan semakin runyam kalau kamu belum sampai ke rumah malam ini. Dia itu memang singa betina. Semenjak karirnya melonjak tingkat narsisnya juga bertambah, dan kamu hanya seperti keset baginya. Apa tidak berpikiran untuk mencari wanita lain?" celetuk Novan.
Abimana menoyor kepala sahabatnya. Dengan keadaan yang tidak sadar benar dia berbicara, "Hei, memangnya aku ini kamu?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu di rumah Abimana, sesuatu hal yang buruk terjadi. Pembantu mereka tergelincir dan terjatuh dari tangga. Bik Ninik, wanita yang sudah lama mengabdi dari sebelum Abimana menikah itu terjatuh dan mengalami cidera. Dia yang tidak enak hati meninggalkan rumah besar itu berantakan pun pada akhirnya meminta bantuan kepada putri sulungnya, Amanda Bimala, gadis berusia 22 tahun yang memang ringan tangan dan patuh terhadap ibunya.
"Jangan lupa nanti bersihkan kamar Bapak ya, tadi ibu belum sempat dan malah sudah tergelincir. Nanti kalau ibu sudah sembuh, ibu akan kembali bekerja dan kamu juga bisa melanjutkan jualan online mu," kata Bik Ninik.
"Iya ibu, kalau sudah selesai sebelum larut malam aku akan pulang," jawab Amanda dengan senyuman ikhlas di bibirnya. Dia tidak tahu bila awal mula langkah kakinya menapak di sana akan menjadi sebuah bencana besar.
Satu jam sebelum Abimana datang, Amanda sudah datang ke rumah besar itu. Amanda datang dan segera melakukan tugasnya. Ia membereskan kekacauan yang ditingkatkan ibunya saat terjatuh. Pekerjaan yang paling terakhir ia lakukan adalah membersihkan kamar utama.
Betapa terkejutnya dia ketika kamar utama itu dipenuhi dengan pecahan guci dan beberapa alat kosmetik yang berserakan. "Astaga ... ini kamar atau apa? Benar kata ibu kalau pasangan suami istri itu memang gila. Apa tidak bosan setiap hari bertengkar? Mana lempar-lemparan barang lagi."
Selesai membersihkan kamar Abimana, Amanda lalu melihat dapur, dapur juga berantakan. Selesai dengan itu semua, dia masuk ke dalam kamar ibunya dengan maksud untuk beristirahat sejenak sebelum pulang. Namun sayangnya, ia masuk dengan lupa mengunci pintu. Ia tertidur sangking lelahnya.
Terdengar keributan dari depan rumah pun Amanda sama sekali tidak mendengarnya. Dia begitu lelap. Abimana yang masih mabuk berat itu berbicara asal, dia yang baru saja memuntahkan semua isi perutnya itu tiba-tiba merasa lapar. Dengan merangkak, Abimana masuk ke dalam rumah tanpa mau dibantu oleh siapa pun.
Abimana merangkak sampai ke dapur sudah tanpa pakaian dan hanya memakai celana pendek. Dia melepaskan baju dan celananya di teras setelah muntah. Ia merasakan panas di sekujur tubuhnya secara tiba-tiba.
"Bik Ninik, mana makanannya," ucap Abimana pelan dengan membuka lemari makan dan tidak menemukan apa-apa di sana.
"Ah, minta dia buatkan mie." Rasa lapar menuntunnya sampai ke sebuah kamar yang berukuran kecil.
Abimana mengucek matanya berkali-kali. Dia yang sedari tadi sudah sangat menginginkan agar bisa melakukan senggama itu pun mengerjap beberapa kali ketika di matanya, dia melihat sosok istrinya berbaring di kasur yang tipis. Dengan senyuman nakalnya ia langsung mengunci pintu kamar, memasukannya ke saku celana dan mematikan lampu.
Malam itu, Amanda kehilangan mahkotanya. Lelaki berbau alkohol merebut paksa keperawanannya. Bahkan, berkali-kali ia memberontak dan berusaha untuk berteriak, sama sekali tidak ada yang menolongnya. Abimana begitu menggebu malam itu, dia sama sekali tidak mau tahu dengan siapa dia melakukan itu. Alkohol sudah mengacaukan pikirannya.
