NovelToon NovelToon

Return From God Quest

1. Prolog

Perang yang berlangsung selama ratusan tahun telah membuat dunia mengalami kekacauan.

Namun kini semuanya akan segera berakhir.

Puncak Jaya, tempat semua pertikaian antara tiga fraksi terbesar mencapai puncaknya.

Matahari baru saja menampakkan diri di timur, memberikan kehangatan sang mentari pada puncak gunung yang tertutupi salju abadi.

Tiga sosok saling berhadapan, tidak ada satupun dari mereka memiliki sisi yang sama.

Perbedaan antara ras, ideologi dan tujuan.

Semua saling bertentangan.

"Setelah pertarungan ini berakhir, tidak peduli siapapun pemenangnya, yang kalah harus menghormati apa yang telah disepakati."

Ucap seorang pemuda dengan armor berkilau.

Dia terlihat seperti seorang manusia biasa dengan wajah tampan, tetapi telinganya yang panjang mengungkap jika dia adalah Elf.

"Elf, bangsa licik yang menjadi pelopor penghianatan perjanjian Perdamaian seharusnya tidak memiliki hak untuk mengatakan itu."

Suara sosok kedua terdengar berat dan penuh intimidasi menggetarkan udara sekitar.

Jika dilihat dari belakang mungkin sosok itu juga bisa disalah artikan sebagai manusia biasa bertubuh kekar.

Tetapi postur tubuh yang hampir setinggi tiga meter dan taring besar pada rahang bawah memberitahu jika sosok itu adalah seorang Orc.

Elf menatap tajam pada Orc yang mengungkit kesalahan dari nenek moyangnya di masa lalu. Busur di tangannya telah terpasang anak panah yang siap dilepaskan.

Melihat itu Orc tersenyum, tangannya semakin erat menggenggam kapak besar yang ia gunakan sebagai senjata.

Keduanya siap untuk memulai pertarungan.

Tetapi tiba-tiba dua kristal es terbang cepat mengarah pada kepala keduanya.

Menghadapi serangan itu Elf dengan sigap menghindar, sedangkan Orc menggunakan senjatanya untuk menghalau serangan.

Keduanya pun menatap sosok yang membuat serangan tersebut.

"Kenapa kalian masih saja berbicara dan saling menatap seperti itu. Apa kalian berniat untuk mengulur lebih banyak waktu agar aku mati karena usia?."

Suara seorang wanita yang terdengar parau, sosok itu seakan menggunakan semua udara di paru-parunya untuk berbicara.

Dengan wajah yang ditutupi topeng perak, mengenakan jubah kusam dengan topi bulat besar di kepalanya.

Kemudian sebuah tongkat sihir yang dia gunakan sebagai senjata membuat wanita itu terlihat seperti penyihir jahat pada cerita dongeng.

Orang-orang seringkali salah mengira dia sebagai Treat bahkan Elder Lich.

Tetapi yang sebenarnya dia adalah suatu-satunya manusia murni diantara ketiganya.

Elf hendak membuka mulutnya untuk berbicara, namun manusia tua itu lebih dulu berteriak sambil menggunakan kekuatannya.

"Blizzard!."

Ucapnya sambil memukul ujung tongkatnya ke tanah membuat kabut dingin menyebar ke seluruh area, membekukan apapun yang dilewati.

Menghadapi sihir dari manusia, Orc hanya perlu mengibaskan kapak yang mengakibatkan angin bertiup kencang. Tetapi akibatnya seluruh kabut dingin itu bergerak ke arah Elf.

Satu panah yang ditembak dengan kuat melenyapkan tirai kabut dingin.

Orc kembali menggunakan kapak untuk mengikis anak panah yang Elf gunakan untuk melenyapkan kabut.

Manusia melempar dua serangan es pada kedua lawannya, Elf begitu lincah menghindar, sedangkan Orc memukul tanah yang mengakibatkan guncangan besar.

Tanah yang terangkat melindungi Orc dari serangan es, melihat itu manusia dan Elf segera melompat dari tempat mereka berpijak karena detik berikutnya jarum besar dari tanah muncul di tempat sebelumnya keduanya berdiri.

Setelah melompat Elf menarik busurnya, sejumlah energi berkumpul membentuk anak panah. Dengan kecepatan tinggi seperti senjata mesin, Elf memberikan serangan pada kedua lawannya.

