Prisca Nara baru saja keluar dari sebuah gedung notaris. Kakinya mengayun begitu tegas ketika berjalan menuju area parkir mobil. Wanita yang akrab disapa Prisca itu tampak begitu bahagia. Wajahnya yang cantik bersemu merah muda, menandakan ada sesuatu yang ia pikirkan dan menimbulkan rasa malu-malu.
Tak ada sebab lain, selain sebuah rencana pernikahan yang sukses membuat Prisca kesenangan. Terhitung tinggal dua bulan lagi ia akan resmi menjadi istri dari pewaris perusahaan besar, bernama Nares Syailendra Candrawinata. Kekasih hati yang sangat ia cintai dan jalinan kasihnya dengan pria itu telah terajut selama empat tahun lamanya.
Selain memang saling mencintai, hubungan Prisca dan Nares sudah mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga. Mungkin, semua terasa lebih mudah untuk menuju singgasana pelaminan.
Ketika Prisca hendak membuka pintu mobilnya, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari dalam tas jinjingnya. Alhasil, ia membatalkan rencana untuk memasuki kendaraan roda empat tersebut. Tanpa pikir panjang sekaligus tak mau membuat sang penelepon menunggu lama, ia lantas merogoh ponselnya dari benda berwarna hijau toska itu.
Prisca tersenyum-senyum mendapati kontak milik Nares tengah menghubunginya saat ini. Dengan sigap, ia segera menekan tombol hijau dan meletakkan benda persegi panjang tersebut di samping telinga.
"Halo, Nares sayang," sapa Prisca sembari menyandarkan punggung pada badan mobil.
"Halo juga, Sayang, kamu di mana?" balas Nares dari kejauhan sana.
"Mm ... aku masih di kantor notaris, Sayang. Ada apa?"
"Mau aku jemput?"
Meski Nares tidak mengetahui sikapnya, Prisca tetap menggelengkan kepala. "Tidak perlu, aku bawa mobil sendiri kok dan setelah ini mau langsung pulang saja."
"Tidak mau ketemu calon suami dulu, ya?"
"Mm ... tidak deh. Aku harus pulang sebelum Mama dan Om Burhan pulang. Lagi pula, calon pengantin tidak boleh keseringan ketemu sebelum hari H lho."
"Hmm ... kangen."
"Sabar, yah! Besok kita ketemu, oke, Sayang?"
"Ya, ya, baiklah, Nyonya Syailendra. Tapi, ... benar ya, langsung pulang, ya?"
"Iya, kecuali kalau yang ada di rumah si Om doang, aku mau mampir ke tempat lain dulu."
"Hmm ... mama kamu sudah menikah hampir dua lebih lho, Prisca, kenapa masih takut sama Om Burhan? Tidak baik lho begitu!"
"Mau bagaimanapun, Om Burhan tetap orang asing buat aku, Nares. Dan aku perlu hati-hati, aku takut dia pria hidung belang yang mau harta Mama atau mengincar diriku."
"Hahaha, kejauhan kamu mikirnya, Prisca sayang. Tapi ya sudahlah, ada baiknya juga, pulang hati-hati. Jangan ngebut, ya!"
"Mm ... see you."
Panggilan sepasang kekasih yang sebentar lagi akan menjadi suami-istri itu pun berakhir. Lantas, Prisca segera memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing kembali. Namun, ia tidak segera melanjutkan rencana untuk pulang. Hatinya menyesalkan satu hal, yaitu perihal Nares yang enggan mempercayai ucapannya mengenai ayah tirinya—Burhan.
Nares selalu saja menganggap keluhannya seputar Burhan hanya sebuah efek dari ketidaksukaan. Tentu, hal itu membuat Prisca terpaksa menahan semuanya sendiri. Menahan keisengan mata Burhan mengenai tubuhnya, ayah tirinya itu kerap kali bersikap genit terlebih ketika ibunya sedang tidak ada di rumah.
Sempat, Prisca ingin pindah rumah, tetapi ibunya melarang dengan banyak alasan dan ancaman. Akhirnya, selama hampir dua tahun pasca orang tua kandung satu-satunya itu menikah, dirinya bertahan hidup bersama di bawah satu atap dengan ayah tirinyayang genitnya tidak ketulungan.
