Suasana di salah satu rumah mewah berlantai dua, terasa mencekam karena calon menantu sang tuan rumah tiba-tiba saja kabur sebelum terjadinya akad nikah yang akan dilakukan esok hari.
"Bagaimana ini, Pa? Nama keluarga kita akan hancur dan Reza akan mendapat malu seumur hidup karena ditinggal kabur oleh calon istrinya." Wanita paruh baya itu terlihat memegang dadanya, merasa sesak mengetahui jika calon menantu yang selama ini terlihat sangat baik hati, ternyata pergi meninggalkan putranya menjelang akad nikah dilakukan.
"Mama yang sabar ya, kita pasti akan mendapatkan solusinya tapi Mama tidak boleh seperti ini! Ingat kesehatanmu, papa nggak mau nanti darah tinggimu kambuh, Ma," ujar lelaki paruh baya yang sedang berusaha menenangkan wanita terkasih yang telah melahirkan putra tunggalnya - Reza Madani.
"Mama gak bisa terima penghinaan seperti ini dari keluarga Bagaskara, Pa. Kita harus menghancurkan mereka seperti apa yang telah dilakukannya sama keluarga kita sekarang! Kita akan menanggung malu, Pa!” Ibu Suryo memandang nanar wajah suaminya dengan beberapa kali gelengan kepala.
Sementara Reza sendiri menghancurkan seluruh benda yang ada di dalam kamarnya hingga terlihat bagai kapal pecah yang terkena ombak dan gelombang dahsyat.
"Apa salahku padamu, Kaira? Kenapa kamu mengkhianati cintaku di saat kita akan menikah besok? Kenapa …? Kenapaaaa?!" racau Reza dengan butir air mata dan tangan mengacak-acak rambutnya.
Prang!
Pyar!
Bugh!
Reza sudah seperti orang gila yang kerasukan setan. Pria itu menendang, meninju dan juga melemparkan apa saja benda yang ada di dekatnya.
"Ya Tuhan … Rezaa! Jangan seperti ini, Nak! Kamu harus kuat! Kamu juga harus menghancurkan keluarga Kaira karena telah berani mempermalukan keluarga kita!" Ibu Suryo memeluk tubuh putranya dari belakang agar tak lagi menghancurkan barang-barang yang ada di dalam kamar itu.
Hatinya terasa hancur melihat sang putra yang begitu terpukul karena tak sanggup menerima kenyataan jika wanita yang teramat dicintainya itu tega meninggalkan dirinya sehari sebelum ijab kabul diucapkan. Apa sebenarnya yang ada di dalam benak Kaira hingga pergi dengan lelaki lain?
"Mau ditaruh di mana muka Reza ini, Ma? Reza malu … harga diriku bahkan sekarang sudah diinjak-injak seperti sampah! Reza nggak kuat memperlihatkan muka ini pada orang lain … apalagi pada mitra bisnis kita, Ma." Pria yang menjabat sebagai seorang CEO di perusahaan milik keluarganya itu terlihat begitu rapuh dengan genangan air mata.
Ibu suryo membimbing putranya untuk duduk di bibir ranjang, mengelus punggung Reza dengan penuh kasih sayang.
Hatinya terasa semakin hancur melihat putra yang paling disayanginya sudah seperti orang kehilangan arah. Nasi sudah menjadi bubur dan parahnya bubur yang akan disajikan pun telah berbau basi, sungguh malang nasib pria tampan yang saat ini sedang mengamuk menyesali diri.
"Tuhan pasti memiliki skenario yang jauh lebih baik untukmu, Nak. Kita akan membatalkan pernikahan ini dan melakukan konferensi pers nanti malam! Mama yakin keluarga mereka pasti akan menyesal telah menghancurkan nama baik kita!" tegas Ibu Suryo.
Wanita itu lebih baik memberitahukan lewat siaran langsung seluruh media, daripada diketahui seluruh tamu undangan besok di sebuah hotel bintang lima. Bukankah apa yang terjadi pada keluarga mereka sangat memalukan sekali?
"Jangan, Ma! Kalau sampai Reza membatalkan pernikahan ini dan kita tidak jadi melaksanakan pesta di hotel besok maka keluarga Bagaskara akan tertawa merasa menang! Papa tak akan membiarkan itu terjadi, Reza harus tetap menikah besok!" protes Pak Suryo tak terima.
