"Kamu itu, tiap hari kerjaannya baca komik terus, sesekali belajar!"
Seorang wanita paruh baya mengomeli gadis yang sejak tadi menatap layar ponselnya. Hembusan napas terdengar dari bibir mungilnya, lantas dia menatap wanita itu.
"Ma, Nara tidak belajar saja selalu mendapatkan rangking."
"Kamu itu, kalau dibilangin pasti selalu jawab. Gini saja, kalau semester ini kamu bisa masuk lima besar peringkat umum, mama bakalan beliin barang yang kamu mau. Bagaimana?"
Mendengar itu, telinganya seakan bergerak. Gadis bernama Nara tersebut spontan bangkit dari rebahannya dan menatap mamanya.
"Mama serius?" tanyanya.
"Dua rius. Sudah, mama mau keluar dulu sama teman mama!"
Memang Nara adalah gadis yang selalu mendapatkan peringat pertama di kelas, tetapi untuk rangking umum dia tidak pernah masuk. Hal itu kadang membuat mamanya menggelengkan kepalanya keheranan melihat sang anak yang malas sekali belajar.
Dalam angkatan Nara, seharusnya dia mendapatkan setidaknya peringkat tiga, lima atau empat. Namun, dia akan hanya masuk dalam sepuluh besar saja. Sebenarnya mamanya sudah puas dengan kinerja Nara, hanya saja gadis itu akan selalu menghabiskan waktunya dengan membaca komik tanpa mau belajar sedikitpun. Sudah pintar, bukan berarti harus berhenti belajar.
Pagi ini Nara tiba di kelas, setelah meletakan tas dia langsung berlari ke meja temannya dan membahas komik yang dia baca semalaman.
"Aku sudah baca sampai akhir. Wah, aku tidak menyangka dengan plot twistnya. Padahal aku sudah menuduh Ha Joon sebagai pelaku pembunuhan dan pada akhirnya menjadi sad ending huhu!" ucap Nara sembari menatap kedua temannya.
"Kau benar. Nara, katanya akan ada komik terbaru. Penulisnya juga orang yang sama. Aku sudah membaca semua karyanya dan memutuskan untuk menjadi fansnya."
"Raya, bukannya hari ini kau ada acara keluarga? Kau bilang kemarin tidak bisa ikut dengan kami ke gramed!"
Mendengar itu Nara spontan mengangguk.
"Ah, kau benar. Maafkan aku, mungkin kita bisa pergi lain kali."
Sepulang sekolah Nara langsung pulang mengingat mamanya meminta dia untuk segera kembali.
"Nara pulang!" teriaknya.
Dia melihat ke arah ruang tamu dan sudah ada sang mama. Bergegas Nara berlari dan menghampiri wanita itu.
"Kenapa mama minta Nara untuk pulang cepat?" Nara bertanya sembari melepaskan tas yang sejak tadi berada di pundaknya.
"Mama punya sesuatu buat kamu!"
Segera wanita itu mengeluarkan sebuah kotak dengan motif kuno membuat Nara mengernyitkan dahinya.
"Apa ini?"
Nara mengambil kotak kecil itu dari mamanya, lantas membukanya.
"Mama tadi lewat toko barang antik dan nemuin ini. Beberapa hari yang lalu kamu mengamuk meminta untuk dibelikan barang ini, apa kamu tidak ingat?"
Nara melihat adanya sebuah kalung di dalam kota tersebut dengan lambang bunga.
"Oh, benar. Waktu itu, Nara, Raya sama Maya pergi ke toko barang antik dan melihat kalung ini. Makasih, ma. Nara pasti akan menyimpan ini dengan sangat baik."
Sore itu Nara baru saja pulang dari jalan-jalannya bersama Maya, begitu tiba di kamar, dia segera menghampiri kalung yang tergantung di sebelah meja rias. Ia sendiri belum mau menggunakannya, karena menurutnya kalung tersebut sangatlah bagus hingga takut menjadi pusat perhatian siswa lainnya besok.
Malamnya Nara duduk lagi di depan meja rias, dia menatap kalung itu lama hingga akhirnya menggeleng dengan cepat.
"Aku akan mencobanya. Siapa tahu cocok denganku!"
Nara langsung memakaikan kalung itu ke lehernya. Dia menatap dirinya di cermin.
"Ternyata memang cocok!"
