Tiiit........
Tiiit........
Seorang wanita cantik berkacamata hitam mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewahnya. "Hei, bisakah kamu minggir!" teriaknya.
Pria yang menggunakan motor tua tampak santai dan hanya bisa menoleh sebentar namun tak berniat menggeserkan kendaraannya.
Wanita cantik itu lantas keluar dari mobilnya dan menghampiri sang pria. "Hai, aku lagi bicara padamu. Apa kamu tidak mampu mendengar?" omelnya.
Pria itu menghela napas lalu menjawab, "Nona, motorku rusak. Jadi, saya harap anda memakluminya."
"Aku sangat buru-buru, kenapa harus diriku yang memakluminya?" tanyanya dengan congak.
Pria itu lantas turun dari motornya dan mendorong kendaraannya sedikit ke depan agar mobil wanita tersebut dapat lewat.
"Motor tua seperti itu, tidak seharusnya kamu pakai!" umpatnya.
Wanita cantik dan sombong itu kemudian memasuki mobil mewahnya. Dengan sengaja ia membunyikan klakson sekencang mungkin.
Pria pengendara motor hanya mengelus dada dan menggelengkan kepalanya ketika mobil merah itu melewatinya.
Setibanya sang wanita di gedung kantor perusahaannya....
Hana Larasati Abraham, wanita muda berusia 24 tahun keluar dari mobil mewah pemberian sang ayah. Berjalan dengan anggun dan angkuh melewati para karyawan yang berdiri menyambut kedatangannya.
"Selamat pagi, Nona!" sapa seorang wanita berusia 27 tahun.
"Pagi!" Hana membuka kacamata hitamnya.
"Tuan Harsya sudah menunggu anda di ruangan rapat," ujar wanita bernama Inka.
"Kenapa ayahku cepat sekali datangnya?" Hana tampak heran padahal dia lebih dahulu berangkat.
"Saya tidak tahu, Nona."
Hana mempercepat langkah kakinya.
Sesampainya di ruangan rapat, ia membuka pintu.
"Ayah kenapa hanya kita saja?" tanya Hana, mengedarkan pandangannya karena cuma ada dirinya dan Harsya.
"Duduklah, Nak. Para rekan kerja kita sedang di perjalanan," jawab Harsya.
"Aku pikir kita akan segera memulai rapat," celetuk Hana.
"Ayah sengaja mengatakan jika rapat akan diadakan pagi ini biar kamu tidak terlambat. Kenyataannya, kamu memang telat lima menit!" Harsya memperhatikan arloji di tangannya.
"Ayah, sebenarnya aku tidak terlambat karena pria bodoh itu makanya ku jadi telat."
"Jangan menjadikan alasan orang lain untuk menutupi kesalahanmu, Nak!"
"Ayah, aku tidak berbohong," Hana berusaha membela diri.
"Iya, Nak. Ayah percaya padamu hari ini," Harsya tersenyum.
"Jadi, selama ini ayah tidak percaya padaku?"
"Ayah percaya, Nak. Mana mungkin putri kesayangan kami melakukan kebohongan," Harsya menjawab agar putrinya tak cemberut.
Hana tersenyum lalu memeluk ayahnya yang sedang menatap kota dari jendela.
"Sebentar lagi mereka datang persiapkan dirimu!"
"Iya, Yah."
Tak lama kemudian para rekan kerja Harsya yang akan melakukan kerja sama dengan perusahaannya pun tiba.
Hana yang sangat cantik menjadi pusat perhatian para pria.
Harsya sampai berkali-kali berdehem agar para pria muda memperhatikan penjelasan putrinya daripada menganggumi kecantikannya.
Hana yang melemparkan senyumannya membuat para pria tersipu.
Sejam mengadakan rapat, Hana meninggalkan tempat tanpa bersalaman kepada rekan bisnisnya.
Para pria itu pun tak berani bertanya tentang Hana kepada Harsya karena takut.
Hana memasuki ruang kerjanya dengan perasaan lega, akhirnya rapatnya lancar dan semuanya setuju dengan keputusannya.
Telepon di meja kerjanya berdering, Hana lantas menjawabnya, "Halo, Ayah!"
"Ke ruangan kerja Ayah sekarang, Hana!"