Pak Suryo berdiri di ambang pintu kamar anaknya, melarang untuk membatalkan pernikahan Reza Madani karena dirinya merasa tidak akan sanggup untuk bertemu dengan mitra kerja dan juga sahabat-sahabatnya jika sampai itu terjadi.
"Apa?! Papa jangan ngaco deh, kita mana mungkin mencari calon pengantin pengganti dalam satu malam," timpal Ibu Suryo tak mengerti.
"Lagian Reza juga nggak punya temen perempuan yang bisa diajak menikah dadakan begini, Pa. Bagaimana mungkin ada orang yang mau dinikahi dalam waktu semalam, sedangkan hubunganku dengan gadis yang sudah berjalan tiga tahun saja malah kabur menjelang pernikahan besok," decak kesal Reza merasa frustasi, mengingat betapa dirinya mencintai Kaira selama ini.
Pria itu bahkan tak pernah menyangka kalau pengorbanannya selama ini malah berujung dengan perpisahan yang meninggalkan jejak malu keluarga.
"Aku juga tak mau menikahi perempuan sembarangan, karena itu sama saja akan menghancurkan masa depan gadis itu nanti. Apalagi Mama sama Papa tau sendiri kalau aku ini bukan orang yang mudah jatuh cinta setelah terluka. Aku nggak mau punya hubungan lagi dengan seorang perempuan!" Reza berdiri, menepis tangan sang mama yang sedari tadi mengelus punggungnya menuju jendela.
Dia merasa sudah tak punya muka untuk tinggal di Indonesia karena merasa malu pada sahabat-sahabatnya. Pria itu memandang taman yang ada di samping rumahnya, melihat seorang gadis berhijab yang tersenyum menatap bunga mawar berwarna putih.
“Reza, dengarkan papa, Nak. Dunia ini nggak bakal kiamat walau Kaira meninggalkanmu dengan kabur jelang pernikahan! Kamu jangan seperti seorang banci yang langsung cengeng dengan masalah ini!” sentak Pak Suryo dengan nada meninggi.
Reza memang sudah sangat kalut saat mengetahui jika sang calon istri sama sekali tak bisa dihubungi bahkan ketika asistennya mengecek ke rumah Kaira, ternyata orang tua perempuan itu juga sedang panik setelah menemukan secarik kertas milik Putri mereka yang tiba-tiba saja pergi tanpa berita.
“Papamu benar, Reza. Jika sampai kamu batal menikah besok, semua mata akan memandang kamu lemah. Mungkin kita bisa menanggung malu atas apa yang sudah dilakukan oleh keluarga Bagaskara tapi apa kamu yakin nenek kesayanganmu yang masih dalam proses pemulihan itu bisa menerima omongan orang-orang mengenai calon menantu di rumah ini yang kabur dan tidak jadi menikah denganmu?” Ibu Suryo menatap nanar putra kesayangannya dengan mata berkaca-kaca.
Reza langsung terdiam, pikirannya melayang pada sosok tua yang sudah begitu renta tetapi sangat disayanginya. Bahkan, Reza sengaja mengajak Kaira untuk segera menikah karena desakan dari sang nenek yang sudah tak sanggup ingin melihat seorang cicit di dalam gendongan sebelum maut menjemputnya.
Jika sampai besok tidak terjadi pernikahan itu, Reza tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada nenek tersayangnya. ‘Aku sangat menyayangi nenek, bahkan nenek adalah segalanya buatku karena mama dan papa selama ini hanya sibuk dengan dunianya sendiri! Ya Tuhan … apa yang harus kulakukan untuk menghadapi masalah sebesar ini?’
Saat keluarga itu masih sedang berdiskusi memikirkan jalan apa yang akan ditempuh, tiba-tiba saja Bibi Hanum datang mengetuk pintu walaupun daun pintu itu sudah terbuka.
Tok! Tok! Tok!
Mereka bertiga melirik ke ambang pintu, melihat Bibi Hanum dengan seorang gadis berhijab yang tadi sempat dilihat Reza berada di taman samping rumahnya.
“Maaf, Pak Suryo. Ini anak saya Adinda yang kemarin saya ceritakan akan ikut kerja di sini sembari kuliah,” terang Bi Hanum menjelaskan seiring senyumnya yang mengembang tulus.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Suryo hingga memperlihatkan sudut bibir yang terangkat ke atas dan beralih pandang pada istrinya. Dia merasa dunianya seketika terselamatkan dengan kedatangan gadis bernama Adinda — anak dari pelayan di rumahnya.
