Celine yang malang, semenjak ditinggal Ibu kandungnya untuk selama-lamanya, ia merasa menjadi wanita yang paling tersiksa di dunia ini. Terlebih kehadiran orang baru di rumahnya membuat kasih sayang Ayahnya terbagi.
Ayah yang dulunya selalu menjadi tempatnya berbagi keluh kesah, kini tidak lagi. Jangankan untuk bercerita, untuk bertemu saja sulit, semenjak Ayahnya menikah dengan seorang wanita yang sangat egois. Kenapa harus dirinya yang mengalami ini?
Malam itu, disudut kamarnya ia tatap foto sang Ibu dengan berderai air mata. Celine hanya bisa duduk dengan melipat kedua lututnya untuk ia jadikan penopang dagu. Diantara semua penderitaan yang ia alami, hari ini adalah yang paling buruk. Dimana ia baru saja mendengar kabar bahwa dia akan di jodohkan dengan seorang laki-laki yang usianya sangat jauh diatasnya. Apa jadinya jika itu benar-benar terjadi? Menikahi om-om? betapa lucunya hidup ini menurutnya.
"Terserah kamu, terserah!! kalau kamu nggak mau nurut jangan harap kamu bisa lanjut kuliah, kamu kira bayar kuliah itu pake daun?? kuliahmu itu mahal, butuh biaya besar, kamu kira usaha Ayah ini akan selamanya berjaya?? sadar diri kamu jangan mau hidup enak terus-terusan!!" Dari luar kamar Celine, terdengar suara teriakan Pak Doni yang merupakan Ayah kandung dari Celine.
Hidup enak? bukannya itu memang yang seharusnya ayah berikan untukku? Dulu ayah selalu memanjakanku, jangankan uang dan kebahagiaan, ayah pernah berkata bahwa nyawa pun akan ayah berikan untukku. Tapi sekarang apa?
Lagi-lagi, Celine hanya bisa mengucapkan itu didalam hatinya, jika ia berani berucap, maka sudah pasti sang Ayah tidak segan-segan untuk mendaratkan tamparan keras di pipinya, akhir-akhir ini, itu sering terjadi. Karakter Pak Doni berubah drastis semenjak memilih perempuan pembawa petaka itu menjadi istrinya, semenjak kehadiran perempuan bernama Stella itu harta Pak Doni perlahan-lahan habis, entah kemana. Perusahaan yang kini sudah diambang keruntuhan, maka Celine lah yang menjadi korban. Secara tak langsung ia akan dijual oleh Ayahnya bukan?
Ibu, bagaimana kalau Celine ikut Ibu aja? Celine yakin Ibu pasti bahagia kan disana? kalau Celine datang ke tempat Ibu, pasti Ibu akan lebih bahagia, bukan? Celine rapuh tanpa Ibu.
Pikirannya sudah tak terkendali, ia bangkit dari duduknya mencari-cari benda tajam yang berada didalam laci meja riasnya. Gunting kecil, sambil terus menatap foto sang Ibu, ia tidak ragu lagi untuk menggoreskan benda itu di pergelangan tangannya.
"Ibu, tunggu Celine ya!"
drt.... drt.... drt....
Ponsel yang berada di atas ranjang terus bergetar, memecahkan konsetrasinya untuk mengakhiri hidupnya. Oke, untuk kali ini ia berhenti dan meraih ponsel itu, barangkali orang yang menelponnya ini adalah orang terakhir yang berbicara dengannya sebelum ia benar-benar pergi menghilang dari dunia ini.
"Ah sialaan nih anak," ucapnya kala menatap layar ponsel dan membaca nama yang tertera.
"Hallo, apaan?"
"Elo dimana Cel? dari sore gue chat nggak balas-balas," Pertanyaan yang muncul dari Pandu laki-laki yang sudah bersahabat dengan Celine sejak SMA. Mungkin hanya Celine yang menganggapnya sahabat, berbeda dengan Pandu yang sudah pasti lebih.
"Dirumah," sambil menarik ingusnya akibat isak tangis yang berlebihan.
"Lo kenapa? masih nangis karena masalah kemarin? kabur aja gimana? gue bantu elo,"
Sepertinya ajakan Pandu ada benarnya, kenapa ia tidak berpikir seperti ini sejak kemarin-kemarin.
"Ka-dang elo ada gunanya juga ya Pan," ucap Celine terbata dan masih terisak.
"Lo bisa ngandalin gue kapan aja, jadi gue jemput sekarang?"
