NovelToon NovelToon

Sesal Sampai Akhir

Wasiat Perjodohan

Akari Nara, gadis berusia 22 tahun yang menjalani kesehariannya dengan bekerja di Cafetaria Injie. Dia terkenal agamis dan pendiam. Namun tetap ramah ketika menjalani profesinya sebagai pelayan cafe.

Sore hari ketika dia mendapat telepon dari Dina, tetangga sekaligus teman mengaji, Nara meminta izin untuk pulang lebih awal. Dan berjanji akan mengambil lembur untuk keesokan hari.

Kata-kata Dina, "Di rumah ada tamu penting, kata pak Rohim kamu disuruh pulang cepat." Begitu pesannya tadi.

Nara sangat penasaran dengan tamu yang bertandang ke rumahnya, sampai membuatnya tidak konsentrasi saat melayani pengunjung terakhirnya sore itu.

Hingga ….

Bruk!

"Ups!" 

Segelas orange jus tersenggol dan mengenai kemeja seseorang. Sesaat riuh suara musik dan obrolan pengunjung kafe tak terdengar. Dia sadar masalah yang akan dihadapi.

"Sayang, kemejamu jadi kotor," ujar seorang wanita yang tengah menggandeng pria itu. Terlihat mengibas-ngibaskan tangan di atas kemeja yang terkena tumpahan jus orange tadi.

"Apa kamu tidak punya mata. Ceroboh sekali," desis pria itu penuh penekanan. Mata tajamnya semakin terpancar aura mengintimidasi.

Nara berubah gugup bercampur takut. Dia segera meminta maaf untuk kesalahannya barusan.

"Maaf, Mas, saya tidak sengaja. Tadi jalan terburu-buru dan kaki saya tersandung kaki meja."

"Maaf-maaf, kamu kira hanya dengan kata maaf kemeja pacarku bisa bersih seperti semula?! Jadi pelayan sama sekali tidak becus! Kemeja ini mahal, apa kamu sanggup ganti?!" Wanita yang mengaku pacar dari pria itu memarahi Nara dengan suara lantang. Hingga pengunjung yang lain sempat terfokus pada mereka. 

"Ada apa ini?" Pria memakai kemeja putih berjalan mendekat. Dia adalah manajer kafe.

"Maaf, Pak, saya tidak sengaja menumpahkan minuman di baju Mas ini."

"Mas?! Panggilan macam apa itu?! Dikira gue Mas tukang siomay." Pria itu menggerutu. Kesal.

Nara mendengar, tapi memilih diam dan tetap menundukkan kepala.

"Maafkan kelalaian pelayan kami, Tuan. Sebagai biaya penanganan, Anda dibebaskan membayar tagihan. Karena sesuai kebijakan di cafe kami, jika ada pelayan yang teledor maka sebagai hukumannya harus mengganti rugi," jelas manager cafe tersebut.

"Tagihan di cafe ini gak cukup untuk mengganti kemeja yang terkena tumpahan jus. Bahkan untuk bayar laundry juga kurang," ujar wanita bertatapan sinis itu.

"Sa, udahlah gak usah diperpanjang. Buang-buang waktu aja."

"Tapi, Natan …."

"Waktuku terlalu berharga untuk ngurusin hal receh seperti ini. Ayo kita pergi." 

Dua pasangan itu pergi dengan manajer cafe yang meminta maaf berkali-kali, juga berpesan agar jangan kapok datang ke cafe itu lagi.

Setelah itu manajer cafe menyuruh Nara ikut ke ruangannya.

"Gak biasanya kamu ceroboh gini, Nara." Pria itu mulai memberi ultimatum. Bukan hanya Nara, tapi siapapun pekerja cafe akan mendapat wejangan kalau membuat kesalahan.

"Maaf, Pak, saya tadi buru-buru."

"Tau kamu bikin masalah gini, mending tadi gak aku kasih ijin balik," ujarnya.

Nara berwajah menyesal atas keteledorannya.

"Bill pesanan orang tadi kamu yang bayar."

Nara harus berpasrah dengan nasib itu.

"Jumlahnya satu juta lima ratus. Bisa potong gaji 30%." 

Nara terkejut. Jumlah yang disebutkan setara setengah gajinya. Butuh tiga kali pemotongan. 