“Ayo Adinda, salim dulu sama bapak dan ibu! Kok anak bunda malah diam sih?” tegur Bibi Hanum mengingatkan sang putri yang terkesan malu dan juga takut karena di rumah itu sedikit ada masalah tapi sebagai pelayan dirinya merasa tidak perlu ikut campur.
Gadis berhijab itu langsung menggaruk bagian belakang hijabnya, merasa kikuk dan juga salah tingkah sendiri karena sudah diperingatkan oleh bundanya. “Iya, Bunda.”
Dengan cepat Adinda mengulurkan tangan pertama kali pada wanita yang telah melahirkan Reza Madani. Gadis itu menciumi punggung tangan tuan rumah dengan penuh takzim, tak lupa bibirnya juga menyunggingkan senyum tulus, membuat hati ibu Suryo merasa sejuk seketika.
“Adinda ini ... apa sudah punya pacar di kampung, Bi Hanum?” tanya Ibu suryo dengan sangat hati-hati.
Wanita paruh baya itu hanya ingin memastikan jika ide yang seketika timbul di dalam kepalanya tidak akan membuat orang lain menjadi kesusahan setelah semuanya bisa direalisasikan.
Seketika raut wajah bibi Hanum terlihat kebingungan dengan pertanyaan yang diberikan sang majikan.
'Maksud ibu Suryo ini ada apa, ya? Kenapa dia tiba-tiba menanyakan tentang Adinda udah punya pacar atau belum?' Pelayan itu berusaha tetap melukis senyum di bibirnya walau di dalam hati timbul rentetan pertanyaan yang belum terjawab.
Pelayan yang masih berusia 45 tahun itu menoleh pandang pada putri bungsu nya yang baru saja menamatkan sekolah menengah atas di kampung. Bibi Hanum memang sudah memiliki perjanjian dengan sang majikan, jika Adinda akan dikuliahkan oleh Pak Suryo di Jakarta. Suryo merasa potensi Adinda sangat sayang dibiarkan jika hanya berada di kampung bersama kakaknya, sementara gadis itu memiliki prestasi yang sangat bagus.
Pelayan dan majikan akhirnya membuat sebuah surat perjanjian bahwa Suryo bersedia membiayai kuliah Adinda hingga selesai dengan syarat gadis itu harus mengabdi pada keluarga Suryo selamanya, tepatnya di perusahaan miliknya.
"Adinda nggak pernah punya niat untuk pacaran, Nyonya, saya takut sama dosa." Jawaban yang begitu bijak dan jarang sekali didengar telinga oleh seorang Ibu Suryo.
"Itu bagus sekali, kamu memang gadis yang sangat pandai menjaga diri, jangan meniru anak muda jaman sekarang karena punya pergaulan bebas yang tidak terkontrol lagi," lanjut ibu Suryo selaras tangannya menarik tubuh Adinda dan mendudukkan gadis itu persis di samping Reza.
Tiba-tiba saja ibu Suryo menggenggam kedua tangan Adinda tetapi wajahnya malah mengarah untuk melihat Bibi Hanum dengan pancaran mata penuh harap.
Wanita paruh baya itu memperlihatkan wajah yang begitu sendu, "Bibi Hanum … Bibi kan sudah tahu jikalau Kaira telah kabur dari pernikahan dan meninggalkan masalah besar untuk keluarga saya. Apa saya boleh meminta Adinda untuk menjadi pengantin pengganti calon istrinya Reza yang berkhianat itu?" Ibu Suryo bertanya dengan harapan pelayannya itu bisa menjadi solusi untuk terlepas dari seluruh masalah yang keluarganya hadapi sekarang.
Adinda terlihat menggeleng lemah, menolak permintaan sang tuan rumah. Wajahnya meminta belas kasihan pada wanita yang telah melahirkannya agar menolak permintaan sang majikan.
"Maaf, Ibu … tapi Adinda masih terlalu kecil untuk menikah. Umurnya saja baru 18 tahun, itu pun masih tiga bulan lagi dan anak saya baru tamat SMA. Bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan Den Reza?"
Pelayan itu berusaha mencari alasan yang sangat masuk akal tapi dia pun tak mampu menolak dengan lantang karena merasa punya beban balas budi yang selama ini telah begitu banyak diterimanya.
Pak Suryo akhirnya ikut berdiri di hadapan bibi Hanum. Pria tua itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan pelayannya yang selama ini hanya selalu di perintahnya.