"Baiklah, Yah."
Hana lantas berdiri dan berjalan menuju ruangan sang ayah.
Tampak seorang pria muda sedang berhadapan dengan ayahnya.
Hana lantas mensejajarkan posisinya dengan pria itu dan ia menoleh, matanya membulat ketika mengetahui seseorang yang ada disampingnya. "Kamu!"
"Kamu mengenalnya, Nak?" tanya Harsya.
"Karena dia aku menjadi terlambat, Yah!" Hana menunjuk wajah pria yang ada di sebelahnya.
"Maafkan saya, Nona!" pria itu menundukkan kepalanya.
"Hana, dia Dennis. Keponakannya Paman Alpha," jelas Harsya.
"Apa!" Hana tampak terkejut.
"Iya, Nak."
"Kenapa dia di sini?" tanya Hana tak suka.
"Sayang, mulai hari ini dia akan berkerja denganmu," jelas Harsya lagi.
"Ayah tidak salah?"
"Tidak, Nak."
"Dia akan menjadi sopir pribadimu," ucap Harsya.
"Aku tidak butuh sopir, Yah!" Hana menolaknya.
"Ayah tidak mau hal buruk menimpamu apalagi kamu mengendarai mobil tak memikirkan pengendara lainnya," ungkap Harsya.
Hana pun terdiam.
"Mulai sekarang dia bekerja untukmu," ujar Harsya.
Hana memang dari dulu tak menyukai Dennis meninggalkan ruangan kerja ayahnya.
"Dennis, maafkan putri saya!"
"Tidak apa-apa, Tuan."
"Temui dia di ruangannya, tanyakan saja apa pekerjaanmu padanya," titah Harsya.
"Baik, Tuan."
Dennis lalu melangkah ke ruangan kerjanya Hana dengan bertanya-tanya kepada para karyawan yang lainnya.
Inka menghubungi Hana, "Nona, Tuan Dennis ingin bertemu dengan anda."
"Suruh dia masuk!" titahnya dari ujung telepon.
"Baik, Nona." Inka menutup panggilannya.
Inka mengarahkan pandangannya kepada pria dengan tinggi 175 cm dan hidung mancung serta berkulit putih bersih ciri khas orang Asia.
"Tuan, anda dipersilakan masuk," ucapnya.
"Baiklah, terima kasih!" Dennis menundukkan kepalanya tanpa senyuman.
"Sama-sama, Tuan."
Dennis membuka pintu dan tak lupa mengucapkan kata, "Permisi!"
Hana tak menjawab.
Pintu tertutup, kini ada dirinya dan Hana di ruangan.
"Mau apa ke sini?" tanya Hana ketus.
"Saya ke sini di suruh Tuan Harsya menanyakan tugas," jawab Dennis.
"Mobil milikku sangat mahal, kamu bekerja sepuluh tahun di perusahaan ini belum tentu mampu membelinya. Apa bisa mengendarainya?" Hana memandang sepele pria yang ada dihadapannya.
Dennis hanya mengangguk.
Hana mengambil kunci dari dalam lacinya lalu ia tunjukkan pada Dennis. "Ambil!"
Belum tangan Dennis terulur, Hana dengan sengaja menjatuhkannya di lantai.
Dennis sejenak menatap kunci lalu mengarahkan wajahnya kepada Hana.
"Kenapa diam? Cepat ambil!" perintahnya dengan angkuh.
Dennis lantas mengambilnya lalu memperbaiki posisi berdirinya.
"Aku tidak mau kamu memakai pakaian lusuh seperti itu. Pergilah ke bagian karyawan dan minta pakaian seragam sopir. Kamu bisa tanyakan kepada sekretarisku!"
"Baik, Nona."
"Setelah berganti pakaian, tolong lap mobil," titahnya.
"Iya, Nona."
"Keluarlah dan kerjakan perintahku!"
Dennis mengangguk dan bergegas keluar ruangan.
-
Hana tidak keluar makan siang karena ayahnya telah lebih dahulu meninggalkan kantor sejam lalu.
Hana menelepon sekretarisnya untuk membelikan makan siang untuknya.
"Saya akan menyuruh OB membelinya, Nona."
"Tidak perlu, kamu suruh sopir baruku saja!"
