NovelToon NovelToon

Pesona Cinta Tiara Khoerunnisa

Kegaduhan di pagi hari.

Suara adzan awal di sebuah Pondok membangunkan seluruh santri . Mereka sudah terbiasa bangun untuk melaksanakan shalat malam, lalu tadarus Qur'an sampai kumandang adzan shubuh.

Begitu pun hari ini, suara gemericik air terdengar jelas, banyak diantara para santri yang langsung mandi, karena menurut Abah Kiyai, banyak keutaman dari mandi sebelum shubuh.

Abah Kyai sering mengutarakan kalau mandi sebelum subuh itu banyak sekali manfaatnya. Hal ini juga sering dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau membiasakan mandi sebelum subuh.

Air di pagi hari banyak mengandung ozon, sehingga banyak manfaatnya bagi tubuh. Diantaranya dapat meningkatkan energi baik, dapat meningkatkan kreativitas, menjaga kesehatan kulit wajah, meningkatkkan kesuburan pria, dan memperkuat daya tahan tubuh.

Bahkan dilansir detik health, keutamaan mandi sebelum subuh diantaranya dapat menyembuhkan sakit kepala, melepaskan racun dari tubuh, dapat menurunkan tekanan darah, dapat menghilangkan stres, dan dapat menurunkan kadar gula.

Dengan begitu banyak manfaat dari mandi sebelum subuh, maka Abah kyai mewajibkan seluruh santrinya untuk mandi sebelum subuh sebelum shalat berjamaah di Masjid.

Makanya sudah tidak aneh jika selalu terjadi kegaduhan di tiap hari begitu adzan awal berkumandang.

Aktifitas sudah di mulai sejak itu, para santri sudah berbondong-bondong menuju Masjidnya, di Pondok Abah Ilham, Masjid pun ada dua, Masjid Putri dan Masjid Putra, sehingga antara Santri putra dan putri tidak bebas bertemu dan berinteraksi, hanya satu hari dalam sebulan, mereka bisa berada di Masjid yang sama, yaitu saat ada kegiatan Amm.

Begitu pun pagi itu. Setelah shalat tahajud santri ada yang menghafal kitab, ada juga yang menghafal Al-Qur'an , sambil menunggu waktu subuh tiba.

Di lain tempat, sedang terjadi balapan, itu terjadi sejak tengah malam tiba. Raungan deru sepeda motor menggema, kerlap-kerlip lampu terlihat jelas, suara klakson pun silih berganti dibunyikan dari sepeda motor yang sudah bersiap berlari tinggal menunggu aba-aba.

Dan..., balapan pun dimulai, gerakan tangan seorang wanita berbusana minim pembawa bendera menjadi tanda balapan dimulai. Deru suara mesin sepeda motor langsung menggema.

Mereka melesat cepat membelah gelapnya malam. Sudah beberapa putaran berlangsung, dan saat menuju lintasan terakhir, ada sepeda motor yang melaju sangat cepat, pengendaranya tidak bisa mengendalikan sepeda motornya, dan bruk....duarrrr....., sepeda motor itu terjatuh ke jurang.

Seketika pembalap lainnya menghentikan laju sepeda motornya, mereka kini berkumpul di titik jatuhnya motor tadi.

"Siapa tadi yang jatuh?", tanya salah seorang dari mereka.

"Itu sepertinya Robi", jawab teman disebelahnya.

"Cepat tolong dia!, kenapa kalian diam saja",

"Sudah biarkan saja, resikonya tinggi kalau kita tolong dia, nanti akan banyak pertanyaan ini itu, ujung-ujungnya kita tambah ribet kalau berurusan dengan Polisi, ini sudah resiko, kita bubar saja, cepat!, sebelum ada orang yang mengetahui hal ini", pinta salah seorang dari mereka, yang kemungkinan dia itu pemimpin dari mereka.

*

*

Shalat Subuh pun baru berjalan satu rakaat saat terdengar bunyi dentuman keras di atas bukit.

Para jema'ah pun merasa terkejut, namun mereka tetap berada di shaf nya. Setelah selesai berdo'a, baru mereka keluar Masjid dan melihat ke atas bukit.