"Saya memohon sama Bibi … tolong selamatkan nama baik keluarga kami. Saya berjanji akan melakukan apa saja, asalkan Adinda bersedia menikah dengan Reza. Bibi boleh meminta apa saja, asalkan nama baik keluarga kami terselamatkan dan perusahaan tidak akan mendapatkan guncangan akibat berita yang begitu memalukan," ucap Pak Suryo memohon.
Tuan suryo bahkan tanpa merasa malu memohon di hadapan pelayannya demi menyelamatkan nama baik keluarga. Ibu Suryo melepaskan genggaman tangannya yang sejak tadi bertautan dengan jemari gadis bernama Adinda, dirinya melangkahkan kaki mendekati sang suami dan mengikuti apa yang dilakukan Pak Suryo.
Bibi Hanum menggelengkan kepala dengan kuat, lalu ikut menjatuhkan diri di hadapan pasangan suami istri yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.
Pelayan itu memberanikan diri meraih tangan majikannya, "sebenarnya saya tidak sanggup membiarkan putri saya yang masih belasan tahun untuk menikah dini tapi karena Ibu dan bapak selama ini juga ikut membiayai sekolah Adinda maka saya mengikhlaskannya untuk menjadi istri dari Den Reza," putusnya tanpa melihat pada sang putri.
'Ya Allah … ampuni keputusan hamba ini yang diambil karena emosi dan tidak tega melihat keluarga ini hancur dipermalukan, hamba mohon pada-Mu … tolong jagalah putri hamba dan lindungi dia dari segala marabahaya.' Hanum membatin dengan air mata terasa jatuh ke dalam.
Kedua mata pelayan itu terpejam selaras butiran bening menetes di kedua pipinya, merasakan sakit karena harus rela melihat buah hatinya di peristri oleh lelaki tanpa ada rasa cinta.
"Bun-bunda … Adinda gak mau kal—"
Gadis itu tak sanggup lagi melanjutkan kalimat yang ingin dikatakannya karena mendengar keputusan wanita yang pernah melahirkannya. Pandangannya mengabur dan menghitam, hingga beberapa detik kemudian dirinya tak tahu lagi apa yang sedang terjadi.
Bruk!
"Dinda!" seru mereka semua dengan serentak.
Suasana berubah menjadi tegang ketika melihat tubuh Adinda Kinanti ambruk ke lantai, setelah mengetahui jika dirinya akan menjadi seorang pengantin pengganti demi menyelamatkan harga diri dari majikan Bundanya yang juga selama ini telah memberikan biaya pendidikan gadis itu.
Tiga manusia yang sudah mengambil keputusan tentang kehidupan gadis bernama Adinda itu menjerit meneriakkan namanya. Bibi Hanum menghambur menarik tubuh Sang Putri yang sudah tak sempat dijangkaunya, sementara Reza sendiri semakin merasa bersalah, padahal Gadis itu duduk di sampingnya.
Reza tersadar, pria itu langsung mengambil alih tubuh gadis mungil berhijab ke dalam gendongannya, "kita langsung bawa Adinda ke rumah sakit aja, Bi!" ucap Reza bergegas sembari kakinya melangkah panjang menuruni anak tangga menuju ke parkiran mobil untuk membawa Adinda ke rumah sakit.
“Baik, Den … tolong selamatin anak bibi, Den. Bibi nggak mau Dinda kenapa-kenapa,” sahut Bibi Hanum mengekori langkah kaki anak majikannya dengan sedikit berlari karena kaki sang CEO yang begitu gesit saat berjalan.
Sementara pasangan suami istri itu merasa sangat bersalah melihat Adinda yang ternyata tidak bisa menerima permintaan mereka, semua itu terbukti dengan tubuh gadis itu yang limbung jatuh ke lantai karena tidak mampu menerima kenyataan akan dinikahkan dengan orang yang hampir saja 10 tahun lebih tua dari umurnya.
Bibi Hanum tak berhenti menangisi putrinya di dalam mobil walau pun Reza telah berusaha membujuknya untuk tidak bersedih lagi karena mereka dirinya yakin kalau Adinda tidak akan kenapa-napa.