"Agak malaman aja, gue siap-siap dulu. Tapi setelah kabur gue kemana? nggak mungkin ke rumah lo kan?"
"Udah lo tenang aja, kita pikirin ntar, yang penting lo kabur dulu, emang mau nikah sama om-om yang lo sendiri nggak tau gimana wujudnya? jangan nangis lagi, gue jamin deh sekarang muka lo jeleeeek banget,"
Celine tersenyum, kemudian memelankan suaranya setengah berbisik. "Oke, nanti gue hubungi lo lagi. Makasih ya."
"Nggak gratis," Panggilan langsung Celine akhiri, karena menurutnya obrolan selanjutnya tidak penting dan buang-buang waktu.
Kembali ia tatap foto sang Ibu yang masih berada di tangannya, "Ibu, sepertinya nggak sekarang ya Celine ketemu Ibu, doakan Celine semoga masih bisa menjalani hidup ini dengan layak."
Dengan bermodalkan tas ranselnya, ia masukkan beberapa lembar baju yang menurutnya penting. Tak lupa ia membawa selembar surat tanda kelulusan SMA nya siapa tahu bisa menolongnya untuk mencari-cari pekerjaan, demi menyambung hidup dan menyambung kuliahnya.
Sebelum benar-benar pergi, ia tuliskan selembar surat dan ia letakkan di atas ranjang.
Sekitar jam satu malam, Pandu sudah menunggunya di luar. Celine keluar rumah dengan mengendap-ngendap perlahan, berjalan tanpa meninggalkan suara. Berhasil keluar pagar rumah, untunglah satpam yang biasa berjaga di kediaman Pak Doni itu sudah di pecat beberapa hari yang lalu mengingat keuangan yang sedang memburuk, harus mengurangi jumlah pegawai dirumah itu.
Di dalam mobilnya, Pandu sudah melambaikan tangannya ke arah Celine. "Jalan sekarang," ujar Celine tergesa-gesa karena takut ada yang melihatnya.
"Siap tuan putri," mobil melaju, entahlah kemana Pandu akan membawanya, ia hanya bisa pasrah. Yang penting ia keluar dari rumah yang penuh kesengsaraan itu.
-------------
Awal yang baik atau buruk nih menurut readers 😁
Mohon dukungannya yah, semoga suka ❤
Tidak tau harus kemana, akhirnya Pandu menepikan mobilnya di pinggir jalan. Sekarang sudah jam dua malam.
"Lo udah makan belum?" Sebelum mengajak Celine turun dari mobil, Pandu memastikan sesuatu terlebih dahulu. Pertanyaan itu hanya di jawab dengan gerakan menggeleng oleh Celine.
"Ya udah kita makan dulu," Pandu kembali melajukan mobilnya mencari tempat makan yang masih tersedia di jam seperti ini.
"Tapi duit gue cuma dikit, dan gue harus hemat, Pan!"
"Lo gila ya? kalau udah sama gue tenang aja, gue nggak nyuruh lo bayar kok."
Hanya sekitar lima belas menit, akhirnya mereka berhenti disebuah warung nasi goreng. "Turun!" titah Pandu sedikit memaksa.
"Iya, galak amat sih, temen lagi sedih di bentak-benat gitu." Padahal Pandu sama sekali tidak berniat untuk membentaknya hanya saja lelaki itu memang sedikit kasar dalam berucap, harusnya Celine paham itu. Tapi karena malam ini hatinya sedang berkecamuk, maka hal seperti itu pun membuatnya kembali bersedih.
"Lah, malah nangis, ya ampun sorry Cel, gue nggak maksud--" berusaha untuk menarik salah satu tangan Celine yang sedang menutup wajahnya. "Kenapa semua jahat banget sih sama gue, mestinya tadi gue nggak usah jawab telpon dari lo, pasti gue udah bahagia ketemu Ibu, lo udah gagalin rencana gue Pan!!"
"Apa lo bilang? ketemu Ibu? lo mau bunuh diri?" Celine mengangguk, sambil menangis sesenggukan. Ingin sekali Pandu memaki, tapi entah siapa yang harus dimaki, melihat Celine seperti ini. hatinya pun hancur.
