NovelToon NovelToon

Suami Milyarder

Bab 1 – Konflik keluarga

Lylia memilih mengurung diri di paviliun tempat tinggalnya meskipun dia tahu jika di rumah utama tengah berkumpul seluruh keluarganya.

Kakak dan kakak iparnya datang karena esok akan ada acara perayaan ulang tahun kakek.

Namun, ketenangan Lylia tak bertahan lama karena sang ibu mendatanginya dan memintanya ikut ke rumah utama.

“Ibu! Aku akan datang nanti dengan suamiku,” kata Lylia menolak.

“Saudarimu datang dari jauh. Tidakkah kau ingin melepas rindu bertemu dengan mereka? Kau benar-benar sudah tidak waras, Lylia. Kau memilih hidup miskin dibandingkan mengikuti jejak kedua saudarimu,” omel Eudora seperti biasa. Menghina dan merendahkan suaminya karena dianggap miskin.

“Nanti malam aku akan datang saat makan malam, Bu. Jangan memaksaku.”

Lagipula melepas rindu dengan saudarinya? Hal mustahil yang seharusnya Eudora sendiri tahu jawabannya. Hubungannya dengan kedua saudarinya tidak baik, sejak kecil hingga beranjak dewasa mereka tak pernah benar-benar akur.

Apalagi sejak dirinya memutuskan menikah dengan Xavier. Hubungannya semakin memburuk karena mereka semua selalu menghina pilihannya yang dianggap rendahan.

“Keras kepala! Kau benar-benar tidak berguna, Lylia.”

Brak!

Eudora pergi dengan wajah memerah penuh amarah. Sejak dulu Lylia selalu menjadi pembangkang dan tak pernah mau diatur, dalam hal apa pun. Wanita itu seolah memiliki dunianya sendiri dan tak peduli dengan pertentangan yang selalu diberikan kedua orang tuanya.

Bagi Lylia. Dia bukan burung dalam sangkar yang akan menuruti semua titah pemiliknya. Dia bukan robot yang bisa dikendalikan oleh orang lain. Dia bukan barang yang bisa ditukar dengan materi. Lylia punya pikiran dan perasaan yang bisa digunakan.

“Hei, apa yang kau pikirkan?!” Suara yang tak asing itu membuat Lylia yang tengah menatap kosong segera menoleh. Mendapati suaminya berdiri di ambang pintu dengan senyum yang selalu terukir di bibirnya.

Lylia bangkit dan menyambut suaminya. “Sudah lama? Maaf tidak menyadari kehadiranmu.”

Xavier memberikan ciuman di kening dan merangkul Lylia masuk ke dalam rumah. Kehidupan rumah tangganya bahagia meskipun mereka tidak dilimpahi banyak materi.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?”

“Ibu meminta kita datang ke rumah utama. Alice dan suaminya datang dari Indonesia. Kau tidak lupa ‘kan jika lusa ulang tahun kakek?”

“Tentu saja tidak, Sayang. Aku pulang sedikit terlambat karena mencari hadiah untuk kakek. Semoga beliau menyukainya.”

Xavier meminta Lylia bersiap untuk datang ke rumah utama. Namun, Lylia sama sekali tak beranjak dari tempatnya duduk. Dia benar-benar malas dan tak ingin datang ke sana. Alasannya hanya satu ... dia tidak ingin suaminya dihinakan oleh keluarganya.

“Ayolah, Lylia! Tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar,” kata Xavier dengan yakin.

“Kau tahu bagaimana mereka. Ucapan mereka bahkan lebih menyakitkan dibandingkan belati tajam.”

Xavier hanya tersenyum menanggapi ucapan Lylia yang memang adalah sebuah kebenaran. Namun, jangan salah. Karena Lylia sendiri memiliki lidah yang tak kalah tajam saat kemarahan sudah menguasai.

“Tidak apa-apa, Lylia.” Xavier menyunggingkan senyum tipis dan mengecup puncak kepala sang istri untuk menenangkannya.