Pagi menjelang, seorang gadis menangis terisak di pojokan dengan bajunya yang robek tak karuan. Ia memeluk lututnya dan menyesali keputusannya semalam. Semua masa depannya terasa hancur begitu saja.
Hal yang lebih mengejutkan lagi terjadi ketika majikannya terbangun.
"Hiks, hiks, hiks." Isak tangis memenuhi ruangan kecil nan sempit itu.
"Aduh, kepalaku ...." keluh Abimana sembari berusaha untuk duduk dan memakai celananya lagi dengan mengerjapkan matanya. Dia masih belum menyadari keberadaan Amanda.
"Kamu?" pekik Abimana pada Amanda yang masih menangis terisak pilu.
"Kenapa Bapak jahat sama saya? Apa salah saya?" tangis Amanda kembali tak terbendung. Hilangnya mahkota membuatnya kehilangan semangat hidup.
"Sial! Kenapa bisa dia? Bukannya tadi malam itu Cla? Ada apa anak Bik Ninik ini tiba-tiba ada di rumahku?" batin Abimana bertanya-tanya.
"Diamlah, jangan sok suci begitu kamu. Kamu ini sudah dewasa bukan? Bukannya hal semacam ini sudah biasa bagi anak seusiamu? Katakan kamu mau berapa? Aku akan membayarmu dan kamu lupakan malam ini," ujar Abimana dengan sisi brengseknya demi menjaga kewibawaan. Tidak mungkin ia mengakui bila semalam dia melakukan itu karena mabuk berat.
"Bapak pikir aku ini Pela*ur? Bapak sudah mengenal baik siapa ibuku dan tahu benar bagaimana caranya mendidikku. Lalu sekarang setelah merenggut sesuatu yang paling berharga milikku, Bapak mengatakan hal seperti itu?"
"Eih, memangnya apa lagi? Jika bukan itu, kenapa kamu bisa ada di rumahku? Kenapa? Kamu jelas ingin menggodaku dengan tidur tanpa mengunci pintu dan datang di saat istriku pergi. Iya kan? Katakan saja berapa tarifmu, kenapa susah sekali?" celetuk Abimana dengan entengnya. Ia seolah tak menghargai kepolosan Amanda.
Sebuah tamparan mendarat di pipi si majikan bajingan. Tamparan yang begitu keras dari wanita yang menatapnya dengan mata merahnya. Tatapan yang mengatakan bahwa dia begitu membenci sosok laki-laki bejat ini.
Abimana naik pitam setelah tamparan itu mendarat di pipinya. Ia langsung mencengkeram rahang Amanda lalu berkata, "Lupakan malam ini, jangan pernah kamu buka suara tentang malam menjijikan ini. Ingat, sekali kamu buka suara, maka aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkan hidupmu."
"Baik! Aku pun tak akan Sudi mengingat malam menjijikkan ini. Sekarang buka pintunya dan biarkan aku pergi!" pekik Amanda dengan air matanya yang jatuh berderai.
Abimana membuka pintu dengan kunci yang ada di saku celananya yang berserakan di lantai. Tanpa menyiratkan perasaan bersalah ia membuka pintu dan keluar hanya dengan mengenakan celana boxer. Seolah tidak ada apapun yang terjadi sebelumnya.
"Aku harus segera mencari penawarnya. Aku tidak mau hamil," gumam Amanda yang terdengar oleh Abimana hingga membuat laki-laki itu tersenyum miring dengan sesuatu yang ada di kepalanya entah apa.
Amanda pulang dalam keadaan kacau. Ia langsung masuk ke dalam kamar mandi setelah sampai di rumahnya. Saat itu sang ibu yang sedang berada di kamarnya pun sampai tidak tahu kalau putrinya sudah pulang.
Amanda menangis tanpa suara, tangisan terdalam dari relung kalbu. Tangisan kehilangan akan sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang begitu ia jaga dan ia khususkan bagi orang tercinta nantinya.