"Nona, apa dia tahu pesanannya?"
"Kamu harus jelaskan padanya!"
"Baik, Nona."
"Nanti suruh dia langsung yang mengantarkannya ke ruangan!"
"Iya, Nona."
Telepon pun berakhir.
Menunggu 40 menit, pesanan Hana pun datang. Dennis meletakkan di atas meja kerja.
"Mau ke mana?" tanya Hana saat Dennis hendak meninggalkan ruangannya.
"Saya akan kembali ke parkiran mobil, Nona."
"Di sini saja, temani saya makan!"
Dennis mengangguk mengiyakan.
Hana menikmati makan siang yang dibeli oleh sopir pribadinya. Tak ada sesuatu yang aneh namun tiba-tiba pandangannya gelap, keringat bercucuran di dahinya.
Dennis bergerak mendekati, "Nona!"
Hana memegang tangan Dennis dan mencoba berdiri.
"Nona!"
Tubuh Hana ambruk di pelukan Dennis.
"Nona, bangunlah!" menepuk pelan pipi Hana yang berada di pangkuannya.
Dennis yang panik lantas menggendong tubuh Hana keluar dari ruangan.
Inka tampak terkejut melihat atasannya digendong bergegas berlari mendekati. "Dia kenapa?"
"Aku tidak tahu."
Dennis mempercepat langkahnya, menuruni lantai bawah dengan lift. Tanpa mempedulikan tatapan para karyawan, ia berjalan ke parkiran mobil.
"Inka, tolong buka pintunya!"
"Iya!"
"Ayo masuk, jaga Nona Hana!"
Inka masuk ke dalam, ia memangku kepala Hana.
Dennis gegas mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
Begitu sampai, Dennis segera turun membuka pintu dan memanggil perawat.
Dua orang perawat berlari menghampiri mobil dengan membawa brankar.
Dennis menggendong tubuh Hana dan meletakkannya di brankar.
Tim medis membawanya ke dalam ruang khusus pemeriksaan.
"Kenapa Nona Hana pingsan?"
"Tadi dia lagi makan tiba-tiba wajahnya pucat dan sendok yang dipegangnya jatuh."
"Apa makanan yang kamu beli ada saos kacang?"
Dennis mengangguk.
Inka menepuk jidatnya, "Astaga!" wajahnya mendadak panik.
"Kenapa?"
"Nona Hana alergi kacang."
"Apa? Kenapa kamu tidak bilang?"
"Aku lupa," jawabnya ketakutan.
Dennis yang khawatir dengan kondisi Hana mendekati ruang, ia memperhatikan wanita di periksa dari kaca pintu meskipun tak terlihat jelas. Dennis berharap jika Hana baik-baik saja.
Ditengah kegundahannya, tiba-tiba Harsya dan istrinya datang ke rumah sakit membuat Dennis dan Inka ketakutan.
Dennis bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Hana menghampiri sepasang suami istri dan menundukkan sedikit kepalanya, "Paman, Bibi, saya minta maaf. Saya tidak tahu jika Hana memiliki riwayat penyakit alergi."
Harsya memegang bahu Dennis dan berkata, "Tidak apa-apa, Hana akan baik-baik saja!"
"Saya siap menerima hukuman karena telah ceroboh dan lalai," ujar Dennis.
"Dennis, kamu tidak perlu merasa bersalah. Lain kali kamu harus tahu banyak tentang putri kami," ucap Harsya.
"Iya, Paman."
-
Hana telah diperbolehkan pulang, walau sedikit lemas ia sempat memarahi Dennis yang sedang menyetir.
"Kamu sengaja ingin mencelakakan aku!" Hana meluapkan amarahnya, tadi tak dapat dilakukannya karena ada kedua orang tuanya.
"Saya benar-benar tidak tahu kalau Nona memiliki alergi," Dennis berkata jujur.
"Alasan saja!" Hana tampak tak percaya.
Dennis memilih diam.
"Lain kali kamu tuh harus bertanya!" Hana mengingatkannya.
"Iya, Nona. Saya akan bertanya jika menyangkut urusan dengan anda. Saya minta maaf!"
"Hemm."
Mobil melaju pelan karena jalanan sangat macet, tidak ada akses untuk memotong.