Bangsaaaaat!! Umpatnya kesal dalam hati sambil memukul stir dihadapannya. Pandu turun dari mobil, kemudian memaksa gadis itu untuk turun, "Bentar Pan, gue ngelap ingus sama air mata dulu dong, kan malu kalo keluar dalam keadaan kayak gini." sambil mengambil tisu di dashboard, ia usap wajahnya. Pandu tak habis pikir mengapa gadis ini saat sedih dan menangis pun terlihat menggemaskan.
Duduk berhadapan, Pandu terus menatap Celine yang sedang lahap menikmati makanannya, "Ya ampun, berapa hari lo nggak makan?" tanya Pandu sambil menyodorkan air mineral ke hadapannya.
"Gue terakhir makan, kemarin pagi, dari siang gue di kamar terus." jawab Celine berbicara dengan nasi goreng yang penuh dalam mulutnya.
"Malang bener nasib lo ya,"
"Lo nikahin gue dong Pan," entah bercanda atau serius, Celine seperti kehilangan akal saat mengucapkan itu. Otaknya benar-benar buntu. Sontak Pandu menyemburkan kembali air yang sedang ia teguk, "Ih, jorok!!" Celine langsung menjauhkan wajahnya.
"Ehem, nikahin elo?" tanya Pandu sekali lagi. Celine mengangguk, "Tunggu selesai kuliah, gue kerja. Gue pasti nikahin elo kok." jawabnya sambil menatap lurus ke Celine. "Gue bercanda, Pan. jangan serius gitu,"
Pandu kembali meneguk air dihadapannya, sudah serius, ternyata hanya candaan buat Celine.
Satu jam lamanya mereka berada disitu, "Udah jam tiga pagi Cel," ucap Pandu sembari melirik ke arah jam tangannya.
"Iya, lo ada jadwal kuliah nggak besok?"
"Ada, pagi-pagi banget, jam lapan, tapi gue nggak mungkin ninggalin lo gitu aja kan?"
"Iya tau gue, terus gue harus kemana?" Celine mengangkat kepalanya dengan wajah sendu,
"Ya udah ikut gue,"
"Pan, kemana Pan?"
"Udah lo ikut aja,"
"Tapi bentar deh, gue mau beli kartu perdana baru dulu. Nomor gue yang ini mau gue buang aja, biar mereka nggak nyariin." Pandu mengangguk, memenuhi setiap permintaan gadis itu.
Setelah urusan nomor baru selesai, Pandu membawa Celine ke sebuah kos-kosan wanita mewah. "Kita dimana ini? Pan ini kos-kosan elit, gue mana ada duit buat bayar, tabungan gue tinggal dua jutaan." tanpa menghiraukan ocehan Celine, Pandu turun dan kembali memaksa Celine untuk turun.
"Gue yang urus, untuk sebulan kedepan gue bayarin. lo nurut aja nggak usah bantah, oke?"
Entah dari mana ia bisa mengetahui ada kos-kosan elit itu di daerah ini, tepatnya tidak jauh dari rumahnya. Setelah mendapatkan kamar yang cocok, Pandu mengeluarkan sejumlah uang dan membayar kepada Ibu-Ibu pengelola kos.
"Tenang aja, kos-kosan ini bebas kok. Pacar boleh keluar-masuk," ucap Ibu paruh baya tersebut sambil cekikian.
"Hem, iya Bu. Baguslah kalau gitu, tapi sayang saya bukan pacarnya."
------------------
"Ini kamarnya terlalu bagus, Pandu, gue bisa kok tinggal di kamar yang biasa-biasa aja asalkan masih layak." Kamar itu sudah di penuhi dengan berbagai fasilitas, ranjang, meja belajar, lemari, TV, AC dan Kulkas, lengkap.
Celine duduk di tepi ranjang single itu, kemudian berbaring menatap langit-langit ruangan itu, tubuhnya sangat lelah, bukan hanya tubuhnya tapi juga hati dan pikirannya.
"Andai gue punya uang lebih banyak, gue bakal nyewa apartemen buat lo Cel, biar lo nyaman." Pandu duduk di tepi ranjang, mendekati Celine yang sedang berbaring.
"Makasih Pan, lo baik banget ama gue." Pandu semakin mendekatinya, jarak mereka hanya beberapa centi meter sekarang, membuat Celine panik.
"Pandu, lo mau apa? jangan macam-macam ya!!" teriak Celine.
Suasana tiba-tiba menjadi canggung, Celine langsung menghindar, menjauh dari Pandu. Lelaki itu tergelak melihat wajah Celine yang panik dan memerah, "Pikiran lo mesum juga ya," ucapnya.