Nara penasaran lambang bunga apa yang ada dikalungnya itu, segera dia memotretnya dan mencarinya di internet.
"Kamelia?"
Ketika sedang asik membaca, Nara seperti mendengar suara beberapa orang yang berbicara. Detik kemudian hanya ada keheningan yang menyapanya. Awalnya Nara tak mau ambil pusing, tetapi terdengar suara pria seperti memanggilnya. Ketika dia berkedip, Nara terkejut saat mendapati dirinya berada di suatu kelas.
Seseorang menepuk pundaknya, membuat gadis itu terkejut bukan main dan berdiri hingga kursi yang dia duduki terjatuh membuat kebisingan hingga kelas itu seketika hening. Semua mata kini tertuju padanya, Nara menatap mereka dengan keheranan.
"*Ini mimpi? Tunggu, tetapi tadi aku belum tidur dan masih memegang ponselku. Tidak mungkin aku tiba-tiba berpindah alam*?"
Nara membatin dengan banyaknya pertanyaan yang terlintas di benaknya. Kala itu Nara masih kebingungan hingga seseorang masuk ke kelas mereka membuatnya menjadi berisik. Manik indah itu menatap orang yang baru masuk hingga pandangan keduanya saling bertemu.
Dia membeku di tempat saat melihat siapa yang dilihatnya.
"*I-itu Ha Joon*?" tanyanya dalam hati.
Mata Nara memperhatikan pria yang perlahan mendekatinya. Terlihat betapa manisnya pria itu tersenyum ke arahnya membuat para siswi menjadi iri.
Nara sendiri masih bergelud dengan pikirannya.
"Aku sudah menunggumu di kantin sejak tadi, tapi kau tidak datang jadi aku belikan roti dan susu rasa strawberry."
Dia meletakannya di atas meja dan kembali menatap Nara. Wajah gadis itu masih menunjukan keterkejutan membuatnya bingung.
"Kau demam?" tanyanya lantas meletakan punggung tangannya di dahi Nara membuat gadis itu mundur secara spontan.
"Kau tidak demam. Pokoknya roti dan susunya jangan lupa dimakan. Aku kembali ke kelas dulu, sampai nanti!"
Setelah pria yang diyakini mirip Ha Joon keluar, Nara baru kembali mengedipkan matanya.
Kini gadis itu sedang berada di dalam toilet. Dia menatap dirinya di cermin.
"Benar, ini wajahku. Hanya saja, kenapa pria itu mirip dengan karakter komik yang aku baca? Terlebih, bagaimana bisa aku berada di sini?"
Nara menatap pipinya yang memerah akibat tamparannya sendiri. Dia ingin memastikan bahwa ini mimpi atau tidak.
"Ah, pipiku sakit. Ini jelas bukan mimpi, tetapi kenapa aku bisa masuk ke dalam komik itu? Tidak mungkin, semuanya tidak masuk akal. Ayolah, ini bukan drama Korea. Lagipula bagaimana bisa seorang gadis sepertiku masuk ke dalam komik negara asing, huh?"
Nara kembali mencuci wajahnya, mencoba menghilangkan bekas tamparannya. Setidaknya dia harus mencoba mengingat detail setiap chapter yang dia baca.
"Aku tidak ingat ada adegan di mana Ha Joon memberikan roti pada seorang gadis. Apa aku melewatkan adegan itu?" tanya Nara dengan kebingungan.
Saat kembali menatap dirinya di cermin, dia menemukan adanya kalung dengan lambang bunga kamelia berada di lehernya.
"Jangan-jangan aku memang masuk ke dunia komik seperti yang di drama-drama itu. Lalu, apa yang harus aku ubah? Tidak tidak, pikirkan saja apa peranmu di komik ini!"
Nara keluar dari toilet dan segera kembali ke kelasnya. Tiba-tiba dia teringat bahwa di komik itu adalah salah satu karakter pendukung yang tiba-tiba pindah ke sekolah tempatnya berdiri sekarang.
"Jangan-jangan aku jadi dia!"
Tibalah di kelas, Nara melihat seorang gadis duduk di tempatnya. Begitu mendekat, perempuan itu mendongak.
"Nara, Halo!" sapanya membuat Nara tersenyum canggung.
"*Dia baru saja memanggilku Nara. Itu berarti aku menggantikan siswa baru itu*?"
