POV Author
Allison Austin melihat kerumunan di beach club Miami itu. Kate yang bersamanya ikut melihat arah yang dia tuju.
"Kau melihat siapa?"
"Bukan siapa-siapa..."
"Penjaga pantai di sini tampan semua."
"Aku benci pria tampan." Dia baru saja putus dari Alton Mason yang merupakan gambaran sempurna dari seorang pria. Yang ternyata cuma menjadikannya target sempurna untuk batu loncatan kariernya. Terima kasih buat Sara yang sudah memergokinya, thanks God akhirnya dia melihat siapa Alton Mason itu.
"Tak semua pria tampan breng*sek."
"Oh ya, kurasa itu artinya semua pria yang mendekatiku brengsek." Dari dulu dia punya standarnya sendiri, good looking mendekati sempurna, pintar, punya pekerjaan bagus. Tapi ternyata semua standartnya itu tak cukup menolongnya mendapatkan apa yang dia inginkan. Di 32 tahun hidupnya dia menemukan semua pria tampan adalah masalah.
Sekarang dia benci pria tampan. Dia akan mencoret semua pria tampan dari hidupnya.
"Jangan begitu. Kau menyamakan semua orang."
"Aku sudah cukup dengan mereka, mungkin aku harus menggunakan pria tampan sebagai alat saja. Habis dipakai buang saja, performa jelek buang saja, kalau bagus boleh dipakai lama sedikit." Allison membuat rencana masa depannya.
Kate tertawa dengan renyah. Dia tahu Allison masih dendam dengan Alton Mason, dia memastikan Alton membayar semua tuntutan, bahkan memberikan pekerjaan itu pada pengacara keluarganya yang kejam Tn. Xavier Hancock.
"Kau jangan sekejam itu. Sudah kubilang tak semuanya begitu."
"Aku menganggapnya seperti itu. Mungkin bagi orang tidak, tapi selama ini yang kudapat adalah kesialan." Allison tidak menghiraukan nasehat Kate.
Matanya menjelajah ke area pantai. Menemukan beberapa orang sedang bersiap menarik parasut para layang.
Dia melihat pengacara keluarganya Tuan Xavier sedang bersiap.
"Ada Tuan Xavier di sini."
"Xavier? Maksudmu pengacara keluargamu?"
"Itu disana." Dia menunjuk sekelompok orang yang ada tak begitu jauh dari mereka.
"Ohh iya, well aku tak pernah melihat pengacara dalam baju pantai. Dia terlihat agak berbeda." Iya, dia terlihat berbeda dari setelan jas formal yang selalu digunakannya.
Allison menilainya dari standart ketampanan. Yah, 65 dari 100, dia punya wajah yang tangguh, tidak jelek, lebih ke manly, tapi kalo dalam kriteria tampannya mungkin tidak, Allison tahu dia duda, jika dia melihatnya di pekerjaan cara berbicaranya tenang berwibawa, bukan semacam Alton Mason yang bisa menarik perhatian di detik pertama dia bicara. Tapi jika di pikir jika pengacara berwajah tampan seperti Alton Mason dia tidak akan dianggap.
Jelasnya pekerjaannya memang tidak memerlukan good looking, otakmu yang harus berjalan, kata-katamu yang harus tajam. Selain itu ketampanan bahkan bernilai 40 bisa diterima.
Sepertinya ikut para layang akan seru. Dia melihat persiapan di depannya. Mr. Xavier naik sendiri nampaknya dia tidak memakai harness ganda. Mungkin dia bisa ikut, dia tidak berani kalau tanpa pemandu.
"Aku akan ikut saja..." Allison langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Hei mau kemana kau?"
"Ikut parasail." Allison berlari ke bibir pantai.
"Tuan Xavier." Xavier melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata anak seorang klien besarnya.
"Nona Austin?"
"Boleh aku ikut?"
"Ikut? Ikut tandem maksudmu..."