"Bagaimana bisa aku kehilangan itu dalam semalam dan Bapak Abi yang kukenal baik dan santun ternyata dia. Dia tega merebutnya dariku. Aku harus bagaimana?" gumam Amanda pelan.
"Manda! Kamu sudah pulang Nak? Bagaimana pekerjaannya, lancar?" tanya bibik Ninik dari balik pintu. Terdengar dia sedang sibuk membuat masakan meski kaki dan lengannya cedera.
"Iya Bu, aku sudah pulang. Semuanya baik-baik saja kok, lancar." Amanda menjawabnya dengan menahan tangisnya sebisa mungkin. Dia tidak mau ibunya yang seorang janda itu akan kesusahan karena masalahnya.
"Pak Abi pulang?" tanya bibik Ninik dengan maksud ingin memastikan bahwa majikannya pulang malam itu.
Mendengar nama itu disebut, hati Amanda kembali mencelos. Ia merasakan sakit yang amat sangat namun tidak terlihat. Hanya mamanya saja sudah mampu membuatnya kembali ke malam kelam itu.
"Pulang Bu, pulang kok. Tadi aku melihat mobilnya ada dan sepatutnya di samping pintu," jawab Amanda yang jelas-jelas itu berbohong.
Amanda mana sempat memerhatikan sepatu dan mobil di bagasi. Matanya terlalu sibuk mengeluarkan bulir beningnya. Otaknya terlalu sibuk memikirkan obat apa yang bisa ia gunakan untuk melunturkan benih yang terlanjur masuk ke dalam rahimnya.
"Ya sudah, nanti kamu ke sana lagi ya. Ibu akan istirahat dulu. Kaki ibu masih belum sembuh benar. Nanti hanya masak dan setrika baju Bapak saja, sore sudah bisa pulang kok. Kamu mau kan Nak?" tanya bibik Ninik.
Amanda semakin tergugu mana kala dia menyadari, dia akan kembali lagi ke tempat mengerikan yang menyimpan dan mengabadikan kenangan buruk itu. Hatinya hancur, keadaan seolah memaksakannya untuk terus berada di sekitar Abimana yang telah merampas mahkotanya. Kilasan semalam kembali, di mana Abi melakukannya tanpa ampun bahkan tidak menggubris tangisan Amanda.
"Iya Bu!" sahut Amanda yang setelahnya tubuhnya luruh dan lemas. Ia tidak memiliki tenaga selain untuk menangis. Berkali-kali juga ia memukuli perutnya sendiri berharap cairan putih kental itu akan gugur seluruhnya tanpa ada yang menempel satu pun.
Bibik Ninik kembali tidur setelah ia meminum obatnya. Amanda yang baru selesai dengan tangisnya hanya bisa menatap sang ibu yang meringkuk seorang diri sembari menahan rasa sakitnya. Ibu yang selama ini berjuang sendirian dalam menghidupinya.
Tanpa terasa, air matanya kembali jatuh berderai. Amanda menyekanya dan pergi begitu saja. Dia tidak mau berlama-lama dalam kesedihan.
...----------------...
"Ayolah Manda, kamu harus kuat! Ini bukan apa-apa, ini sudah jamannya. Bahkan tanpa ikatan juga bukan sesuatu yang dianggap berdosa. Aku harus menerima ini dan menjalani hidupku seolah tidak ada apa-apa yang terjadi," pungkas Amanda seorang diri.
"Mbak minta obat buat melunturkan spe*ma yang terlanjur masuk," pinta Amanda dengan polosnya lantaran dia tidak tahu na dari obat itu.
Apoteker pun menatapnya aneh. Amanda seperti orang linglung kala itu. Tatapannya kosong dan wajahnya pucat.
Setelah mendapatkannya, Amanda langsung meminumnya. Harganya sangatlah mahal bagi Amanda. Di mana harga dari obat itu adalah sama dengan gamis ibu-ibu masa kini.
"Seharusnya setelah ini tidak akan ada masalah lagi," kata Amanda menguatkan dirinya sendiri.