“Aku benar-benar tidak ingin datang ke sana, Vier,” kata Lylia dengan wajah malas.

Setelah mandi dan berganti pakaian rapi, Xavier dan Lylia datang ke rumah utama di bagian utara. Sebenarnya kediaman mereka masih di satu wilayah yang sama, hanya saja mereka sengaja ditempatkan di paviliun yang terpisah dengan rumah utama.

“Silakan, Tuan, Nona,” ujar kepala pelayan membawa mereka ke ruang makan di mana semua keluarga telah berkumpul.

“Selamat malam ayah mertua, ibu mertua, kakak ipar dan adik ipar,” sapa Xavier ramah dengan senyum khas yang dimiliki.

Sebelum duduk Xavier menarik kursi untuk Lylia lebih dulu.

“Sudah satu tahun tidak bertemu, kenapa kau tidak berubah sama sekali, Adik ipar?” tanya Alice. Nada ucapannya penuh dengan hinaan.

“Tentu saja tidak akan berubah, dia kan memang pria tidak berguna,” sahut Karina tak kalah sinis.

Tangan Lylia terkepal kuat, Xavier langsung menyentuh dan menggenggamnya dengan erat, menyalurkan kekuatan baru yang penuh energi positif. Wanita itu selalu emosional tiap kali anggota keluarga menghina dirinya. Bahkan Lylia pernah hampir merobek mulut adik iparnya karena mengucapkan hal buruk.

Ini bukan hinaan yang pertama, sudah sering keluarga ini menghina Xavier karena statusnya yang dianggap rendah.

“Sudah hentikan! Jangan membuat keributan di meja makan,” ucap pria paruh baya itu menengahi. Alucard menatap Xavier dengan pandangan dingin sekali.

“Kau bela saja terus menantu yang tidak berguna ini,” sahut Eudora marah.

“Cukup, Bu! Jika kedatangan kami hanya untuk dijadikan hinaan, kami akan pergi,” lontar Lylia berani.

“Beraninya kau pada ibumu!”

“Cukup!!!” Alucard melerai. Tak ingin terjadi keributan yang lebih besar lagi jika membiarkan para wanita terus berbicara.

Makan malam itu berlalu dengan tenang. Meskipun sesekali terdengar sindiran dari Eudora.

“Jangan memaksa, Bu. Aku mencintai suamiku dan tidak akan meninggalkannya,” jawab Lylia keras.

“Kau bisa dapat pengganti suami yang lebih baik dibandingkan pria miskin itu, Lylia.”

“Sudah berulang kali aku katakan untuk tidak mencampuri urusan rumah tanggaku, Bu.” Lylia menatap ibunya dengan marah. Dia selalu ditekan oleh wanita paruh baya itu untuk bercerai dengan suaminya, tetapi sikapnya yang menentang membuat keduanya tak pernah akur dan berujung pertengkaran.

“Dasar tidak tahu diri. Apa untungnya kau bertahan dengan pria miskin yang tidak bisa memberimu apa-apa, Lylia.” Eudora mencengkeram dagu putrinya dengan keras dan menekannya hingga terdengar ringisan pelan.

“Sakit, Bu! Kumohon jangan ikut campur kehidupanku dengan suamiku.”

Plak!

Lylia mendapatkan tamparan karena dianggap satu-satunya wanita bebal di keluarga Richards yang susah diatur.

“Kau terlalu tamak dan silau akan harta hingga tak pernah bertanya tentang kebahagiaan atau perasaanku.” Secepat kilat Lylia pergi dari hadapan ibunya dengan air mata yang meluncur deras membasahi kedua pipinya.

Hidup memang membutuhkan harta, tetapi bukan berarti itu segalanya. Harta tak menjamin kebahagiaan, tetapi suami yang baik dan penuh tanggung jawab akan selalu mengusahakan untuk kebahagiaan keluarga kecilnya.

Sikap Lylia yang semakin membangkang membuat Eudora semakin murka. Terang-terangan wanita paruh baya itu mengatakan, bahwa semua yang telah terjadi karena ulah Xavier yang mempengaruhi Lylia untuk membangkang pada keluarga.