"Iya." Kenapa sumber masalah ini ingin ikut bersamanya? Dia menganggap anak orang berkuasa adalah sumber masalah. Yah namun ironisnya mengurus masalah adalah sumber pendapatannya.
"Aku bukan instruktur. Kau boleh mendaftar ke orang ini." Dia menunjuk orang yang membantunya memasang harness.
"Aku mau ikut denganmu. Kan kau tinggal menggantinya dengan harness tandem, bukan begitu tuan instruktur tampan.
"Iya Nona, jika kau ingin tandem Anthony bisa membawamu, tapi setelah ini." Instruktur itu menunjuk seorang pria tampan yang membantu wisatawan yang lain.
"Sebenarnya aku tak nyaman dengan orang yang tidak ku kenal. Bisakah aku naik dengan Tuan Xavier saja." Xavier ingin mengatakan bahwa dia juga tak nyaman jika orang ikut dengannya.
"Kau lebih baik ikut instruktur berpengalaman saja Nona." Instruktur itu memberikan saran.
"Tuan Xavier juga pengalaman, lihat dia bisa pasang harness dengan cepat." Tapi kelihatannya Nona ini tak mau kalah.
"Kau lebih baik ikut instruktur saja." Xavier Hancock ingin liburannya jauh dari sumber masalah.
"Tuan Xavier, aku ringan cuma 58."
"Itu tak ada hubungannya dengan berat seseorang, kau bisa naik sendiri dengan aman, jika kau takut ada instruktur. " Xavier masih berupaya menyelamatkan kesendiriannya.
"Jadi kau tidak ingin membantuku." Itu ancaman, aku sudah memberiku pekerjaan tapi kau tidak mau membantuku sekali saja. Para putri ini mereka dilatih mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan segala cara termasuk mendapatkan kesempatan ini.
Xavier menghela napas. Dia tidak akan menang bukan.
"Ya baiklah. Kau menang, Anthony aku minta harness ganda." Selesailah sudah kesempatannya menikmati pantai biru sendirian. Ada seorang gadis pembuat masalah yang akan berteriak di sampingnya.
Di depannya Allison tersenyum manis karena mendapatkan apa yang dia mau.
"Terima kasih, kau terbaik." Allison memujinya, sekarang dia hanya bisa tersenyum masam pada gadis itu.
Mereka bersiap naik parasail, motor boat yang akan membawa mereka berlayar agak ke tengah.
"Si brengsek Mason sudah melakukan berapa pembayaran Tuan Xavier?" Dia bertanya dengan pikiran masih dendam ke Aston, walau 3 bulan sudah berlalu.
"Sekitar 40% kurasa, dia minta waktu 2 minggu untuk 10% lagi. Dia bilang down payment penjualan assetnya baru masuk dua minggu lagi. Aku tak mengurusnya langsung, seorang staff di kantorku yang melapor padaku."
"Ohh setengahnya saja belum. Dia hanya mengulur waktu. Kau yakin dia akan membayarnya?"
"Dia akan membayar. Jika tidak dia tidak akan selamat jika berita skandalnya keluar. Sementara politisi yang terlibat juga diancam dengan bukti itu. Karena dia sudah memberikan nomor rekening mereka aku bersikap sedikit lunak, kupastikan dia membayar."
"Bagus." Wanita yang bisa membuat masalah besar. Dan Alton Mason itu salah sangka dia bisa menjadikan Allison Austin batu loncatannya. Yah tetap saja, walau dia dipukul hingga babak belur oleh
"Kalian bersiap." Mereka sudah mencapai jarak maksimal untuk melepas parasut. Petugas yang menarik mereka membuat membuat mereka duduk di ujung. Tak lama mereka mengudara dan pemandangan Miami beachline terpampang di hadapan mereka.
"Woohoooooo, as*sho*le pergilah ke nerakaaa! " Xavier meringis mendengar teriakan itu. Langit yang biru dan lautan topaz tak cukup membuat hati Allison lebih berwarna.
Dia tak menanggapi curahan hati gadis itu. Membiarkannya sendiri lebih baik, lagipula dia tak ingin di ganggu dalam liburannya.