Setelah membayar gojek, Nara berjalan ke rumahnya. Bangunan sederhana yang ditinggali kelihatan berbeda dari biasanya. Ada dua orang berdiri di depan rumahnya. Hal itu membuat Nara bertambah penasaran. 

"Assalamualaikum," ucapnya ketika memasuki rumah.

"Waalaikumsalam, Nak." Pria paruh baya yang menjawab salam adalah Pak Rohim. Dan satu lagi Nara tidak kenal.

"Duduk dulu, Nara. Bapak sudah nunggu kamu dari tadi."

Nara mengambil duduk di sebelah Pak Rohim. Sekilas tersenyum menyapa tamu itu.

"Ini putriku, Bi."

"Dia sangat cantik," puji Abimana. Sahabat dari Pak Rohim. 

"Nak, itu Pak Abimana, suaminya almarhum Bude Laksmi."

Nara mengangguk mengerti. Dulu, mendiang ibunya sering menceritakan tentang keluarga Abimana dan Laksmi. Namun baru kali ini dia bertemu langsung.

"Aku yakin, putraku akan langsung setuju dengan perjodohan ini."

Nara mendongak. Apa maksudnya dengan perjodohan ini? Lalu dia menoleh bapaknya. Bertanya lewat sorot matanya.

Pak Rohim sendiri sudah mengerti arti tatapan putrinya. Selama ini, dia maupun almarhum istrinya tidak pernah menyinggung soal perjodohan. Nara pasti bingung.

"Dari kamu dalam kandungan, Bude Laksmi sudah berujar ingin menjodohkan kamu dengan putranya. Saat itu ibumu menyetujui, bahkan sudah ditulis dalam surat wasiat, kamu harus menjadi menantunya."

"Kenapa sampai ada perjodohan seperti itu, Pak? Bukankah jodoh sudah diatur Allah?" Jantung Nara mendadak berdebar. Sudut matanya mulai menggenang cairan bening.

Sebagai gadis dewasa, dia sudah punya seseorang yang dikagumi. Anggara, pria sholeh dan tinggi ilmu agamanya, dia anak dari Kyai Ahmad. 

Nara sudah lama menyukai Gara dalam diam. Setiap bangun malam, dia selalu meminta takdir jodoh dengan pria itu. Tapi perjodohan ini … membuatnya syok. 

"Benar, tapi tidak ada salahnya menjalankan wasiat Bude Laksmi juga ibumu. Kamu dan anak Pak Abimana sudah sama-sama matang untuk berumah tangga. Ingat, Nak, wasiat dari ibumu."

Nara terdiam dengan lidah kelu. Memang benar, dia ingat sewaktu ibunya sakit pernah berkata punya wasiat yang harus dijalankan. Tapi waktu itu ibunya tidak mengatakan langsung. Sekarang dia baru tahu, ternyata wasiat itu tentang perjodohan.

Nara melepas mukena dan berdiam sejenak. Pikirannya tengah kacau sejak mengetahui tentang perjodohan itu.

Zaman sudah modern, tapi masih ada kisah tentang perjodohan.

Dia menghela napas yang terasa sesak. Bagaimana dia menolak perjodohan itu. Tidak ingin mengecewakan almarhum ibu dan bapaknya. Tapi bagaimana juga dengan nasib perasaanya.

"Ya Allah, berilah petunjuk-Mu."

Pagi harinya, Pak Rohim yang sedang menyeduh teh kembali menanyakan kepada Nara.

"Bagaimana, Nak? Apa kamu siap menikah dengan anak Pak Abimana?"

Nara tidak langsung menjawab, hatinya bimbang. Sementara Abimana tidak memberinya kesempatan untuk mengenal atau sekedar melihat rupa calon imamnya. Abimana menginginkan mereka langsung menikah.

Berat, sebenarnya sangat berat, tapi mau bagaimana lagi. Menolak pun dia tak kuasa.

"Bismillahirahmanirahim, inSya Allah, Nara siap, Pak."

"Alhamdulillah, Bapak tinggal bilang ke Pak Abimana. Mudah-mudahan ini jalan takdir indahmu ya, Nak."

"Aamiin, Pak."

Di rumah Abimana.

"Gila! Apa-apaan ini, Pa!" Natan membanting selembar kertas usang ke atas meja. Dadanya bergemuruh setelah membaca apa yang tercantum dalam kertas yang katanya wasiat itu. Dia tak percaya dan sulit mempercayainya.