"O-oh, halo ... " Nara memperhatikan nametag gadis itu dan mulai menyebutkan namanya. "Ji Hye!"
Gadis bernama Ji Hye itu tersenyum dan tiba-tiba memukul lengan Nara.
"Ah, kenapa kau terlihat canggung denganku. Akukan sahabatmu yang paling lucu!"
Nara kembali teringat kalau siswa baru itu memang memiliki seorang teman sehari setelah dia pindah.
"Ahahaha, aku hanya bercanda."
Nara akhirnya duduk di tempatnya, tiba-tiba Ji Hye berbalik dan mulai berbicara.
"Aku dengar In Su akan mengadakan pesta ulang tahun di sekolah. Wah, pasti semuanya diundang. Aku tidak sabar ingin melihatnya mengenakan jas."
Nara hanya bisa mendengarkan tanpa mau bersuara. Mendengar nama In Su saja sudah cukup membuktikan bahwa dirinya memang masuk ke dalam komik berjudulkan "Figuran".
Saat membaca ending dari komik tersebut, Nara bingung mengapa penulisnya justru memberi judul buku itu figuran padahal karakter sampingan tidak memiliki banyak dialog di dalamnya dan terus berfokus pada tiga orang yaitu Ha Joon, In Su dan seorang gadis.
Sore itu Nara sedang berjalam menuruni anak tangga sekolahnya. Dia menatap bangunan di belakangnya itu, benar-benar besar dan mirip dengan yang digambar di komiknya.
"Wah, aku tidak menyangka akan masuk ke dalam komik itu. Cuma bagaimana bisa? Apa aku telah membuka gerbang ke isekai atau semacamnya?"
Saat sedang bergumam sendiri, seorang pria tiba-tiba datang dan merangkul Nara membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan menengok ke samping.
"Mau pulang bersama?" tawarnya, tetapi Nara justru membeku ditempat.
Siapa yang tidak akan jantungan kalau ditatap sedekat ini.
"Nara?"
Nara tersadar dan segera menjauhkan diri.
"Ahaha, tidak usah. Aku bisa pulang sendiri, hmm sampai nanti!"
Setelah melambai, dia bergegas lari menuruni anak tangga.
Dibalik itu, seseorang dengan pakaian jas hitam menatap keduanya dari lantai tiga. Detik berikutnya dia menghilang bak ditelan bumi.
Bersambung...
Hari ini Nara bersekolah seperti biasa, bedanya sekarang dirinya menjadi salah satu karakter komik yang kemungkinan besar perannya tidak terlalu penting. Tidak masalah, lagipula dia bebas melakukan apapun.
Ketika membuka loker, dia melihat sepatu miliknya memiliki bekas bakar. Ketika berbalik, dia menemukan tiga orang gadis tengah berjalan mendekatinya dan tertawa terbahak-bahak.
"Itu akibatnya kalau kau masih berani mendekati Ha Joon. Kau pikir kita akan melepaskan kau begitu Ha Joon memintanya? Tentu saja tidak!"
Nara menatap mereka dengan keheranan, detik berikutnya dia ingat bahwa tiga orang ini seharusnya membuli karakter utama dari komik figuran dan bukan dirinya.
"Memangnya kalian pikir aku takut dengan ancaman itu?" tanya Nara dengan menatap mereka serius.
"Tanpa bantuan Ha Joon, aku bisa mengatasi perudung seperti kalian. Jangan kira aku akan diam jika dibuli. Aku bukan perempuan yang akan menangis begitu kalian ancam. Kita lihat kedepannya, siapa yang akan lebih sengsara nantinya!"
Setelah mengatakan itu, Nara tersenyum dan membanting pintu lokernya membuat ketiga gadis tersebut terkejut bukan main.
Di kelas, Nara nampak sedang memikirkan alur cerita.
"Kalau tidak salah pesta ulang tahun In Su akan ada sebuah tragedi kehilangan nyawa. Yah, komik itu akan semakin menyenangkan ketiga adegan seperti itu ditunjukan."
Nara mengetuk-ketuk dagunya dengan pena. Pikirannya terbang ke mana-mana hingga seseorang tiba-tiba duduk di depannya.
"Hai!" sapanya membuat Nara langsung tersadar dari lamunannya.
"O-oh, halo Ha Joon."
Nara masih terlihat canggung pada pria itu, terlebih pada komiknya Ha Joon justru menyukai pemeran utama perempuan dan berakhir mati dengan tragis.
