NovelToon NovelToon

THE UNWANTED QUEEN (RATU YANG TIDAK DIINGINKAN) OTHERLANDS THE SERIES #3

Chapter 01 - THE FUNERAL

PROLOGUE

Serenada Olya Williams.

Namaku adalah topik hangat di setiap sudut kota. Para wanita bergosip, para pria menatap dengan penasaran dan tentu saja para remaja dan anak-anak menyapa dengan gaya mereka masing-masing.

Sejak enam bulan yang lalu nama ‘ratu pengganti’ atau ‘ratu cadangan’ atau ratu ‘yang tidak diinginkan’ seperti berdengung di telinga-ku.

Kakak perempuan-ku bernama Hannasita Lydia Williams. Dia divonis tidak berumur panjang hanya satu tahun dari pengumuman pertunangannya dengan Raja Leonord Konstantin.

Sejak saat itu nama-ku menggantikan nama Lydia di setiap surat kabar dan televisi.

Orang-orang bertanya apa aku menyukai posisi ini ? Atau bahkan bersyukur menjadi Ratu menggantikan kakak-ku ?

Tentu saja aku tidak ingin mengambil posisi orang lain dengan cara seperti ini.

Aku mencintai kakak-ku Lydia.

Senyuman juga kehadirannya.

…………………

ONE

THE FUNERAL

“Nona Olya.” Pelayan pribadi-ku bernama Tinaa memanggil-ku yang sedang duduk diam satu jam di tempat tidur-ku yang berantakan.

Aku tidak menoleh dan tidak menjawab-nya.

Tinaa kemudian masuk dan berdiri di hadapan-ku. Dia membawa tudung hitam transparan yang harus aku pakai bersama dengan baju terusan berwarna hitam senada.Tinaa memasangkan tudung itu yang berhasil dia pasangkan dalam waktu yang singkat.

“Sepuluh menit lagi mobil akan menuju pemakaman. Seluruh keluarga besar dari Klaptongad akan datang.” Tinaa berkata dengan hati-hati. Dia tahu jika suasana hatiku berada di ujung jurang.

“Kerajaan?” Aku bertanya dengn pelan. Apa aku ingin mendengar apakah Leonord ada di sana atau tdak?

Tinaa terdiam sejenak. Lalu dia mengangguk. “Semua akan disana termasuk Raja Leonord.”

Aku menutup mata-ku dan berusaha bernafas seperti biasa. Hari ini adalah hari terakhir aku akan melihat Lydia. Sama seperti kehilangan Papa beberapa tahun lalu, kehilangan ini begitu menyakitkan. Kenapa kita harus mengalami ini dalam hidup kita. Kehilangan satu orang penting dalam hidup begitu memilukan. Dan sekarang aku harus kehilangan kakak-ku juga.

Dunia ini tidak menyukai jika sesorang memiliki hidup yang sempurna.

Aku berdiri dan Tinaa mengikuti-ku dari belakang. Kami melewati ruang tamu lantai dua yang kosong lalu menuruni tangga yang sepertinya terasa lebih panjang dan melelahkan dari sebelumnya.

Di lantai satu tepatnya di ruang tamu, nenek dan Mama-ku sedang berbicara. Wajah mereka terlihat lebih tegar daripada aku. Apakah itu karena mereka sudah melewati lebih banyak kepedihan dari pada aku ?

Nenek-ku bernama Rania dan Mama-ku Salma adalah contoh perempuan-perempuan Williams yang seharusnya. Hidup dalam ketenangan dan banyak melak ukan kegiatan sosial bertahun-tahun. Mereka tidak pernah melakukan tindakan yang mengecewakan.

“Olya.” Nenek Rania memanggil-ku dengan nada lega.

“Nenek.” Aku hanya menyapa dengan singkat.

“Apakah kamu sudah siap ?” Mama\-ku bertanya dengan nada sedih yang ditutupi.

“Ya.” Aku hanya mengangguk.

Keduanya berdiri dan berjalan mendampingi aku ke halaman depan tempat mobil berwarna merah tua sedang menunggu.

Beberapa tentara merah yang berasal dari Klaptongad terlihat berada di iringan mobil di depan dan di belakang kami.

Kami berempat bersama Tinaa masuk ke dalam mobil merah yang sangat panjang. Mobil ini memang hanya berada di Klaptongad dan sesekali kami pernah menggunakannya dalam aktivitas bersama keluarga kerajaan. Kursinya terdiri dari barisan menghadap ke jalan dan ada dua baris yang saling berhadapan. Aku dan Tinaa memilih kursi yang saling berhadapan itu.

“Raja Leonord akan berada di sana.” Ujar Mama pada\-ku setelah mobil berjalan sekitar lima nenit di jalanan sepi Elestor.

“Kami seharusnya tidak bertemu di pemakaman.” Ucap\-ku dengan ketus.

“Olya.” Nenek\-ku berusaha menenangkan\-ku. “Dia akan menjadi suami\-mu dua bulan lagi.”

Aku menutup mata dan berusaha mengacuhkan kalimat itu. Pernikahan di saat suasana duka adalah hal yang tidak masuk akal.

Hanya karena keluarga kerajaan harus mengikuti semua peraturan dan ramalan untuk mereka bukan berarti mereka harus mengabaikan perasaan orang lain.

“Istrinya sedang berada di peti mati, nenek.” Aku mengerang. “Tidak pantas untuk membicarakan pernikahan di saat seperti ini.”

“Mereka belum menikah.” Mama menyela.

Aku memalingkan wajah\-ku lurus ke depan dan menatap Tinaa yang bersimpati untuk\-ku.

Raja Leonord berusia dua tahun lebih tua dari\-ku. Sejak kecil kami bermain bersama dengan semua keluarga bangsawan dan sesekali Leonord akan datang dan ikut lomba pacuan kuda atau memanah. Jujur saja aku merasa sangat iri pada kakak\-ku karena dia akan menikah dengan Leonord. Laki\-laki yang aku kagumi sejak dulu. Tapi perasaan itu aku kubur sejak tahu kalau pertunangan dan masa depan mereka telah dipersiapkan bersama.

Aku menolak untuk berasa di ruangan yang sama saat ada pertemuan karena aku akan melihat betapa saling mencintainya mereka satu sama lain. Dan jika aku berada di ruangan yang sama maka aku akan menghindari memperhatikan mereka.

“Ini adalah hari pemakaman kakak.” Aku berusaha berkata dengan pelan. “Lebih baik kita fokus pada hal ini. Aku ingin menghantar kakak\-ku dengan sebaik mungkin.”

Tidak ada siapapun yang menjawab dan bunyi mesin mobil mentertai kami hingga mencapai pemakaman yang sudah dipenuhi dengan lautan orang berwarna hitam pekat.

Sesampai di satu\-satunya gedung duka yang ada di Elestor, aku dan yang lainnya di sambut dengan puluhan anggota tentara merah – wafren dan waflo – yang membentuk barisan di depan ratusan warga elestor yang sebagian kami kenal dan sebagian lagi mungkin hanya ingin menyaksikan kehadiran kami. Atau Leonord tentu saja.

Tatapan mereka bermacam\-macam. Aku sama sekali tidak peduli dengan tatapan mereka. Jujur saja, hari ini tubuh\-ku terasa sangat letih dan tidak ada energi untuk bahkan berdiri lama. Saat lima tahun yang lalu Papa\-ku meninggal tubuh\-ku merasakan hal yang sama.

Aku tidak tahu apa yang orang lain rasakan saat merasa kehilangan orang terdekat mereka. Karena aku merasakan kehampaan. Seperti sebagian jiwa\-ku pergi dari dunia ini dan entah kapan bisa kembali lagi. Orang yang pergi meninggalkan kita tidak akan pernah kembali lagi. Aku percaya itu. Tapi ketika semua orang meminta\-ku untuk menerima kehilangan itu justru aku tidak bisa menerimanya. Aku hanya bisa melakukan satu hal. Membiasakan diri.

“Olya.” Nenek\-ku menggenggam tangan\-ku dan berjalan bersama\-ku. Kami melewati belasan suara jepretan kamera berukuran besar yang memantulkan cahaya pada objek yang dia potret.

Tinaa dan Mama\-ku berada di belakang kami. Mereka juga menundukkan kepala mereka untuk menghindari foto\-foto yang akan muncul di surat kabar nasional.

Kami berhasil masuk ke aula berukuran oval di mana atap berbahaan kaca memantulkan cahaya terang tepat ke tengah aula. Di tengah aula itu rangkaian barisan bunga matahari yang sangat terlihat cantik berdiri dan di lingkaran bundar sekaligus mengelilingi peti berwarna putih yang belum ditutup.

Tempat ini diperuntukkan sebagai kediaman terakhir bagi keluarga bangsawan dan juga kerajaan. Status Lydia sebagai calon ratu membuat dirinya di makamkan di tempat ini.

Aku melepaskan genggaman nenek dan berjalan mendekati peti. Kami tidak diijinkan untuk menyentuh peti itu meskipun ini adalah hari terakhir untuk kami melihat dan menyentuh Lydia. Itu peraturan dari kerajaan yang harus kami taati. Peraturan yang tidak manusiawi sama sekali.

Aku melihat wajah Lydia. Hidungnya yang tinggi, bibirnya yang diberikan perona bibir berwarna merah menyala, dan rambutnya yang berwarna cokelat yang bersinar di bawah matahari.

Dia akan menjadi ratu yang sempurna....

Aku sangat yakin itu......

Semua menyukainya......

Dia juga adalah seorang kakak yang sempurnya.....

Maafkan aku kak, maafkan semua perkataan dan perbuatan yang pernah aku perbuat. Maafkan semua air mata yang pernah aku sebabkan. Maafkan aku yang hanya bisa meminta maaf saat bahkan mata\-mu tidak bisa terbuka lagi.......