Baginya, perjodohan itu hanya sebuah cerita dongeng. Tidak ada dalam kamusnya menikah karena perjodohan. Tidak! Sama sekali tidak ada. Bulshiet.

Akari Nara, entah siapa gadis itu, dan bagaimana rupanya, dia pun tak tahu. Terus bagaimana ceritanya dia harus menikahi gadis tersebut. Argh … aneh-aneh saja.

Takdir

"Saya terima nikah dan kawinnya Akari Nara binti Abdul Rohim dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Dengan satu tarikan napas Natan berhasil melantunkan ijab qabul. Bersamaan dengan menetesnya cairan bening dari sudut mata Nara.

"Selamat ya, Ra. Semoga pernikahan kalian sakinah, mawadah, dan warahmah."

"Makasih, Din." Nara memeluk temannya bernama Dina.

Saat ini, dia tak tahu harus senang atau sedih. Dia tahu menikah adalah ibadah terpanjang dalam hidup, banyak pahala yang bisa diraih. Namun, pernikahan itu bukan atas kehendak hatinya. Bisakah dia ikhlas dan bahagia.

"Nak, saatnya kamu menemui suamimu." Pak Rohim masuk ke kamar putrinya. Menyuruh Nara untuk menemui suaminya.

"Iya, Pak."

Di temani Dina, wanita yang mengenakan kebaya putih itu mulai melangkah keluar kamar.

Pasang-pasang mata tertuju padanya, membuat jantung Nara berdebar tak karuan. Sekaligus gugup. Dia menggenggam tangan Dina dengan erat.

"Mbak Akari Nara, silahkan cium tangan suaminya. Dan Mas Natan nanti cium kening Mbak Nara, ya," ujar penghulu memberi petunjuk. Keduanya sama-sama mengangguk.

Sungguh, jantung Nara tak terkontrol lagi. Beberapa detik selanjutnya dia dapat melihat rupa lelaki yang mengucap janji suci untuknya.

Gelenyar aneh menelusup saat dia meraih dan mencium punggung tangan pria itu. Tangannya pun sama-sama dingin.

Dan hal yang sama dirasakan juga oleh Natan. Jantungnya bertalu-talu sesaat dia mengecup kening wanita asing. Namun aneh sekali, karena wanita asing itu kini adalah istrinya.

Istri? Geli sekali dia mengingat panggilan itu.

Tapi, ketika wanita dengan semerbak harum melati itu mendongak, bola matanya melebar terkejut.

Dia?

Ya, dia pelayan kafe yang beberapa hari lalu menumpahkan jus ke kemejanya. Wanita ceroboh. Terlihat cantik namun sama sekali tidak menarik.

Malam hari, Natan membawa Nara ke hotel. Jangan salah paham dulu! Itu bukan keinginan Natan, namun atas perintah Abimana.

Saat memasuki kamar hotel, keduanya berdiri di depan pintu sambil mengamati suasana kamar yang ternyata dihias begitu meriah. Namun sangat memuakkan bagi Natan. Pria itu mendesah kasar.

"Lo mandi duluan!" titahnya. Berjalan ke arah sofa. Lalu duduk disana.

Nara mengangguk dan pergi ke kamar mandi. Riasan make up yang tebal sangat susah untuk dibersihkan. Sampai beberapa lama belum juga selesai.

Natan yang sudah merasa gerah langsung menghampiri kamar mandi. Tampak tidak sabaran menggedor daun pintu.

"Lo mandi apa rencana mau bunuh diri?! Lama banget!" teriaknya kesal.

Nara membuka pintu, "maaf kalau kelamaan," ucapnya.

"Lama banget," gerutu Natan melirik tajam dan masuk ke kamar mandi. Menutup pintu dengan suara keras, membuat Nara berjengit kaget.

"Astagfirullah." Nara mengelus dada. Natan terlalu kasar dan dingin. Jauh sekali dengan sikap seseorang.

Wanita yang sudah memakai baju tidur lengan panjang itu berjalan menuju meja rias. Mengoles pelembab dan liptin.

Sesaat Pandangannya menerawang mengingat lelaki bernama Gara. Lelaki yang selalu bertutur kata lembut dan sopan, selalu menghargai seorang wanita. Benar-benar berbanding terbalik dengan lelaki yang kini menjadi suaminya.