Entah kenapa memikirkan endingnya membuat air mata Nara tiba-tiba mengalir ke pipinya hingga Ha Joon langsung mengubah ekspresi wajah dan mengusap lembut air mata Nara.
"Kenapa tiba-tiba kau menangis? Apa mereka masih mengganggumu?" tanya Ha Joon dengan raut wajah khawatir.
Kala itu Nara langsung menghapus air matanya dan tersenyum.
"Aku hanya teringat sesuatu yang sedih saja."
Ha Joon melihat itu masih menunjukan raut khawatir. Pasalnya dia tak pernah melihat Nara menangis dan ini adalah yang pertama.
"Jangan menangis, kau hanya akan membuatku semakin khawatir!"
Nara speechless mendengar ucapan itu. Setahunya Ha Joon adalah tipekal pria yang tidak peka terhadap perasaannya sendiri dan juga sekitarnya.
"Tidak tidak, aku hanya ... Sudahlah, lupakan saja."
Tiba-tiba terdengar suara pengumuman.
"Itu suara In Su!"
"Hei, semuanya diam!"
Mereka akhirnya diam dan mendengarkan apa yang In Su katakan.
"Aku mengundang kalian semua untuk mendatangi acara ulang tahunku nanti malam, terima kasih!"
Para siswa di kelas Nara nampak bahagia dan mulai membicarakan bahwa mereka harus tampil mempesona.
"Nanti malam kau akan datang?" tanya Ha Joon pada Nara membuat gadis itu langsung menatap pria di depannya.
"Aku akan datang!"
"Tentu saja aku datang. Akan ada kejadian besar yang kemungkinan besar akan membuatmu dalam masalah. Aku harus mencegahnya apapun yang terjadi!" batin Nara mantap.
"Baiklah. Jam tujuh nanti aku akan menjemputmu."
"Oke ... Eh, me-menjemputku?"
Nara terkejut mendengar kalimat Ha Joon, tetapi lebih terkejut dengan ucapannya sendiri. Pria tersebut nampak tersenyum melihat raut keterkejutan gadis di depannya itu.
"Kenapa? Kau tidak mau?" tanyanya membuat Nara spontan menggeleng.
"Jam tujuh, jangan lupa!"
Ha Joon beranjak dari sana dan sebelum itu dia sempat mengusap lembut kepala Nara. Mendapatkan perlakuan seperti itu tentu saja jantung Nara berdetak dengan cepat bahkan pipinya mulai memerah.
Detik berikutnya dia melihat seorang gadis dengan rambut sepundak berjalan memasuki kelasnya. Dia tersenyum dan segera berdiri di depan kelas.
"Perhatian semuanya. Seperti yang kalian tahu kalau In Su akan mengadakan ulang tahunnya di sekolah ini jadi dia meminta kita untuk datang membawa pasangan tidak masalah jika datang dengan sahabat kalian selagi itu masuk kategori berpasangan. Ah, kalian tidak ada yang memilih Ha Joon, kan? Jadi aku berniat ingin pergi bersamanya. Baiklah, sampai nanti!"
Mendengar itu Nara spontan mengernyitkan dahi. Beberapa gadis terlihat menyinyir perempuan tadi.
"Apa sebenarnya mau perempuan itu. Dia selalu memberikan harapan pada Ha Joon, lalu mencoba mendekati In Su!"
"Benar. Seakan mereka berdua adalah miliknya!"
"Itulah kenapa aku sangat membenci dirinya. Dia memanfaatkan kerjasama antara ayahnya dan ayah Ha Joon. Perempuan licik!"
Nara mendengar semua gosipan mereka. Dia juga baru sadar bahwa penampilan dan wajahnya mirip dengan karakter utama dari komik yang dia masuki sekarang.
"Jadi karakter yang ada di komik dan di sini berbeda atau justru inilah sifat asli mereka?"
Nara mencoba menebak. Bisa jadi apa yang dia pikirkan memang benar adanya. Saat sedang asik berpikir, tiba-tiba datanglah teman Nara.
"Nara, nanti malam kau akan datang dengan siapa?" tanyanya membuat Nara kembali berpikir.
Tadi Ha Joon mengajaknya untuk pergi bersama, tetapi si karakter utama itu justru ingin pergi bersama pria tersebut.