Prisca menghela napas dengan berat. Sedetik kemudian, ia bergumam, "Tinggal dua bulan lagi, aku harus bertahan di rumah itu. Semoga lancar semuanya, sampai hari H. Yang mana, aku sudah memiliki alasan kuat untuk pindah dari rumah Mama."
Dengan membawa sejumlah keyakinan, Prisca menyegerakan diri untuk memasuki mobilnya. Langit yang berwarna jingga terlihat oleh sepasang mata indahnya. Hari memang sudah sore, tentu membuat Prisca tak ingin berlama-lama menahan diri di area parkir tersebut.
Melodi indah terdengar dari pemutar musik yang terpasang di dashboard mobil. Bibir tipis yang terpoles liptint cherry itu turut melantunkan lirik yang terdengar lembut dan merdua.
Saat ini wanita berparas cantik itu memang benar-benar dalam keadaan bahagia, seolah tak ada sedikit pun beban pikiran yang biasa didera oleh calon pengantin kebanyakan. Tentu saja, sebab Prisca memang sangat beruntung, calon suaminya sudah begitu kaya, ditambah dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya sendiri.
Terlepas dari segi materi, Prisca begitu senang lantaran sebentar lagi akan keluar dari jerat genit sang ayah tiri sekaligus ibunya. Tak ada lagi yang bisa mencuri pandang tubuh moleknya, kecuali seorang Nares Syailendra! Tak ada lagi sosok Burhan yang selalu Prisca benci sekaligus sangat ia takuti. Tinggal dua bulan! Prisca sangat berharap semua akan berjalan dengan lancar sampai di hari yang telah ditentukan.
Kemudian, pasang mata indah Prisca tak sengaja menatap sebuah toko perlengkapan pernikahan. Ia berencana menepikan mobilnya terlebih dahulu ke area toko itu. Mencari beberapa souvenir tambahan menjadi rencananya saat ini.
Sesaat setelah turun dari mobil yang ia parkir, Prisca segera turun. Bibirnya terus bersenandung senada dengan langkah kaki yang mengayun lincah. Kehadirannya disambut gembira oleh para pelayan toko. Mereka membimbing Prisca sesuai keinginan dari wanita itu. Kesibukan berbelanja ala wanita pun telah terjadi, bisa ditebak berapa waktu yang akan Prisca arungi demi benda-benda cantik dan beragam jenis serta warnanya itu.
Satu demi satu pertanyaan atas apa macam benda cantik, sudah mulai Prisca lontarkan pada para pramuniaga. Matanya pun kerap kali tergoda akan barang-barang yang imut dan sangat ingin membeli. Semuanya begitu indah bagi Prisca Nara, meskipun berada di dalam area toko cukup murah dibandingkan dengan level dirinya sebagai anak orang kaya.
Ketika mulai sadar atas kekhilafan yang ia lakukan, Prisca segera melirik waktu di arloji perak di lengan kirinya. Nyaris dua jam berlalu, langit yang bersemu jingga telah menggelapkan dirinya. Prisca mendesis kesal karena kecerobohannya dalam mengingat waktu yang kian gelap. Terlebih ketika sudah berjanji pada Nares akan lekas pulang, nyatanya ia justru mampir ke toko tersebut dalam waktu lumayan lama.
"Maafkan calon istrimu ini, Nares, demi pernikahan kita tidak masalah, 'kan?" ucap Prisca memberikan anggapan pada kesalahannya menjadi sebuah kebenaran.
Setelah sibuk menyesali perbuatannya, wanita cantik itu kembali menghampiri keberadaan mobilnya bersama dua paperbag berisi belanjaan. Lalu, sesaat setelah memasuki kendaraan pribadi dengan warna maroon tersebut, ia lantas segera tancap gas menuju arah rumahnya. Sebab, mau bagaimanapun Prisca tidak ingin membuat Nares cemas apalagi kecewa, ia harus sigap ketika pria kesayangannya itu menghubungi ponselnya.
***
Rumah dua lantai dan begitu luas sekaligus megah menjadi pemberhentian mobil merah yang dikendarai oleh Prisca. Sebelum memutuskan untuk keluar dari kendaraannya tersebut, Prisca memandangi pintu rumah dengan matanya yang menatapsendu. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan sepanjang hari seolah terkikis habis begitu saja. Keberadaan Burhan di dalam membuatnya enggan untuk pulang. Bahkan, mengambil langkah saja cukup ragu untuk ia lakukan.