"Terima kasih sudah membiarkanku naik Sir."
"Tentu. Aku kembali ke kamarku dulu oke."
Allison tak ingin menganggu pengacara senior itu. Dia agak menyeramkan. Tapi kalau soal mengurus masalah dia ahlinya.
\=\=\=\=\=
Allison menghabiskan waktu sendiri di beach bar. Kekasih Kate menyusul ke Miami, jadi mereka pergi sementara dia menghabiskan malam sendiri. Ide berlibur dengan Kate ini ternyata membuatnya tambah gloomy. Dia terjebak minum sendiri di meja bar beach club ini.
"Nona, ada yang akan membelikanmu minuman di ujung sana." Seorang pria tampan tersenyum dan mengedipkan mata padanya. Satu lagi pria tampan yang penuh omong kosong. Allison menyumpah dalam hati.
"Bilang padanya aku seorang biarawati." Allison memutuskan untuk tidak menanggapinya. Dan kata-katanya jelas, dia tidak mau diganggu.
Pria itu meninggalkannya dalam damai.Thanks God. Tapi kedamaian itu tidak bertahan lama.
"Kau yang tercantik sayang." Allison merasa dia mengenal nada suaranya.
"Kau bilang Allison yang tercantik dua bulan yang lalu, dimana wanita sombong itu sekarang bagimu?" What the hell! Siapa yang menyebut namanya?!
"Dia putri manja psikopat yang menyusahkan. Kau tak usah menyebut namanya lagi." Kurang ajar?! Dia melihat dua bangku di samping kirinya, wanita yang dikenalnya, Joan Jenner serta musuh abadinya Alton Mason tengah bermesraan. Darahnya langsung naik ke ubun-ubun.
...Alton Mason yang sempurna ...
"Siapa yang kau bilang psikopat heh?!A*ssh*ole!" Dua orang itu melotot melihat orang yang mereka bicarakan ada di depan mereka. "Dan kau mengatakan aku sombing tapi menjilat kakìku saat ada di depanku. B*itch!" Wanita itu Joan Jenner, tidak berani berkutik saat Allison mencercanya balik. Orang-orang mulai melihat ke arah mereka tapi Allison masih belum selesai.
Tapi bukan Allison jika dia berhenti di sini saja. Dia belum selesai dengan Alton Mason.
"Kau rupanya benar bajingan, kau menganggapku psikopat manja, sementara kau memanfaatkanku?!" Dia mendorong dada Alton Mason membenturkannya ke meja bar. "Kau pikir kau siapa?!" Dia mengambil gelas seorang di meja dan melemparkannya ke arah Alton. Untungnya jarak lemparannya dekat sehingga dia tidak terluka.
"Kau pikir aku akan diam kau hina begitu." Tapi dia belum selesai, sebuah botol bir kecil siap menjadi senjatanya.
"Wanita gil*a! Apa yang kau inginkan? Kita sudah putus, apa yang kukatakan itu urusanku." Dulu dia menganggap diantara kekasihnya Alton adalah yang paling sempurna. Dia begitu percaya padanya, membanggakan Alton di depan teman-temannya tapi ternyata balasan yang dia terima sangat mengecewakan.
As*sho*le ini adalah bajingan sejati, baru dua bulan dia sudah pergi liburan dengan wanita baru. Kemarin dia masih mengiba mengingatkan Allison bahwa mereka pernah bersama. Allison pernah berpikir bahwa ini memang karena dia mengejar kariernya sebenarnya dia mencintainya, tapi sekarang dia tahu itu hanyalah bibir manis.
Dia benar menyesal ke sini. Pantai ini mengingatkannya atas semua kisah cinta manis yang mereka pernah lewati yang ternyata hanya salah satu episode wanita cantik yang dijalani Alton Mason.
"Aku menyesal pernah mengenalmu."
"Kau pikir aku tak menyesal mengenalmu. Kau yang terburuk yang pernah kukenal." Alton juga tak menyangka dia harus kehilangan banyak uang karena Allison Austin, dia tak menyangka dia bermain dengan singa.