Celine bangkit mengubah posisinya. "Ya elo dekat-dekat gitu, kirain." Celine berbalik memunggungi Pandu.
"Ngarep ya?"
"Ih, sorry. enggak ya! lo mau sampai kapan disini?"
"Ternyata itu balasan elo ke gue ya? ngusir?"
"Bukan gitu Pan, lo ada kuliah pagi. Dan ini udah jam empat, gue juga ada jadwal hari ini tapi siangan." Celine membereskan barang-barang yang ia bawa, menyusunnya ke lemari.
"Ya udah gue balik, lo kalo butuh apa-apa kabarin gue ya," Pandu berjalan ke arah pintu.
"Pandu," saat Pandu sudah berbalik, suara itu membuatnya terhenti dan menoleh.
"Jangan terlalu baik sama gue, nanti akhirnya lo kecewa." dengan jarak pandang beberapa meter, mereka saling tatap penuh makna. "Gue cuma ngelakuin yang seharusnya, Cel." Celine tak bisa mengatakan apapun, hanya tersenyum sebagai jawaban.
Saat sudah di dalam mobil dan menyalakan mesin mobil, ternyata ia melupakan sesuatu yang sangat penting dan mengharuskannya untuk kembali ke kamar Celine.
Ah beegoo banget sih gue, sampe lupa.
Kembali ia menggedor pintu kamar Celine, dan tidak ada jawaban dari si penghuni. Sekitar lima menit, akhirnya Celine membuka pintu. "Apalagi Pan?" ia tidak membuka pintu lebar, karena ia sudah berganti pakaian tidur yang tak layak untuk dilihat laki-laki.
"Nomor baru elo belum gue save, mana hape lo sini!"
sambil menadahkan tangannya untuk meminta ponsel gadis itu.
"Kan ntar gue bakal hubungi lo, bentar gue ambil hape. Lo jangan masuk!"
"Gue takut elo ngilang Cel, jadi gue harus pantau elo setiap waktu." ucap Pandu sambil melakukan panggilan ponselnya sendiri. Selesai sudah ritual mengambil nomor, Pandu benar-benar pergi.
Celine hanya bisa menatap kepergian lelaki itu, maafin gue Pan. Gue belom bisa nganggap lo lebih dari sahabat. Tapi sejauh ini, lo adalah penyelamat hidup gue. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan lo.
Celine berbaring di ranjang, melepaskan lelah. Mencoba menutup matanya, meski pikirannya tak tenang. Apa yang akan dilakukan orang-orang dirumah ketika tau ia kabur? mereka akan mencari atau akan membiarkan kepergiannya. Celine berharap semoga saja mereka tidak peduli lagi dengan dirinya.
------------------
Celine sudah tiba di kampusnya, langkahnya sedikit tergesa karena waktunya hanya tinggal lima menit lagi, sementara ruang kelasnya berada di lantai dua. Jika Dosen yang akan mengisi kelasnya hari ini bukan Dosen kejam dan terkenal mulutnya juga tajam, maka ia tidak lah perlu terburu-buru seperti ini.
Menjelang subuh tadi, walau masalah besar sedang menimpanya ternyata ia masih bisa tertidur dengan nyenyak hingga suara alarm di ponsel yang sudah ia atur tak juga membangunkannya.
Celine mengatur nafas saat mulai menaiki anak tangga, setengah berlari membuat nafasnya terengah-engah sekarang. Sampai diruang kelas, ternyata Dosen menakutkan itu sudah berada di dalam ruangan, padahal waktunya masih kurang tiga menit lagi.
Perlahan Celine membuka pintu, ruangan penuh terisi oleh mahasiswa namun suasana begitu hening, senyap. Saat Celine melangkah masuk, pandangan dosen tersebut langsung tertuju pada Celine dan anehnya, lelaki yang sedang berdiri di depan itu mengabaikan dan tetap membiarkan Celine masuk.
Duduk tepat di sebelah Viola, sahabatnya. Mereka tidak bisa mengobrol, semua percakapan akan mereka tuliskan melalui selembar kertas.
Satu jam berlalu, mata kuliah yang sangat membosankan, meskipun sang Dosen memiliki wajah yang cukup tampan dan menarik untuk di pandang terus menerus, namun bagi Celine tetaplah memosankan karena Pak Raymond atau yang akrab disapa Pak Ray itu sangatlah kaku saat mengajar. Tak ada timbal balik dan komunikasi kepada mahasiswa, sehingga menciptakan suasana yang hening dan mengakibatkan kantuk.