Beberapa kekhawatiran Prisca pun membuncah, termasuk ketakutannya jika ibunya sedang tidak ada di rumah. Apalagi keluarganya tidak memakai jasa asisten rumah tangga secara full time. Jika malam telah tiba, tidak ada seorang pembantu satu pun, hanya seorang petugas keamanan yang kerap menghabiskan waktu menjaga gerbang.
"Tenang, Pris! Mama pasti di rumah kok!" gumam Prisca meyakinkan dirinya sendiri. Sebab, hari ini Laksmi—ibunya—memintanya untuk pulang lebih cepat. Ya, meski ia tidak menepati janji tersebut.
***
Pintu utama rumah itu ternyata tidak terkunci, sehingga tak sulit bagi Prisca untuk segera memasuki ruangan di dalamnya. Di sisi lain, ia pun sangat bersyukur sebab tidak perlu menekan tombol yang bisa saja mengundang macan menjijikkan semacam Burhan, ayah tirinya yang selalu terlihat mengerikan. Mengerikan dalam artian mata keranjang.
Miris memang, ketika anak dari pemilik rumah justru takut untuk menyambangi rumah dari orang tuanya sendiri. Bahkan, Prisca selalu tinggal di sana sejak sebelum ibunya menikah lagi. Meski sudah bekerja sendiri, tanpa perlu mengagung-agungkan nama perusahaan milik ibunya, Prisca masih belum memiliki kuasa untuk tinggal di rumah lain. Selain itu, ia tidak ingin membiarkan ibunya dikuasai oleh sang suami baru. Meski Prisca sendiri harus menahan segala kegusaran sejak memiliki ayah pengganti selama kurang lebih dua tahun ini. Hal se-demikian ironis sudah bukan sesuatu yang asing baginya sejak Burhan tinggal di sana.
Empat tahun setelah menjadi janda, Laksmi—ibu kandung Prisca—memang telah dinikahi oleh Burhan, seorang pria yang lebih muda tujuh tahun darinya. Bagi Laksmi, Burhan merupakan sosok yang sempurna dengan segala perhatian dan kasih sayang. Namun tidak bagi Prisca, pria itu bukanlah orang yang baik, justru tampak picik, berbahaya, dan paling fatalnya adalah sikap mata keranjang. Prisca juga menduga jika Burhan tidak benar-benar mencintai ibunya, melainkan hanya mengincar harta, selain harta adalah niat buruk terhadap dirinya.
Saat Prisca memasuki ruangan utama dari rumah itu, justru keheningan yang menyambutnya. Jam setengah tujuh tak biasanya sesepi itu. Dua asisten rumah tangga selalu bergosip di tengah-tengah ruangan. Ibunya pun duduk sembari menyantap kopi di kursi goyang dekat jendela. Lalu, Burhan? Entahlah, Prisca tidak ingin membayangkan. Situasi yang senyap tersebut sudah sangat merisaukan, seolah akan ada sesuatu tak baik yang akan menimpa. Atau mungkin hanya perasaan Prisca saja.
"Ah ... mungkin Mama sama si Om lagi di kamar." Setelah meyakinkan dirinya, Prisca berjalan menuju lantai dua di mana kamar pribadinya berada dengan menaiki para anak tangga yang bergaya klasik elegan.
"Anak Papa sudah pulang toh?" Namun sial! Tiba-tiba terdengar suara berat yang parau milik Burhan.
Langkah Prisca menjadi terhenti detik itu juga. Ia terpaku tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Namun, ia berusaha untuk menghilangkan ketegangan itu dengan cara menghela napas panjang sampai beberapa kali.
Setelah dirasa cukup tenang, Prisca menoleh sedikit ke arah belakang. Dari ekor matanya, ia bisa memastikan jika saat ini Burhan tengah berdiri tegak sekitar lima meter darinya.
Tidak perlu ada yang dikhawatirkan, seharusnya aku menghindar seperti sebelum-sebelumnya saja, batin Prisca. Tanpa memberikan sapaan sedikit pun, Prisca memilih melanjutkan langkah kakinya untuk menuju kamar. Namun ... lima kali mengambil langkah, Prisca merasa ada sesuatu yang lebih aneh.