Xavier benar-benar tidak ada niat untuk membuat istrinya menjauhi keluarga, tidak juga menyuruh istrinya untuk membenci keluarganya sendiri.

“Maafkan aku, Sayang,” kata Xavier mengusap punggung sang istri lembut.

“Kau bicara apa! Sudahlah, segera pergi ke kantor atau aku akan mengurungmu di dalam kamar ini,” jawab Lylia dengan senyum jahil.

“Maafkan aku ... suamimu ini berjanji akan memberikan seluruh dunia dalam genggaman jika waktunya sudah tiba.”

Lylia mengangguk dan tersenyum. “Aku selalu percaya padamu.”

To Be Continue ....

Bab 2 — Menjadi bahan perbincangan

Hari yang dinanti telah tiba. Pesta perayaan ulang tahun pendiri Richards Company yang diselenggarakan di sebuah hotel mewah dihadiri oleh tamu dari berbagai kalangan kelas atas.

Sejak siang semua keluarga sudah berkumpul dan akan menginap di hotel tempat berlangsungnya pesta.

Lylia masih bersiap. Wanita iyu masih memoles riasan tipis di wajah. Tidak seperti ibu dan kedua saudarinya yang menggunakan jasa makeup. Lylia lebih memilih melakukannya sendiri.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan keras di pintu membuat Xavier segera bangun dan membukanya.

“Ayo ke aula. Sebentar lagi acara akan dimulai,” kata Karina yang ada di depan pintu.

Xavier hanya mengangguk tanpa melontarkan jawaban, lalu kembali menutup pintu begitu saja. Membuat adik iparnya tampak marah dan kesal.

“Vier,” panggil Lylia pelan. “Perasaanku tidak enak.”

Xavier tersenyum menanggapi ketakutan istrinya. “Tidak perlu merasa takut, ada aku yang selalu di sampingmu.”

Keduanya berjalan bergandengan tangan menuju aula di mana pesta tengah berlangsung.

Kedatangan mereka menjadi pusat perhatian. Paras cantik putri Keluarga Richards dan wajah rupawan para menantunya membuat semua mata tak bisa berkedip melihatnya.

Namun, tetap saja dari sekian banyak pandangan kagum yang didapat, ada pula sebagaian orang yang berbisik-bisik menggunjingkan salah satu menantu Keluarga Richards yang hanya pegawai biasa.

Lylia cantik, terpelajar dan dari keluarga yang berpengaruh, seharusnya dia bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik. Meskipun rupa Xavier tampan, tetapi dia bukanlah apa-apa jika tak memiliki kedudukan. Mungkin begitulah isi pikiran mereka yang saat ini tengah menatapnya.

Xavier hanya tersenyum dan mengenggam tangan Lylia seperti berkata, “Itu bukan hal besar.”

Mereka menyapa Martis Federick Richards dengan sopan, mengucapkan selamat ulang tahun pada pria tua yang masih sehat dan terlihat bugar di usianya yang hampir mendekati delapan puluh tahun. Tentu saja gaya hidup sehat membuatnya tampak terlihat awet muda dari usia yang sebenarnya.

Saat Xavier berhadapan dengannya, pria tua itu tersenyum dan memeluknya. “Terima kasih telah mencintai cucuku dengan sangat besar.”

“Kakek, itu sudah tugas suami mencintai istrinya,” kata Xavier.

“Cinta saja tidak akan membuat hidup senang dan bergelimang harta. Ayah benar-benar salah pilih,” kata Eudora dengan sinis di depan Federick. “Banyak pria di luar sana yang bersedia menikah dengan Lylia, tapi ayah justru memilih pria tidak berguna ini,” lanjut wanita paruh baya itu dengan mulutnya yang begitu tajam.

“Jaga bicaramu, Eudora!” Pria tua itu tampak menatap tajam ke arah menantunya. Dia mengeraskan rahang hingga Alucard harus turun tangan melerai mereka.