Mata kuliah selesai, setelah Ray meninggalkan ruang kelas, satu per satu para penghuni kelas keluar. Celine dan Viola masih bertahan ditempat mereka, "Kok lo bisa lolos sih tadi?" tanya Viola sambil menyerahkan catatan miliknya pada Celine.
"Gue juga nggak tau Vi, lagi beruntung kali ya gue."
"By the way, tugas lo gimana? lo belum nyerahin kan ke beliau?" pertanyaan Viola membuat Celine memukul keningnya.
"Ya ampun Vi, gue nggak nyentuh sama sekali itu tugas, sama sekali nggak ingat. Masalah datang bertubi-tubi." Seketika Celine langsung merasakan pusing. "Emang sih dia nggak maksa, tapi udah bisa di pastikan kalau nilai lo bakalan jelek Cel, beliau kan orangnya to the point. Dan gue juga ingat kata-kata beliau waktu awal pertemuan dulu, kalau kalian suka, kerjakan. Kalau tidak, silahkan tinggalkan." Celine menyadari, tak ada kata-kata yang salah dari Viola, semua yang dikatakan sahabatnya itu benar.
"Terus gue harus gimana dong Vi?"
"Itu tugas kan nggak sulit-sulit amat Cel, lo kerjain aja sekarang. Nah nanti sebelum pulang, lo serahin ke ruangannya."
Celine mengikuti saran Viola dan kini mereka berdua sedang berada di perpustakaan, Viola tetap setia menemani Celine meski mereka harus melewati makan siang, demi menyelamatkan nilai dari mata kuliah penting itu.
drt.... drt.... drt.... ponsel Celine di dalam sakunya terus bergetar, ia sudah tau siapa yang menghubunginya saat ini, sudah pasti sang penyelamat, karena saat ini, hanya lelaki itu yang mengetahui nomor barunya. Dengan berat hati Celine menolak panggilan tersebut, demi tugas ini selesai.
Pan, sorry nggak bisa angkat, gue lagi diperpus ngerjain tugas dan ini urgent banget. ntar gue hubungi lo.
Walau menolak panggilannya, Celine tetap menyempatkan mengirm pesan agar tak membuat lelaki itu khawatir.
"Cel, fokus dulu dong. Jangan main hape, waktu lo nggak banyak!!" Bisik Viola, Celine segera menjauhkan ponselnya dan melanjutkan apa yang sedang ia kerjakan.
Satu jam berlalu, tugas selesai, mereka berdua berjalan menuju ruangan Ray untuk menyerahkan tugas tersebut, namun sialnya lelaki dingin itu sudah tidak ada diruangannya. Terpaksa Celine meletakkan beberapa lembar kertas yang sudah ia beri nama itu di atas meja. Berharap usahanya tidak sia-sia.
"Vi, gue udah ganti nomor." segera ia lakukan panggilan ke nomor ponsel Viola. "Lah kenapa?"
"Gue kabur dari rumah, Vi. Gue nggak sanggup lagi, berlama-lama dirumah itu. Semenjak Ayah memaksakan perjodohan itu, dan gue nolak, rumah itu rasanya penuh kesengsaraan." Dengan mata berkaca-kaca, ia menjelaskan.
"Terus sekarang lo tinggal dimana? Lo yang sabar, sebisa mungkin gue mau kok bantuin lo, dan jangan sungkan-sungkan kalau butuh bantuan, oke?"
"Gue ngekos dan semuanya dibiayai sama Pandu, gue nggak ngerti kenapa tuh cowok baik banget sama gue. Makasih Vi, sekarang gue mau nyari kerjaan, buat nyambung hidup dan biaya kuliah."
"Pandu? wajarlah, dia kan sahabat lo dari kelas satu SMA. Ehm, jadi mau mulai nyari sekarang?"
"Rencananya iya, sebentar lagi Pandu jemput gue, lo ikut kan? sekalian kita makan."
"Hem, nggak deh Cel. Kalian berdua aja, gue nggak bisa."
"Loh kenapa? kita bertiga kan udah sering nongkrong bareng, Pandu kan udah jadi temen lo juga Vi. Ayolah!"
"Nggak, gue nggak bisa. Sorry."
Celine mengangkat bahunya, entah apa yang salah dengan Viola hari ini, tak seperti biasanya.
---------------
mohon dukungannya yak, pencet like 🤗 sama tinggalkan jejak. Makasih 😁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!