Seseorang memeluk\-ku dari samping. Mama\-ku ikut meneteskan air mata. Mama\-ku adalah wanita paling tegar yang pernah aku temui. Kehilangan Papanya saat masih kecil, kehilangan suami saat masih dia butuhkan, dan bahkan sekarang kehilangan putri sulungnya yang bisa menjadi ratu negeri ini. Dan hanya aku yang tersisa. Aku yang tidak diinginkan semua orang.....

“Nona, Raja Leonord datang.” Tinaa berbisik kepada\-ku dan dengan cepat berdiri di tepi ruangan agar tidak menghalangi rombongan kerajaan yang datang.

Aku tidak bergerak dari tempat\-ku. Aku tidak akan pergi dari posisi\-ku. Tempat di mana aku bisa melihat kakak\-ku dengan lebih jelas. Aku bahkan tidak akan bergerak meskipun Leonord yang meminta\-ku. Tidak akan.

“Olya,” Mama\-ku meminta\-ku untuk berada di sisi kanan agar tidak menghalangi kehadiran Leonord.

Aku tidak bergeming sama sekali. Lebih tepatnya aku mengabaikan suara permintaan Mama\-ku itu. Biarkan saja Leonord berdoa tanpa melihat dengan jelas wajah kakak\-ku. Dia tidak pantas dan tidak berhak untuk berada di sini.

Dia adalah salah satu faktor betapa depresinya hidup kakak\-ku selama ini. Tatapan semua orang, ekspektasi semua orang dan bahkan hubungannya dengan Ibu suri agung Gina – Ibu Leonord – menjadi bahan pembicaraan Lydia dan Mama\-ku beberapa bulan terakhir. Aku hanya bisa menguping mendengar hal itu dengan tidak sengaja dari balik pintu kamar kakak\-ku yang disertai tangisan tanpa henti dari mata indahnya.

“Tidak apa\-apa.” Suara Leonord yang berat khas dirinya terdengar di sisi kiri di mana aku berdiri.

Aku menggenggam erat kedua tangan\-ku. Berusaha untuk tidak menoleh ke wajah Raja yang baru saja naik tahta satu tahun sejak meninggalnya Papa\-nya. Raja Khan.

Aku melihat dari sudut mata\-ku bahwa wafren, waflo, dan tentara merah tertinggi di negeri ini – wagon – berdiri berjajaran sesuai warna baju yang mereka kenakan dan membentuk lingkaran sebagai simbol pernghormatan.

Tiga orang pemimpin doa yang berasal dari keluarga kerajaan memimpin doa yang akan berjalan selama tiga puluh menit itu. Tiga orang tersebut bergantian untuk menghanturkan doa dan membacakan kata\-kata mulia kepada Lydia.

Aku sama sekali tidak mendengar doa itu. Telinga\-ku seperti menolak untuk mendengar doa itu. Doa formal yang selalu diucapkan kepada semua orang yang akan meninggalkan dunia ini.

Doa yang bahkan tidak ada ketulusan di dalamnya.

Mereka bahkan tidak mengenal Lydia dengan baik. Sementara aku yang mengenal Lydia tidak diperbolehkan untuk menyampaikan kata\-kata terakhir. Hanya Mama\-ku yang diperbolehkan.

Bisa saja ini keputusan Leonord. Dia tidak ingin aku mengucapkan hal\-hal yang akan mengguncang negeri ini. Tentu saja bibir\-ku tidak akan selembut Lydia. Kata\-kata mengerikan dari mulut\-ku akan membuat orang membenci\-ku.

“Lydia. Putri sulung\-ku,” Mama\-ku menyampaikan melalui podium yang berada di seberang tempat aku berdiri. Sesekali dia menyeka mata dan pipinya yang basah. “Aku hanya bisa berpesan bahwa, tidur\-lah dengan tenang putri\-ku yang cantik. Hiduplah dengan tenang dan bahagia di sana.”

“Maafkan kami tidak berada di sana bersama\-mu.”

Mendengar kalimat terakhir membuat air mata\-ku menetes tanpa aku sadari hingga menyentuh dagu\-ku.

“Terima kasih telah menjadi putri, kakak dan juga perempuan yang kuat selama hidup\-mu. Kami mencintai\-mu. Selalu dan selamanya.”

Selalu dan selamanya....

“Olya.” Leonord menyentuh-ku. Menyentuh lengan-ku.

Aku tidak menjawab-nya.

“Maafkan Mama-ku tidak bisa datang hari ini. Dia tidak begitu sehat selama tiga hari ini.” Leonord berkata lembut dengan suara beratnya itu.

Doa telah selesai lima belas menit yang lalu dan hanya ada aku dan Leonord di dalam aula. Dia menemani-ku dan meminta semua orang keluar dari ruangan.

Leonord mendekat ke telinga kiri-ku dan berkata dengan suara pelan. “Jangan lupa menjaga kesehatan-mu, Olya. Aku akan menemui-mu saat semuanya lebih baik.” Dia membelai lengan-ku sebelum akhirnya berjalan keluar meninggalkan aku sendiri.

Leonord pintar. Dia tidak mencoba berkata lebih banyak. Dia tahu jika temperamen-ku sangat buruk di banding Lydia. Tentu saja dengan Lydia semuanya akan lebih baik untuknya. Lydia si gadis tenang, lembut dan penyayang sementara aku....

Dia akan menganggap-ku mimpi buruk.

Peti Lydia telah ditutup. Aku sekarang hanya melihat ukiran emas di setiap tepi peti itu. Hanya bisa menatap mereka dengan tubuh yang terasa remuk. Aku telah kehilangan Papa. Dan dunia ini bahkan dengan teganya mengambil kakak-ku kali ini. Siapa selanjutnya???

Bisa saja aku yang pergi...

Aku hanya berfikir apa yang terjadi jika aku juga pergi dan di mana aku akan berada setelahnya. Apakah aku akan bertemu dengan Papa dan Lydia? Atau aku justru berada di tempat di mana mereka tidak ada? Kematian seperti tiket satu arah. Tidak bisa ada tiket kembali ke dunia ini dan menceritakan apa yang mereka rasakan di sana.

Tapi pertanyaan itu tetap mengusikku....

Apa yang akan terjadi jika aku memang pergi dari dunia ini....

Malam ini rumah kami di penuhi dengan keluarga dan teman terdekat yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Aku mendengar suara-suara mereka bahkan saat berada di dalam kamar-ku yang berada di lantai atas. Aku bisa membayangkan kalimat-kalimat yang akan mereka ucapkan.

Turut berduka Ny. Williams.

Turut berduka untuk kepergian putri anda.

Lydia adalah gadis muda yang sangat baik hati.

Dia terlalu cepat dipanggil oleh dewa matahari.

Kuambil selimut dan menutupi seluruh tubuh-ku. Aku menolak untuk turun dan menyapa orang-orang yang hanya memasang muka simpatik mereka tanpa terdengar tulus sedikipun. Mereka hanya bersikap baik karena nama belakang kami dan juga hubungan kami dengan kerajaan.

Ketukan dua kali itu terdengar lembut dan aku tau bahwa nenek-ku pasti adalah orang yang akan mendatangi-ku di saat kondisi seperti ini. Meskipun tentu saja selama ini Lydia adalah favorit semua orang dalam keluarga, setidaknya nenek cukup adil dalam berbagi perhatiannya.

“Olya.” Nenek menyentuh selimut\-ku dan duduk dekat dengan aku berbaring.

Aku kembali diam. Aku benci menjawab semua kegelisahan mereka. Apa mereka akan membicarakan pernikahan lagi? Tidakkah satupun dari mereka mengerti bahwa hari ini adalah hari yang menyakitkan dalam hidup\-ku setelah kematian Papa? Mereka tidak akan pernah kembali lagi bagaimanapun aku memohon pada langit di luar sana. Bahkan dewa matahari sekalipun tidak akan pernah bisa membawa mereka kembali.

Aku merindukan senyuman Papa.

Merindukan kebersamaan kami....

Aku bahkan sudah merindukan tatapan mata Lydia yang sempurna itu....

“Kamu harus makan malam, cucu\-ku.” Nenek terdengar sangat rapuh dan menyesal. “Kamu harus tegar dan kuat.”

Kenapa aku harus kuat? Kenapa aku harus tegar? Aku kehilangan kakak\-ku untuk selamanya, dan aku harus tersenyum agar semua terlihat baik\-baik saja?

“Kerajaan mengirimkan puluhan menu makanan. Banyak di antara nya makanan kesukaan\-mu.” Nenek berkata dengan lebih bersemangat.

Selimut\-ku terangkat perlahan dan nenek menatap\-ku dengan iba. Kantung matanya yang besar menunjukkan banyak air mata yang dia keluarkan hari ini dan hari\-hari sebelumnya. Nenek memakai gaun berlengan panjang berwarna hitam. Kami keluarga Williams memiliki tradisi untuk menggunakan gaun putih atau pakaian berwarna putih di malam hari pemakaman.

“Dia tidak ada di sini bukan?” Aku bertanya dengan nada sinis yang tidak kututupi.

Nenek menggelengkan kepala. “Tidak. Yang Mulia Leonord tidak ada di sini. Dia kembali ke Klaptongad setelah pemakaman. Dia akan memberi\-mu waktu.”

Aku menggigit bibir-ku begitu keras hingga merasakan darah dilidah-ku. Aku membenci kehadirannya hari ini. Dia mencintai kakak-ku bukan? Bagaimana reaksinya hari ini begitu dingin padanya di acara pemakaman? Apakah aku melewatkan air mata di wajahnya? Dia seharusnya menangis bukan?

“Yang Mulia memerintahkan wagon untuk berjaga\-jaga di kediaman kita selama kamu masih di sini.”

Di sini? Pemilihan kata yang buruk untuk kondisi hati\-ku sekarang.