Alucard membawa istrinya menjauh, diikuti dua anak dan menantunya yang kini telah menyebar dan menyapa semua orang. Jelas tujuannya adalah mencari relasi demi kepentingan pribadi.

Lylia memeluk sang kakek dengan penuh kerinduan. “Selamat ulang tahun. Semoga kakek panjang umur dan bisa melihatku menberikan cicit,” katanya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Tentu saja kakek tua ini akan menunggunya. Berbahagialah selalu, Lylia.”

Acara yang ditunggu akhirnya tiba. Semuanya berkumpul mengelilingi meja bundar di mana kue bertingkat tujuh sudah ada di hadapan siap untuk dipotong.

Sebelum memotong kue, Federick memberikan beberapa sambutan dan rasa terima kasih karena sudi hadir di acara perayaan ulang tahunnya.

Tepuk tangan dari semua orang membuat suasana semakin riuh. Setelah potong kue, para tamu mulai menyebar dan menikmati hidangan yang telah disediakan.

Xavier, Lylia dan Federick duduk di satu meja, sementara keluarga yang lain duduk di meja sebelahnya.

“Kakek tidak makan?” tanya Lylia, “aku ambilkan, ya.”

“Tidak, nanti saja.” Federick menolak karena dia memang belum lapar.

“Kalau mau makan, kau bisa pergi. Aku akan di sini menemani kakek,” ujar Xavier.

Lylia mengangguk dan menuju deretan meja dengan berbagai hidangan yang telah disediakan.

“Aku tidak menyangka, kenapa putri kedua Keluarga Richards mau menikahi pria miskin itu.”

“Kau benar, seharusnya dia bisa mendapatkan pria yang layak, tapi justru memilih sampah tidak berguna itu.”

“Sayang sekali dia tidak memanfaatkan kecantikannya untuk menjerat pria yang lebih baik.”

Begitu lah bisik-bisik yang didengar di telinga Lylia saat dirinya melewati sekumpulan wanita yang tengah menggunjingnya.

Namun, Lylia segera mengambil apa yang diinginkan dengan cepat dan kembali ke mejanya. Dia tidak tahan mendapati hinaan yang selalu ditunjukkan untuk suaminya.

Informasi tentang Xavier Thomas yang hanya seorang pegawai biasa tentu dengan mudah digali oleh banyak orang. Status menantu di Keluarga Richards juga menjadi sorotan, karena dia dianggap hanya menumpang hidup.

Diamnya Xavier dan ketidakpedulian yang dilakukan membuat rumor tentang pria tidak tahu diri, benalu dan menantu tidak berguna semakin tersebar luas.

“Aku ambilkan minum,” kata Xavier segera pergi mengambil minuman.

Namun, saat dia sudah memegang dua gelas minuman, bahunya ditepuk dari belakang dan membuatnya menoleh.

“Oh, ini dia pria miskin tidak tahu diri yang mendapatkan keberuntungan dengan menikahi putri kedua Keluarga Richards.”

Bagi Xavier berbagai macam hinaan untuknya tidaklah terlalu penting di telinga. Mereka yang tidak tahu boleh berkomentar apa pun, itu hak mereka.

“Katakan apa pun yang Anda inginkan Tuan Howard.”

Sikap Xavier yang acuh tak acuh membuat pria di depannya geram. Stefen Howard memang sudah menyukai Lylia sejak lama, tetapi dia tak pernah mendapatkan tempat dalam hidup Lylia karena sikap arogan dan kesombongan yang dimiliki.

“Kau seharusnya sadar diri, di sini bukan tempatmu. Kau hanya pegawai rendahan dengan latar belakang keluarga yang tidak jelas. Seharusnya kau malu menikahi putri keluarga kaya. Kau lihat siapa dirimu? Kau hanya pria miskin, pecundang dan tidak berguna!” Stefen Howard semakin menggebu melontarkan segala caci maki.

Xavier menatap tajam pria di depannya. Aura di sekitar mereka tampak begitu dingin dalam sekejap.