Ayah tirinya itu seperti tengah mengikuti dirinya. Itu tidak mungkin, bukan? Sepertinya Burhan hanya ingin ke balkon saja! Prisca masih berusaha menenangkan dirinya. Hal seperti ini bukan sesuatu yang asing. Burhan memang kerap melakukan sikap yang seaneh itu.
Sayangnya, meski sudah beberapa kali mencoba berpikir jernih, Prisca justru semakin diliputi ketakutan. Ia rasa, pikirannya terlalu berlebihan, tetapi hatinya justru semakin tidak nyaman. Namun, setidaknya sekitar tujuh meter lagi ia bisa sampai di kamarnya, ia akan langsung masuk dan mengunci diri! Maka semua hal tentang Burhan tak akan lagi membuatnya terganggu, saat pintu kamar itu bisa melindungi dirinya.
Aku pikir aku yang berlebihan, tapi, kenapa sejak tadi Om Burhan tak lekas pergi? Bukankah kalau ke balkon bisa langsung mendahuluiku? Batin Prisca bertanya-tanya. Kecurigaan pun bertambah besar ketika Burhan masih saja membuntutinya. Haruskah ia segera berlari? Namun, mengapa kakinya lemas sekali? Kegugupan membuat seluruh dayanya nyaris hilang sepenuhnya.
Ayolah!
Demi mencegah sesuatu hal, diam-diam Prisca tetap merogoh ponsel dari dalam tas jinjingnya, dengan rencana untuk menghubungi Nares—calon suaminya. Ah! Sial sekali! Ponsel justru terjatuh ketika tangan Prisca semakin gemetar tak terkendali.
"Prisca sayang." Mendadak suara Burhan terdengar. Posisinya pun semakin maju dan nyaris mendekati Prisca. "Hei?"
Prisca menelan saliva. Ayolah! Sedikit lagi, Prisca sampai di dalam kamar tanpa mendapatkan masalah. Segera setelah itu, ia berusaha mencari kunci pintu kamarnya dari saku rok span yang saat ini ia kenakan. Sementara Burhan masih terus mengawasinya dari belakang. Langkah Burhan yang kian mendekat pada dirinya, membuktikan bahwa ayah tirinya itu memiliki suatu rencana! Rencana yang buruk!
"Prisca, kenapa tidak menyapa Papa dulu?" tanya Burhan yang kembali mengambil suara sembari mencengkeram lengan Prisca yang hampir berhasil membuka handle pintu.
Ketegangan kian menyergap diri Prisca. Bahkan, tengkuk lehernya terasa kaku dan sulit digerakkan.
"Prisca, Papa ini sayang sama kamu lho," ucap Burhan lagi. Kali ini, ia mulai kurang ajar dengan menyentuh leher sang anak tiri. "Kenapa tidak pernah melihat Papa, Nak? Usia kita juga tidak terpaut terlalu jauh lho. Papa rasa kita bisa saling mengakrabkan diri."
"Ja-jangan macam-macam, Om! Prisca laporkan pada Mama nanti!" tegas Prisca dengan suara bergetar sesaat setelah dirinya memutar badan sekaligus menepis jemari milik Burhan. Kini terbukti bahwa kecurigaannya terhadap Burhan bukan hanya sebatas perasaan berlebihan, tetapi pria itu memang sedang mengincar.
"Mama kamu sudah K.O di dalam, lagi pula mau bilang apa kamu? Papa kan tidak berbuat macam-macam, Papa sayang sama kamu, Nak. Papa mau menyenangkan hatimu, sebelum suamimu ... ayolah jangan sungkan sama ayah sendiri. Tentu saja, kamu membutuhkan pelajaran untuk menyenangkan hati suami kamu kelak, 'kan?"
"Mama ...?"
"Mama kamu aman, dia tidur tenang. Jadi, Papa bisa meluangkan waktu buat kamu."
"Ja-jangan macam-macam! Na-nares!"
"Nares? Hahaha, sudah Papa bilang, Papa harus menjadi orang pertama untuk membuat kamu bahagia!"
Powerless mendera diri Prisca. Air matanya mulai bercucuran dengan getaran tubuh yang luar biasa. Hal itu membuatnya sama sekali tidak bisa melawan. Seluruh tubuhnya langsung lemas sesaat setelah ketegangan itu menghinggap.