“Bilang padanya aku tidak ingin melihat para wagon di sini.”

Nenek menatap\-ku dengan wajah kaku. Dia menahan amarahnya. Aku tahu itu.

“Bersikap dengan lebih berkepala dingin, Olya.” Nenek memberi peringatan. “Kita sudah bersedih beberapa minggu terakhir ini. Kita kehilangan Lydia yang amat kita sayangi tapi bukan berarti kamu melepaskan dan menghempaskan semua yang berada di samping\-mu.”

“Menghempaskan?” Suara\-ku lebih besar dari sebelumnya.

“Nenek tahu bagaimana diri\-mu, Olya. Salah satu sifat\-mu adalah bersikap buruk kepada semua orang di saat kondisi\-mu tidak stabil dalam waktu yang lama. Berapa lama kamu akan mempertahankan sikap\-mu ini? Satu bulan dari sekarang?”

Aku menatap nenek tanpa berkedip.

“Atau dua bulan pada saat kamu di bawa ke Klaptongard?”

“Dibawa?! Apa aku adalah barang antik?” Ucapku dengan nada tajam.

“Mama\-mu meminta\-ku memberi waktu pada\-mu. Tapi aku tahu bahwa memberi waktu pada\-mu adalah kesalahan. Bisa saja kamu melakukan hal di luar batas kewajaran dan itu tidak bisa nenek biarkan.”

“Jadi,” Aku tersenyum sinis sambil mengambil nafas panjang. “Bagi nenek nama keluarga Williams lebih penting dari pada kebahagiaan\-ku?”

Nenek menutup matanya dan memalingkan wajahnya ke arah kanannya. “Kebahagiaan kamu penting bagi keluarga ini Olya.” Nenek berbalik lagi dan mengambil kedua tangan\-ku. “Tapi ada hal yang harus kita lakukan sebagai seorang Williams. Kita harus menjaga nama baik keluarga kita. Kita tidak ingin tragedi yang terjadi pada Ratu Victoria terulang lagi.”

Ratu Victoria.

Ratu yang begitu pemberani bagi diri\-ku.

Ratu yang mencintai pria lain.

“Nenek,” Aku mencoba menenangkan da mengubah nada bicara\-ku. “Tidak pantas membicarakan ini di malam terakhir Lydia. Aku perlu banyak waktu memikirkan semua ini. Aku berjanji pada\-mu aku tidak akan melakukan hal yang membahayakan keluarga ini.”

Nenek hanya tersenyum mendengar kata membahayakan keluarga ini dari mulut\-ku. Dia sepertinya cukup puas saat ini. Meskipun aku tahu nenek tidak akan mempercayai diri\-ku sepenuhnya. Wajar saja, aku memang seorang pemberontak.

“Jangan lupa mencuci wajah\-mu sebelum tidur. Besok banyak hal yang ingin kita bicarakan.” Nenek mencium kening\-ku dan berjalan keluar dan turun kembali ke lantai dasar.

Sebelum tidur, Tinaa masuk ke kamar\-ku dan memberi\-ku teh bunga matahari agar aku bisa tidur dengan lebih pulas. Tinaa diberikan perintah oleh Mama\-ku untuk menemani\-ku hingga tidur. Entah apa yang ada di benak\-nya. Apakah ingin aku tidak sendirian atau memastikan aku tidak melakukan hal gila?


 “Sampai jam berapa kamu akan duduk di sana, Tinaa?” Aku berbaring menyamping dan melihat Tinaa yang duduk di sofa dekat tempat tidur-ku. Di tangannya dia sedang membuka surat kabar yang paling aku benci. Misteri Elestor.

Tinaa menyadari saat aku menatap dengan kebencian pada halaman yang dia pegang itu. Dia menutup dan melipatnya dan menaruh di bawah bantal di sampingnya.

“Aku akan berada di sini sampai nona tidur.” Tinaa berkata dengan nada ceria. Dia selalu berusaha tetap bahagia di depan\-ku. Selalu.

“Tidak perlu.”

“Aku lebih suka di sini daripada di bawah sana.” Tinaa menggerutu. “Para wagon membuat\-ku takut.”

Wagon. Tentara berjubah merah tua dari topi hingga sepatu bots nya. Tentara yang hanya melindungi keluarga kerajaan. Dalam kasus\-ku calon anggota keluarga kerajaan.

“Mereka tidak mengucapkan satu kata\-pun. Mereka seperti mayat hidup.” Tinaa berceloteh dengan gayanya yang khas.

“Lalu?”

“Aku tidak bisa membayangkan saat kita berpergian selama di Elestor dengan mereka.”

“Aku tidak akan keluar dari rumah.”

Tinaa menyipitkan matanya dengan tidak percaya. “Aku yakin nona akan banyak melarikan diri.”

Tinaa adalah saksi atas semua aksi melarikan diri\-ku. Jadi tentu saja dia adalah orang pertama yang akan mencurigai semua tingkah\-ku.

“Kamu begitu menakutkan Tinaa.”

“Nona yang membuat\-ku takut.”

“Benarkah?”

“Ya. Terlebih sekarang ini.”

Kenapa semua orang merasa bahwa aku akan meledakkan diri\-ku?

“Tenang saja. Pastikan saja gaun\-ku tersusun dengan rapi di lemari. Maka aku akan baik\-baik saja.”

Tinaa tertawa kecil mendengar tentang itu.

Tinaa tahu bagaimana memulai percakapan kecil dengan\-ku. Salah satu keahlian dirinya yang sudah bersama\-ku selama sepuluh tahun ini. Umurnya yang lebih muda lima tahun dari\-ku – aku berumur tiga puluh tahun – bahkan tetapi terkadang dia jauh lebih dewasa dalam bertindak.

Aku mencoba menutup mata dan memperhatikan nafas\-ku. Perlahan tapi pasti mata\-ku yang lelah akhirnya membuat aku menyerah untuk terjaga.

Chapter 02 - Queen’s Lesson

TWO

QUEEN’S LESSON

“Nona Williams.” Magda memanggil-ku untuk pelajaran pagi ini. Ini adalah minggu keempat di mana aku harus melanjutkan pelajaran-pelajaran yang membosankan ini.

“Magda.” Aku memanggilnya dengan sebutan seperti itu karena status-ku yang berada di atasnya meskipun Magda adalah wanita berumur lima puluh tahun dengan rambut yang terlihat beruban.

“Pagi ini adalah pelajaran yang bisa kita lakukan di taman Konstantin.” Magda duduk di hadapan-ku.

Kami sekarang berada di ruang belajar yang di penuhi dengan belasan pelayan yang berdiri tanpa bergerak setiap sisi dinding dan pintu. Mereka semua berasal dari Kastil Utara. Kiriman dari Leonord.

“Bukan-kah taman itu tidak pernah di buka untuk umum?” Aku menutup buku yang sedang aku baca sejak satu jam lalu. Karya Nomoti Tenmisah. Penulis yang paling aku gemari sejak kecil.

“Anda bukan orang umum, Nona Williams.” Magda menjawab sarkastis.

Aku hanya memutar bola mata-ku karena jawaban itu. Aku sangat membenci status-ku sebagai calon ratu negeri ini. Entah sudah berapa ratus kali aku mengatakan ini dibenakku.

“Apa yang akan kita lakukan di sana?” Aku teringat pernah mendengar dari Papa bahwa taman itu adalah tempat di mana Raja Aarush dan Ratu Victoria bertemu pertama kali. Meskipun sepertinya itu bukan tempat yang cocok untuk menjadi tempat di mana aku harus menghabiskan satu hari yang melelahkan ini.

“Membaca beberapa buku dan menguji semua pelajaran kita minggu lalu di sana.”

“Kita bisa melakukannya di sini.” Ucap-ku malas.

Magda hanya diam. Dia sangat sabar menghadapi-ku. Tentu saja dia harus sabar. Karena bisa saja dia menjadi orang ke lima belas yang pergi dari rumah-ku. Aku sudah memulangkan empat belas asisten pengajar minggu lalu dan aku tidak mendengar keluhan apapun dari Klaptongad. Sepertinya mereka tidak perduli apapun yang aku lakukan.

“Ada beberapa hal yang sebaiknya saya sampaikan di sana. Tolong anda mengerti Nona Williams.” Magda berbicara dengan mencondongkan tubuhnya ke arah-ku. Wajahnya sedikit memohon.

Aku tidak membenci wanita ini. Hanya saja dia akan bersama-ku selama dua bulan dan itu sangat aku melelahkan pikiran-ku. Aku benci berada dekat dengan orang yang asing dan harus mengikuti perkataannya.

“Baiklah.” Akhirnya aku mengalah. Aku tidak ingin terlalu menyusahkan pekerjaannya.

“Mobil akan datang sepuluh menit lagi. Tinaa telah menyiapkan pakaian untuk anda.” Magda kemudian pergi dan meminta semua pelayan menemani-ku hingga kamar.

Semoga mereka semua tidak ikut ke sana. Mereka hanya akan menjadi patung di sana.

Taman Konstantin berada di timur Elestor. Perjalanan kami sama sekali tidak terdapat hambatan karena kepolisian setempat dan para waflo telah berada di titik-titik tertentu menjaga keamanan.

Sesampainya di sana taman yang sudah tidak pernah dijadikan tempat untuk warga biasa itu tampak masih terawat. Sebuah patung pahatan menyambut kami saat menaiki tangga pintu masuk. Kami melewati sebuah kolam kecil yang dipenuhi dengan ikan-ikan berwarna emas, kuning dan putih. Mereka seperti menari-nari dari dalam air saat kami melewati jembatan kecil untuk melintasi kolam jernih itu.

Kemudian kami memasuki sebuah bangunan kecil yang menjadi terminal sekoci-sekoci yang akan membawa kami ke taman Konstatin di tengah danau.