"Kamu sebenarnya mengerti jalan atau tidak?" Hana lagi-lagi dibuat kesal.
"Saya mengerti jalan menuju rumah Nona tetapi kita tidak dapat mundur lagi," jelas Dennis.
"Makanya, kamu harus paham jalanan mana saja yang macet jika sore hari."
"Baik, Nona."
Sejam kemudian, mereka tiba di rumah. Hana tak lantas keluar. Ia menyuruh Dennis untuk membukakan pintu.
Dennis gegas membuka pintu.
Dengan gaya angkuh, Hana keluar lalu menyodorkan tasnya, "Tolong di bawa!"
Dennis pun mengiyakan.
Hana berjalan paling depan, menaiki tangga menuju kamarnya dan Dennis malah menyusulnya.
Hana berhenti dan menoleh, "Kenapa mengikutiku?" kesalnya.
"Tas ini bagaimana?" Dennis menunjukkan tas jinjing berwarna biru muda.
Hana menyambarnya, lalu berkata, "Sekarang pulanglah!"
Dennis membalikkan badannya.
"Tunggu dulu!"
Dennis menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Besok pagi aku tidak mau kamu terlambat datang menjemputku."
"Baik, Nona."
"Satu hal lagi, mobil tidak boleh kamu bawa pulang. Jadi, kembali ke kantor untuk mengambil motor rongsokmu itu!"
Dennis hanya mengangguk.
"Cepat pergi dari sini, aku tidak suka melihat wajahmu berlama-lama di rumah ini!" usirnya.
"Kalau begitu saya permisi, Nona!"
Dennis melangkah keluar dari rumah mewah milik Harsya, di pintu utama dirinya bertemu kedua orang tuanya Hana.
"Kamu mau ke mana?" tanya Harsya.
"Saya harus kembali ke kantor, Paman."
"Kantor? Untuk apa? Bukankah Hana juga telah pulang?" cecar Harsya.
"Motor saya di sana, Paman."
"Kenapa tidak bawa mobilnya Hana pulang?" tanya Anaya.
"Hana tidak mengizinkan saya."
"Kalau begitu, kamu diantar sopir saja," usul Harsya.
"Tidak usah, Paman. Saya naik bus saja," Dennis menolak secara sopan.
Harsya dan Anaya tak dapat mencegah pemuda itu.
"Saya pamit, Paman, Bibi!"
"Iya, terima kasih sudah mengantarkan Hana pulang. Semoga kamu betah bekerja dengannya," ujar Harsya.
"Sama-sama, Paman. Permisi!" Dennis sedikit menundukkan kepalanya memberi hormat kemudian berlalu.
***
Keesokan paginya, Dennis menggunakan motor tua pembelian sang nenek datang ke rumah Harsya. Dirinya harus berangkat 2 jam lebih awal sebelum Hana pergi ke kantor karena laju kendaraannya tidak dapat bergerak kencang.
Setibanya sejam kemudian, Dennis turun dengan keringat membasahi wajahnya seharusnya waktu normal diperlukannya hanya 30 menit dengan kecepatan sedang dan tanpa macet.
Dennis mengelap keringatnya dengan telapak tangannya. Setelah memarkirkan motornya, ia menunggu di teras rumah.
Hana keluar dari kamarnya dengan menjinjing tas kesayangannya. Pelayan menarik kursi dan ia pun duduk.
"Apa sopirku sudah datang?" tanya Hana pada pelayan wanita yang menuangkan teh di cangkirnya.
"Tuan Dennis baru saja datang, Nona."
Hana melihat arloji di tangannya, "Tepat waktu!" gumamnya.
Selesai menyajikan hidangan kepada keluarga tersebut, pelayan wanita itu pun pergi melanjutkan pekerjaannya.
"Hana, kamu tidak menyuruh Dennis sarapan bersama kita," kata Anaya.
"Tidak perlu, Bu."
"Hana mungkin dia belum sarapan, coba kamu panggil," Anaya lanjut berkata.
"Apa yang dikatakan Ibu kamu benar. Ajak dia sarapan bersama kita," Harsya menimpali.
Hana memakan setengah potong roti isi selai strawberry dan menyesap tehnya hingga separuh. "Aku sudah selesai sarapan, Yah, Bu."