Botol yang dipegang Allison melayang sasarannya adalah kepala Alton, tapi berhenti di udara saat seseorang menghentikannya.
"Sudah cukup." Xavier menghentikan gadis itu di saat yang tepat, dia tidak mau liburannya berhenti di kantor polisi karena dia harus mengurus laporan penganiayaan. "Ayo keluar." Dia meninggalkan lembaran uang di meja bar dan menarik botol di tangan Allison.
"Lepaskan aku Sir,..." Allison memberontak ketika dia ditarik pengacara senior Ayahnya itu.
"Jika kau sampai memecahkan botol itu ke kepalanya, kau akan berakhir di kantor polisi. Gunakan otakmu bukan emosimu! Ayo keluar!" Dia menarik Allison yang habis dibentaknya keluar. Tuan Lyold Austin tak akan menyalahkan dia karena ini dia yakin, dia masih membiarkan Allison mencerca pria itu tapi kalau sudah membuatnya cedera itu berbahaya. Dia harus mengirim gadis ini ke kamarnya kembali.
Allison yang kesal tak bisa melampiaskan emosinya melampiaskannya dengan menangis sepanjang jalan. Orang-orang melihatnya seakan dia sudah menganiaya sugar babynya.
"Dimana kamarmu? Ayo kuantar."
Dia masih menangis dengan keras. Astaga! Mimpi buruk apa ini?
"Nona kau baik-baik saja. Apa pria ini memukulmu?" Seorang keamanan bahkan mendekatinya dan bertanya dengan curiga.
"Allison, bisa kau jelaskan."
"Tidak aku tak dipukul, yang memukulku di dalam bar sana."
"Siapa? Kau bisa tunjukkan orangnya?"
"Tidak...tidak, kita tak usah memperlebar masalah. Allison kembali ke kamarmu atau ketelepon Ayahmu."
"Kenapa kau mencampuri urusanku."
"Jika kau masuk ke kantor polisi karena memukuli orang, memangnya itu bukan urusanku?!" Sekarang dia emosi. Gadis ini sekarang membuatnya emosi.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri! Kau tak usah ikut campur Tuan pengacara!"
"Kau mabuk!?" Tiba-tiba dia mengerti kenapa gadis ini hari ini lepas kendali. Biasanya Allison Austin cukup logis dan punya perhitungan seperti Ayahnya. Orang mabuk memang mendatangkan masalah.
"Baiklah ini urusan kalian, tapi jangan menganggu tamu lain, sihlakan kalian bertengkar di kamar." Keamanan itu akhirnya meninggalkan mereka.
"Sorry, ayo kuantar ke kamar. Tidak ada gunanya kau mempermalukan dirimu sendiri di sini. Ban*gsat Mason itu akan senang melihatmu menangis di sini. Siapa yang kau tangisi, kau menangisi dia? Jangan membuat lelah dirimu sendiri..."
Dia membujuknya dengan suara pelan. Allison sekarang menurut dia menghapus air matanya dengan cepat, menyembunyikan wajahnya sepanjang jalan, dan kembali ke kamarnya tanpa bicara. Dia masih menangis, menangis tanpa air mata, ternyata dia masih patah hati dengan pria tampan itu. Xavier mengasihaninya...
Mereka sampai ke kamar Allison. Perasaannya membaik karena sudah menangis, tapi satu hal dia kesal karena dia sudah mempermalukan dirinya sendiri.
"Kau mau teman bicara? Teman minum? Anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ..." Yang satu ini terlalu bertanggung jawab atas pekerjaannya, begitu pikiran
"Kau akan menertawakanku bukan, tak usah memperdulikanku." Allison menutup pintunya, tapi dia menahannya.
"Apa ..."
"Kau tak punya teman? Bukankah kau bilang kau bersama seseorang di sini?" Dia takut gadis itu melakukan hal bodoh.