Pertarungan yang sangat intens bertahan hingga berjam-jam lamanya, ketiganya tidak sedikitpun menunjukkan keinginan untuk menyerah.

Hingga matahari sudah berada di ujung barat, langit semakin gelap, udara dingin semakin menusuk.

Ketiganya mulai kelelahan.

Elf menatap busurnya yang hampir patah.

Orc merasakan kapak miliknya semakin berat.

Manusia mengandalkan tongkatnya untuk tetap bisa berdiri.

Anak panah terakhir Elf tarik.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa Orc menyeret kapaknya.

Manusia menggunakan nafas terakhirnya untuk merapal mantra.

Ketiganya saling bertatapan, pikiran mereka sama, akan diarahkan ke mana serangan terakhir yang mereka miliki.

Emir, prajurit terkuat Elf yang dianugerahi gelar Champions of Gaia meyakini jika kemenangan bangsa Elf akan menciptakan kedamaian bagi dunia.

"Semuanya harus selaras dengan alam."

Braga sang Champions of Conquer mengaggap dunia ini akan damai hanya setelah ditaklukkan oleh bangsa Orc.

"Semuanya akan terkendali oleh kekuatan mutlak."

Sementara itu di sisi manusia tidak yakin apakah kemenangan untuk pihaknya benar-benar akan membuat dunia menjadi damai.

"Mustahil, keserakahan dan kebencian telah menguasai manusia sepenuhnya."

Diantara ketiganya, kematian siapa yang benar-benar akan menciptakan perdamaian bagi dunia.

"Namun, aku tidak bisa menyerah karena hanya ini satu-satunya jalan agar aku bisa kembali."

Menguatkan tekad, ketiga bersiap melancarkan serangan terakhir. Namun tiba-tiba langit bersinar terang membuat mereka teralihkan sejenak.

Gemuruh petir terdengar begitu keras, ribuan bola api besar menembus awan hitam menghujani bumi.

Makhluk dari kegelapan mulai bermunculan dibalik kabut yang dihasilkan dari ledakan bola api, makhluk itu menyerang siapapun tanpa memandang Ras.

Sampai seluruh bencana yang terjadi hari itu telah melampaui batas mengakibatkan bangkitnya teror yang tertidur selama ribuan tahun .

Retakan bumi melebar membentuk jurang yang begitu dalam. Seperti ayam yang hendak keluar dari cangkang telurnya, seekor naga keluar dari retakan bumi.

Tidak ada satupun kekuatan yang bisa mengalahkan seekor Naga.

"Tidak akan mustahil jika seluruh kekuatan kita digabungkan."

Emir masih tidak kehilangan harapan.

Braga yang tidak berniat mati hari ini pun terpaksa ikut bergabung.

Manusia hanya mengangguk kecil menandakan ia setuju.

Leher naga mulai membengkak dengan sinar kemerahan.

Mengetahui apa yang akan segera terjadi, Manusia segera merapal mantra perlindungan.

Nafas api membakar tempat pertarungan tiga Champion, mencairkan seluruh salju di puncak Jaya. Beruntung mantra pelindung yang manusia buat bisa bertahan dari serangan, namun itu dengan bayaran kesehatannya yang semakin memburuk.

"Jika saja aku masih sepuluh tahun lebih muda...."

Manusia menatap darah di telapak tangannya.

"Itu tidak akan berbeda sama sekali manusia,"

Braga melempar kapaknya kearah naga, namun sisik yang keras membuat serangan Orc tidak dapat melukai kadal terbang itu.

Demikian pula dengan Emir, semua serangan panah sihir Elf itu tidak berguna melawan naga.

Sementara itu ribuan makhluk dari kabut hitam mulus menyerang dari segala arah, menutup jalan keluar, ketiganya terkepung.

Manusia tertawa kecil lalu berkata, "Sepertinya ini adalah akhirnya."

Mendengar itu Orc mendengus kesal, "Jadi seperti ini Wakil dari para manusia? kalian memang Ras pengecut yang mudah putus asa saat dihadapkan dengan lawan yang lebih kuat."

Tawa manusia semakin keras, "Nak, kau bisa mengatakan itu hanya karena usiamu masih muda."