"Tunggu. Kalau aku pergi dengan Ha Joon nantinya, itu berarti Arin akan mulai mengenalku dan perlahan cerita di komiknya juga berubah. Kalau begitu aku akan terima ajakan Ha Joon dan membuat Arin berpikir dia memiliki saingan baru!" batin Nara tersenyum.
"Ji Hye, aku pergi dulu. Nanti akan aku beritahu dengan siapa aku datang!"
Nara segera berlari keluar membuat Ji Hye kebingungan.
Menurut perkiraannya, Ha Joon suka musik jadi pasti pria itu sedang berada di saja. Segera saja Nara berlari ke arah ruang musik. Anehnya dia seperti sudah mengenali setiap sudut sekolahan itu dengan detail.
Baru saja akan akan masuk, dia mendengar suara dua orang sedang berbicara.
"Datanglah denganku Ha Joon. Kau tidak mau membuat ayahmu kecewa, kan?"
"Aku sudah memiliki pasangan untuk ke pesta In Su jadi kau cari orang lain saja. Lagipula yang melakukan kerjasama itu bukan kita, tetapi ayah kita."
"Kau berani menolak ajakanku? Siapa perempuan yang berani mengajakmu untuk menjadi pasangan?"
"Aku!"
Dua orang tersebut spontan menengok ke arah pintu. Mereka melihat Nara berjalan ke arah Ha Joon dan tiba-tiba memeluk lengan pria itu.
"Aku yang mengajak Ha Joon untuk menjadi pasangannya."
Arin menatap Nara dengan bingung.
"Siapa kau? Aku tidak pernah tahu ada seorang gadis selain diriku yang dekat dengan Ha Joon!"
"Hah, tentu saja kau tidak akan ingat. Aku hanyalah karakter figuran yang dibuat oleh penulis, tetapi kedatanganku ini tentu akan mengubah alur komik dan membuat ending yang bahagia untuk Ha Joon!"
"Padahal kau tadi masuk ke kelasku. Cepat atau lambat kau akan tahu siapa aku!"
Nara kemudian mendongak, menatap Ha Joon yang sejak tadi memperhatikannya dengan senyuman yang tak kunjung luntur.
"Mau ke kantin bersamaku? Aku lapar!"
Ha Joon pun mengangguk. Dia senang ketika Nara memiliki inisiatif untuk mengajaknya. Lantas mereka berdua mulai berjalan meninggalian Arin sendirian dengam raut kesal. Dia mengambil ponsel dan mulai menelepon seseorang.
"Carikan latar belakang perempuan yang dekat dengan Ha Joon!"
Di sisi lain terlihat Nara menikmati makanannya. Setidaknya dia bisa merasakan makanan Korea sekali dalam seumur hidup. Ah, bukan sekali, sih.
"Wah, aku tidak tahu kalau makanan mereka enak-enak. Pantas saja orang Korea makan dengan lahap," batinnya dengan terus melahap makanannya bahkan kini pipinya telah penuh dengan nasi dan sayur.
Ha Joon yang melihat itu hanya tersenyum. Menggemaskan kala melihat Nara yang makan seperti anak kecil. Tiba-tiba gadis itu tersedak, dengan cepat Ha Joon memberikannya air.
"Makannya pelan-pelan saja, tidak akan ada yang mengambil makananmu."
Nara meneguk habis airnya.
"Aku hanya tidak pernah memakan makanan negara kalian."
Saat sadar dengan apa yang dia katakan, Nara segera mencari alasan lain.
"Ahaha, maksudku adalah aku biasanya di rumah jarang makan makanan seperti di kantin sekolah kita."
Haru hanya tersenyum dan mulai berbicara.
"Benar. Kau kadang akan menolak jika pergi ke kantin. Sekalipun pergi, kau hanya mau makan roti saja."
Nara menatap Ha Joon. Pria di depannya ini benar-benar bisa membunuhnya dengan senyuman yang sejak tadi bertahan di bibirnya.
"Eum, kau suka makan kadal tidak?" tanya Nara.
Saking kehabisan topik pembicaraan, dia sampai bertanya hal yang tidak masuk akal. Ha Joon yang mendengar itu menjadi bingung, sementara Nara langsung memukul kepalanya sendiri dengan pelan.
"Maksudku, nanti malam kau pakai jas warna apa?"
Nara tersenyum canggung ke arah Ha Joon.