"Sir saya baik-baik saja. Aku tidak akan melakukan hal bodoh yang Anda sangkakan, cuma kesal tak bisa membuatnya sengsara. Tidak usah mengasihaniku. Kau boleh pergi. Maaf saya menyulitkan Anda." Allison merasa dia pasti terlihat seperti gadis bodoh tadi. Dia menyesal sudah begitu emosional di depan pengacara ini. Sementara Xavier sadar gadis itu sudah memasang topeng tegarnya lagi.
"Baiklah aku ada di kamar ujung sana 718 kalau kau perlu sesuatu."
"Iya, terima kasih. Tidak ada, maaf menyulitkan Anda hari ini." Allison menutup pintu. Hancur sudah image putri Lyold Austin yang dia buat selama ini. Hancur karena dia sakit hati dengan bangs*at Mason itu.
Dia menyesal terpancing menangis tadi.
POV Allison Austin
Semankin kupikirkan apa yang terjadi di Miami aku semankin malu. Walau aku tak bertemu lagi dengannya setelah kejadian itu. Paginya dia melihatku di restoran tempat kami sarapan, saat itu dia menghindariku karena aku sudah sarapan bersama Kate dan kekasihnya.
Kenapa aku harus kehilangan kontrol emosiku begitu rupa dan terpengaruh oleh ban*gsat Mason itu. Tn. Xavier pasti memandangku seperti anak manja saat itu. Kulangkahkan kakiku keluar dari apartmentku dengan perasaan galau yang masih menggantung. Kapan perasaan menyebalkan ini hilang.
Aku dan Mason bekerja di bidang yang hampir sama, bedanya dia di arsitek aku di desain interior.
Sekarang aku kembali ke NYC setelah satu tahun bekerja di Paris untuk mengatur kantor baru yang merupakan investasi kolega, aku kembali ke NYC dan berkantor di kantor pusat.
Chic Luxe, selama ini banyak diuntungkan oleh hubungan Ayah dengan banyak bisnis kolega yang dia kenal di partai, kebanyakan kami bermain di design ruangan kantor dan rumah orang-orang bisnis.
Dan sekarang setelah aku mengambil pekerjaan design interior di teman yang adalah artis namaku mulai berkibar di kalangan artis dan tentu saja berkat media sosial banyak hal bisa didapatkan.
"Sonya, apa aku punya klien hari ini, seingatku tidak, tapi aku merasa ada yang aku lupakan." Sonya assistenku melihatku dengan binggung. Aku memang tidak punya janji temu klien di Senin ini, semua orang terlalu sibuk di Senin. Tapi apa yang kulupakan dan tidak kukatakan pada Sonya.
"Ehm kurasa kau punya janji menelepon Tuan Xavier soal Mason...?"
"Kau benar juga." Akhirnya aku ingat aku menunggu pembayaran 50% selesai. Bangsat itu belum selesai membayarku. Tuan Xavier yang mengatur cara pembayarannya. Uang itu masuk ke partai, mereka yang tahu cara menjadikan uang itu legal di audit.
"Kau juga ada acara informal dengan teman-temanmu, Nona Kate tadi memberiku pesan malam ini kalian punya janji makan malam."
"Ohh ya aku ingat."
Aku mencari nomornya dan meneleponnya saat aku ingat. Banyak pekerjaan yang harus kukerjakan hari ini. Dia mengangkatnya dalam dua deringan pertama.
"Nona Allison."
"Tuan Xavier. Aku menelepon soal Mason, sudahkah dia membayarmu?"
"Belum, aku memberinya ultimatum sampai akhir minggu ini, jika tidak aku akan menyeret satu nama ke media. Dia tidak akan berani membuat masalah di musim kampanye seperti ini. Tinggal dia yang belum membayar sampai dengan 50%, Gensler sudah membayar bagian mereka."
"Ohh baiklah, aku hanya mengecek. Terima kasih Sir. Dan aku maaf merepotkanmu di Miami."
"Tak apa bukan masalah besar." Dia menanggapi dengan ringan.