Manusia membuka topeng peraknya memperlihatkan sosok wanita tua yang seakan telah hidup selama ratusan tahun.

"Aku mengatakan jika ini adalah akhir, tapi itu untuk diriku sendiri."

Manusia kembali merapal mantra, Elf terkejut saat mendengar mantra apa yang ia gunakan. Kekuatan sihir meluap dari tubuh manusia namun dengan bayaran jiwanya yang mulai terkikis.

"Aku sendiri tidak yakin apakah bisa mengalahkan naga itu dengan kekuatan terakhirku, jadi..."

Manusia menatap dua musuh yang kini saling melindungi punggung masing-masing, menghadapi satu musuh yang sama.

"Lakukan sisanya stelah aku menghilang."

Lingkaran teleportasi membawa pergi Elf dan Orc, sementara manusia tinggal sendiri dengan Naga dan makhluk dari kegelapan.

Itu adalah kali terakhir Wakil manusia terlihat, sedangkan sang Naga beserta makhluk dari kegelapan mulai menyebarkan kekacauan di dunia.

***

(End)

2. Akhirnya

Seperti inikah rasanya kekalahan?

Terasa sunyi dan hampa.

Tidak ada sorakan kegembiraan dari para warga yang merasa telah diselamatkan dari invasi Raja iblis.

Tidak ada sambutan hangat dan pujian dari para bangsawan bermuka dua yang ingin menjodohkan aku dengan anak mereka.

Juga tidak ada ucapan terimakasih dari keluarga kerajaan yang sudah ratus kali aku dengar.

Tetapi tanpa semua itu aku merasa tidak ada sedikitpun kekecewaan yang kurasakan.

Justru sebaliknya, aku merasakan kedamaian yang selama ini aku inginkan.

Aku telah menunggu dalam waktu yang lama untuk merasakan kekalahan pertamaku.

Sangat lama hingga menghabiskan seluruh waktu yang aku miliki.

Aku harap setelah ini semuanya akan baik-baik saja.

Tidak, semuanya pasti akan baik-baik saja.

Kumohon biarkan aku beristirahat dengan tenang, karena aku tidak tahu apakah bisa tetap bertahan lebih lama dari ini.

Bisikin para iblis mulai membuat keyakinanku semakin goyah. Apakah Dewa benar-benar membutuhkan aku untuk menyelamatkan ribuan dunia seperti yang selama ini aku lakukan.

Ataukah sang Dewa hanya ingin bermain-main denganku?.

Entahlah, biarkan aku menikmati kedamaian ini tanpa perlu memikirkan apa yang telah ku tinggalkan.

Alam kematian begitu gelap, sudah berulang kali aku memasuki tempat ini. Seharusnya kali ini aku tidak bisa dihidupkan kembali karena seluruh jiwaku telah lenyap sebagai akibat menggunakan Wildmagic.

Tetapi, Dewa selalu memiliki cara untuk membuatku kembali.

Seperti ini contohnya...

Setitik cahaya mulai bersinar, semakin lama cahaya itu semakin cerah. Bersamaan dengan itu aku merasa jiwaku mulai tertarik untuk semakin mendekati cahaya.

Sihir kebangkitan, sihir yang paling ku benci.

Amarah mulai menguasai ku.

Apa yang mereka harapkan dengan terus menggangguku bahkan setelah aku telah mati.

Tidak kah mereka membiarkan wanita tua sepertiku beristirahat dengan damai?.

"Terserahlah, kali ini aku sendiri yang akan menjadi Raja iblis."

Kemarahan membuatku mulai berpikir sesuatu yang konyol.

Ding!

"Eh?."

Terdengar suara lonceng yang begitu familiar. Suara yang aku dengar setiap kali dipindahkan ke dunia lain.

"Tapi bagaimana mungkin, aku belum mengalahkan Raja iblis di dunia sebelumnya."

Benar, Dewa hanya akan mengirimku ke dunia selanjutnya hanya jika telah berhasil mengalahkan Raja iblis dan memberikan kedamaian pada dunia.

"Lalu kenapa?."

Berbagi pertanyaan terus memenuhi pikiranku, namun semua itu segera menghilang ketika tiba-tiba dadaku terasa sesak seakan sesuatu telah menghantam tubuhku.

"Ghaak!."