"Oh, aku pakai warna hitam. Kenapa? Kau juga mau pakai dress warna yang sama?" tanyanya membuat Nara langsung linglung.
"Tentu saja, kitakan pasangan untuk pergi ke acara ulang tahun In Su ahahaha."
Nara mencoba menghilangkan kecanggungan yang dia ciptakan walau sebenarnya hal itu hanya dia yang merasakan, karena sejak tadi Ha Joon menatapnya dengan senyuman yang enggan luntur.
Siang itu Nara sedang duduk di taman utama sekolah. Matanya sejak tadi memandangi lambang bunga kamelia hingga tak sadar ada seseorang yang duduk di sebelah hingga akhirnya orang itu bersuara.
"Berikan ending yang bahagia untuk Ha Joon!"
Mendengar itu membuat Nara langsung terpelonjak kaget.
"Astaga, ahaha sejak kapan paman ada di situ?" tanya Nara dengan menatap pria paruh baya itu.
"Hanya kau satu-satunya harapan bagi Ha Joon. Pria itu sudah banyak menderita selama ini. Peran yang dia dapatkan selalu berakhir tragis. Ha Joon hanya ingin memiliki ending yang bahagia."
Mendengar itu membuat hati Nara teriris. Apalagi raut wajah pria itu seperti menunjukan kesedihan dan kekhawatiran secara bersama. Perlahan Nara mulai menampakan senyum manisnya.
"Bukankah itu peranku sekarang? Tunggu, bagaimana bisa paman me-"
Pria paruh baya itu menatap manik Nara. Dia bisa melihat dengan jelas betapa gadis di depannya ini mampu mengubah nasib putranya.
Benar, pria yang duduk dengan Nara sekarang adalah ayah Ha Joon. Selama proses jalan cerita yang mereka alami, ayahnya selalu menjadi saksi bisu bagaimana anaknya diperlakukan secara tidak adil oleh pencipta mereka. Namun, ketika cerita telah selesai dibuat, maka suatu keberkahan bagi setiap karakternya untuk bebas melakukan apapun, seperti sekarang.
Hanya saja, jika ingin mengubah jalan ceritanya maka perlunya campur tangan dari karakter yang tidak tertulis di dalam cerita itu.
"Lambang pada kalungmu itu adalah bunga kamelia merah muda yang memiliki makna yaitu kerinduan. Kau adalah orang yang dirindukan oleh anakku."
Nara lagi-lagi terkejut mendengar kata 'anakku'. Dia langsung berpikir bahwa pantas saja wajahnya seperti tidak asing.
"Hanya kau yang dapat menemukan jawaban dari setiap pertanyaan dari pikiranmu. Kau adalah kuncinya. Tolong selamatkan anakku."
Bersambung...
Malam itu Nara menatap dirinya di cermin. Dia melihat kalungnya, begitu indah. Sebuah ketukan terdengar membuatnya segera mempersiapkan diri.
"Nara, Ha Joon sudah menunggumu di bawah. Jangan buat dia menunggu, cepatlah!"
"Iya, ma!"
Nara bergegas keluar dengan dress hitam. Kaki jenjangnya menambah kesan seksi padanya, apalagi pundak yang terekspos sempurna. Awalnya Nara enggan menggunakannya, tetapi Ji Hye bersikeras mau temannya itu memakai dress tersebut, apalagi Nara tipekal perempuan yang hampir tidak pernah menggunakan dress.
Begitu dia menuruni anak tangga, pandangan Ha Joon terus tertuju padanya. Pria itu seakan tersihir dengan penampilan anggun Nara malam ini.
"Ayo kita pergi!" ajak Nara membuat Ha Joon seketika tersadar dari lamunannya.
Melihat pundak Nara yang terekspos, dia pun melepas jas hitamnya dan memakaikannya ke pundak gadis itu.
"Di luar dingin!"
Nara hanya mengangguk, sementara Ha Joon menggandeng tangan Nara dan membawanya ke mobil. Mama Nara melihat itu hanya tersenyum.
Diperjalanan, entah mengapa perasaan Nara menjadi campur aduk. Mereka akhirnya tiba di sekolah dan acaranya diadakan di aula. Terlihat banyak sekali mobil yang terparkir di garasi sekolah.
Sekolah yang mereka tempati ternyata sekolah bergengsi. Jadi kebanyakan yang bersekolah adalah siswa-siswa kaya.