"Itu saja. Kabarkan saja jika ada masalah. Aku akan bantu mencercanya."
"Lebih baik tak usah. Tinggalkan masalah itu untukku." Sekarang dia pasti menertawakanku melihat reaksiku di Miami. Aku belum bisa menghadapi Mason dengan kepala dingin.
"Kau menertawakanku Sir ..."
"Aku memberi saran profesional Nona Allison."
"Hmm ya kau mungkin benar." Jika aku bicara berhadapan muka dengannya mukaku pasti panas. Kehilangan kontrol emosi adalah hal yang jarang di hidupku. Kurasa kenyataan bahwa dia hanya memanfaatkanku begitu mengecewakan padahal aku bahkan sudah bermimpi mengharapkan Mason jadi suamiku. Segalanya terasa sempurna dengannya.
...Pic : Alton Mason yang sempurna...
"Baiklah aku menunggu kabar darimu saja Sir."
"Baik. Dan aku punya rumah baru di Quuens, apa kau bisa mengerjakan desain interiornya."
"Ohh begitu? Aku harus melihat rumahnya dan bicara denganmu untuk mengetahui apa yang kau sukai atau tidak. Rumah lama atau rumah lama renovasi Sir?"
"Rumah lama, tapi tanahnya luas. Aku ingin membuat konsep rumah pedesaan, tapi memang kau harus melihat sendiri, aku tidak menyukai rumahnya hanya menyukai tanahnya yang luas hingga aku bisa punya kebun besar." Rupanya dia tipe-tipe yang suka rumah dengan perapian tradisional dan sejenisnya.
"Kau ingin kapan Sir, aku akan menyesuaikan dengan schedulemu."
"Boleh akhir pekan ini? Apa kau menerima perjanjian akhir pekan aku hanya bisa saat akhir pekan ke sana."
"Boleh tentu saja." Tak di sangka aku mendapat tambahan proyek dari pengacara Ayah.
"Kalau begitu nanti kukirimkan alamatnya untukmu."
"Baik. Kita bertemu akhir pekan jika begitu."
Aku menutup telepon. Menyenangkan punya proyek baru lagi di awal pekan ini.
"Tampaknya ada yang senang sekarang." Satu lagi pria tampan di kantor ini. Jordi Molla, pria latin ini sering menang jika pelanggannya adalah wanita. Dia adalah kolegaku yang berasal dari universitas yang sama.
"Aku sepertinya akan mendapat tender baru."
"Dari siapa?"
"Pengacara Ayahku minta rumahnya di renovasi."
"Kolegamu memang luas." Aku tersenyum. Sebenarnya ada keuntungan menjadi anak Lyold Austin, kolega banyak, dan sedikit bantuan nama Ayah. Kadang orang mempertimbangkan hubunganku dengan Ayahku. "Katakan padaku, katanya kau putus dengan kekasihmu?"
"Iya. Kenapa?"
"Dia berselingkuh?"
"Itu masalah pribadiku Diego."
"Sudah kubilang dia bukan pria yang baik. Kalau begitu aku bisa mengajakmu jalan?" Jordi memang terang-terangan ingin menjadikanku kekasihnya sejak lama.
"Aku sedang tidak ingin kencan apapun Jordi, dengan siapapun." Sejujurnya aku tidak pernah tertarik padanya.
"Ini bukan kencan, hanya makan malam."
"Tidak, aku sedang banyak acara dan pekerjaan. Sebentar lagi pemilihan presiden, banyak pertemuan yang harus kubantu ke Ayahku."
"Ini hanya makan malam."
"Mungkin nanti. Kita biasanya makan siang bersama seperti biasa." Dia menghela napas tanda dia menyerah sekarang. "Aku ke ruanganku dulu."
Aku meninggalkannya. Tak berniat mendengarkan rayuannya lagi. Pria tampan yang satu itu sama saja, banyak wanita yang mengejarnya, entah klien atau kolega, dia juga pintar memanfaatkan kesempatan dengan wanita-wanita itu.