Itu sangat menyakitkan, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba merasa seperti ini. Pandanganku buram seakan mataku tidak bisa dibuka sepenuhnya.

"Oh ini berhasil, si brengsek ini akhirnya kembali sadar."

Telingaku mendengar suara penuh umpatan dari seorang perempuan. "Suara yang familiar, namun aku tidak ingat siapa.... Tapi lebih dari apapun kenapa seluruh badanku terasa sakit?."

Aku tidak tahu situasi apa yang sedang aku hadapi. Mencoba melihat ke sekitar aku melihat delapan anak-anak dengan seragam yang tidak asing.

Walaupun sudah puluhan tahun dikirim ke dunia lain tetapi aku masih ingat dengan jelas dengan seragam yang anak-anak itu kenakan.

"Seragam sekolah dari dunia asalku ku? Sebenarnya apa yang terjadi!."

Suaraku agak meninggi hingga menarik perhatian beberapa siswi,

"Hey apa yang dia katakan?."

"Entahlah, mungkin dia mulai menangis."

"Ahahaha, sungguh menyedihkan."

Mereka mulai tertawa melihatku yang meringkuk di tanah. Sementara aku masih menatap sambil mengingat wajah mereka yang seolah pernah kulihat sebelumnya, hingga tiba-tiba sebuah kaki melayang tepat mengenai wajahku.

Tubuhku terbaring di tanah, rasa perih yang teramat sangat menyiksa disertai darah mulai keluar dari hidung.

Namun berkat itu akhirnya aku dapat mengingat siapa mereka, Kelompok para siswa nakal yang menganggap jika mereka adalah kasta teratas di sekolah.

Berkat mereka kehidupan sekolah menengah ku serasa di neraka.

Tetapi bagaimana ini bisa terjadi?.

Kenapa aku seakan kembali ke dunia di masa sebelum aku dikirim ke dunia lain?.

Aku memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi, hingga aku pun menarik sebuah kesimpulan.

Senyumku melebar.

Seharusnya aku marah mengingat masa terkelam dalam hidupku, tetapi justru sebaliknya saat ini aku merasakan kebahagiaan lebih dari apa pun.

"Apa ini? Aku harap semua ini bukan sekedar Genjutsu karena samasekali tidak lucu."

Aku mulai berdoa pada para Dewa yang selama ini terus mempermainkan aku, 'Kuharap semua yang kulihat bukanlah ilusi semata' batinku.

Seorang siswa menatapku yang masih terkapar.

"Ada apa dengannya, apa dia mulai gila?."

"Itu pasti karena kau menendang kepalanya terlalu keras."

"Ya lalu apa masalahnya? Selama dia tidak mati, kita bebas melakukan apapun padanya bukan?."

Otak para kriminal ini sangat tidak cocok dengan usia mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Aku sangat heran kenapa mereka bisa menjadi begitu kejam di usia yang masih sangat muda.

"Kalau begitu, biar aku mulai bersenang-senang."

Senyum ku menghilang dalam sekejap begitu mendengar perkataan seorang pemuda yang mulai membuka bajunya.

"Ahaha ini pasti akan menjadi video yang bagus."

Tidak ada yang berusaha menghentikan pemuda itu, mereka justru bersiap untuk mengabadikan apa yang akan ia lakukan padaku.

Mengingat kembali apa yang membuat kehidupanku bagai di neraka begitu masuk sekolah menengah. Itu terjadi bukan karena perundungan biasa.

Semua itu berawal pada hari ini.

Setelah dilecehkan, aku menjadi budak mereka dalam waktu yang lama. Aku tidak memiliki pilihan untuk menolak karena mereka mengancam ku dengan menyebarkan video pelecehan itu.

Mengingat apa yang terjadi waktu itu membuatku begitu marah.

Pemuda itu mulai mendekatiku dengan wajah mesum dan liur yang menetes, bagian bawah yang tidak lagi ditutup celana membuatku dapat dengan jelas melihat senjatanya yang sudah siap digunakan.

"Hehehe... Selama kau membuatku puas. Kehidupan sekolahmu pasti akan terjamin."

Senyumnya semakin melebar saat dia mulai membuka dua kakiku, begitu pula dengan teman-temannya yang tertawa cekikikan seakan melihat tontonan menarik.