Magda memutuskan hanya membaca lima pelayan untuk menemani kami di sana. Ada sepuluh waglo yang ikut menyertai kami. Kehadiran mereka mulai membuat-ku terbiasa.

Kami mulai mengisi satu per satu sekoci itu. Hingga akhirnya tiga sekoci dengan ukiran keluarga Konstatin mengapung dengan pelan melewati danau berwarna hijau itu.

Dari kejauhan taman Konstatin itu adalah sebuah kastil tua yang sudah lama tanpa penghuni. Kastil tua yang menjadi saksi bisu pertemuan antara...

“Apa anda baik-baik saja nona?” Magda menyentuh tangan-ku. “Sebentar lagi kita akan sampai.”

“Aku baik-baik saja.” Aku hanya bisa melemparkan senyuman palsu.

Para pengemudi sekoci-sekoci kami berhasil mendaratkan kami ke dermaga yang berada di sisi kiri pulau kastil itu. Di sana lebih banyak lagi waglo sedang bertugas. Mereka mengamati setiap gerak dan langkah kaki-ku.

“Kenapa banyak sekali waglo yang berada di sini?” Jantung-ku berdegup kencang.

Magda berjalan lebih mendekat ke arah aku berdiri. “Banyak ancaman yang mengarah pada Yang Mulia Leonord akhir-akhir ini. Kami hanya ingin berjaga-jaga.”

Aku merasa nafas-ku terhenti sesaat. Ancaman apa yang dimaksud? Apa Leonord dalam bahaya? Aku sama sekali tidak membaca surat kabar selama satu minggu. Apakah ada yang di sembunyikan oleh mereka?

“Ancaman apa?”Aku berharap Magda tidak menutupi apapun.

“Maafkan aku.” Magda menggelengkan kepalanya. Sudah kuduga dia akan berada di sisi Leonord.

Aku meninggalkannya dan berjalan melewati puluhan waglo dan menaiki anak tangga menuju pintu masuk kastil. Aku tetap saja memperhatikan bagaimana mata mereka yang cukup cemas saat aku menaiki tangga. Apa mereka berfikir aku akan jatuh dan terluka? Meskipun aku penasaran apa yang akan di lakukan Leonord pada mereka jika itu terjadi, aku tidak akan melakukan aksi bodoh yang tidak penting disini.

“Mari ikuti saya.” Magda meminta-ku untuk melewati lorong-lorong yang akan membawa kami ke suatu tempat. Setelah melewati lorong itu aku melihat sebuah hall besar yang berada di tengah-tengah bangunan persegi empat itu.

Mereka menuju suatu taman di belakang kastil. Untuk mencapai taman itu mereka harus melewati tangga dengan barisan bunga dengan konsep terasering yang cukup tinggi.

“Baiklah kita akan menaiki tangga terasering ini dan anda harus menyebutkan setiap bunga yang kita lewati.” Magda berhenti dan meminta-ku untuk mendahuluinya.

Sebuah ujian yang menyebalkan. Bagaimana bisa masalah mengenai bunga akan diperdebatkan untuk seorang ratu.

“Itu bunga Lolipop.” Aku menunjuk bunga yang berbentuk seperti pisang berwarna kuning dengan daun lebat di sekelilingnya.

“Bagus.” Magda terdengar puas.

Aku hanya menggelengkan kepala.

“Itu Rafflesia yang melegenda.” Aku menujuk ke arah kanan tubuh-ku dan berusaha menahan aroma busuk dari bunga berukuran besar itu.

“Tenang saja kita tidak akan menemukan mereka di Klaptongad nanti.” Magda menenangkan-ku seolah-olah bau itu tidak mengganggunya.

“Dan itu Bunga Passion.” Aku menyebutkan bunga di barisan paling atas sekaligus bunga terakhir dari rangkaian bunga dengan bentuk-bentuk yang begitu unik dan ‘aneh’ hingga bisa muncul di tidur-ku nanti malam.

Kami sampai di puncak di mana area paling selatan dari kastil ini. Kami sampai di ‘ladang’ bunga matahari terbaik yang pernah aku lihat. Di sana para pelayan wanita dengan gaun anggun berwarna kuning sedang menata, membersihkan dan merawat bunga-bunga berukuran raksasa itu.

Sementara kami melewati mereka untuk mencapai jalan setapak yang dihiasi pergola lengkung yang dipenuhi rumput dan bunga matahari mungil di setiap sisinya. Aku menyadari pergola-pergola lengkung ini membawa kami ke sebuah gazebo berbentuk seperti kereta kaca yang dMamaat lima kali lebih besar dari kereta kaca pada umumnya. Pilar dari tembaga kuning dan pagar-pagar metal membuat aku cukup terkesan.

Yang cukup unik terdapat air terjun miniatur yang mengalirkan airnya kesebuah kolam dengan air jernih yang mengelilingi lantai yang berada di tengah-tengah ruangan. Lantai di tengah ruangan itu berdiri lebih tinggi di banding yang lain hingga terlihat seperti sebuah pulau yang berada di tengah sebuah danau air.

Kami berjalan di jembatan batu dan duduk di meja yang ada di sana. Kursi-kursi yang ada sangat empuk sehingga membuat aku bisa melepaskan rasa letih sejak tadi.

Meja kami sudah diisi dengan banyak makanan-makanan yang bisa membuat-ku kenyang selama satu bulan. Saat aku melihat Steak-steak daging di hadapan-ku, aku kembali teringat pada Lydia. Itu adalah makanan kesukaannya.

“Yang Mulia Leonord meminta-ku membawa nona ke sini untuk menghirup udara segar.” Magda menuangkan teh hangat di cangkir porselen putih milik-ku. “Yang Mulia sangat khawatir.”

“Benarkah begitu?” Ucapku datar.

“Tentu saja nona.” Magda menjawab tanpa ragu.

“Sebenarnya, Yang Mulia ingin mengunjungi nona hari ini.” Magda berkata dengan suara lebih kecil.

Jantung-ku berdegup kencang. Aku masih belum bisa bertemu dengannya. Aku tidak tahu harus berkata, bersikap dan berperilaku seperti apa di depannya. Setiap melihat wajahnya di setiap dinding sudut kota, rasa bersalah-ku kembali muncul.

“Tapi, sepertinya dia menunda hal itu karena mempertimbangkan banyak hal.” Magda melanjutkan lagi.

Aku akan menebaknya dalam kepala-ku.

Pertama. Bisa saja dia sibuk dengan urusan di Hutan Sentata. Banyak rumor mengenai pembantaian misterius yang membuat Kastik Utara cemas.

Kedua. Rumor yang Tinaa katakan satu minggu yang lalu – meskipun aku sudah memintanya untuk tutup mulut – mengenai perubahan sistem keamanan di Mamakota.

Dan ketiga yang bisa saja cukup membuat kepalanya membludak adalah mengenai aku dan dia. Ratu pilihan kedua. Bisa saja dia berusaha menenangkan kabinet dan Mamanya yang konservatif itu mengenai pernikahan kami. Mamanya tidak menentang pernikahan ini tapi bukan berarti dia menerima-ku sebagai pilihan utama bagi putra tunggalnya.

Lalu satu jam berlalu di mana kami duduk di sana dengan Magda menguji semua pengetahuan mengenai sejarah negara, politik dan pendidikan. Aku dengan sengaja salah memberikan jawaban pada beberapa pertanyaan. Tidak ada gunanya memberikan jawaban benar bukan? Aku bahkan tidak akan menikmati pernikahan ini.

“Nona,” Magda menutup buku panduannya dan memperbaiki postur duduknya. Dengan sinar matahari yang begitu terik, aku bisa melihat garis-garis penuaan di wajah dan pelipis matanya. Aku sedikit merasa bersalah.

“Bulan depan pernikahan anda akan diadakan di katedral di selatan Kastil Utara. Dimana nona akan berjanji menjadi pendamping Yang Mulia. Aku di tugaskan untuk memastikan selama nona menjadi ratu negeri ini, tidak ada kesalahan yang terjadi.”

“Kesalahan itu normal, kita manusia.”

“Kesalahan yang di sengaja bukan hal normal.”

Aku naik pitam. Magda cukup berani mengatakan itu. Apakah dia utusan Leonord atau MamaSuri? Keduanya sama-sama mimpi buruk.

“Aku sudah pernah bertemu ratu yang berasal dari keluarga Williams sebelumnya.” Magda tidak menyebutkan siapa ratu yang dia maksud. “Tentunya kondisi nona cukup berbeda dengan yang lainnya. Tapi satu hal yang pasti.”

Aku menunggu sambil menatap mata Magda yang seperti memohon pada-ku dengan sepenuh hati.

“Raja yang duduk di setiap ratu Williams sejak kerajaan berdiri, selalu mencintai ratu-ratu mereka. Cinta mereka tidak pernah pudar bahkan oleh waktu.”

Tapi Leonord dan Lydia adalah cinta yang hanya dipisahkan dengan maut? Bagaimana bisa aku berada di bayang-bayang kesempurnaan itu? Bagaimana Magda bisa berkata seperti itu? Seakan-akan dia tahu hati Leonord...

Seorang waglo menghampiri kami. Sesuatu yang penting sangat terlihat jelas di wajahnya yang cemas itu.

“Maafkan aku Yang Mulia,” waglo yang lebih muda dari-ku itu menyapa dengan sopan. Memanggilnya dengan ‘yang mulia’ meskipun aku belum resmi menjadi ratu-nya “Tapi kita harus kembali ke kediaman anda secepatnya.”

“Kenapa?” Aku berkata kesal. Aku masih ingin berkeliling lagi. Masih ada area yang aku ingin kunjungi di sini.

Waglo itu terlihat menimbang-nimbang untuk mengatakan hal yang mengusiknya. Tapi akhirnya dia menjawab pertanyaan-ku.