Terlihat ada kebakaran di sana, entah apa , namun mereka menduga itu akibat dari dentuman tadi.

"Innalillahiwainnaillahiirooji'uun, ada apa di sana?", Abah Ilham memandang ke atas bukit.

"Mudah-mudahan saja tidak ada korban jiwa", gumam Ustad Fikri.

"Anak-anak, lanjutkan saja kegiatan mengajinya, kalau ada apa-apa, nanti juga ada Petugas yang lebih berhak menangani", Seru Abah Ilham.

Semua santri kembali masuk ke Masjid melanjutkan aktifitas mengajinya. Mereka kembali dihebohkan oleh teriakan Mang Daman, pengurus kebun, dia berlari sambil berteriak

"Ada mayat...ada mayat...., Pak kyai ada mayat....", ia berteriak panik di halaman Masjid Putra.

Serentak semua santri yang sedang mengaji menghentikan kegiatannya, Ustad Fikri berinisiatif keluar, "Ada apa Mang?, ada mayat?, di mana?",

"Iya Ustad, ada mayat di sungai, ayo Ustad siapa tahu masih hidup", Mang Daman terengah-engah.

"Ah..., ada -ada saja Mang, masa ada mayat masih hidup, gimana Mamang ini" kekeh Ustad Fikri.

"Maksud Mamang, siapa tahu dia masih hidup, jadi masih bisa diselamatkan, begitu Ustad", senyum Mang Daman.

"Ya sudah kita lihat dulu ke sana, benar kata Mang Daman, kalau masih hidup, kita masih bisa menolongnya", Ustad Dzaqi menghampiri.

"Ayo..., kalian saja yang ke sana , biar Abah sama anak-anak, ajak juga Ustad Fadil ", perintah Abah Ilham.

Ustad Fikri , Ustad Dzaqi, dan Ustad Fadil mengikuti Mang Daman. Mereka menuju pinggir sungai, sungai itu memang melewati Pondok Pesantrean Abah Ilham.

Benar saja, di sungai ada orang telungkup di atap batu, kelihatannya ia seorang laki-laki, dia nampak mengenakan celana dan jaket jeans, sepatunya hilang satu.

"Itu Mang?, coba dekati , apa ia masih hidup?", pinta Ustad Fikri.

Dengan ragu-ragu, Mang Daman menghampiri orang itu, Ustad sini, Mamang takut", Mang Daman terdiam di sampingnya.

Terlihat Ustad Fikri menghampiri Mang Daman.

"Bismillah...,tangan Ustad Fikri mulai meraba punggung orang yang ada didepannya.

"Euh....euh...., terdengar raungan dari orang yang disentuhnya.

Ustad Fikri dan Mang Daman terperanjat kaget, Alhamdulillah..., Mang dia masih hidup, ayo kita bawa saja ke Pondok, biar bisa di tolong sana", usul Ustad Fikri.

Mang Daman membalikkan badan orang itu , "Wah ganteng banget ini mah Ustad, sepertinya orang dari Kota, lihat saja walau laki-laki, kulitnya bersih sekali, pakaiannya pun bagus, pasti orang kaya ini mah", cerocos Mang Daman.

Ustad Fikri meliriknya, dan mengakui memang orang itu tampan sekali.

"Wooii..., sini!, bantu sini!", teriak Ustad Fikri. Ia memanggil Ustaf Dzaqi dan Ustad Fadil yang masih berada di pinggir sungai.

Yang di panggil pun menghampiri. "Ini orangnya, apa masih hidup?", tanya Ustad Fadil.

"Iya... Dia masih hidup, kita bawa ke Pondok saja biar di obati di sana", perintah Ustad Fikri.

"Kalau begitu aku pulang duluan, mengabari hal ini kepada Abah Kyai", usul Ustad Fadil.

"Iya itu ide bagus", Ustad Fikri menepuk pundak Ustad Fadil.

Ustad Fadil bergegas kembali menuju Pondok, sementara Ustad Fikri, Ustad Dzaqi dan Mang Daman menggotong orang asing yang ditemukannya di sungai.

Sesampainya di Pondok, Abah Kyai memerintahkan untuk membawanya ke rumahnya.