Sementara Burhan semakin gencar berbuat kurang ajar pada wanita itu. Membuat Prisca ingin sekali berteriak, sialnya suaranya justru tersendat di tenggorokan. Saat itu Prisca hanya bisa terpejam dalam isakan, terkulai lemah tanpa bisa melawan.
Aku harus bisa melawan. Lawan, Prisca! Batin Prisca berteriak, membantu tubuhnya dalam mengumpulkan energi saat lukisan wajah Nares muncul di benaknya.
Setelah mengumpulkan sejumlah tenaga, Prisca mendorong tubuh Burhan sampai pria itu nyaris terjatuh ke lantai. Sayangnya pria jahat itu justru mencekal kedua tangan Prisca, sehingga tubuhnya lebih bisa mempertahankan posisinya.
"Selagi Papa berlembut hati, jangan melawan, Sayang. Nanti kamu jadi sakit!" ucap Burhan penuh penekanan.
"Lepas! Lepas! Lepasin aku, Om!" tegas Prisca dengan rintihan begitu memilukan. Suara isak tangisnya benar-benar menyedihkan. Selain memikirkan dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan keselamatan ibunya yang entah diapakan oleh Burhan.
Tidak ada sesuatu yang mustahil selama masih berjuang, itulah yang saat ini Prisca yakini. Ia terus meronta dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Burhan. Suasana seketika gaduh oleh suara dua orang yang saling menyerang. Sayangnya tidak ada orang lain yang mendengar, karena rumah itu memang sangat luas. Selain itu, Burhan sudah meminta sang sekuriti untuk pergi melakukan tugas yang ia minta.
"Dasar jahat! Tidak tahu diri kamu! Huaaa! Lepaskan aku!" Prisca masih melawan dengan segenap tenaga yang tersisa.
Namun Burhan justru tertawa keras dan bangga, penuh kemenangan. Tenaganya yang begitu besar tidak mampu Prisca tandingi. Yang ada Prisca justru kesakitan ketika memberikan perlawanan, lantaran kedua tangan hina Burhan semakin gencar mencengkeram dirinya.
"Sudah Papa bilang jangan melawan! Anak durhaka!" tegas Burhan lagi dengan suara parau yang kini justru menggelegar.
"Lepasin aku! Tolooong! Tolooong! Mamaaa! Nareees!"
Sabetan telapak tangan menyambar pipi kanan Prisca sampai membuat sudut bibir wanita itu mengeluarkan cairan berwarna merah. Tubuhnya yang sudah dibawa masuk ke dalam kamar, kini dilemparkan begitu saja di atas ranjang oleh sang ayah tiri. Prisca terkulai lemas dan sudah tidak berdaya. Hanya isak tangisnya yang keluar begitu memilukan.
Sementara Burhan yang sudah berhasil mengunci pintu kamar itu kini semakin buas saja. Dan ya! Ia menerkam tubuh Prisca dengan garang. Tiada ampun sedikit pun! Saat ini, Burhan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang bahkan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Sejatinya, ia menikahi ibu Prisca hanya untuk harta sekaligus mengincar diri Prisca. Sungguh! Bahkan, ia tidak peduli tentang hukum karma.
"Bunuh saja aku, Om ...," rintih Prisca dengan suara lemah.
"Tenang saja, Sayang, Papa akan membuat kamu senang."
Deraian air mata membanjiri kedua pipi Prisca. Beberapa persendian dan bagian tubuhnya terasa nyeri tak terhingga, sampai membuatnya benar-benar kehilangan daya. Namun, ia masih saja berharap jika saat ini hanyalah bagian dari mimpi buruk di malam yang panjang. Atau berharap setidaknya ada satu pasang telinga orang lain yang mendengar rintihannya, selain Burhan. Ia butuh pertolongan, tetapi takdir baik sepertinya enggan untuk datang.
Segala perbuatan biadab berisi hasrat gila, tak segan-segan Burhan lakukan terhadap Prisca. Tak ada kelembutan, karena ia cukup berselera dalam memenuhi rasa lapar atas hasrat gila itu. Kejam!
"Maafkan aku, Nares ...," lirih Prisca. Selain nestapa, kini ada rasa bersalah yang berangsur memenuhi hatinya.