Hana lantas berdiri dan mendekati kedua orang tuanya tak lupa mengecup telapak tangan mereka.
"Aku berangkat, Yah, Bu!"
Hana melangkah menghampiri Dennis yang telah menunggunya.
Pemuda itu segera berdiri ketika melihat kedatangan Hana. Gegas berlari dan membuka pintu mobil yang terparkir di depan teras.
Dennis mengendarai mobilnya dengan kecepatan pelan, karena mereka melewati jalanan yang sangat padat.
"Bisakah lebih cepat lagi?" pinta Hana.
"Maaf, Nona. Kita tidak bisa."
"Cari cara jalan lain. Jangan bilang kalau kamu tidak tahu!"
"Jalan lain rusak, Nona. Jika kita melewatinya maka akan memakan waktu lebih lama menuju kantor," Dennis memberikan penjelasan.
"Cck... Kamu memang tidak berguna, aku saja yang mengendarai mobil ini sangat cepat sampai ke kantor," gerutunya.
"Keselamatan orang lain juga paling utama, Nona. Jangan mau menuruti ego semata."
"Kamu menyindirku!" Hana tak senang.
"Maaf, Nona. Saya hanya mengingatkan saja."
"Tidak perlu diingatkan, aku bisa mengendarai mobil dengan baik. Hanya saja ayahku terlalu takut membiarkanku sendiri."
"Baik, Nona. Maaf!"
Selang 45 menit kemudian, mereka tiba di gedung yang memiliki 7 lantai.
Dennis membuka pintu mobil seperti biasa sesuai perintah sang majikan.
Hana berjalan memasuki kantornya.
Dennis memarkirkan mobilnya. Selepas itu, melangkah ke kantin kantor. Ia memesan kopi dalam gelas plastik dan sepotong roti.
Sambil menunggu dia memainkan ponselnya yang dibelinya 2 tahun lalu.
Belum saja pesanannya datang, dirinya dihubungi Inka untuk mengantarkan Hana di suatu tempat. Dennis pun segera menghampiri penjaga kantin, "Kak, kopi dan roti saya bungkus saja!"
"Baiklah," wanita itu pun membungkusnya.
Setelah mengucapkan terima kasih, Dennis berlari kecil ke parkiran mobil.
-
Mobil berhenti di sebuah minimarket, Hana keluar ingin membeli sesuatu. Dan Dennis kembali ke dalam mobil, mengambil kopi dan roti miliknya.
Berjalan ke kursi yang berada di teras minimarket, ia lantas duduk dan menikmatinya.
Belum sampai 5 menit, Hana keluar dari minimarket. Sejenak berhenti memperhatikan Dennis melahap roti dan meminum kopi tanpa tahu kehadirannya.
Hana berdehem.
Dennis mendongakkan wajahnya, gegas mengelap bibirnya dengan jemari tangannya dan segera berdiri, "Sudah selesai berbelanjanya, Nona?"
"Aku tidak menemukan yang kucari."
"Oh."
"Antar aku sekarang ke kafe Melodi!"
"Baik, Nona!" Dennis membungkus kembali roti dan kopi miliknya. Gegas membuka pintu mobil.
Tak sampai 15 menit mereka tiba kafe Melodi.
Hana bergegas melangkah memasuki tersebut. Seorang pria berpakaian rapi berdiri menyambutnya dengan senyuman.
Dennis tak memperdulikan dengan siapa Hana bertemu. Dia memilih melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.
Hana yang sedang mengobrol dengan teman prianya tak sengaja matanya melihat Dennis duduk menikmati roti dan kopi yang sedari tadi di bawa.
Selesai makan roti, Dennis memainkan ponselnya namun tak lama ia masukkan ke kantong celananya dan kembali menyesap kopi yang tersisa seperampat gelas.
"Dia sopir baru kamu," ujar William, teman prianya Hana.
"Ya, papa ingin aku ke mana-mana ditemani sopir."
"Pasti kamu tidak merasa bebas."
"Memang."
"Aku lihat sopir pribadimu itu lebih pantas menjadi pemimpin perusahaan," ucap William.
Hana tertawa mendengarnya.
"Memang lucu, ya?" William mengerutkan keningnya.