Semalaman ia menangis, dan semalaman juga ia mengutuk, memukuli perutnya, dan juga terus menjambak rambutnya sendiri. Amanda tertekan oleh keadaan. Sesuatu yang berharga hilang namun dia tidak bisa menuntut pertanggungjawaban.
"Apa yang harus aku lakukan besok Ibu belum sembuh dan aku masih harus menggantikannya. Apa bisa aku kembali bertemu dengan Pak Abi?" Amanda menanyakan kesanggupan dan kesiapannya.
---***---
"Nak, pagi ini kamu ke rumah Pak Abi ya. Kamu buatkan dia sarapan. Dia itu tidak bisa makan makanan sembarangan. Bu, Clarissa sedang tidak ada di rumah. Tolong bantu ibu ya Nak. Buatkan juga makan malamnya dan simpan di lemari pendingin. Buatkan sup saja, dia suka makanan berkuah saat malam," ujar bik Ninik kepada putrinya.
Mendengar permintaan sang ibu yang begitu panjang membuat Amanda hanya bisa mengangguk tanpa menolak. Tidak ada bantahan atau pun penolakan. Dia tidak sanggup mengatakan apa yang sudah terjadi dan begitu melukai jiwanya.
"Demimu ibu aku masih mau bertemu dengannya. Aku bersumpah, bila bukan karena mu tidak akan aku mau bertemu dengan lelaki jahanam itu!" kata hati Amanda.
"Ya sudah, kalau begitu Amanda segera ke sana saj ya Bu. Assalamualaikum," pamit Amanda tanpa menatap lama wajah sang ibu. Ia hanya mencium tangan snag ibu dan menundukkan wajahnya.
"Ada apa anak itu, apa dia sakit atau kelelahan? Dari tadi dia hanya menunduk dan sedikit bicara," gumam Bik Ninik setelah mengamati gelagat aneh putrinya.
"Kakak apa sakit Bu? Dia diam saja setelah pulang dari rumah Pak Abi," cetus adik Amanda yaitu Aska, anak usia 10 tahun yang masih duduk di bangku SD.
"Mungkin saja Aska, sudah sana kamu juga bersiap untuk berangkat sekolah," putus bik Ninik.
---***---
Amanda telah sampai di kediaman Abimana. Ia mendongak menatap pagar yang menjulang tinggi. Dia kembali menitikkan air mata saat kilasan malam yang menyakitkan itu datang kembali.
Amanda sangat ingat bagaimana Abi melakukan apa yang ia sukai itu dan seolah menjadi tuli. Dia seolah tak bisa mendengar jerit tangis dan permohonan Amanda untuk lepas. Dia terus saja melakukannya bahkan tidak hanya satu kali namun berkali-kali.
Apa yang Abi lakukan terhadap Amanda itu begitu keras dan brutal hingga tubuh gadis itu mempunyai banyak jejak berupa lebam kebiruan. Amanda mengingat bagaimana Abimana membungkamnya dan terus saja melakukan hentakan demi hentakan tanpa ampun. Kenangan buruk itu membuat Isak tangis Amanda kembali.
"Aku harus profesional. Ada dua kehidupan yang harus aku tanggung. Ibu dan adikku. Tanpa pekerjaan dari Bapak Abi, mereka akan makan apa? Sedangkan aku juga belum tahu ibu bisa pulih lagi atau tidak," gumam Amanda dengan melangkahkan kakinya perlahan memasuki rumah mewah tersebut.
Amanda masuk melalui pintu belakang. Ia masuk langsung ke dapur kotor dan langsung membuatkan menu sarapan pagi. Yang dia tahu majikannya itu begitu menyukai nasi goreng di pagi hari.
Abimana, tiba-tiba saja keluar dari dapur bersih dan melemparkan sebuah seprai putih beserta dengan kasur tipisnya. Amanda terperanjat saat melihatnya. Ia sampai mengusap dadanya.
"Heh! Kamu kenapa ada di rumahku lagi?" desis Abi dengan memelankan suaranya seperti orang yang sedang gemas.