'Wah ...., ini mah bahaya, membawa orang asing ke rumah Abah, nanti bisa bertemu dengan Ara', pikir Ustad Fikri.

Belum apa-apa dia sudah ketakutan, Ara akan tertarik dengan ketampanan pemuda asing itu.

Padahal dirinya saja yang sudah lama menaruh hati kepada Ara selalu diabaikan, tidak pernah mendapat perhatian khusus dari Ara, Tiara Khoerunnisa namanya, putri Abah Kyai.

Tapi Ustad Fikri tidak bisa menolak, ia menurut saja, ia membawa pemuda asing itu ke rumah Abah.

Kebetulan Tiara sedang tidak ada, dia sudah berangkat kuliah. Jadi dirinya tidak mengetahui perihal penemuan pemuda asing itu.

Hati Ustad Fikri sedikit lega. "Mang, kalau sudah sadar, berikan baju ini untuk pemuda itu , nanti kalau sudah benar-benar sadar, kita tanya dia", perintah Abah Kyai.

"Baik", rengguh Mang Daman.

Ustad Fikri dan Ustad Dzaqi sudah kembali ke Pondok, sementara pemuda asing itu di urus oleh Mang Daman.

Tidak ada luka serius yang dialaminya, hanya kakinya saja yang terkilir, dan beberapa luka lecet di beberapa bagian tubuhnya.

"Alhamdulillah, sudah sadar, ini minum dulu, teh manis hangat", sumringah Mang Daman begitu melihat pemuda itu sudah duduk di kasurnya.

"Dimana ini, saya ada di mana?", pemuda itu meringis sambil melihat sekeliling.

"Tenang dulu, kamu aman di sini, saya menemukanmu di sungai, ini ganti dulu bajunya itu basah", Mang Daman memberikan minum, dan baju ganti.

Pemuda itu meminum teh hangatnya sampai habis, ia mengambil baju ganti yang diberikan Mang Daman, "Baju apa ini", ia melihat koko dan sarung di tangannya.

"Kamu berada di Pondok Pesantren, jadi hanya ada baju itu di sini", ucap Mang Daman.

"Ayo cepat ganti, kita akan menemui Abah Kyai" Mang Daman melirik pemuda itu.

Tanpa melihat lagi Mang Daman, pemuda itu menuju kamar mandi dengan tertatih, kakinya terasa sakit begitu dipijakkan.

"Yeah...., sombong sekali, bilang terima kasih kenapa, sudah ditolingin", gerutu Mang Daman.

Alhamdulillah selamat

"Dasar orang aneh, sudah ditolongin, di obatin, di kasih baju ganti , Eehh... ," gerutu Mang daman sambil merapikan tempat tidur bekas pemuda asing tadi.

Tanpa disadarinya, pemuda itu sudah selesai ganti bantu, ia berdiri tepat di belakang Mang Daman.

"Terima kasih sudah menolong",

Mang Daman terperanjat kaget, ia ketahuan sedang mengomel.

"I...i....ya ..., sama-sama Den....", mang Daman menggantung ucapannya, karena belum tahu nama dari pemuda yang kini ada dihadapannya.

"Robi , saya Robi, terima kasih sudah menolong", senyum Robi. Ia membawa dompetnya yang sudah basah, ia keluarkan isinya di atas meja, ada banyak kartu-kartu di dalamnya dan selembar uang dua puluh ribu.

'Yah..., dompet isi kartu semua, mana uangnya' , pikir Mang Daman.

"Pak, di sini ada ATM?", tanya Robi menatap Mang Daman.

"Jangan panggiln Pak , panggil Mang Daman saja, saya hanya tukang kebun di sini", senyum Mang Daman.

"Ya....., tadi kan saya belum tahu, Mang Daman", senyum Robi.

"Iya, apa tadi Den, KTM?", ulang Mang Daman

"ATM Mang, di sini ada nggak?, ulangi Robi.

"Mamang kurang tahu, nanti coba Aden tanyakan kepada Abah",

"Abah, siapa ?", Robi mentautkan kedua keningnya.

"Abah itu pemilik Pondok ini, Abah Ilham, ayo kita temui, tadi dia berpesan untuk membawa Aden menemuinya begitu sadar", jelas Mang Daman.