"Menjijikan." Ucapku.

Jika terus dilanjutkan mungkin perutku tidak bisa bertahan lebih lama, jadi daripada aku muntah lebih baik memberikan mereka pelajaran balasan.

Tendangan cepat dariku mengenai leher pemuda yang hendak melecehkan aku.

"Ghaaak..."

Pemuda itu seketika kehilangan kesadarannya karena tendangan itu. Tubuhnya hendak jatuh menindih ku tetapi dengan sigap aku kembali menendangnya membuat tubuh pemuda itu terpental menjauh.

"......."

Semua orang terkejut dengan apa yang mereka lihat, aku sendiri mulai bangkit lalu merapikan seragam sekolahku.

"......."

Aku terdiam dipenuhi oleh kemarahan ketika melihat seragam sekolah milikku memiliki sobekan akibat benda tajam dan berbau seperti air seni.

"Kalian semua harus membayar untuk ini."

Tanganku terkepal, walaupun tubuhku terasa sakit tetapi aku bisa mengabaikannya. Aku mulai menghajar mereka secara membabi-buta.

Jika saja di dunia ini memiliki energi sihir, aku pasti bisa memberikan siksaan yang lebih menyakitkan daripada hanya sekedar kerusakan fisik.

"Kau tahu siapa Bos nya?."

Tanyaku pada seorang gadis yang satu tahun lebih tua dariku, dia adalah seniorku. Darah keluar dari hidung dan mulutnya, serta beberapa gigi telah lepas.

"Maa..maafffff.... Kumohon maafkan aku..."

Aku menghentikan ucapannya dengan mencengkram mulutnya.

"Apa yang kau katakan? Aku tidak sedang memintamu untuk meminta maaf..."

"Ti... Tidak kumohon.... Agh..."

Braak!

Dengan keras aku membenturkan wajahnya ke tembok.

"Ma... Maaf...."

Hanya ucapan permintaan maaf yang gadis itu katakan, tapi bukan itu yang ingin aku dengar.

Braak!

"Aku..."

Braak! Braak!

"Tidak memintamu...."

Braak! Braak! Braak! Braak!

"Untuk meminta maaf sialan!."

Darah terciprat ke wajahku, namun aku tetap membenturkan wajah gadis itu hingga sebanyak sebelas kali.

"Ah... Aku benci angka ganjil."

BRAAK!

Benturan terakhir membuat gadis itu tidak lagi bergerak.

"Malah turu."

Karena tidak mungkin berbicara lagi aku melepaskan gadis itu. Kemudian tatapanku pun tertuju pada sisa murid yang terikat menunggu giliran untuk aku permainkan.

"Jawab aku, siapa Bos nya!."

Mereka menatapku dengan penuh ketakutan, tidak ada yang tahu jawaban apa yang harus mereka katakan, karena jika jawaban mereka salah maka nasib mereka akan berakhir sama seperti gadis sebelumnya.

(End)

3. Bau busuk yang akhirnya tercium

"Who the Bos?."

Tanyaku pada siswa terakhir yang masih sadar, sedangkan yang lain sudah kehilangan kesadaran setelah aku 'bermain' dengan mereka.

"Ka... Ka... Kau?."

Suara gadis itu bergetar karena sangat ketakutan, dia tidak yakin dengan jawaban yang dia miliki tapi tidak ada lagi yang bisa ia pikirkan, semua teman-temannya sudah mengatakan banyak hal tetapi mereka berakhir naas.

Gadis itu hanya bisa menutup matanya menunggu junior nya menghajarnya seperti yang dialami temanya.

‘Kenapa semuanya menjadi seperti ini, bukankah seharusnya ini adalah giliran kami memperbudak murid baru?.’

Gadis itu teringat kembali pada masa dimana dirinya masih menjadi seorang siswa baru yang mengalami nasib buruk diperlakukan seperti seorang budak.

Perbudakan yang dilakukan oleh senior sudah menjadi tradisi di sekolah mereka, seharusnya semua orang mengerti tentang ini.

‘Aku sadar jika cara kami terlalu berlebihan, tapi pemimpin mengatakan jika semuanya diijinkan. Dia bahkan mengatakan jika semakin buruk gadis ini diperlukan maka semakin bagus.’