"Maaf Bapak, saya ada di sini atas perintah ibu saya untuk menggantinya sampai beliau sembuh. Kalau Bapak ber ...."
"Hust! Apa-apaan kamu berani bicara panjang lebar begitu sama saya? Saya ini majikanmu." Abi melihat ke sekitar.
"Dengarkan apa kata saya, jaga sikapmu. Lupakan kejadian semalam. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Katakan saja berapa maumu, aku akan membayarnya cash!" kata Abi dengan sikap sombongnya.
Amanda kembali duduk di kursi kecilnya dan melanjutkan pekerjaannya. Ia fokus memotong bawang merah dan menitikkan air mata. Harga dirinya terluka setiap kali Abimana memintanya menyebutkan harga.
"Aku bukan pelacur. Simpan saja uang Bapak. Aku juga sudah meminum obat untuk menghilangkannya. Jadi Bapak tenang saja. Aku akan melupakannya dan tidak akan mengingatnya," kata Amanda dengan dingin.
Abimana yang mendapatkan sikap acuh dari Amanda itu pun meradang. Namun dia tidak ada pilihan lain selain pergi. Dia tidak mau terpancing hanya dengan perkataan Amanda yang dinilainya tidak penting.
Setelah Abimana pergi kembali ke kamar, barulah air mata Amanda tumpah ruah. Bandungan air mata itu jebol dan membuatnya berlinang membanjiri kedua pipi chubby-nya.
Perawakan Amanda itu bukanlah yang tinggi semampai. Akan tetapi dia agak pendek dan mempunyai buah dada besar juga dengan pipinya yang sedikit tembem. Dengan penampilannya yang seperti itu, tak jarang banyak orang yang salah menerka usianya. Dia masih sangat pantas bila menjadi anak SMP. Padahal dia sudah kuliah sembari kerja.
"Sial! Aku harus memastikan apa dia benar-benar membersihkan benihku dari dalam rahimnya. Tidak, aku tidak bisa percaya begitu saja dengannya. Bagaimana bila dia berencana untuk memerasku saat anak itu lahir?" Abimana terus saja memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi.
"Novan, apa aku bisa bicara dengannya tentang hal ini? Ah tidak. Bagaimana kalau di membocorkannya dengan Cla? Oh sebaiknya aku memang diam dan memastikan Amanda sudah meminum obat peluruh itu," kata Abi sembari memakai dasinya.
20 menit berselang, Abi kembali turun sudah dengan penampilan rapi. Dia menenteng tas kerja dan berjalan begitu saja tanpa menatap keberadaan Amanda di dekat meja makan. Perasaan malu itu membuatnya tidak berkutik.
Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Abi merasa bersalah akan apa yang terjadi malam itu. Namun ia merasa gengsi untuk mengakui, terlebih lagi dengan posisinya yang sudah beristri.
"Ibu memintaku untuk membuat makanan, tetapi Pak Abi bahkan tidak mau untuk meliriknya," kata Amanda dengan lirih dan menutupnya dengan sebuah senyuman kecut.
"Iya, aku sadar dan aku sangat yakin sekarang bila dia memang sangat jijik denganku. Dia tidak berbohong akan kata-katanya malam itu. Tapi ... dia juga yang mulai melakukan itu terhadapku. Oh, bodohnya aku. Malam itu dia bau alkohol, dia pasti mabuk. Seharusnya aku melaporkan ini kepada kepolisian. tapi ... Ibuku pasti akan jatuh sakit dan kami, kami tidak punya uang untuk membayar tagihan rumah sakit," kata Amanda seorang diri.
Selesai dengan masakan, Amanda lalu menuju ke ruangan cuci baju. Amanda berdiri mematung saat melihat bercak merah di seprai tersebut. Suatu bercak yang menandakan bahwa segel miliknya masih terjaga dengan sangat baik.
Tidak kuat dengan pemandangan yang begitu menyiksa, Amanda lalu pergi begitu saja tanpa mencuci seprei tersebut.
---***---
Sementara itu di sebuah kantor, Abimana tidak fokus saat mengikuti rapat dan bertemu dengan klien. Hingga makan siang pun ia lewatkan. Ada begitu masalah yang menimpanya termasuk dengan kemarahan sang istri.