“Tapi aku adalah pria beruntung yang bisa dicintai oleh Lylia. Wanita yang menjadi incaran banyak kaum adam. Sungguh malang sekali nasib mereka yang tidak beruntung. Aku bahagia melihat mereka patah hati,” ujar Xavier dengan wajah sedih, tetapi sarat akan hinaan.

“Sialan! Beraninya kau,” desis Stefen dengan kedua tangan terkepal.

Xavier melemparkan senyum, wajahnya kembali menghangat. “Terima saja kenyataan bahwa pecudang ini, mampu membuat wanita incaranmu tidak menoleh.” Pria itu berlalu setelah mengatakannya. Percuma saja dia meladeni mereka yang selalu memiliki cela untuk menghakimi kekurangan yang dimiliki.

“Kenapa Stefen Howard mendekatimu, Vier?” tanya Lylia saat Xavier baru saja duduk.

“Kami hanya sedikit berbincang. Bukan masalah,” jawab Xavier yang melihat kekhawatiran di wajah sang istri.

Sesekali Lylia yang tengah menyuapkan makanan ke mulutnya, mengarahkannya pada Xavier. Sikap manis wanita itu membuat banyak pasang mata menatap mereka dengan kesal bercampur marah.

“Hai anak muda, kalian mau membuat kakek tua ini menjadi obat nyamuk, ya! Tidak sopan!” omel Federick melihat kemesraan cucunya.

Sepasang suami istri itu terkekeh dengan pelan.

“Ayolah kakek, kau juga pasti pernah melakukannya saat muda dulu. Atau jangan-jangan kakek langsung menua begitu saja?” canda Lylia membuatnya mendapatkan pukulan pelan oleh Federick.

“Kurang ajar!”

Wajah Federick tampak kesal. Cucu keduanya itu selalu bisa membuatnya naik darah.

Obrolan ketiga orang itu menimbulkan gelak tawa yang menjadi pusat perhatian. Beberapa kali para tamu yang menyapa Federick menatap ke arah Xavier dengan pandangan meremehkan, tetapi tentu saja tidak akan berani menghinanya langsung di bawah tatapan tajam seorang Federick yang menakutkan.

“Lylia, ibu memanggilmu. Beliau ingin bicara denganmu,” kata Alice yang baru saja datang mendekat.

“Apa yang diinginkan?” jawab Lylia tampak bingung.

“Kau ini banyak tanya! Cepat datangi ibu!” kata Alice dengan nada membentak dan pergi begitu saja.

“Pergilah jika ibumu memanggil. Kakek masih ada Xavier yang menemani,” kata Federick memberi pengertian.

Lylia mengangguk pelan, awalnya Xavier memiliki firasat yang tidak baik. Namun, Lylia meyakinkan bahwa ibunya hanya ingin berbicara.

Sekadar bicara.

Mungkin ... dengan maksud tertentu.

To Be Continue ....

Bab 3 — Jebakan

“Mau ke mana, Bu?” tanya Lylia saat lift itu semakin naik dan bukan menuju lantai kamar mereka.

“Diam dan ikuti saja!” hardik Eudora.

Sesampainya di lantai sepuluh, Eudora menyeret tangan Lylia dengan keras dan sedikit kasar. Tiba di sebuah kamar Eudora langsung mendorong Lylia masuk tanpa menjelaskan sepatah kata pun.

“Bu!” teriak Lylia sedikit keras karena tubuhnya yang terdorong hampir limbung jika tak segera berpegangan.

Pintu tertutup dan terkunci dari luar. Lylia berteriak memanggil ibunya, tetapi jelas wanita paruh baya itu sudah tidak ada di depan pintu lagi.

“Apa sebenarnya maumu, Bu?!” teriak Lylia frustasi. Sialnya lagi dia tidak membawa ponsel hingga tak bisa menghubungi siapa pun.

“Aku jelas inginnya dirimu, Lylia! Sejak dulu bahkan hingga detik ini.”