Malam tanggung itu menjadi waktu di mana mahkota kehormatan milik Prisca lenyap. Sungguh ironis, ketika ayah tirinya menjadi pelaku kejadian keji itu.
Bagi Burhan, tentu kejadian itu menjadi kepuasan tersendiri, rasa penasaran terhadap diri Prisca sudah terbayar dengan tuntas! Bahkan, ia menang dari Nares—calon suami Prisca.
Entah apa yang akan terjadi setelah kejadian itu. Kemungkinan besar adalah kehancuran mental Prisca yang masih syok berat. Untuk rencana pernikahannya dengan Nares, bisa terancam batal, kecuali jika Prisca memilih membuat suatu kebohongan.
Namun, apakah Prisca mampu berbohong demi kelancaran sebuah pernikahan? Momen yang tentu saja seharusnya menjadi kebahagiaan. Prisca belum bisa menentukan langkah apa pun, sebab ia tidak kuasa meski hanya memikirkannya.
***
Satu minggu setelah insiden mengerikan itu terjadi, Prisca masih saja mengurung diri. Bahkan, sudah berkali-kali ia melakukan percobaan bunuh diri, tetapi Prisca tidak sanggup melakukan hal keji itu. Rasanya menyakitkan, seolah dunia juga tidak mau menerima calon jasadnya. Dan kini yang tersisa hanyalah rasa putus asa, perasaan yang hancur, serta seonggok raga yang sudah tidak bermahkota.
Prisca sudah terlalu malu untuk melihat dunia. Harga dirinya sudah tidak ada lagi, terampas oleh kebusukan sang ayah tiri. Oleh sebab itu, kebencian yang sudah ada kini semakin bertambah saja. Demi Tuhan! Prisca tidak akan memaafkan ayah tirinya itu, bahkan sampai ajal menjemput sekalipun.
Tentu saja keanehan yang tengah dialami oleh sang putri, membuat Laksmi merasa khawatir. Perihal penyebab dari sikap Prisca itu masih belum ia ketahui. Laksmi hanya mengingat di hari terakhir sebelum Prisca mengurung diri, kepalanya merasa pusing disertai kantuk yang tidak bisa ditahan ketika menjelang malam.
Dua orang pembantu pun tak bisa ia gali informasinya, karena mereka mengaku sedang tidak ada di rumah, ke swalayan untuk berbelanja bahan makanan. Hal yang sama juga berlaku pada Sujatma—sekuriti rumahnya—katanya mendapatkan titah dari Burhan yang mengharuskan pergi ke luar.
"Mas, kamu tahu Prisca kenapa? Sudah satu minggu lho, dia mengurung diri di kamarnya," ucap Laksmi pada Burhan yang tengah asyik membaca sebuah artikel di layar ponsel, ketika dirinya tengah bersama pria itu di dalam salah satu ruangan.
Mata Burhan bergerak ke atas. Ia bergeming sebentar, kemudian tersenyum. "Tidak tahu, Sayang, mungkin bertengkar sama calon suaminya," jawabnya dengan kepalsuan.
Laksmi menghela napas. Sementara kedua bola matanya sibuk mengerjap-ngerjap. Tak hanya itu saja, kegelisahan yang semakin pekat membuatnya berjalan ke sana kemari di ruang keluarga tersebut.
Wanita paruh baya itu sedikit membenarkan dugaan Burhan. Hanya saja, pertengkaran pasangan macam apa yang terjadi sampai membuat putrinya tidak keluar dari kamar dalam kurun waktu satu minggu lamanya? Selain itu, Prisca juga kerap melewatkan jam makan siang maupun makan malam. Sekalipun menyantap hidangan yang diantarkan, hanya dilahap sedikit saja.
"Hmm ... jangan cemas, Sayang. Prisca sudah besar, kok. Lagi pula, wajar saja calon mempelai ada ujian pertengkaran semacam itu. Bukankah, kita pernah melewatinya dulu?" Burhan beranjak berdiri. Dilangkahkannya sepasang kaki besar itu untuk menghampiri sang istri. Segera setelah itu, ia memeluk pinggang Laksmi dengan mesra. "Apa perlu aku panggil Prisca untukmu?"
Laksmi bergerak menghadap Burhan. Kemudian ia tersenyum sembari menyentuh wajah suaminya itu. "Jangan, Mas, Prisca belum sepenuhnya menerima kamu. Maafkan aku, padahal kita sudah menikah selama dua tahun," jawabnya.