“Ada pembunuhan yang terjadi di Balai Kota. Sekelompok orang yang belum di kenal menerobos masuk tempat itu. Kami tidak ingin mengambil resiko.”

Magda menutup mulutnya dengan mimik muka terkejut. Matanya berkaca-kaca. Sesuai usianya, sepertinya dia tidak sanggup mendengar hal-hal brutal yang menjadi makanan sehari-hari di politik kotor negeri ini. Aku tidak terkejut jika ini terjadi di Klaptongad tapi ini adalah Elestor. Setelah menjadi tempat saksi bisu tragedi dua ratus tahun yang lalu pada era Ratu Victoria, Elestor selalu berada dalam suasana damai dan tenang.

“Ada informasi penting lainnya bagi Yang Mulia.”

“Apa?” Aku menunggu sambil menahan nafas-ku.

“Minggu depan Yang Mulia akan langsung berangkat ke Klaptongad. Kita harus mempercepat semua urusan di sini.”

Aku masih menahan nafas-ku tanpa melepaskannya keluar. Mimpi buruk itu akan menjadi kenyataan buruk lebih cepat dari seharusnya. Pertemuan-ku dengan Leonord tidak bisa ditunda seperti keinginan-ku.

Tinaa membiarkan aku sendiri di kamar-ku sehingga bisa tidur lebih cepat dari biasanya. Tirai-tirai aku ikat dengan kencang agar matahari tidak bisa mengganggu tidur malam-ku. Tapi aku masih belum mematikan lampu-lampu di kamar-ku. Sepertinya aku terlalu takut jika semuanya menjadi gelap.

Aku melewatkan makan malam dan sesi belajar terakhir bersama Magda. Alasan-ku adalah tidak enak badan. Magda yang aku yakin tidak percaya pada alasan-ku akhirnya hanya mengangguk. Sepertinya dia memahami suasana hati-ku yang buruk saat melintasi balai kota tadi. Bercak darah di mana-mana dan kepolisian yang harus menghentikan para warga yang penasaran dan berusaha masuk ke gedung secara paksa.

Aku menutup seluruh tubuh-ku dengan selimut dan hanya menyisakan kepala-ku yang masih melihat langit-langit. Aku menatap satu per satu perabotan di kamarku yang menjadi tempat aku menangis dan tertawa selama ini.

Ada piano putih besar di sebelah kiri dengan balkon terbuka di belakangnya – Lydia suka bermain piano untuk-ku - dimana aku tidak bisa bermain sama sekali, di sebelah kanan ada meja-meja dan sofa teman aku minum teh di sore hari dan bersenda gurau dengan teman-teman-ku di klub buku ‘Isla Kastia’, dan tepat di sebelah kanan ranjang-ku terdapat pintu menuju ruangan tempat pakaian-pakaian-ku sehari-hari. Aku bisa melihat dari sini – kare pintu nya terbuka sedikit – ada beberapa gaun berwarna nila, warna kegemaran-ku.

Aku akan sangat merindukan mereka semua. Meskipun mereka benda mati, tapi mereka menemani-ku sepanjang hari di saat aku marah ataupun terluka. Setidaknya aku bisa berlindung di sini tanpa harus memikirkan orang lain.

Satu hal yang menakutkan dengan pernikahan adalah kamu takut akan masa depan. Manusia itu adalah mahluk unik. Manusia bisa mengejutkan siapapun dengan perilaku mereka. Aku bahkan takut pada diri-ku sendiri. Apa yang akan aku lakukan jika aku dihadapkan dengan masalah-masalah yang begitu rumit.

Aku takut aku akan bersikap gegabah dan aku hanya akan membawa bencana.

Konstantin bukan keluarga yang mudah untuk dihadapi. Mereka akan melindungi keluarga mereka apapun caranya. Tapi aku juga akan melakukan hal yang sama. Demi nama baik keluarga ini, demi kelangsungan keturunan masa depan Williams, aku harus melakukan ini.

Ya, mungkin orang mengatakan ini bukan ketulusan. Aku melakukan ini dengan terpaksa.

Aku bisa mengatakan, bisa iya bisa juga tidak. Ada ratu yang menikah karena kewajibannya. Ada juga yang karena saling mencintai.

Sayangnya aku berada di kelompok yang kedua. Bahkan lebih buruk lagi, calon suami-ku seharusnya menjadi calon suami kakak-ku.

Miris dan menyedihkan.

Aku pernah bermimpi bahwa negeri ini adalah sebuah negeri fantasi. Negeri khayalan. Dimana Konstantin, Williams dan semuanya adalah mimpi semata.

Tapi nyatanya, aku masih terbaring di sini dan bernafas dan tidak bisa lari. Negeri ini adalah nyata. Kehidupan-ku adalah nyata. Leonord adalah kenyataan itu.

Aku baru saja ingin mematikan lampu di samping ranjang-ku saat tiba-tiba saja semua lampu di kamar-ku padam. Aku hanya melihat hitam pekat bahkan hanya dalam jarak pandang sepuluh centimeter saja.

Aku mencoba berdiri dan meraba-raba dinding perlahan. Awalnya aku menabrak lemari kecil tempat aku menaruh buku favorit-ku tapi untungnya aku bisa mencapai tirai dan jendela tidak jauh dari ranjang.

Saat aku membuka tirai, tidak ada satupun orang yangg melintasi taman atau pekarangan belakang. Meskipun matahari menyinari setiap sudut, aku tidak bisa melihat siapapun di sana.

Duk...Duk...

Pintu-ku di ketuk dari luar.

“Nona...” Tinaa berkata dengan suara gemetar.

“Ada apa?” Aku membuka tirai dengan lebar untuk mmbuat sinar matahari masuk ke kamar-ku lau berjalan dengan cepat menuju pintu yang aku kunci dari dalam.

Tinaa sedang memegang sebuah tas kecil di tangannya saat aku membuka pintu.

“Ada apa dengan listriknya?” Aku menoleh ke koridor yang hampa tanpa siapapun yang melewatinya. Hanya ada kami berdua.

“Seseorang atau bahkan ada kawanan yang berhasil masuk rumah ini.” Suara Tinaa bergetar dengan matanya yang berkaca-kaca. “Kita harus pindah ke ruang bawah tanah.”

Kemudian dari arah tangga belasan waglo dengan seragam merah tuanya yang masih rapi meskipun ini sudah tengah malam. Tengah malam dengan matahari yang tidak pernah tidur.

“Nona Williams,” waglo bernama Kia yang merupakan pemimpin waglo selama aku berada di Elestor memanggil-ku dengan ketenangan khas seorang waglo. Pemuda itu bahkan berumur sama dengan-ku tapi tingkat kesopanan yang dia miliki membuat aku terasa tua sepuluh tahun darinya.

“Kia, apa kita benar-benar perlu berada di sana?” Aku bergegas bertanya.

“Benar nona. Kita harus pergi ke ruang itu sekarang.” Ucap Kia serius.

Aku mengganti baju-ku dengan sebuah gaun terusan berwarna abu-abu dan mengikat rambut-ku secepat kilat. Lalu keluar kamar dan berjalan bersama Tinaa dan Kia serta rombongan di belakang-ku.

Kami menuruni tangga hingga ke lantai dasar yang telah kosong dan akhirnya menuju area belakang dekat dengan sebuah kolam renang kecil dan masuk ke bangunan kecil tempat penyimpanan barang bekas. Kami membuka pintu kecil rahasia yang dipakai untuk mencapai ruang bawah tanah.

Kami menuruni tangga spiral dengan dinding batu putih yang kotor dan berhasil mencapai ruangan satu lantai yang diisi dengan dapur kecil, empat tempat tidur berukuran sedang dan beberaa rak makanan. Tidak lupa terdapat kamar mandi yang ada di sebelah dapur.

Aku benci tempat ini.

Terutama karena ini adalah yang kedua kalinya aku ada di sini.

“Tinaa, di mana mamadan nenek berada?” Aku tahu bahwa mamadan nenek tadi sore sedang mengunjungi rumah paman-ku yang cukup jauh dari rumah.

“Mereka masih dalam perjalanan. Kia sudah menghubungi mereka untuk jangan pulang dulu. Semuanya masih berbahaya.” Tinaa menjawab lalu membuka tas kecil yang sejak tadi di pegang olehnya. Dia meletakkan tas dan isinya di meja makan.

Tinaa ternyata membawa radio satelit kecil yang digunakan untuk bertukar bisa berkomunikasi dengan pihak pemilik radio yang sama. Radio ini bukan radio sembarang radio. Hanya ada orang-orang tertentu yang bisa memilikinya.

Ini pasti milik Leonord.

Kia kemudian membuka radio itu dan menekan beberapa tombol hingga lampu berwarna hijau menyala di atasnya.

Sebuah kabel dengan pengeras suara mungil di pasangkan di bagian belakang. Pengeras suara mungil itu bisa kita pasangkan di lubang telinga kita dan mendengar suara lawan bicara kita. Begitu juga sebaliknya lawan bicara kita yang memiliki pasangan radio sama akan bisa mendengar dan menjawab percakapan.

“Laporan Unit satu. Kia Hanipton.” Kia memulai pembicaraan. “Ada lima orang yang di muncul di perpustakaan kediaman Williams. Nona Olya sedang berada di ruang bawah tanah.”

Kemudian Kia menghentikan suaranya. Sementara aku duduk di salah satu ranjang yang sudah di bersihkan Tinaa dengan cepat. Meskipun gugup, Tinaa selalu tetap fokus dengan tugasnya.

Apa yang sebenarnya diinginkan oleh para penyusup itu? Jika mereka bermaksud mengincar harta benda seharusnya aku tidak perlu berada di sini kan? Kenapa Kia harus sampai memakai radio itu? Ada yang tidak beres dari semua ini.