"Sebentar Mang, saya nunggu kartu-kartu ini kering dulu", Robi mengipas -ngipaskan kertas di atas kartu-kartunya.

"Lah..cuma kartu Den, kalau rusak, dibuang saja",

"Ini bukan kartu sembarangan Mang, ini kartu ajaib, kalau di gesek, bisa menghasilkan uang", senyum Robi.

"Wah...., yang benar Den, coba Mamang lihat" , Mang Daman menghampiri Robi dan mengambil satu kartunya lalu digesek-gesek ke meja.

"Ah...Aden mah bohong, ini tidak menghasilkan uang, sudah di gosok berkali-kali juga",

"Ya, bukan di situ di geseknya Mang, tapi harus di ATM", senyum Robi.

"Oohh, begitu, ayo attu temui Abah, biar kita tanya dimana yang ada ATM nya", Mang Daman berdiri menuju pintu.

"Ayo Den, ikut Mamang, kita temui Abah, simpan dulu saja di sana kartu-kartunya, di sini aman kok", Mang Daman melirik Robi.

"Iya... iya...", Robi berdiri ia menghampiri Mang Daman sambil memegangi sarungnya yang melorot.

"Begini cara pakenya, di paskan dulu di pinggang, lalu lipat, kiri kanan, lalu lipatkan lagi ke dalam", Mang Daman memberitahu cara memakai sarung kepada Robi.

"Saya baru pertama pakai yang beginian, jadi nggak bisa",

"Shalat nggak pakai sarung?",

"Saya tidak shalat Mang", jawab Robi datar.

"Nggak shalat, tapi Aden Islam kan?",

Robi mengangguk. "Kalau Islam ya harus shalat attu",

"Saya nggak bisa shalat Mang, lupa lagi, ribet bacaannya ", Robi membenarkan sarungnya.

"Ck... ck....ck....", Mang Daman memandangi Robi.

"Ya sudah, sekarang temui Abah dulu, sekalian belajar shalat nanti", Mang Daman berjalan menuju ruangan Abah Ilham diikuti Robi.

Sepanjang jalan, Robi melihat sekeliling isi rumah, banyak dilihatnya hiasan dengan huruf menjelimet. Dan di lemari juga dilihatnya banyak buku-buku tebal .

"Assalamu'alaikum", Mang Daman berdiri di depan pintu sebuah ruangan.

"Wa'alaikum salam, masuk", terdengar suara dari dalam.

Perlahan ia buka pintu kepalanya menyembul ke dalam, "masuk Mang", terdengar kembali sebuah suara dari dalam.

"Ayo, masuk", ajak Mang Daman. Mereka berdua masuk. Di dalam nampak seorang tua yang sedang duduk sambil membaca buku tebal yang tadi Robi lihat berjejer di lemari di luar.

"Abah..., ini pemuda yang tadi ditemukan di sungai", Mang Daman menunjuk Robi yang terlihat masih celingukan melihat sekeliling ruangan yang dipenuhi buku-buku tebal.

"Oh..., duduk attuh Mang", senyum Abah Ilham.

Mang Daman duduk di depan Abah Ilham, diikuti Robi. Nampak Abah Ilham memandangi Robi yang tiba-tiba menunduk begitu dilihat oleh Abah Ilham.

Entah kenapa pandangan Abah terasa menusuk, tajam ke hatinya.

"Kamu siapa?, sudah baikan?", tanya Abah Ilham.

"Saya Robi, terima kasih sudah menolong",

"Berterima kasihlah sama Allah, yang masih memberikan kamu keselamatan", senyum Abah Ilham.

"Iya, terima kasih Allah", ucap Robi datar.

Mang Daman menggelengkan kepala.

"Bukan begitu, berterima kasih kepada Allah itu dengan ucapan Hamdalah, lebih bagus lagi disampaikan sambil shalat", senyum Abah Ilham.

Robi garuk-garuk kepala , "Shalat lagi-shalat lagi, sudah tahu tidak bisa shalat", gerutu Robi.

"Tidak bisa shalat?, kenapa?", Abah Ilham memandang ke arah Robi.

"Ya...karena lupa, terakhir shalat itu waktu TK, diajarin sama gurunya", Robi melengos.