"Tidak apa-apa, aku paham, Sayang. Sosok ayah kandung memang sulit dilupakan. Mungkin karena hal itu, dia belum bisa menerima aku."
"Kamu tidak kesal, 'kan?"
"Kenapa aku harus kesal? Prisca juga anakku sendiri, lagi pula aku telah memberinya pelajaran berharga."
Dahi Laksmi berkerut. "Pelajaran berharga?"
"Tentu, aku ingin menjadi seorang ayah yang baik."
Burhan mengulas senyuman begitu lebar. Pelajaran berharga yang ia maksud sama sekali tidak dimengerti oleh sang istri, dan hal itu menorehkan sejumlah kepuasan tersendiri bagi dirinya.
Tidak ada sedikit pun rasa gentar yang menyerang diri Burhan, setelah kejahatan yang ia lakukan. Ia terlalu menganggap bahwa Laksmi hanyalah wanita tua yang bodoh. Meski tubuh serta wajah Laksmi cukup awet muda, nyatanya semua milik Prisca Nara jauh lebih indah dan memesona.
Terkadang, Burhan masih ingin memberikan sesuatu yang ia anggap sebagai pelajaran itu untuk kedua kalinya. Tidak, tetapi sampai berkali-kali. Sayangnya, Prisca masih syok atas pelajaran pertama. Burhan masih ingin memberikan ketenangan, sampai saatnya nanti ia menemukan cara baru untuk mengulangi kejahatannya, setidaknya sebelum Prisca menikah.
Sementara itu, meski masih tidak memahami pengakuan suaminya, Laksmi justru memilih untuk melupakan kalimat ambigu tersebut. Tangannya lantas memeluk tubuh Burhan dengan gelayut manja. Tak ada sedikit pun rasa curiga, yang ada justru perasaan sayang dan rasa terima kasih. Keberadaan Burhan di sisi Laksmi sudah seperti malaikat yang menyelamatkannya dari kesepian hati.
"Sebaiknya kamu bujuk Prisca lagi agar mau keluar, Sayang," usul Burhan. "Aku juga rindu pada putri kita," lanjutnya sembari melepas pelukan Laksmi dari tubuhnya.
Laksmi tersenyum. Ditatapnya wajah Burhan penuh ketulusan. "Iya, Mas, aku harus bisa bujuk dia."
"Ya, kamu memang harus berhasil."
"Semoga saja, Mas."
Tak lama setelah itu, Laksmi undur diri. Ia meninggalkan sang suami, dengan rencana tunggal yakni naik ke lantai dua di mana kamar Prisca berada. Sementara Burhan masih mengembangkan senyumnya secara diam-diam dengan diiringi perasaan yang begitu menggelora.
"Papa memang rindu padamu, Prisca sayang. Papa ingin kamu lagi," gumam pria itu.
Ketika telah sampai di lantai dua, mata Laksmi menatap pintu kamar Prisca yang tengah terbuka. Lalu, lima meter dari tempat itu Prisca tampak mengendap-endap ke arah balkon rumah.
"Prisca!" Laksmi tak mau kehilangan kesempatan, dan memutuskan berseru memanggil nama putrinya itu.
Mendengar suara sang ibu, Prisca terperanjat. Langkah kakinya pun terhenti. Sesaat ia terpaku, tetapi lantas menyadari atas keterpanaan itu. Prisca memutar badan. Tampak oleh matanya, Laksmi ada di sana. Prisca menggeragap detik itu juga. Tak ingin terlibat pertemuan, ia memutuskan untuk cepat-cepat menyeret kakinya kembali ke dalam kamar.
Sementara itu, Laksmi dibuat semakin tercengang dan tidak habis pikir. Ia sampai melebarkan mata dan rahangnya. Tak ingin terjebak dalam kegamangan lebih lama, Laksmi segera mengejar Prisca. Ia sudah tidak bisa lagi membiarkan putrinya mengurung diri.
Sesampainya di hadapan kamar itu, Laksmi memberikan dorongan kuat pada pintu, sebelum Prisca berhasil masuk ke dalam. Mereka saling berebut demi mendapatkan tujuan masing-masing. Prisca yang masih enggan menatap sang bunda, sementara Laksmi ingin sekali Prisca terbuka atas kondisinya.