Lagi, Ha Joon menggandeng tangan Nara dan membawa pergi ke aula. Setibanya di sana, keduanya menjadi pusat perhatian. Seseorang spontan berlari ke arah Nara.
"Naraa, wah kau cantik sekali. Aku bilang apa, kau pasti akan menarik perhatian banyak orang!"
Itu adalah Ji Hye. Dia lantas menatap Ha Joon di sebelah Nara dan menyapanya sebentar lalu mulai menarik tangan Nara.
"Kau harus memberikan ucapan selamat pada In Su sebelum Arin lebih dulu!"
Mendengar itu tentu membuat Nara kebingungan. Kenapa dia harus mendahului Arin? Sedangkan Nara sama sekali tidak tertarik dengan pria itu. Mereka tiba di hadapan In Su, pria itu menatap Nara terkejut. Bagaimana bisa dia menjadi cantik dua kali lipat setelah menggunakan dress.
"Se-selamat ulang tahun In Su. Kadonya nanti supirnya Ha Joon yang membawanya masuk!"
Mendengar nama Ha Joon, senyum In Su perlahan memudar. Nara memperhatikan dan menjadi bingung sekarang.
"Terima kasih. Silahkan dinikmati kuenya!"
Nara pun segera memisahkan diri dan mencari keberadaan Ha Joon. Sudah mencari ke mana-mana, tetapi pria itu sama sekali tidak terlihat.
"Kalau tidak salah pembunuhan itu terjadi ketika Ha Joon tidak menampakan dirinya di acara ini jadi dia menjadi tersangkanya. Aku harus mencari Ha Joon!"
Nara terus mencari-cari pria itu hingga akhirnya melihat Ha Joon yang sedang duduk di bawah pohon. Pria itu menatap langit yang dipenuhi dengan bintang-bintang.
Dia memperhatikan Ha Joon dan langsung menghampirinya.
"Kenapa duduk di sini?" tanya Nara membuat Ha Joon spontan menengok ke arahnya.
Nara memperhatikan langit, dia benar-benar menyukai pemandangan seperti ini.
"Apa kau sebegitunya suka dengan langit?" tanya Nara sembari menatap Ha Joon.
Kini pandangan keduanya saling bertemu, Ha Joon menatap Nara dengan intens membuat jantung gadis itu berdetak dua kali lebih cepat.
"Iya, aku suka!" sahut Ha Joon yang kemudian memutuskan kontak mata itu.
"Kau tidak berniat mengucapkan selamat pada In Su?" tanya Nara lagi, sedetik kemudian dia baru sadar bahwa In Su dan Ha Joon tak pernah akur.
"Tidak perlu. Acaranya akan tetap berjalan meskipun aku tidak mengucapkannya."
Saat keduanya tengah asik berbicara, Nara kemudian mendengar seperti ada suara langkah kaki. Dia langsung menengok ke belakang dan melihat seseorang menggunakan jaket berjalan gudang. Kali ini Nara yakin bahwa dia adalah pelaku pembunuhan yang pada akhirnya membuat Ha Joon masuk ke penjara.
Nara lantas mengambil ponselnya dan meminta Ha Joon untuk berpose.
"Ha Joon, berposelah. Aku akan mengambil gambar!"
Awalnya Ha Joon enggan melakukannya karena memang dia tidak suka berfoto, tetapi Nara terus memaksanya hingga akhirnya gambar telah diambil.
Nara pun berdiri dan menatap Ha Joon.
"Ha Joon, kau percaya padaku tidak?" tanya Nara membuat pria di depannya itu kebingungan.
"Katakan, kau percaya atau tidak?"
Ha Joon kemudian mengangguk membuat Nara tersenyum.
"Kalau begitu kau segera kembali ke aula, aku harus ke toilet!"
Ha Joon pun langsung berdiri.
"Aku akan menemanimu!"
Nara tertawa kecil mendengarnya.
"Jangan, nanti kita disangka sedang melakukan hal yang macam-macam. Sudah sana!"
Nara mendorong Ha Joon untuk masuk ke aula, sementara dirinya perlahan mulai berjalan ke arah gudang. Tentu saja Ha Joon tidak langsung menyetujui ucapan Nara. Dia lantas mulai mengikuti gadis itu dan melihatnya berjalan ke arah gudang.