"Ya tidak apa-apa, nanti belajar lagi shalat ya , biar bisa berkomunikasi langsung dengan Allah",

"Terus..., bagaimana ceritanya kamu bisa terdampar di sungai, kamu dari mana?", kembali Abah Ilham memandangi Robi.

Abah Ilham pun mengakui ketampanan Robi, 'Ini pasti bukan orang sembarangan', gumamnya dalam hati.

"Saya kecelakaan motor Bah, oh...iya... motor saya dimana ya, ponsel nya juga, pasti ada di lereng sana, karena saya terjatuh bersama motor", jelaskan Robi.

"Mang, antar saya ke gunung sana, mungkin motor dan ponsel saya masih ada di sana", pinta Robi.

"Besok pagi saja, sekarang sudah mau hujan", tolak Mang Daman.

"Bukannya Aden mau ke ATM?", ingatkan Mang Daman.

"Oh...,iya, saya butuh uang buat beli baju ganti, dimana ATM, terdekat di sini Bah?", tanya Robi.

"Di Swalayan yang ada di ujung jalan sepertinya ada, Ara suka menyetor uang kuliah di ATM sana", jelas Abah Ilham.

"Oh....bagus, bisa sekalian belanja di sana, Mang antar ke sana ya , bukannya mau tahu kalau kartu itu ajaib", senyum Robi.

"Baik Den", senyum Mang Daman.

"Ajaib?, apa yang ajaib Mang?" lirik Abah Ilham.

"Itu Bah, tadi saya melihat pemuda ini mempunyai banyak kartu yang katanya ajaib, kalau di gesek bakal mengeluarkan uang, saya jadi penasaran", senyum Mang Daman.

"Kartu apa?", penasaran Bah Ilham.

"Kartu ATM , katanya kalau di gesek bisa mengeluarkan uang Bah, ajaib kan", terang Mang Daman.

"Beu...., Abah kira apa", kekeh Abah Ilham.

"Ya sudah..., Mang antar dulu Robi, setelah itu ajak dia belajar biar bisa shalat lagi" , perintah Abah Ilham.

Mang Daman dan Robi meninggalkan ruangan Abah Ilham. Di luar Robi melihat para santi laki-laki sedang memasak di lorong kobong.

"Mang, kok rame sih, mau ada apa ini?", Robi melirik Mang Daman.

"Ini kan hari kamis, mereka lagi pada puasa sunat , itu lagi memasak buat buka puasa nanti", jelas Mang Daman.

"Jadi di sini santri memasak sendiri?",

"Iya, kan belajar mandiri, jauh dari orang tua, harus bisa mengurus diri sendiri" senyum Mang Daman.

Kebaikan Robi

"Kita jalan kaki saja ke sananya", lirik Mang Daman.

"Lama Mang kalau jalan kaki, pi jam motor saja tuh...yang itu punya siapa, kaki saya kan madih sakit, apalagi dipakai berjalan jauh", keluh Robi.

"Memangnya bisa pake motor?", Mang Daman melihat Robi.

"Aduh...pake tanya lagi, aku begini itu karena jatuh saat balapan motor Mang, ayo cepat pinjamkan saja", perintah Robi.

"Sebentar, sepertinya itu ada Ustad Fikri" , Mang Daman menghampirinya lalu terlihat berbicara dengannya, dengan sesekali menunjuk ke arah Robi, tak lama Ustad Fikri mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya.

"Ayo Den, ini kunci motornya", Mang Daman kembali menghampiri Robi dengan kunci motor ditangannya.

"Lah, bukan dibawa sekalian sama motornya, Mang", Robi menggaruk kepalanya.

"Ari Aden, kan Mamang tidak bisa pakai motor, mau di dorong?", senyum Mang Daman.

"Ya sudah, yang mana motornya?", Robi kembali berjalan tertatih menuju tempat parkiran.

"Yang ini Den", Mang Daman menunjuk ke sebuah motor matic putih yang terparkir di sana.

Tak menunggu lama, Robi segera memasukkan kunci dan menstarter motor itu.

"Ayo Mang naik!", pinta Robi.

"Pelan-pelan saja ya Den, ini bukan motor balap", senyum Mang Daman. Ia menaiki motor itu, tidak lupa menyebut basmalah.