“Nona Olya?” Kia menoleh kearah-ku dan sedikit ragu-ragu saat menjawab dengan berbisik dengan orang yang diajak bicara.

Tidak lama kemudian Kia datang dan kepala menunduk memberitahu-ku sesuatu. “Yang Mulia ingin berbicara dengan anda nona.”

Mata-ku membelalak. Semoga Kia tidak melihat itu. Hanya saja aku bisa merasa Tinaa juga ikut terkejut dengan telefon radio darurat itu. Jika aku tidak mengangkat telefon ini maka para waglo dan semua yang berada di ruangan ini akan menangkal sinyal hubungan hampa antara aku dan Leonord. Dengan enggan aku mengangkat tubuh ku dan berjalan menuju radio yang memiliki tombol-tombol yang asing dan lampu yag menyala di beberapa bagian.

Kia meminta-ku mengangkat pengeras suara kecil dan memasukan ke lubang telinga-ku. Sesaat setelah kedua pengeras suara itu terpasang, aku mendengar suara nafas yang cukup gelisah.

“Halo.” Aku menjawab pelan.

Kemudian terdengar suara kelegaan.

“Olya.” Leonord menghembuskan nafas kelegaan. Suara beratnya yang membuat hati-ku gelisah.

“Aku baik-baik saja.” Aku tidak ingin bertele-tele. Juga tidak ingin mengatakan hal lain. Aku takut aku akan berkata yang tidak seharusnya.

“Untung saja, para Waglo cepat melihat keadaan. Jika tidak,”

“Apa kamu akan mengerahkan semua tentara merah kalau sesuatu terjadi padaku?” Aku tanpa sadar menantangnya.

“Tentu saja. Meskipun Elestor akan menjadi kuburan masal besok, kamu adalah prioritas-ku.” balas Leonord bersungguh-sungguh.

Aku hanya tersenyum tanpa menimbulkan suara. “Mereka hanya perampok kan? Kenapa kamu terlalu serius? Apakah kamu takut bahwa calon istri nomor dua-mu akan meninggal juga ?”

Seisi ruangan terlihat menatap-ku dengan tegang. Mata mereka tidak berani memandang-ku – termasuk Tinaa – dan jika aku bisa melihat wajah Leonord sekarang, aku yakin dia akan marah besar. Leonord tidak suka di sindir dengan cara frontal seperti ini. Lydia tidak akan berbicara seperti ini. Jika Lydia masih hidup, dia tidak perlu menghadapi calon istri seperti-ku.

“Olya.” Leonord memanggil dengan sabar. “Tidak akan terjadi apa-apa pada-mu. Aku akan pastikan hal itu. Satu hal lagi yang terpenting untuk kamu ingat adalah kamu tidak pernah menjadi nomor dua. Tidak pernah.”

Bohong.

Lydia adalah nomor satu untuk semua orang.

Bahkan untuknya.

“Aku tidak bisa tidur di sini.” Aku mengalihkan pembicaraan. “Di sini dingin dan sesak.”

“Aku tahu.” Ucap Leonord simpati. Sepertinya dia benar-benar mencemaskan-ku. “Meskipun sulit, kamu harus merebahkan tubuh-mu. Tidur sejenak. Saat kamu bangun nanti, mereka sudah tidak perlu berada di benak-mu lagi.”

Aku mengingat cara bicara itu. Saat kami remaja, Leonord selalu mencemaskan-ku seperti sekarang. Dia selalu baik dan melindungi-ku.

“Olya, aku akan menunggu dengan sabar.” Leonord melajutkan. “Sebentar lagi kita adalah satu keluarga. Aku harap jalan kita tanpa hambatan. Tapi untuk semua itu terjadi, aku membutuhkan bantuan dari-mu. Aku butuh kita berada di satu kapal yang sama.”

“Aku lelah.” Aku kembali membalas dengan ketus. Berusaha keluar dari pembicaraan yang sama sekali aku benci. Bagaimana bisa aku menatapnya tanpa menghilangkan Lydia dari kepala-ku ini saat pernikahan kami nanti?
 “Maaf. Seharusnya aku tidak membicarakan hal ini sekarang.” Leonord dengan cepat membaca situasi hati-ku.

“Aku akan menunggu-mu, Naya.” Leonord memanggil-ku dengan nama panggilan dari-nya untuk-ku sejak kecil. Naya diambil dari Nada dan Olya. Dia pernah bergurau bahwa dia lebih menyukai untuk memanggil-ku dengan panggilan Naya. Aku masih ingat Leonord mangatakan bahwa sebuah buku bahasa keluarga Konstantin ratusan yang lalu memiliki nama Naya di dalamnya yang berarti moritz. Dia akan memanggil-ku jika dia ingin bercerita mengenai hal-hal pribadi pada-ku. Atau ingin merasa dekat denganku.

Aku melepas pengeras suara dari kedua telinga-ku tanpa membalasnya. Aku berjalan kembali ke tempat tidur yang telah bersih dengan kain lembut. Aku melepaskan sepatu-ku dan meminta selimut kepada Tinaa.

Kemudian aku menutup mata-ku dan membutuhkan waktu hingga satu jam lamanya untuk bisa akhirnya tertidur dengan lelap.

Chapter 03 - The Past

THREE

The Past

Tiga hari setelah melewati persembunyian di bawah tanah yang aku benci akhirnya Kia memberitahu bahwa Leonord mengijinkan-ku untuk berpergian untuk memberikan-ku hiburan. Meskipun menyebalkan karena aku harus selalu meminta ijin jika ingin pergi dari rumah tapi setidaknya aku bisa datang ke sesi klub buku pagi ini.

‘Isla Kastia’ adalah klub buku yang terdiri dari sepuluh orang yang berasal dari orang-orang dari keluarga kelas atas. Anak dari pejabat kota Elestor, anak dari panglima keamanan Elestor dan sebagainya. Sesungguhnya klub buku kami bukan sembarang klub buku. Klub ini diberikan suara dalam setiap keputusan dalam majelis parlemen dan memiliki lima persen veto. Hasil dari pertemuan kami akan di bicarakan oleh ketua parlemen dan menjadi suara penting bagi partai-partai politik yang ada.

Mereka semua adalah teman-teman-ku. Setidaknya mereka baik di hadapan wajah-ku. Tentu saja aku harus tetap memasang benteng di sekeliling-ku. Semua orang berpotensi menjadi musuh-ku di masa depan. Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika aku menjadi ratu. Satu yang pasti semua orang akan memasang senyuman palsu karena mereka ingin berada di dekat-ku.

Aku sudah duduk di ‘markas’ Isla Kastia setengah jam dan masih saja ada beberaa yang telat untuk hadir. Ketua klub buku kami, Jon Ingli memperhatikan jam di tangan kanannya dan kemudian memperhatikan-ku berkali-kali. Dia sepertinya takut kalau aku akan murka.

Dia tidak salah, aku bukan orang yang terkenal dengan emosi yang baik. Bahkan orang dengan mudah menebak kondisi perasaan-ku hari ini hanya dengan meliha bagaimana mata-ku menatap mereka.

Aku menatap ke sekeliling markas. Markas ini berbentuk seperti rumah dengan berbagai ruangan yang di pakai untuk kamar kecil, ruang istirahat, dan juga taman kecil dengan atap terbuka dan tidak ketinggalan dapur besar tempat beberapa chef akan menyiapkan makanan kecil untuk kami setiap ada pertemuan. Semua ruangan-ruangan itu mengelilingi ruang tengah yang diisi dengan sofa-sofa berwarna cokelat tua empuk yang membentuk satu lingkaran besar. Meja makan persegi panjang berada tidak jauh dari lingkaran sofa itu.

Banyak yang mengatakan bahwa tempat ini adalah tempat di mana kami bersenang-senang. Banyak warga yang mengangga ini adalah istana kecil karena pondasi dan bahan bangunan berasal dari bahan-bahan mahal yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya.

Kami memang orang kaya.

Kami bahkan bisa mengubah nasib semua orang di kota ini.

Dalam kasus-ku aku bahkan bisa memutuskan nasib kehidupan orang di seluruh negeri ini saat aku mengenak cincin di jari-ku.

“Sepertinya Sevila dan Nicola tidak datang hari ini.” Joe mengatakan pada semua yang sudah hadir.

Sevila adalah putri bungsu dari mantan panglima wafren yang telah dipindahkan ke Elestor tiga tahun yang lalu. Dia adalah teman dekat dari Lydia. Dia tidak diperbolehkan untuk menghadiri upacara pemakaman karena keputusan dari keluarga kerajaan. Tidak hanya Sevila tapi juga beberapa teman dekat Lydia lainnya tidak dijinkan untuk hadir.

Sementara Nicola adalah teman dekat-ku. Semalam dia meminta asisten rumahnya untuk memberikan pesan bahwa dia sedang sakit dan tidak bisa datang hari ini. Nicola adalah putri kedua dari keluarga Yoksir – keluarga ilmuwan terhormat – dan sudah menjadi teman-ku sejak kami berumur lima belas tahun.

“Tidak apa-apa. Kita mulai saja tanpa mereka.” Jawab Yolanda Khun tanpa rasa simpatik. “Kita tidak bisa membuat orang-orang penting di sini menunggu lama.”

Yolanda lalu menatap-ku dan tersenyum datar. Jika dia tidak tulus ingin tersenyum lebih baik dia marah saja. Rasa iri dari dia kepada-ku sangat jelas.

“Baiklah.” Joe menimpali. “Kita mulai saja pertemuan hari ini.”

Pertemuan diawali dengan Janet dan Julia, kakak beradik dari keluarga Morton – Pemilik perusahaan tekstil terbesar di Elestor – membahas mengenai satu buku yang akan diliris satu bulan ke depan.