"Astagfirullah." Nara beristigfar ketika sadar sudah membandingkan Natan dan Gara.

"Lo laper gak, kalau laper gue pesenin makanan." Suara bariton itu membuat Nara menoleh.

"Masih kenyang," jawab Nara. Sore tadi sudah makan catering sisa acara tadi. Dan sampai saat ini masih kenyang.

Natan melewati Nara dan meraih tombol telepon untuk menghubungi bagian resepsionis. Dia meminta jasa cleaning servis untuk membersihkan kamarnya.

Tak berapa lama cleaning servis datang. Menanyakan tugas yang harus dikerjakan.

"Bersihkan kamar ini. Buang semua hiasan gak penting itu. Semuanya membuat mataku sakit!"

"Baik, Tuan."

Nara yang duduk di sofa hanya diam mengamati.

Dan setelah cleaning servis sudah membersihkan kamar. Suasana mendadak hening. Natan sedang sibuk dengan ponselnya, sementara Nara hanya diam. Dia melamun karena bingung harus bagaimana.

"Jangan ngarepin malam pertama. Gue gak minat tidur sama lo."

Nara menelan ludah. Siapa juga yang mengharapkan malam pertama. Dia malah senang kalau tidak ada malam pertama.

"Lo pindah ke ranjang, biar gue yang tidur di sofa."

Ternyata masih punya sisi baik, Nara kira Natan benar-benar tidak peduli. Dia segera pindah ke ranjang, sementara Natan di sofa.

"Status kita sekarang memang suami istri, tapi seperti yang lo liat beberapa hari lalu, gue udah punya pacar," ujar Natan.

Nara yang sedang membenarkan selimut menghentikan gerakannya. Dia mengingat wanita yang disebut pacar oleh suaminya barusan.

"Lo jangan keberatan kalau kita masing-masing. Gue gak akan campurin urusin lo, tapi lo juga gak ada hak buat campurin urusan gue!"

Nara terdiam. Entah pernikahan seperti apa yang akan dijalani. Belum apa-apa Natan sudah mengancam.

"Telinga lo budek?! Dari tadi di ajak ngomong diem aja kayak patung!" sentak Natan kesal karena Nara hanya diam tidak merespon ucapannya. Mengiyakan atau dia punya pendapat lain.

"Iya, aku mengerti."

"Diem aja kek orang bego!" cibir Natan yang masih bisa didengar oleh Nara meski sedikit samar.

Pagi harinya. Pintu kamar hotel digedor dengan keras. Nara yang baru selesai berpakaian begitu terkejut dan ketakutan.

Dilirik Natan yang masih tidur, ingin membangunkan tapi tidak berani. Terpaksa dia membuka pintu karena gedoranya semakin keras.

"Siapa, ya."

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Nara. Kepalanya sampai menoleh ke kanan karena saking kerasnya tamparan itu. Bahkan, telinganya sampai berdengung.

"Siapa elo tiba-tiba nikah sama Natan. Hah?!" Wanita itu berteriak histeris. "Dia pacar gue! Harusnya gue yang nikah sama Natan, bukan elo! Jala**!"

"Astagfirullah. Tenang, Mbak, tenang! Kita bisa bicara baik-baik." Nara gemetar dan malu, beberapa orang sampai mendekat.

"Tenang?! Lo nyuruh gue tenang? Gak punya otak! Pacar gue direbut pelakor dan gue musti tenang," tukas wanita itu bertambah marah.

"Ada apa?" Natan menghampiri mereka. Lelaki itu terkejut mengetahui pacarnya sudah berdiri di depan kamar hotelnya. Keadaanya acak-acakan dengan mata sembab.

"Harusnya aku yang bertanya. Apa-apaan ini, Natan! Kenapa tiba-tiba kamu nikahi wanita ini?! Apa selama ini kamu cuma main-main dengan perasaanku? Jahat sekali kamu!"

"Salsa, aku bisa jelasin!"

"Apa yang mau kamu jelasin? Foto ini sudah menjelaskan semuanya!" Salsa menunjukan sebuah foto ketika Natan mengecup kening Nara. Siapapun bisa menilai jika dua orang itu usai melangsungkan pernikahan.

Tak ingin membuat suasana semakin rumit, Natan menarik tangan Salsa untuk di bawa pergi. Meninggalkan Nara yang hanya mematung di depan pintu.