"Bismillahirrohmaanirrohiim", Mang Daman dan Robi meninggalkan halaman Pondok.

Dari kejauhan Ustad Fikri memperhatikannya, hatinya ketar-ketir, saat pertama menemukan Robi saja hatinya sudah was-was, ia takut Robi akan mencuri hati gadis pujaannya.

'Sepertinya Ara belum bertemu dengan dia', batin Ustad Fikri bicara.

"Sudah lama kerja di Pondok ini Mang",

"Baru beberapa bulan Den, bukan bekerja, tapi Mamang bantu-bantu saja, sebagai ucapan terima kasih karena Abah sudah menolong Mamang.

Sepeda motor yang dikendarai Robi, menepi ke sebuah swalayan.

"Mang, ayo ikut!" ajak Robi begitu mau masuk ke dalam swalayan.

Mang Daman tidak banyak bicara, ia mengikuti Robi dari belakang. Sampai saat Robi berada di depan mesin ATM, Mang Daman melongo begitu melihat banyak lembaran uang berwarna merah ke luar dari mesin itu.

Ada banyak, Robi memberikan beberapa lembar kepada Mang Daman, "Mang, ini belikan makanan buat para santri buka puasa", senyum Robi.

"Alhamdulillah Den, terima kasih, semoga Allah membalas dengan rizki yang melimpah",

"Iya Mang, aku mau membeli beberapa barang dulu, Mang Daman tunggu di parkiran saja" pints Robi.

"Baik Den", Mang Daman segera pergi menuju parkiran. Di sana ia merasa bingung,' dibelikan apa uang sebanyak ini, jumlahnya bisa untuk membayar satu tahun biaya sekolah anaknya

Sementara Robi langsung memasuki stand pakaian. Di sana ia memilih beberapa setel baju untuknya.

Ada pemandangan yang menarik matanya, ia melihat seseorang berpakaian ala ninja sedang memilih beberapa jenis makanan , 'itu orang apa tidak panas ya, pake jubah', pikir Robi.

Ia kembali melanjutkan memilih barang keperluannya sendiri. Setelah dirasa cukup, ia segera menuju kasir untuk membayar.

Di sana ia mendapati keributan saat ada dua orang anak sedang membayar , kedengarannya uang si anak kurang, namun anak yang satunya tidak mau mengurangi belanjaannya.

"Berapa kekurangannya Mba?", tiba-tiba wanita berjubah hitam itu menghampiri.

"Ini saya bayar semua belanjaan anak ini", wanita itu memberikan selembar uang untuk membayar belanjaan anak itu.

"Terima kasih", kedua anak itu berterima kasih dengan perasaan takut saat melihat orang yang menolongnya.

Terlihat wanita itu juga membayar barang belanjaannya, dan segera meninggalkan swalayan itu.

Robi penasaran, ia mengintip hingga ke area parkiran. Ia kaget melihat Mang Daman sedang berbicara dengan wanita itu, Mang Daman terlihat menghormati wanita itu dengan sikap rengkuhnya saat bicara.

'Hmmm, siapa wanita itu', pikir Robi. Ia melihat wanita mengendarai sebuah motor matic. 'Boleh juga, ternyata seorang wanita pemberani', senyum Robi.

"Oh...iya..., Marisa?", kok baru ingat ya, malam itu bagaimana nasib Marisa?, pasti dia akan kebingungan mencari aku", gumam Robi.

"Kenapa bisa lupa ya, padahal aku bisa mengiriminya pesan kalau aku baik-baik saja", Robi menepuk jidatnya.

Ia segera menuju kasir untuk membayar belanjaannya, dan segera menuju parkiran menemui Mang Daman.

"Sudah beli makanannya Mang?", tanya Robi.

"Belum Den, Mamang bingung, dibelikan apa ya , uang sebanyak ini", Mang Daman garuk-garuk kepala.

"Kalau buka puasa, mereka biasanya makan apa?", Robi melirik Mang Daman.

"Ya, makanan yang manis-manis Den",

"Oh...saya ingat, kurma ya Mang, kalau lihat di tv sih kebiasaan orang berbuka puasa dengan makan kurma, betul nggak Mang?",

"Iya, kurma bisa, tapi anak-anak mah bisa minum air teh manis juga sudah bahagia", senyum Mang Daman.