Dia teringat dengan seseorang yang meminta kelompoknya untuk menargetkan gadis itu.

‘Tetapi semuanya justru berakhir seperti ini.’

Kembali melihat semua temannya membuat ketakutan gadis itu semakin menjadi-jadi. Dia hampir menangis tetapi mencoba bertahan karena tidak ingin apa yang terjadi pada salah satu temannya juga terjadi padanya.

"Jawaban bagus."

"Eh?."

Mata gadis itu terbuka lebar seakan tidak percaya jika tebakannya benar. Meninggalkannya sendiri, aku mengambil seragam sekolah yang kotor.

"Sialan, bagaimana aku bisa mengenakan ini."

Dengan marah aku melempar seragam itu ke tumpukan siswa. Tatapanku kemudian terarah pada para siswi yang tidak sadarkan diri.

"Cih."

Aku tidak puas melihat semua seragam merah kotor oleh noda darah. Hingga hanya tersisa satu siswi yang tidak jadi aku aja bermain.

"Hiek...."

Dia menjerit ketakutan saat aku kembali menargetkan dirinya.

"Kau tahu ini akan terjadi bukan?."

Ucapku dengan senyuman terbaik yang bisa aku buat, tetapi itu justru membuat gadis itu kehilangan kesadaran.

***

Berjalan di koridor sekolah membuatku menjadi objek tatapan semua orang, bukan hanya murid tetapi guru pun demikian.

Di kehidupanku sebelumnya mereka pun terus menatapku seperti saat ini. Tetapi cara menatap mereka padaku kali ini sangat berbeda.

Sebelumnya mereka akan tertawa melihatku babak belur, tidak ada simpati sedikitpun yang mereka tunjukkan atas kesialan ku.

Tapi kini mereka diam, hanya bisa berbisik dengan hati-hati. Mereka semua begitu mewaspadai ku. Semua itu karena seragam yang aku kenakan.

"Bukankah itu siswi tahun pertama yang seharusnya 'Disekolahin’ hari ini?."

"Ya, ketua OSIS bahkan menyuruhku untuk mengejeknya dengan kasar begitu mereka selesai memberi gadis itu ‘Pelajaran’."

Langkahku terhenti untuk menatap dua siswa yang membicarakan tentangku, mereka terlihat ketakutan lalu segera bergegas untuk berjalan pergi.

Itu membuatku teringat betapa buruknya mereka merawat ku saat aku berjalan di lorong seperti ini. Ada yang mengatai aku sebagai gadis murahan, ayam kampung dan sebagainya. Sedangkan yang lain melempariku dengan sampah.

"OSIS kah,"

Senyum merekah saat aku menatap kepalan tanganku yang dipenuhi luka akibat terus memukuli senior sebelumnya.

Setelah ‘Bermain’ dengan para senior kelas dua, aku sadar jika tubuhku sangat lemah, itu wajar karena sebelumnya aku hidup begitu menderita.

"Dipikir-pikir lagi aku pernah berimajinasi jika seandainya suatu saat aku kembali ke masa lalu. Saat itu aku membuat list nama orang-orang yang ingin aku hajar."

Kakiku kembali berjytetspi tidak menuju kelas yang sebelumnya menjadi tujuanku. Kali ini aku menuju ruang OSIS.

".... Aku membuat daftar panjang saat itu, dan beberapa diantara nama yang aku tulis seharusnya saat ini masih ada di sekolah ini."

Tidak peduli tubuh ini akan bertahan atau tidak, yang penting dendam dari kehidupanku sebelumnya akan ku balas hari ini.

Pintu ruang OSIS yang terkunci dari dalam aku tendang hingga pintunya jebol. Aku tersenyum cerah saat melihat para senior sangat terkejut melihatku.

Keceriaan ku semakin bertambah ketika melihat mereka saat ini tengah melakukan pesta obat-obatan terlarang

"Wah terlihat menyenangkan, bolehkah aku bergabung?."

Semua senior saling bertatapan seakan Irak mereka sulit mencerna apa yang sedang terjadi. Itu sangat wajar karena hampir semua dari mereka tengah dalam pengaruh obat.

"Kupikir ini akan lebih sulit, tetapi sepertinya aku yang terlalu khawatir."

Dengan paksaan aku bergabung dalam pesta para OSIS.