"Dia itu pria miskin yang kebetulan ditampung Paman Alpha dan disayang kedua orang tuaku."
"Maksud kamu dia tak memiliki orang tua?"
"Aku tidak tahu di mana kedua orang tuanya, katanya dia tinggal dengan neneknya," tutur Hana.
"Aku lihat wajahnya hampir mirip dengan bibiku," ujar William.
Hana lagi-lagi hanya tersenyum.
"Hana, aku serius. Wajahnya mirip sekali dengan adik ipar papaku!"
"William, wajahmu blasteran Eropa dan dia Asia. Apa ada keluargamu yang menikah dengan orang Asia berkulit putih?"
"Paman Felix menikah dengan wanita keturunan Asia berkulit putih," jawab William.
"Mungkin itu hanya kebetulan saja," ujar Hana.
"Mungkin saja."
"Jangan membahas dia lagi, lebih baik ceritakan saja pengalaman kamu di luar negeri," ucap Hana.
-
Dennis yang sangat lelah menunggu Hana mengobrol, memilih beristirahat di mobil.
Dennis memejamkan matanya sejenak agar dirinya tak mengantuk saat mengemudi.
Hampir 3 jam, Hana mengobrol di kafe. Bukan hanya William saja temannya namun ada 2 orang wanita yang juga datang menemuinya.
Selesai makan siang bersama dengan teman-temannya, keempatnya pun saling berpamitan pulang.
Hana melangkah ke mobilnya dan mengetuk kaca jendela hingga berulang kali.
Dennis mendengar suara ketukan, dengan cepat menggelengkan kepalanya dan memijit pelipisnya untuk menyadarkan dirinya. Gegas membuka pintu dan keluar.
"Kamu tidur di mobilku?" tanya Hana dengan nada marah.
"Maaf, Nona. Saya sangat mengantuk," jawab Dennis menundukkan wajahnya.
"Kamu pikir mobilku itu kamarmu!"
Dennis tak menjawab hanya diam.
"Cepat buka pintu!" perintahnya dengan kasar.
Dennis membuka pintu belakang mobil dan Hana pun masuk.
Dennis dengan cepat memakai sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil.
"Ini peringatan pertama dan terakhir untukmu. Jangan pernah tidur di mobilku, apapun alasannya selama masih jam kerja!"
"Baik, Nona."
"Sekarang kita pulang ke rumah!"
"Baik, Non."
Dennis mengarahkan laju kendaraannya menuju kediaman Harsya.
Sesampainya, Dennis membuka pintu buat Hana.
Begitu keluar Hana lantas berkata, "Sekarang kamu boleh pulang!"
"Dua jam lagi, bukankah Nona akan menghadiri pesta ulang tahun putrinya Tuan Darren dan Nayna?" tanya Dennis.
"Darimana kamu tahu hal itu?" Hana mengernyitkan keningnya.
"Paman Harsya tadi menghubungi saya."
"Oh, sekarang kamu memanggil ayahku paman bukan tuan. Apa yang sebenarnya mau kamu?" Hana menatap sinis pria di hadapannya.
"Nona, saya tidak mengerti."
"Jangan berpura-pura tidak tahu!" sentaknya.
Beberapa karyawan Harsya yang kebetulan melintas, membuat Dennis menundukkan wajahnya.
"Aku yakin kamu kemari memiliki niatan buruk!" tuding Hana.
"Tidak, Nona. Saya hanya ingin bekerja di sini!"
"Kenapa harus di sini? Apa tidak ada perusahaan atau pekerjaan lain untukmu?"
"Saya diminta sendiri oleh Paman Harsya."
"Lalu kamu menerimanya!"
"Iya, Nona."
"Sungguh licik!" tuduhnya.
"Nona, saya minta maaf. Jika beberapa sikap membuat anda marah. Tapi, saya bekerja di sini hanya ingin memiliki pekerjaan saja tidak lebih," ujar Dennis.
"Aku tidak percaya dengan semua perkataanmu!"
"Baiklah, Nona. Jika tidak percaya dengan ucapan saya."
"Sekarang kamu pulang, aku bisa ke rumah Paman Darren sendiri."
"Paman dan Bibi menginginkan saya mengantarkan Nona ke sana."
Hana menghela napas.