Abimana terduduk dan ia menengadah ke atas. Ia menatap langit-langit ruangan tersebut dan sekilas kejadian menjijikkan itu kembali. Jauh di dalam lubuh hatinya, Abi menyesali perbuatannya.
"Kenapa aku sampai khilaf begitu? Oh aku harus terus mendesaknya supaya dia mau meminum peluruh tersebut. Aku tidak mau dimanfaatkan oleh orang miskin sepertinya," ucap Abimana seorang diri.
"Ada apa? Aku perhatikan kamu itu dari masuk tadi sudah kusut wajahnya. Ada apa? Apa kalian bertengkar lagi? tanya Novan yang baru saja meletakkan berkas laporannya.
Abi menatap kedua manik Novan dan dia menggeleng. "Enggak, aku hanya lelah saja. Mungkin juga sisa alkoholnya masih ada sampai aku masih loyo."
Abimana jelas beralasan. Dia sama sekali tidak menunjukkan atau bahkan ingin membuka fakta itu. Baginya, kerahasiaan hal itu sangatlah penting.
"Oh iya, aku mau pamit ya, mau pulang dulu. Ada acara keluarga di rumah. Semua pekerjaan sudah beres dan aku harus membantu orang rumah."
"Silahkan sana, aku juga mau pulang setelah ini. Ada banyak pekerjaan di rumah." ujar Abimana seraya berdiri menenteng tas kerjanya.
Sesampainya di rumah, Abi dikejutkan dengan adanya rumah yang berantakan. Bercak darah itu juga minta untuk segera dibersihkan. Seprei itu menjadi saksi keganasan seorang Abimana Dipta.
Abimana mencuci dan membereskan rumah tersebut. Lantaran terlalu lelah, Abi sampai tertidur di lantai rumahnya. Dia seperti anak kecil yang tidur sambil bersembunyi.
----***----
"Aku harus bagaimana Bu, aku tidak bisa bekerja di sana!" kata Amanda penuh dengan penekanan. Dia sampai meremas kuat gelas minumannya dengan matanya yang berkaca-kaca.
Amanda baru saja pulang dan tiba di rumah. Namun Clarissa rupanya telah menghubungi bibik Ninik untuk menjaga rumah itu karena sebulan ini Clarissa tidak akan pulang. Dia mempunyai pekerjaan penting dan beberapa kontrak.
"Ya kamu harus menggantikan ibu sementara Manda. Apa kamu lupa kita punya hutang dengan tuan Abi? Saat adikmu sakit dan membutuhkan penanganan operasi hanya dia yang mau membantu kita. Sekarang ibu hanya memintamu untuk pindah tidur di sana dan kamu keberatan? Oh, ibu tidak percaya ini," kata bibik Ninik penuh sesal. Ia menunduk dan menitikkan air mata.
"Ibu malu Manda, kalau hanya dimintai tolong begini saja tidak bisa. Ibu malu," kata bibik Ninik.
"Ah iya, bagaimana aku bisa lupa akan hari itu. Aku memang harus kembali bertemu dengannya. Iya, aku harus bekerja menggantikan ibu. Mau bagaimana lagi, aku tidak ada pilihan," kata hati Amanda.
Pada akhirnya, Amanda tetap kembali ke rumah besar Abimana. Dia sampai kembali dan mendongak menatap pagar yang tinggi menjulang. Satpam yang berjaga pun segera mendekatinya, agak aneh saja melihat Amanda kembali dengan membawa tas besar.
"Manda, kok kamu? Ibumu ke mana, apa dia belum sembuh?" tanya Satpam.
Amanda menggeleng pelan. "Belum, dia belum bisa berjalan. Dia mengeluhkan pinggangnya yang sakit. Jadi aku yang menggantikannya sebagai pembantu di rumah ini."
"Iya, kamu anak yang baik. Oh iya di malam itu kamu pulang jam berapa? Kenapa aku tidak melihatmu?" tanya Satpam yang justru mengingatkan akan malam mengerikan tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!