“Buku berjudul Harapan Indah milik Benjamin Kostan. Bulan depan akan diliris salah satu perpustakaan pemula di Klaptongad. Buku ini memberi banyak pandangan mengenai masa depan negeri kita dalam menghadapi banyak tantangan dan juga potensi masalah.” Julia sang adik berbicara dengan berapi-api.

Kemudian Janet melanjutkan. “Benjamin Kostan telah berperan penting dalam pendidikan sekolah dasar negeri ini setelah belasan buku miliknya menjadi acuan dan pedoman anak-anak usia lima sampai sepuluh tahun.”

“Tapi buku-buku pedoman milik Benjamin Kostan,” Yolanda menyela dengan cepat. “Sudah ketinggalan zaman.” Cibir Yolanda.

“Yolanda, apa kamu bisa memperjelas apa maksud dari ketinggalan zaman yang kamu sampaikan?” Joe berusaha menjadi penyeimbang dalam percakapan ini.

“Rey Dorotea adalah solusi yang tepat untuk menambahkan rasa nasionalisme kepada para anak-anak belia agar mereka mampu dewasa dengan lebih cepat dari yang tedahulu.”

Beberapa terlihat menggelengkan kepalanya saat mendengar perkataan Yolanda. Sementara Janet dan Julia seperti sedang berpikir keras untuk melawan kembali perkataan itu. Membela diri lebih tepatnya.

“Rey Dorothea adalah kakak ipar-mu.” Serang Janet.

Yolanda Khun berasal dari keluarga Khun yang berkuasa atas daerah utara. Lebih tepatnya keluarga Khun khusus mendedikasikan hidup mereka sebagai ‘pelindung’ atas garis utara menuju hutan Sentata.

“Lalu?” Balas Yolanda. “Rey adalah orang yang tepat untuk menjadi anggota parlemen pendidikan dalam lima tahun kedepan. Negeri kita dalam masa revolusi yang besar. Kita berada dalam tahun delapan ratus sebelas. Kita tidak lagi menggunakan kereta kuda seperti empat ratus tahun yang lalu.”

“Jadi menurut-mu Benjamin Kostan sudah selayaknya di ganti?” Julia selalu bertanya langsung pada intinya.

Yolanda tersenyum dengan ciri khasnya yang nyentrik. Andai saja aku tahu apa maksud di balik senyuman satu juta arti itu. Yang jelas senyuman itu hampir selalu menjadi malapetaka.

“Benjamin Kostan sudah selayaknya di beri kursi di parlemen lebih lama dari seharusnya. Dia berhak untuk mendapatkan itu.” Bela Janet.

Joe meminta mereka berhenti untuk saling memberi pendapat dan kemudian meminta beberapa anggota lain untuk menyampaikan pendapat mereka.

Lalu....

“Nona Williams, bagaimana pendapat anda?” Joe mengakhiri dengan bertanya padaku.

Aku sama sekali tidak ingin berkomentar apapun hari ini tapi tentu saja karena ini masalah yang penting dan dengan tatapan semua orang yang seperti penasaran dan sekaligus segan pada-ku sepertinya aku tidak bisa lari dari hal ini.

“Benjamin bukan pilihan yang buruk.” Aku menatap Janet dan Julia bergantian. “Lebih baik kita berikan dia waktu enam bulan di periode kedua tahun ini dan kita lihat apa terjadi sesuatu yang radikal di seluruh negeri.”

“Tapi,” Yolanda merapikan gaun berwarna violet miliknya. Hanya dengan melihat bagaimana caranya berpakaian dan berias sungguh memuakkan. Bahkan bibirnya di lapisi oleh pewarna yang lebih terang dari darah manusia.

“Enam bulan di periode kedua adalah krusial. Terutama pernikahan yang akan terjadi tidak lama lagi. Yang Mulia pasti akan mengganti seluruh kabinet dan jajaran parlemen. Benjamin tidak akan luput dari hal ini.” Yolanda mengucapkan dengan keyakinan yang sungguh.

Dia tahu aku membenci membicarakan masalah personal di dalam pertemuan. Membawa nama Leonord sengaja dilakukan untuk mengangkat emosi-ku.

“Benjamin memberikan seluruh kerja kerasnya selama ini, kita perlu memberikan kesempatan lebih panjang untuknya.” Aku menjaga nada bicara-ku sesantai mungkin.

Ketika Yolanda berusaha ingin menyela, Joe memintanya untuk berhenti dan akhirnya pemungutan suara di lakukan. Selama setengah jam kami memberikan jawaban kami dalam secarik kertas dan semuanya dikumpulkan untuk di cek hasilnya.

Kami memperhatikan Papan tulis yang telah di lengkapi dengan foto kedua penulis terkenal yang menjadi perdebatan hari ini.

Joe menghitung dan menyebutkan semua hasil tulisan dari semua kertas yang berada di kotak kaca miliknya.

“Suara kedelapan untuk Benjamin.” Joe menuliskan garis lagi pada bagian bawah foto Benjamin. “Kemudian dua suara terakhir jatuh pada Rey.”

Janet dan Julia akhirnya bertepuk tangan dan melihat-ku dengan gembira. Aku membalas mereka dengan senyuman. Aku sama sekali tidak ragu bahwa hari ini Benjamin akan mendapatkan dukungan kami. Hanya saja selain Yolanda aku penasaran siapa yang juga ikut mendukung Rey.

Aku melirik ke arah Yolanda. Wajahnya yang murka dan memerah malu tampak begitu jelas. Dia hanya menatap kedua tangannya yang menggenggam dengan kencang di atas pahanya.

Tinaa dan aku berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami akan datang ke panti asuhan milik keluarga Williams. Irishan.

Irishan berdiri sejak tiga puluh tahun yang lalu. Berada cukup jauh dari pusat Elestor dan berada sekitar lima kilometer dari Sekolah Umum Konstantin.

Di sana mamadan nenek akan hadir. Mereka tiba lebih dahulu sementara kami sebentar lagi akan sampai di sana.

“Mereka telah menyiapkan jamuan makan siang untuk nona.” Tinaa berkata saat kami melihat bangunan berwarna kuning pucat dari kejauhan.

Tidak banyak yang berubah dari tempat itu. Kami harus melewati jalanan kecil yang di apit oleh dua lapangan bola besar untuk mencapai gedung dengan tiga lantai itu.

Kami akhirnya sampai di depan gedung Irishan di mana banyak sekali anak-anak telah berbaris dengan rapi untuk menyabut-ku. Tidak lupa terdapat wakil yayasan yang berada di ujung barisan.

Saat pintu mobil-ku terbuka, aku turun dan berjalan ke arah mereka. Sesekali aku harus merapikan gaun abu-abu selutut milik-ku karena karena angin kencang yang selalu mengibaskan ujung gaun-ku ke sana kemari.

“Nona Olya.” Nyonya Silla, wakil yayasan menjabat tangan-ku dengan kuat. Wajahnya sekarang tampak lebih tua. Tentu saja berhadapan dengan anak-anak di yayasan ini cukup menguras energinya.

“Bagaimana kabar anda Nyonya Silla?” Aku berusaha menampilkan senyuman terbaik-ku.

“Baik. Sangat baik.” Nyonya Silla akhirnya memperkenalkan-ku pada satu per satu anak yang sedang berbaris.

Mereka semua tidak ada satu-pun yang berada di atas umur sepuluh tahun. Baik perempuan dan laki-laki. Salah satu anak di bagian tengah memperkenalkan diri dengan percaya diri.

Anak laki-laki mungil itu mengulurkan tangan dengan gembira. Senyumannya bahkan bisa membuat hari-ku jauh lebih ceria hanya dengan memandangnya.

“Nama-ku Arnold.” Pemuda cilik itu lalu mencium tangan-ku. “Putri Olya memang sangat cantik.”

Aku dan Nyonya Silla berpandangan lalu tertawa. Pemuda yang sangat berani bahkan bertemu dengan orang asing pertama kali.

“Sepertinya pengajar di sini sangat pintar dalam ilmu komunikasi.” Aku menggodanya.

Arnold lalu menggeleng. “Kakak angkat-ku yang mengajarkan-ku. Dia mengatakan kalau aku bertemu dengan putri Olya aku harus bersikap sopan. Meskipun aku tidak diajarkan untuk menggoda, tapi kakak-ku memang benar, Putri Olya sangat cantik.”

“Kakak?” Aku tidak tahu jika mereka memiliki sistem kakak adopsi atau angkat di sini. Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak mengunjungi mereka.

“Iya kakak-ku.” Arnold berseri-seri. “Namanya Ivander.”

Ivander.

Dua berada di sini?

Laki-laki itu ada di sini?

“Nona Olya. Masih ingat dengan Ivan?” Ny. Silla berkata di dekat-ku.

Aku tidak menjawabnya.

Aku tersenyum pada Arnold dan meninggalkannya untuk gadis kecil di sampingnya.

Aku akhirnya menyelesaikan sesi bersalaman yang panjang itu dan bergegas menuju ruangan utama di lantai dua. Tapi sebelum menuju lantai dua, aku melewati lantai satu di mana lima belas tahun yang lalu berada di sini dengan Papa dan Mama.

Kami berkunjung satu tahun sekali setiap perayaan dewa matahari dan juga perayaan khusus.

Pada waktu itu lantai yang sekarang aku lewati lebih dingin, lembab dan membuat kulit-ku menggigil. Saat itu di malam hari yang terang sedang terjadi kebakaran di perumahan di dekat yayasan. Kami akhirnya datang jam sembilan malam dengan terburu-buru karena mencemaskan keselamatan mereka.

Tahun 796

Aku berlari kecil saat melewati tangga yayasan Irishan. Tangga yang cukup licin karena hujan es yang tiba begitu cepat dari seharusnya. Lydia dan aku berpegangan tangan saat melewati pintu utama.