Beberapa jam berikutnya sekolah menjadi begitu heboh, suara sirine terdengar bersahutan ketika mobil ambulans dan polisi datang beriringan.

Para petugas medis segera membawa lebih dari dua puluh murid yang terluka, sedangkan para polisi membawaku untuk ditahan.

Puluhan reporter berkumpul untuk meliput. Sebelum dibawa masuk ke dalam mobil polisi, aku tersenyum kecil pada puluhan kamera yang terus menyoroti ku.

"Kuharap usia Kakek tidak menjadi lebih singkat karena hal ini."

***

Royal High School adalah sekolah ternama yang hanya memiliki dua jalur masuk bagi calon murid untuk bisa bersekolah di sana.

Yang pertama seorang murid hanya bisa menjadi siswa dari sekolah itu dengan undangan beasiswa.

Sedangkan jalur kedua adalah jika orang tua mereka memiliki kekayaan dan kekuasaan, dengan kata lain menggunakan kekuatan uang.

Sejak berdiri dua puluh tahun lalu sekolah tersohor itu tidak pernah mendapatkan masalah. Bukan karena sekolah itu beroperasi dengan baik, tetapi justru sebaliknya.

Bagikan sebagian murid, kehidupan di sekolah itu bagaikan neraka, terutama mereka yang masuk lewat jalur beasiswa.

Walaupun begitu apapun yang terjadi di dalam sekolah tidak pernah tercium bau busuknya diluar karena Sekolah Royal dijaga oleh orang-orang yang memiliki 'kekuatan'.

Tetapi tidak kali ini, seorang gadis pengacau yang telah membuat puluhan siswa elit sekarat tidak akan mudah ditangani.

Biasanya pengacau seperti dia bisa dengan mudah disingkirkan oleh pihak sekolah, namun kali ini berbeda.

Gadis itu terlalu berbahaya.

"Di dalam penjara, aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku walau satu detik. Mereka menempatkan aku di sel yang berisi tujuh lelaki dewasa. Empat polisi datang karena kegaduhan, tetapi mereka tidak membuat keadaan menjadi lebih baik, mereka justru lebih buruk dari para penjahat yang berusaha menyentuhku."

Di dalam persidangan tertutup, aku bersaksi pada hakim atas apa yang telah aku alami selama dua hari di dalam penjara.

Semua orang yang mendengar ceritaku merasa tidak percaya, ‘Bagaimana mungkin seorang gadis yang baru menginjak kelas satu SMA bisa melawan sebelas pria dewasa.’ mungkin itu yang mereka pikirkan.

"Hentikan semua omong kosong ini!." Jaksa penuntut menolak mempercayai kesaksian ku. "Bagaimana mungkin seorang gadis biasa saja seperti dia mampu melakukan itu. Jika dia seorang pahlawan yang kembali dari dunia lain itu mungkin saja bisa terjadi. Tetapi ini bukanlah cerita novel!."

Tanpa dia sadari, jaksa penuntut umum telah mengungkap keadaan kusaat ini. Itu benar aku adalah seorang pahlawan yang baru saja kembali dari dunia lain.

Tetapi mana mungkin ada orang yang akan percaya akan hal itu.

Hakim hanya terdiam, dia menatap laporan medis milik tujuh tahanan dan empat polisi. Semua luka yang dialami oleh sebelas lelaki dewasa tersebut sangat parah, bahkan salah satu diantaranya hampir kehilangan nyawa.

Kakek telah melakukan banyak hal untuk mengamankan semua bukti itu, pekerjaan yang sangat menyulitkan karena lawannya mungkin adalah seluruh orang penting di negara ini.

Namun walaupun semua bukti itu telah terkumpul semua keputusan tetap saja ada pada hakim. Aku hanya bisa berharap jika orang tua berkumis tebal (hakim) itu adalah orang yang lurus.

Lagipula seandainya aku ditetapkan sebagai tersangka, tidak akan ada penjara yang bisa menahanku.

‘Aku tidak suka penjara. Saat masih menjadi utusan Dewa, aku memiliki banyak kenangan buruk dengan tempat seperti itu.’

Hakim mengalihkan perhatian padaku sesaat lalu kembali menatap berkas di depannya. Hingga akhir dia pun mengatakan keputusannya.

(End)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!