"Prisca!"
"Pergi! Aku tidak mau lihat Mama! Pergi!"
Laksmi tidak lantas menyerah. "Kamu kenapa, sih?! Bilang sama Mama jangan seperti ini dong!"
"Semua ini gara-gara Mama! Prisca benci sama Mama! Benciiii!"
"Prisca! Jaga mulut kamu! Kamu itu kenapa?!"
"Aaakh!"
Dorongan kuat dengan dukungan emosional, dilakukan oleh Laksmi. Ia menang dalam pertandingan atas perebutan kekuasaan selembar pintu, sementara Prisca terkapar di lantai dengan lemah.
Tanpa pikir panjang lagi, Laksmi membantu Prisca untuk berdiri. Namun usahanya ternyata dibalas tatapan tajam, serta tepisan secara kasar. Entah, Prisca hanya muak setiap kali melihat Laksmi setelah kejadian buruk menimpa dirinya. Terlebih, ketika ibunya itu justru semakin mencintai Burhan dengan segenap hati di setiap harinya.
Padahal selama ini Prisca sudah mengatakan jika Burhan memiliki perilaku aneh, sayangnya Laksmi tidak pernah percaya. Semua ucapan Prisca dinilai sebagai bualan tak berdasar.
"Aku bilang pergi!" Prisca membentak sembari memundurkan diri agar sedikit lebih jauh dari Laksmi.
Laksmi kehabisan akal. Kemudian, dengan suara lantang, ia berkata, "Jangan seperti bocah, Prisca!"
"Apa? Bocah? Mama pikir Mama adalah manusia paling dewasa, hah?! Apa Mama pernah mendengar, atau sedikit memahami apa yang Prisca alami?!"
"Makanya ngomong! Jangan mengurung diri tanpa kejelasan sebab seperti ini dong, Prisca!"
"Ngomong?! Buat apa? Semua sudah terlambat! Mama sudah menghancurkan hidup Prisca. Prisca benci sama Mama. Mama tidak pernah percaya padaku. Lalu, apa? Masih bilang Prisca seperti bocah?!"
Air mata meluruh di kedua pipi Prisca, suara isak pilu pun turut terdengar dari bibirnya. Kepingan asa yang sempat Prisca kumpulkan kini terpecah dan berceceran. Di rumah itu, tidak ada yang bisa ia percayai, bahkan ibunya sendiri tetap sukar untuk ia ajak bercerita. Cinta buta membuat hati dan mata Laksmi sulit melihat kebenaran akan sosok suaminya.
Ketika melihat Prisca yang tiba-tiba histeris dalam tangisannya, Laksmi baru bersedia mengusir amarahnya. Ia bergerak mendekati putrinya itu. Namun apa daya, Prisca benar-benar enggan berada di dekatnya. Laksmi khawatir, takut, dan tentu saja sangat bingung. Entah apa yang menimpa Prisca sampai marah dan hancur seperti saat ini. Entah kesalahan apa yang ia lakukan, sehingga putrinya mengurung diri dan terutama hati.
"Boleh Mama tahu, di mana letak kesalahan Mama, Nak?" Laksmi bertanya pelan-pelan, merayu Prisca dengan sentuhan kasih sayang.
Namun pertanyaan Laksmi dibiarkan mengambang tanpa jawaban. Prisca masih hanyut dalam kepiluan. Terlebih ketika ia melirik ke luar pintu kamar, tampak pasang kaki yang besar berdiri di sana. Sudah pasti Burhan. Prisca takut! Gemetar hebat juga langsung menyerang tubuhnya pada saat itu juga. Ia ingat bisikan ancaman yang sempat Burhan lakukan, yang membuatnya langsung mati kutu.
Rasa syok yang masih bergelayut membuat Prisca tidak bisa berkata-kata, selain menatap nanar serta ketakutan. Masih ada rasa khawatir begitu besar, tentang risiko Burhan akan mendekatinya lagi, di saat ia berani membeberkan kebenaran yang terjadi. Dan bagaimana caranya, ia akan mengatakan kebenaran pada Nares, kekasih yang akan menikahinya dua bulan lagi? Semua terasa membingungkan dan tentu saja menakutkan. Prisca hancur, benar-benar hancur!
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!