Pria tampan memang masalah...
Aku tiba di Westbury di akhir pekan itu. Untuk step yang disebut programming, tentu saja bukan programming komputer, tapi ke programming mindset sang interior designer ke keinginan sang klien, mendengar apa yang dibutuhkan klien, menentuka waktu pengerjaan proyek, menentukan kisaran budget biaya yang dikehendaki klien. Tiap firma design interior punya kuesioner sendiri yang mereka harus tanyakan ke kliennya di tahap awal ini.
Dan mataku langsung tertumbuk pada pemandangan rumah minimalis Mediterranean di depanku.
Iya rumah ini tidak megah tapi tanahnya luas. Bagian depannya ditutupi pepohonan, jalan masuknya agak jauh ke dalam, ada taman rapi kecil di halaman depan rumah. Tapi di belakang itu adalah semacam food fòrest, ditambah dengan rumah kaca yang cukup besar. Pohon apel, peach, cherry, rimbunan blueberries dan bahkan zaitun ada di sana, plus ada barisan tomat, kale, kubis, lilitan sulur anggur, terlihat olehku. Entah apa lagi yang ada di sana, sepertinya banyak sekali ragamnya dan semuanya terlihat tumbuh dengan baik.
Perhatianku kembali ke rumah, rumah ini tak seperti mansion bertingkat di daerah ini. Aku tahu rumah di daerah ini rata-rata punya kolam renang outdoor plus lapangan tenis. Tapi di sini, rumahnya hanya satu tingkat dengan gaya minimalis Mediterranean, walau tidak kecil tapi jelas jauh lebih sederhana dari yang ada di daerah ini. Apa dia berniat membangun rumah lain.
...
Contoh Mediterranean minimalis tuh kaya gini ya.....
...----------------...
Aku membunyikan bel pintu, tak lama seorang wanita yang nampaknya housekeepers membukanya.
"Selamat siang, aku mencari Tuan Xavier, sudah janji dari Allison Austin."
"Tuan ada di kebun, tunggu sebentar saya akan panggilkan Nona. Dia sudah bilang Nona mau datang." Wanita yang sudah terlihat beruban itu menunjuk ke arah kebun luas di belakang rumah.
"Boleh aku ikut melihat kebunnya." Dia melihat sepatuku. Ini memang heels walau tak begitu tinggi.
"Nona kau akan kesulitan dengan sepatumu."
"Ohh aku membawa sneaker, tunggu sebentar." Untungkah aku selalu siap sepatu flat di mobil, yang sebenarnya sepatu olahraga jika aku ke gym.
"Aku siap." Wanita itu tersenyum melihat aku sudah berganti sepatu dalam sekejab.
"Kalau begitu mari ikut saya." Aku antusias menjelajahi kebun yang unik itu. Bukan besar tapi seperti kubilang seperti food forest, kau bisa menemukan semua buah dan sayuran di supermarket di rumahmu sendiri, itu sangat luar biasa.
Dan segera aku mengakui keragaman kebun itu bahkan mereka menamam edibles flower (bunga yang bisa di makan) sementara aku terpesona dengan bunga-bunga pepohonan cherry, peach, apel dan semaian musim semi. Kurasa ada tiga orang tukang kebun yang kulihat bekerja di sini . Tak sadar aku sampai di depan Sir Javier yang tengah memangkas bunga apel.
"Kau sampai ke sini." Aku mendongak ke atas dia berdiri di atas tangga dan menjatuhkan beberapa bunga apel ke tanah.
"Sir Xavier kebun Anda luar biasa." Dia tersenyum dan turun ke bawah menghampiriku.
"Ini hobby untuk mengalihkan pikiran. Ini pruning bunga apel, menyisakan lebih sedikit bunga untuk panen terbaik." Dia turun dengan membawa gunting kebun kecil di tangannya. Pengacara senior ini terlihat berbeda dengan baju kaus rumahan dan celana kargo. Tapi tetap saja sosok manly dan bicaranya yang terlihat tenang membuat kesan tersendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!