Di sana banyak tangisan anak-anak di setiap koridor dan ruangan yang ada.*

“Jangan pergi kemana-mana Olya.” Perintah Lydia pada-ku. Wajahnya menunjukkan kecemasan.*

“Lydia! Olya!” Suara Mamamemanggil kami untuk masuk ke sebuah ruangan di sisi kiri. Kami berlari kesana dan di sana telah berbaris dengan rapi semua tempat tidur yang berjumlah puluhan dan hampir semuanya terisi penuh. *

Hampir semuanya adalah anak-anak dan kondisi mereka begitu menyedihkan. Di barisan awal, anak-anak di balut dengan kain putih tebal di bagian wajah dan tubuhnya. Mereka mengerang meminta tolong. *

Lydia menarik tangan-ku dan kami berjalan cepat melewati dokter-dokter dan perawat yang hilir mudik sambil membawa beberapa peralatan mereka. *

“Di sini!” Mama-ku berteriak lagi. *

Kami akhirnya sampai di tempat di mana Mama-ku berdiri. Seorang anak perempuan yang masih berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Wajahnya di sebelah kiri terbakar dan begitu banyak darah yang keluar. *

Aku menutup mulut-ku yang terkejut melihatnya. Di samping gadis itu, Mama-ku membantu dokter laki-laki muda untuk mengatur beberapa peralatan yang akan digunakan untuk mengoperasi gadis yang kesakitan itu.*

“Lydia, ambilkan beberapa kasa dan penutup luka berukuran besar di gudang sebelah.” Mamamenunjuk sebuah ruangan dengan pintu terbuka tidak jauh dari mereka berdiri. “Dan kamu Olya, bantu Ny. Silla untuk menghubungi para Wafren. Mereka perlu mengetahui masalah ini.”*

Aku mengangguk dan berjalan melewati barisan teriakan itu lagi. Aku tidak sanggup untuk menatap mereka. Hanya mendengar rintihan saja membuat tubuh-ku kaku dan lemas.*

Setelah berhasil melewati para dokter yang kewalahan akhirnya aku kembali ke koridor dan menuju lorong di sebelah kanan menuju ruangan ketua yayasan. Di sana beberapa orang yang aku tidak kenal sedang berjalan mondar-mandir dan berteriak satu sama lain. *

“Pemadam kebakaran belum sampai hingga sekarang!” Pria berumur empat puluh tahun menepuk meja. “Api itu bisa mencapai sini setengah jam lagi!”*

“Ny, Silla.” Aku memanggil Ny. Silla yang berdiri dengan tegang di samping pria itu. “Wafren perlu tahu mengenai masalah ini.”*

Ny. Silla cukup terkejut melihat-ku namun dia segera menggelengkan kepalanya. “Kami sudah banyak mendapat masalah. Wafren akan menutup yayasan ini jika mereka tahu.”*

“Biarkan aku yang menyampaikan pada mereka.” Aku berusaha menenangkan meskipun tangan-ku bergetar sejak tadi. *

Aku meninggalkan mereka dan berlari ke tempat dimana mobil kami berada. Di sana supir kami bernama Harry sedang membantuk beberaa anak-anak yang terluka.*

“Harry!” Aku berteriak dengan kencang.*

Harry menoleh dan berlari ke arah-ku. “Ada apa nona?”*

“Sampaikan pada markas Wafren di pinggir kota bahwa terdapat kebakaran dan mereka di butuhkan di sini secepatnya.”*

“Wafren?” Harry kebingungan. “Tidak semudah itu untuk meyakinkan mereka.”*

Aku menarik nafas panjang sebelum sambil berfikir keras. Aku kemudian berlari ke arah mobil dan mengambil tas tangan milik-ku dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah benda berbahan emas berbentuk persegi empat. Ukiran matahari terlihat jelas pada bagian atasnya.*

“Berikan ini kepada kepala Wafren di sana.” Aku memberikannya pada Harry.*

Mata Harry terbelalak.*

“Tunjukkan pada mereka dan bawa mereka kemari.”*

Harry hanya bisa mengangguk dan berjalan ke kemudi mobil dan melihat-ku sekali lagi dari balik jendela mobil sebelum mengemudi dengan kencang.*

“Masih ada orang lagi di rumah itu!” Seseorang berteriak sambil berlari ke arah luar gedung yayasan.*

Aku mengikuti pria paruh baya itu yang sekarang berlari di jalanan yang di penuhi pohon-pohon liar. Di sepanjang jalan aku harus berhadapan dengan orang-orang yang berlari berlawanan arah dengan-ku. Mereka menangis dan menangis.*

Beberapa orang tua mengangkat anak mereka dengan penuh darah dan pakaian mereka yang sudah terbakar cukup parah.*

Aku tidak menghentikan lari-ku meskipun aku merasakan sepatu-ku seperti terbelah dua di bagian kanan. *

Dari kejauhan banyak pepohonan sudah tumbang dan terbakar dan mulai menjalar ke arah gedung yayasan. Aku mencari dimana pangkal kebakaran ini tapi sepertinya awal dari semua ini masih jauh dari yang aku bayangkan.*

Kemudian aku mencapai barisan rumah-rumah kuno yang hampir semuanya hangus terbakar. Belasan orang berteriak di depan sebuah rumah.*

Aku menghampiri dengan nafas yang dipenuhi dengan aroma asap hitam. *

“Anak kecil pendiam itu masih berada di kamarnya.” Seorang ibu meminta pria paruh baya yang aku ikuti tadi untuk masuk dan menyelamatkannya.*

“Tidak bisa. Rumah ini akan hancur sebentar lagi.” Pria paruh baya itu mengatakan dengan putus asa.*

“Hidupnya sangat mengenaskan.” Ibu menangis. “Dia hanya sebatang kara.”*

Aku mengamati rumah paling ujung di barisan itu. Melihat bagaimana pintu rumah itu masih berdiri tanpa tersentuh api. Lebih tepatnya api sedang berada di taman depan dan sedang menjalar ke jendela lantai satu.*

Tanpa berfikir panjang, aku berlari menuju pintu dan membukanya dengan paksa.*

Aku hanya mendengar orang-orang di belakang-ku yang berteriak untuk meminta-ku berhenti dan jangan masuk ke rumah ini. Tapi aku mengabaikannya.*

Aku membuka pintu lantai satu dan melihat ruang tamu yang sudah ditutupi api. Aku mencari-cari di mana tangga menuju lantai dua karena di lantai satu tidak ada sama sekali kamar tidur atau tanda-tanda kehadiran seseorang di sana.*

Tangga yang aku cari ternyata berada di dekat dapur yang sudah berantakan. Dengan cepat aku berlari dan mencapai lantai dua. Satu per satu kamar aku buka dan tidak ada satupun orang di sana.*

Hanya tersisa kamar paling ujung yang belum aku buka. Pintu itu tidak dikunci dan saat aku membukanya seorang anak laki-laki sedang berjongkok di lantai tanpa menoleh ke arah-ku. Dia jelas lebih muda beberapa tahun dari-ku.*

“Adik.” Aku menyentuh pundaknya. *

Dia sama sekali tidak bergeming. *

“Ayo keluar dari sini.” Aku berkata dengan sangat lembut tanpa aku sadari.*

Anak itu akhirnya melihat-ku. Matanya yang berwarna hijau berkaca-kaca. Tapi tetap dia tidak mengatakan apapun. Aku menarik tangannya dan berlari bersamanya keluar dari kamar. Aku tahu jika anak itu sama sekali tidak ingin berlari. Bahkan sama sekali tidak ada keinginan hidup dari matanya itu. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia meninggal di sini. Aku bisa menyelamatkannya.*

Kami melewati dapur dan saat ingin mencapai pintu utama, api yang berasal dari ruang tamu berkobar dan membuat dinding-dinding kayu terbakar dan menghalangi jalan kami.*

Atap mulai berjatuhan satu per satu dan dengan keberuntungan kami bisa melewati reruntuhan itu. Satu yang pasti aku tidak akan melepaskan genggaman itu. Tidak akan.*

Beberapa langkah lagi kami akan mencapai pintu.*

Tapi...*

Sebuah lampu kristal besar yang berada di atas kami jatuh dan aku mendorong anak itu tepat ketika lampu itu sudah terlepas dar atap yang terbakar. *

Lariku terhenti saat lampu itu menyentuh paha kanan-ku. Pecahan kaca menusuk dan membuat darah-ku keluar seketika. Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan menggenggam tangan anak itu untuk keluar.*

Asap membuat aku tidak mampu melihat dengan jelas. Dengan kembali bergantung pada insting, aku melewati asap yang mengepul dan menghalangi baunya dengan menutup hidung dengan lengan kiri-ku.*

Kami mencapai jalan di depan rumah dengan para petugas kebakaran berpakaian berwarna kuning hitam berlari ke arah kami. Mereka membawa mobil pemadam dan bersiap menyemburkan air di rumah anak itu.*

Kaki-ku tidak sanggup lagi berjalan. Aku terjatuh dan melepaskan genggaman pada anak itu. Tapi aku tersenyum padanya dengan mata yang panas akibat asap itu.*

Anak bermata hijau itu masih terdiam. Tapi kali ini aku melihat sesuatu di matanya. Aku melihat bagaimana matanya seperti berterima kasih pada-ku. *

Terima kasih yang paling tulus yang pernah aku terima.………*

“Nona.” Ny. Silla memanggil dari lamunan-ku.

Aku hanya tersenyum dan kembali berjalan menuju tangga. Ny. Silla masih berada di samping-ku.

“Ivander selalu datang setiap beberapa kali dalam satu bulan.” Ujar Ny. Silla

“Oh, benarkah?” Aku berusaha tertarik.

“Ya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pemberani.” Nada bangga terdengar dengan jelas dari Ny. Silla.

“Setidaknya dia berubah.” Aku berkata sakartis.

Semoga aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Jika aku bertemu dengannya lagi maka sama saja aku bertemu mimpi buruk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!