Suara lain yang menyahut membuat Lylia menegang. Dia berjalan mendekat dan bola matanya membulat sempurna melihat siapa yang tengah duduk di atas ranjang dengan satu kaki terangkat.

“Apa yang kau lakukan di sini, Stef?” tanyanya, “jangan bilang kau terlibat dengan rencana ibuku.” Tembaknya tepat sasaran.

Pria itu tersenyum miring dengan mata mengerling nakal. “Kau sudah tahu jawabannya, Sayang.”

Lylia mengepalkan kedua tangannya marah. Bisa-bisanya sang ibu melakukan ini padanya.

“Jangan bermain-main Stef! Cepat keluarkan aku dari sini.”

“Coba saja jika kau bisa!”

Lylia segera berjalan menuju nakas yang ada di samping ranjang. Ada telepon di sana, dia berniat menghubungi resepsionis untuk meminta bantuan. Namun, belum sempat panggilan terjawab, Stefen sudah mencengkram lengannya dan menarik tubuhnya kasar.

Stefen mencabut kabel telepon dan melempar telepon itu ke sembarang arah.

“Sial! Apa yang kau lakukan?!” teriak Lylia semakin marah.

Lylia mundur beberapa langkah saat Stefen semakin mendekat. Tangan pria itu langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Lylia jelas memberontak, tetapi kekuatan wanita tak akan sebanding dengan seorang pria. Apalagi pria itu telah dikuasai nafsu yang telah membumbung tinggi.

“Aku menginginkanmu, Lylia.”

“Lepaskan aku, Stef. Kau tak boleh melakukan ini. Kita berteman.”

“Kau yang menganggap demikian. Tidak denganku. Aku mencintaimu dan menginginkanmu. Kau menolak dan memilih pria rendahan itu. Kau menyakiti hati dan harga diriku, Nona Richards,” bisik Stefen sambil mencium cuping telinga Lylia.

Lylia gemetar. Dia marah sekaligus merasa hina saat tangan pria itu menggerayangi tubuhnya.

“Tolong jangan lakukan ini. Aku mohon.”

“Aku suka saat kau memohon. Tapi memohon lah untuk sebuah kepuasan, Lylia.”

Lylia menggeleng. Menggigit tangan Stefen hingga pelukan itu terlepas. Dia mundur dan menjauh berusaha kabur. Namun, saat akan berlari ke kamar mandi kakinya tersandung karpet hingga membuatnya tersungkur.

Lylia meringis merasakan nyeri di pergelangan kakinya.

“Brengsek!” teriak Lylia saat tubuhnya diangkat dan dilempar di atas ranjang oleh Stefen.

Teriakan Lylia sama sekali tak dipedulikan. Stefen sudah dikuasi gairah sekaligus amarah. Tangannya dengan kasar merobek gaun yang dipakai Lylia hingga terlihat tubuh bagian atasnya terkoyak.

Jeritan kesakitan dan kepiluan yang keluar dari bibir Lylia bagaikan nyanyian penuh cinta di telinga Stefen.

Gila.

Brengsek.

Begitulah jika otak telah dikuasai oleh nafsu. Bukan cinta seperti yang diucapkan. Justru obsesi yang menghancurkan.

“Jangan Stef! Kumohon! Jangan lakukan apa pun yang akan membuatku membencimu,” ujar Lylia lirih. Air matanya tumpah tak terbendung lagi.

"Terlambat Lylia.”

“Argh!!!”

Beberapa kali Xavier melirik jam tangan. Sudah hampir tiga puluh menit Lylia pergi dan belum kembali. Tiba-tiba perasaannya tak enak.

“Belum juga ada satu hari kalian berpisah. Kau sudah merindukan cucuku rupanya,” canda Federick menggoda. Pria tua itu jelas memperhatikan raut cucu menantunya yang kelihatan tak nyaman.

“Cucumu itu istriku, Kek. Tentu aku selalu merindukannya,” balas Xavier membuat Federick terkekeh pelan.

Dasar anak muda.