"Saya akan menunggu Nona untuk bersiap-siap di sini."
Hana yang kesal dengan Dennis memilih masuk ke rumah.
Dennis duduk di taman depan rumah seraya menunggu Hana untuk bersiap-siap. Pelayan Harsya menyuguhkan segelas jus jeruk.
Dennis telah melewati makan siang memegang perutnya yang mulai terasa lapar. Dia ingin mengisinya namun takut jika Hana selesai berdandan dan dirinya pasti akan mendapatkan kemarahan.
Tepat 2 jam Dennis menunggu, seorang pelayan wanita memanggilnya. Bergegas ia menghampiri Hana.
Keduanya pun menuju ke rumah Darren dan Nayna.
Sesampainya di sana, kedua orang tuanya Hana ternyata telah tiba.
Alpha melihat putra sepupunya melangkah menghampiri keduanya lalu memeluk Dennis. "Apa kabar?"
"Aku baik, Paman. Maaf, belum sempat mengunjungi kalian," jawab Dennis.
"Tidak apa-apa," ucap Alpha.
Hana segera memasuki tempat acara tanpa berbasa-basi lagi dengan 2 orang pria di sebelahnya.
Astrid menghampiri suaminya dan Dennis.
"Bibi!" Dennis mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Kenapa memakai pakaian ini?" tanya Astrid, memperhatikan kemeja seragam khusus sopir.
"Saya tidak sempat untuk berganti pakaian, Bi."
"Ayo ikut, Bibi!" Astrid memegang tangan Dennis.
"Ikuti saja Bibi kamu!" ucap Alpha ketika keponakannya menatapnya.
Dennis mengikuti ajakan Astrid.
Di sebuah lorong hotel keduanya berhenti, seorang pria mendekat dan menyodorkan sebuah tas kantong.
"Mandilah dan pakai pakaian ini!" ucap Astrid. "Nantinya dia akan menunjukkan kamarmu!" lanjutnya.
"Tapi, Bi...."
"Sudah cepat sana ganti pakaianmu!" titah Astrid.
"Mari Tuan, saya antar!" ucap pria muda itu kepada Dennis.
Astrid pun berlalu.
Selang beberapa menit kemudian, Dennis datang ke ballroom hotel. Dia berjalan mendekati Alpha yang sedang mengobrol dengan Biom dan Rama.
Dennis menyapa para pria paruh baya itu.
Hana duduk di deretan tamu undangan khusus menikmati perbincangan dengan anak-anak rekan bisnis ayahnya dan Darren.
"Hana, lihatlah pemuda yang lagi mengobrol dengan Paman Biom. Apakah kamu mengenalnya?" tunjuk seorang gadis di sebelah kanan Hana.
Mengikuti jari telunjuk temannya, Hana memperhatikan dari jarak jauh.
"Sepertinya aku belum pernah melihatnya," ujar gadis di sebelah kiri Hana.
"Dia sangat tampan seperti seorang aktris," celetuk gadis di depannya.
"Aku tidak mengenalnya," ucap Hana.
"Kamu harus mencari tahu tentangnya, Han. Apalagi dia sepertinya sangat akrab dengan para paman kamu," sahut gadis di sebelah kirinya.
"Tidak perlu, untuk apa aku mencari tahu tentangnya," ujar Hana.
"Agar kami bisa mengenalnya lebih dekat," gadis di depannya Hana menyahut diiringi dengan senyuman.
"Kalian itu tidak pantas untuknya," celetuk Hana.
"Memang kenapa? Sepertinya dia juga dari kalangan seperti kita," ujar gadis sebelah kanan.
"Tak selamanya yang kalian lihat sesuai kenyataan. Lebih baik cari pria lain saja!"
"Apa kamu sebenarnya sudah mengenalnya tapi pura-pura tidak kenal?" tanya gadis di depan Hana dengan tatapan menyelidik.
"Aku!" Hana menunjuk dirinya. "Mana mungkin aku menyukainya, ku berharap tidak bertemu dengannya," lanjutnya berucap.
"Jangan terlalu benci nanti malah jatuh hati," celetuk gadis di depannya diiringi sahutan mengiyakan dari kedua gadis lainnya.
"Itu tidak akan mungkin!" Hana berkata penuh yakin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!