"Apa yang Nara lakukan di sana?"
Nara sendiri sudah berada di depan pintu gudang. Beruntung sekali cahaya lampu di sana sangat terang jadi Nara tak perlu sampai harus tersandung.
Dia mulai membuka pintu gudang perlahan dan memperhatikan orang tadi. Nampak ada seorang gadis yang terikat dengan pakaian sekolah yang masih melekat di badannya.
Demi menghentikan pembunuhan ini terjadi agar alur komiknya dapat terubah, Nara langsung masuk dan melempari orang itu menggunakan sebuah kayu.
"Hei, apa yang sudah kau lakukan? Menculik seorang siswi, huh?" tanya Nara membuat orang itu terkejut bukan main.
"Sial!" umpat pria itu.
Nara pun berjalan tanpa tahu akibat apa yang akan ditanggungnya nanti. Begitu melewati orang itu, Nara merasakan adanya sesuatu yang menusuk perutnya.
Gadis yang terikat itu berteriak dengan histeris kala melihat perut Nara ditusuk menggunakan pisau. Ha Joon yang melihat itu segera berlari dan menghajar orang tersebut.
Bahkan wajah Ha Joon menunjukan kemarahan hingga orang itu tak sadarkan diri. Dia lantas berlari ke arah Nara yang perlahan kehilangan keseimbangan.
"Nara, bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit jadi kau harus bertahan!"
Nara menatap wajah Ha Joon yang terlihat begitu khawatir.
"Le-lepaskan dulu perempuan itu!"
Ha Joon yang awalnya tidak peduli pun akhirnya menuruti ucapan Nara. Gadis itu membungkuk dan sangat amat berterima kasih pada Ha Joon dan Nara karena telah membebaskannya. Ternyata dia sudah dua hari terikat di sana dan tidak ada seorang pun yang menyelamatkan dirinya, dia juga tidak tahu siapa yang telah menyekapnya.
Ha Joon tak peduli lagi, dia harus membawa Nara ke rumah sakit sekarang.
.
.
.
Seorang gadis dengan infus yang berada di tangannya terbangun. Matanya menatap ruangan bernuansa putih itu dan langsung teringat apa yang terjadi. Begitu melihat ke samping, dia tak menemukan siapapun. Nara menjadi khawatir dan takut jika pembunuhan itu masih tetap terjadi, maka kemungkinan besarnya dia tidak bisa mengubah ending dari komik figuran itu.
Nara melihat perutnya sudah mendapatkan perawatan jadi dia bergegas keluar dengan melepaskan infusnya dan mencari-cari keberadaan Ha Joon. Bayangkan potongan komik yang dia baca di bagian Ha Joon ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan membuatnya semakin khawatir.
Dia terus berjalan menggunakan pakaian pasien hingga akhirnya Nara berhenti ketika melihat punggung pria yang dia kenal. Entah kenapa rasanya lega sekali bahkan air matanya spontan keluar.
Nara berjalan dan langsung memeluk pria itu begitu dia berbalik. Ada isakan kecil di sana.
"Nara? Kenapa kau menangis? Apa perutmu sakit?"
Dalam pelukannya, Nara menggeleng dan langsung mendongak tanpa mau melepaskan pelukannya.
"Aku hanya senang!"
Jawaban Nara tentu membuat Ha Joon kebingungan.
"Ayo kembali. Kau masih harus dirawat sampai lukamu benar-benar tertutup!"
Nara melepas pelukannya dan mengangguk, dia juga terlihat tersenyum. Saat memeluk Ha Joon tadi, dia bisa merasakan bahwa detak jantung pria itu berdetak lebih cepat.
Sorenya Ji Hye, In Su dan seorang pria mendatangi Nara. Mereka membawakan gadis itu dengan buah-buahan.
"Naraa!" panggil Ji Hye.
Gadis itu segera memeluk Nara yang tengah duduk sembari berbicara dengan Ha Joon.
"Oh, Ji Hye. Wah, kalian datang?"
Nara memperhatikan pria di sebelah In Su.
"*Jangan bilang dia pacarnya Ji Hye*?" tanya Nara membatin.
"Bagaimana bisa orang sinting itu melukaimu. Beruntung ada Ha Joon yang langsung membawamu ke rumah sakit."
Nara tersenyum melihat betapa khawatirnya Ji Hye.
"Maafkan aku."
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!