Mata Xavier menangkap keberadaan Eudora bersama suaminya. Keningnya berlipat heran. Bukankah mertuanya itu tadinya bersama Lylia. Lalu kemana istrinya?

“Kakek tunggu sebentar. Aku mau mencari Lylia.”

Xavier segera bangkit dan pergi tanpa menunggu jawaban Federick. Dia berjalan menghampiri mertuanya yang tengah berbincang dengan orang-orang.

“Bu, di mana Lylia?” tanya Xavier mengalihkan perhatian mereka.

“Kau suaminya. Seharusnya kau yang lebih tahu di mana istrimu,” jawab Eudora sinis.

“Kau yang pergi bersamanya.”

Eudora mengangkat bahunya acuh tak acuh dan mengabaikan kehadiran Xavier.

“Sayang sekali putrimu harus menikah dengan pria rendahan ini. Jika saja memungkinkan aku pun menginginkan Nona Kedua Richards menjadi menantuku,” ujar seorang wanita kenalan Eudora.

“Sungguh malang aku harus punya menantu pria tidak berguna.” Eudora mengatakannya dengan keras. Membuat beberapa orang di sekitar menoleh dan melirik ke arah Xavier.

Merasa tak mungkin mendapatkan informasi. Xavier segera keluar dari ruangan dan terlihat menghubungi seseorang.

“Retas CCTV Hotel Diamond dan cari keberadaan istriku! Lima menit!”

Brak!

Stefen tampak terkejut saat mendengar suara keras yang mengganggu. Belum sempat tubuhnya berbalik, dia merasakan sesuatu menghantam punggungnya hingga tersungkur.

Xavier berdiri dengan tatapan membunuh saat melihat apa yang terjadi di depan matanya.

Lylia terkapar lemah dengan mata terpejam. Ada berbagai luka di wajah dan bekas kissmark di seluruh dadanya. Hal itu semakin membuat kemarahan dalam diri Xavier bangkit. Dia memukuli Stefen membabi buta tanpa ampun.

Setelah membuat Stefen tak berdaya, Xavier segera menghampiri sang istri dan menutupi tubuhnya dengan jas yang dipakai.

“Lylia ... kau dengar suaraku?” Tangan itu menepuk pelan pipi Lylia yang kebiruan.

“Jangan!!!” teriak Lylia histeris dan mundur dengan wajah penuh ketakutan.

“Hei, Sayang. Tenanglah ... ini aku ... Xavier ... suamimu.”

Tangis Lylia semakin keras. Dia menggelengkan kepala berulang kali saat matanya benar-benar menangkap keberadaan Xavier yang nyata.

“Aku kotor, Vier.”

“Tidak, Sayang.”

“Dia telah menyentuhku.”

“Aku akan membunuhnya untukmu.”

Mendengar jerit ketakutan Lylia membuat emosi Xavier kembali memuncak. Dia menoleh dan menatap tubuh Stefen yang terkulai tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah segar. Dia akan membunuh pria itu dengan tangannya sendiri.

Namun ....

“Jangan Vier!” cegah Lylia menangkap tangan suaminya. Meskipun dia ingin Stefen lenyap tapi dia tak ingin suaminya terkena masalah.

Xavier menahan diri. Dia menggenggam tangan Lylia erat dan menariknya mendekat. Membawanya ke dalam pelukan dan menciumi seluruh wajahnya yang penuh lebam.

“Sakit?”

Lylia menggeleng pelan. “Aku lebih baik mati jika dia benar-benar melakukannya.”

“Jangan katakan itu, Sayang. Pria itu yang pantas mati.”

Saat keduanya masih berpelukan saling menguatkan. Tiba-tiba terdengar langkah kaki berlarian dan flash kamera menyala merekam apa yang terjadi di dalam kamar.

Pekikan terkejut tak terelakan. Sepasang suami istri saling berpelukan di atas ranjang dan satu pria terkapar di lantai. Pemandangan di kamar itu sangat buruk.

“Ada apa ini? Lylia ... kekacauan apa yang kau lakukan! Memalukan!”

To Be Continue ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!