"Ya sudah, ayo ikut saya sebentar!", Robi kembali membawa Mang Daman ke swalayan. Kini Robi membawanya ke stand makanan.

"Bawa troli itu Mang!", perintah Robi. Mang Daman menurut saja, ia mendorong troli mengikuti Robi yang mengambil bahan makanan.

Ada gula putih, teh celup, susu, kurma , sarden, mie instan, masing-masing satu buah.

"Iihh..., si Aden, kalau cuma ini saja mah, dipegang saja, nggak usah bawa beginian", gerutu Mang Daman.

Robi hanya tersenyum saja, ia kini yang mendorong troli itu ke arah kasir , di sana ia memesan barang yang ada di troli, masing-masing lima dus.

Mang Daman tidak mengetahui hal itu, karena ia sudah duluan menuju parkiran.

"Ayo Mang, kita pulang saja", ajak Robi.

"belanjaannya mana Den", Mang Daman bingung karena Robi tidak membawa apa-apa selain belanjaannya tadi. Mang Daman tidak curiga saat ada sebuah mobil mengikutinya hingga ke Pondok.

Mang Daman merasa dipermainkan oleh Robi, mengajaknya belanja tapi bohong pikirnya, ia pulang tanpa membawa apa pun.

"Tit ..tit...tit...", bunyi klakson mobil yang mengikuti Robi berkali-kali berbunyi.

"Iya di sini saja", Robi memberi perintah kepada sopir mobil .

"Mang, sini!, panggil Robi.

"Ini semua simpan kemana?", Robi menunjuk isi mobil.

Mang Daman bengong melihat banyaknya makanan di dalam mobil itu. "Ini...semua buat siapa?", tanya Mang Daman.

"Buat semua yang ada di Pondok ini, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolong saya kemarin", senyum Robi.

"Waduh ..., ini harus lapor Abah dulu, tunggu ya, saya panggil Abah Kyai dulu", Mang Daman setengah berlari menuju pendopo, biasanya Abah Kyai ada di sana.

Benar saja, Abah Ilham ada di sana bersama Ustad Fikri dan Ustad Fadil. "Assalamu'alaikum Bah, maaf mengganggu, itu ada kiriman makanan untuk Pondok", kabari Mang Daman.

"Makanan?, dari siapa?", Abah balik bertanya.

"Dari Den Robi Bah", renggkuh Mang Daman.

"Abah Ilham mentautkan kedua alisnya, sambil berdiri. Ia bisa melihat ada sebuah mobil boks yang terparkir di halaman Masjid. Ia segera menghampiri diikuti kedua Ustad dan Mang Daman.

"Ini semua mau disimpan dimana, biar mereka yang mengangkutnya", senyum Robi begitu Abah Ilham berada di depannya.

"Makanan sebanyak ini untuk siapa?, dan dari siapa?", tanya Abah Ilham.

"Ini buat semua orang yang ada di Pondok saja Bah, anggap sebagai ucapan terima kasih dari saya", senyum Robi.

"Alhamdulillah..., kok jadi merepotkan", Bah Ilham melihat ke dalam mobil.

"Wah..., ini mah bisa buat makan beberapa bulan para santri, apa tidak salah?", Abah Ilham melirik Robi.

"Tidak Bah, ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan nyawa saya, tidak tahu bagaimana nasib saya, jika tidak di tolong",

"Itu sudah qodarullah", senyun Abah Ilham.

"Ini semua angkut ke gudang sana saja", Bah Ilham menunjuk.

"Ikuti saja Ustad Fikri dan Ustad Fadil, mereka yang akan menunjukkan tempatnya", ucap Abah Ilham.

"Kalau begitu, saya ke dalam dulu, mau ganti baju", pamit Robi. Ia sudah kegerahan memakai koko dan sarung.

"Iya, silahkan!, Abah Ilham mempersilahkan Robi.

Robi meninggalkan Abah Ilham menuju kamarnya. Saat itu juga Tiara datang, ia keluar mendengar keributan kecil di samping rumahnya.

Hampir saja Robi dan Tiara bertemu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!