Sakit fisik tidak sebanding dengan rasa malu dan sakit karena perkataan wanita bernama Salsa tadi.

"Ya Allah, kenapa Kau memberiku takdir seperti ini?"

Karena Gue juga Tidak Menginginkan

Siang hingga menjelang malam hari Nara hanya berdiam diri di kamar hotel. Dia bingung harus melakukan apa. Hanya mengompres luka bekas tamparan wanita tadi, menonton tv dan melamun di balkon. Itu saja.

Untuk kembali ke rumah tidak mungkin, ayahnya pasti curiga bahwa sudah terjadi sesuatu dengannya dan pria bernama Natan.

Menghubungi teman, atau siapapun untuk teman curhat juga tak ada. Selama ini dia jarang dekat dengan siapapun kecuali Dina. Dan entah mengapa hatinya ragu untuk menceritakan masalahnya kepada Dina.

Pergi ke kafe? Tapi izin cutinya sampai tiga hari. Kalau dia kesana sebelum masa cutinya selesai, manager dan teman kantornya juga pasti keheranan. Apalagi alasan dia cutinya karena sakit, bukan acara menikah.

Dia benar-benar tidak bisa berkutik dengan waktu yang terasa membosankan.

Akhirnya dia menyalakan layar tv lagi agar ruangan itu tidak sepi, meski bukan dia yang menonton tapi layar tv yang justru menontonnya.

Hingga lama kelamaan matanya lelah dan mengantuk. Dia tertidur di sofa.

Pukul sepuluh malam Natan baru kembali ke hotel. Ketika masuk, dia menemukan Nara tertidur di sofa dengan jilbab instan yang sedikit berantakan.

Titik fokusnya tertuju pada sudut bibir Nara yang memerah akibat tamparan Salsa pagi tadi. Dia menghela napas dan duduk di ujung sofa.

Walau dia tidak menyukai Nara, tapi dia juga tidak ingin menyakitinya. Saat tanpa sadar jemarinya ingin memeriksa luka itu, tiba-tiba tubuh Nara berganti posisi menjadi miring menghadap ke arahnya.

Dia yang merasa tidak nyaman ingin segera pergi, tapi tangan Nara menahannya. Saat dia menoleh, ternyata wanita itu masih terlelap. Mungkin hanya mengigau.

"Mas Gara, maafkan aku."

Kening Natan berkerut mendengar gumaman Nara yang meminta maaf dengan menyebut nama Gara.

Siapa Gara? *Apa Gara adalah paca*rnya?

"Astagfirullah hal'adzim." Nara terkejut tiba-tiba ada Natan disampingnya. Bahkan dia lebih terkejut lagi saat tangannya sedang menggenggam pergelangan tangan pria itu. Dia melepas dengan gerakan cepat.

Natan berubah sinis. "Kenapa? Kayak tangan gue najis aja," celetuknya.

"Ma-maaf, aku tadi kaget. Jadi reflek." Nara segera duduk.

"Sudah pulang dari tadi? Mau ku ambilkan minum?" tawar Nara. Meski keheranan, pria itu mengangguk.

Sikap Nara seperti tadi pagi tidak terjadi apapun. Padahal menurutnya, Nara akan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan Salsa. Atau setidaknya gadis itu mendiaminya.

Nara meletakkan air dingin di depan Natan. Lalu ingin pindah ke ranjang, tapi pertanyaan Natan membuatnya berhenti.

"Luka lo udah dikompres?"

"Sudah."

"Gue belum jelasin ke Salsa tentang pernikahan kita, jadi dia ngamuk-ngamuk. Kalau sakit banget, gue anter ke rumah sakit. Gue lupa mau mampir apotek."

"Udah dikompres, lumayan mendingan."

"Besok kita pindah ke rumah gue. Biar lebih bebas," ujar Natan.

"Masih di daerah sini kan?" Nara khawatir jika rumah Natan berbeda kota, dia takut tidak bisa bekerja di kafe lagi.

"Di Perumahan Ciremai Indah."

Perumahan Ciremai Indah memang masih di satu kota, namun letaknya lumayan jauh.

Dan keesokan harinya, mereka benar pindah ke rumah Natan sendiri. Rumah berlantai dua, tidak terlalu besar namun tampilannya mewah dengan gaya arsitektur zaman sekarang.

Dalam hati Nara sangat kagum melihat bangunan yang akan ditinggali. Karena dia belum sepenuhnya tahu tentang Natan, diapun tidak tahu jika suaminya pewaris Perusahaan besar.

"Gak perlu bersih-bersih rumah atau nyiapin makanan, udah ada asisten rumah tangga yang ngelakuin. Di rumah ini lo bebas, tapi ada satu yang harus lo ingat, jangan masuk ke kamar gue!"

Nara mengikuti jejak kaki Natan yang mengarah ke lantai dua. Sambil telinganya mendengar ucapan pria itu.

"Lo kayak orang dungu! Diajak ngomong cuma diem aja." Sudah beberapa kali Natan mengajak bicara, tapi Nara irit jawaban. Kesal sendiri akhirnya.

"Aku sedang mendengar dan mencatat omonganmu, Mas."

"Ohya, panggil Natan aja. Geli gue dengernya lo manggil gue Mas."

"Aku gak bisa, seperti tidak sopan."

"Itu kamar lo." Natan menunjuk kamar dengan pintu bercat putih. Sementara pintu bercat hitam yang ada disebelahnya diakui adalah kamarnya.

"Kalau yang ini kamar gue! Inget, lo jangan masuk. Gue gak suka privasi gue diliat orang lain. Kecuali asisten yang bersih-bersih kamar."

Nara mengangguk mengerti. Walau merasa tidak dihargai statusnya sebagai seorang istri, tapi dia tak bisa protes.

"Em, Mas ... Natan, aku terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Bolehkan aku bantu-bantu?"

"Kalau itu kemauan mu sendiri, silahkan. Tapi bukan gue yang nyuruh." Setelah mengatakan itu, Natan pergi ke kamarnya sendiri.

Nara juga masuk ke kamar yang ditunjuk Natan tadi. Saat ingin memindahkan pakaiannya ke dalam lemari, dia mendapat telepon dari Dina.

"Assalamualaikum, Din."

[Walaikum salam. Ra, ini Pak Rohim mau bicara]

Sesaat berikutnya terdengar suara ayahnya yang menanyakan kabarnya.

"Nara baik, Pak. Iya, Bapak tenang saja, Mas Natan baik dan lembut kok. Nara dan Mas Natan sedang mengenal satu sama lain."

Natan yang ternyata sedang berdiri di depan pintu kamar Nara terkesiap mendengar ucapan gadis itu yang mengatakan bahwa dia sangat baik dan lembut. Padahal kenyataanya tidak begitu.

"Iya, Pak, doakan pernikahan Nara dan Mas Natan langgeng. Aamiin."

"Iya, walaikum salam."

Saat Nara berbalik badan, tentu terkejut melihat Natan berdiri kaku di depan pintu.

"Mas ...?"

"Kenapa lo musti bohong kalau gue baik dan lembut sama lo?"

"Terus aku harus bilang gimana? Sikapmu buruk dan kasar, begitu?" Nara melanjutkan aktifitasnya memasukkan baju-baju miliknya ke dalam lemari.

"Aku jelas gak sampai hati mau bilang seperti itu. Takut jadi beban pikiran bapak," lanjutnya.

"Huh, terserah lo. Gue cuma mau ngasih ini. Setiap bulan gue transfer untuk uang nafkah bulanan lo. Terserah mau lo gunain buat apa, yang jelas semua kebutuhan rumah udah gue yang handel." Natan memberikan kartu ATM kepada Nara sebagai uang nafkah.

"Gak perlu. Walau statusku sebagai istrimu, tapi kamu gak perlu memberiku uang nafkah. Aku takut dosa, karena sebagai istri aku belum bisa menyerahkan diri untuk suamiku."

"Tapi itu bukan semata kesalahan lo. Karena gue juga gak menginginkan. Terserah kartu itu mau lo simpen aja atau mau di bagaimanakan. yang penting itu buat lo." Natan menaruh kartu ATM di atas meja, lalu lagi-lagi pergi begitu saja.

Nara hanya melirik sekilas. Menghela napas panjang. Sungguh, dia tidak mengira akan terlibat pernikahan tanpa cinta dengan pria asing. Entah seperti apa yang akan mereka jalani.

Karena gue tidak menginginkan. Kalimat itu terasa mencabik-cabik harga diri Nara. Tidak seharusnya Natan mengatakan hal demikian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!