Reza pun langsung tancap gas menuju rumah sakit terdekat agar Adinda segera mendapatkan pertolongan. Lelaki itu tidak ingin menjadi orang yang terlalu egois hingga memaksa anak dari pelayannya menjadi seorang pengganti dari calon istrinya yang kabur. Dirinya juga bisa merasakan Kalau Adinda pasti menolak untuk dinikahinya sebab Gadis itu terlalu muda jika dibandingkan dengan umurnya yang sudah 28 tahun. Bahkan jarak usia Mereka benar-benar ternyata sudah 10 tahun rentangnya
Mobil Reza berhenti tepat di depan ruangan UGD yang buka selama 24 jam nonstop. Pria itu turun dengan gegas, membuka pintu mobil bagian belakang dan menggendong tubuh mungil Adinda, serta membawanya masuk dengan bibir yang langsung berteriak memanggil dokter.
"Dokter! Suster! Tolong … tadi dia pingsan tiba-tiba, jadi saya –"
Belum selesai kalimat yang akan diucapkan Reza tetapi perawat itu sudah memotongnya.
"Bapak silahkan tunggu di luar ya, biar dokter yang langsung menangani adik Anda!"
‘What, adik …? Apa aku setua itu sampai mereka langsung menganggapku sebagai kakaknya anak pelayan ini? Dasar perawat tak tahu diri, bisa-bisanya dia menganggapku sebagai kakak dari Adinda padahal wajahku masih sangat tampan, bahkan wanita di luar sana begitu banyak yang menginginkan tubuhku hingga ada yang dengan sengaja berusaha melemparkan tubuhnya ke ranjangku!’ umpat Reza di dalam hati merasa kesal.
Reza benar-benar Tak habis pikir dengan penglihatan perawat yang tadi menerima dirinya dan Adinda, ‘Sepertinya dia harus berkaca agar tahu bahwa perawat itulah yang sudah sangat jelek wajahnya!’ pikir Reza.
Itu merasa semakin frustasi saja hanya karena omongan sang perawat barusan yang menganggap dirinya sebagai kakak dari Adinda, Lalu bagaimana dengan perasaan gadis kecil itu?
Entah apa yang akan didengarnya nanti jika sampai ada yang tahu, baik itu sahabat atau mungkin teman-teman kuliahnya dulu, kalau dirinya akan menikahi anak dari seorang pembantu. Belum lagi entah apa yang akan terjadi setelah pernikahan itu terlaksana karena Reza sama sekali tak punya rasa pada gadis yang baru saja melepas seragam putih-abu-abu nya.
‘Oh Tuhan kenapa nasibku jadi seperti ini? Apakah ini sebuah Karma karena aku suka gonta-ganti wanita?’ Kembali dirinya menggerutu di dalam hati merasa kehidupan ini benar-benar sedang tak berpihak padanya .
Bibi Hanum terisak di atas bangku besi menangisi kondisi putrinya. Reza sangat yakin, jika pelayan itu pasti sekarang sedang merasa menyesal karena menerima dan juga mengabulkan permohonan kedua orang tuanya untuk menjadikan Adinda sebagai istrinya.
"Bi … jika Adinda tidak bersedia untuk Reza nikahi maka biarkan saja keluarga kami seperti ini, karena bagaimanapun juga semua yang telah terjadi bukanlah tanggung jawab Adinda atau pun Bibi! Reza nggak mau dianggap orang sebagai anak majikan yang kejam terhadap anak pelayannya, padahal ini juga bukan keinginan Reza … melainkan kemauan mama dan papa," lirih Reza merasa putus asa.
‘Mungkin aku memang harus menerima takdir ini yang akan mendapatkan rasa malu. Rasa malu yang bukan hanya harus ku tanggung sendiri saja tetapi seluruh keluarga besar Papa dan Mama.’ Reza membatin di dalam hati merasa semakin frustasi saja, ditambah lagi keadaan sang nenek yang kemungkinan besar lebih shock ketika mengetahui bahwa dirinya gagal menikah dengan Kaira.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar beberapa kali seirama dengan kedua matanya yang terpejam.
Ceklek!
Belum sempat bibi Hanum menyahuti perkataan sang anak majikan, tiba-tiba saja pintu ruangan UGD dibuka oleh seorang perawat dan dokter.
"Bagaimana kondisi putri saya, dokter? Kenapa Adinda tiba-tiba saja pingsan? Padahal selama ini putri saya tidak pernah memiliki riwayat penyakit yang aneh," berondong Bibi Hanum menanyakan sang dokter.
"Maaf, Bu, sepertinya putri Anda sedang mengalami –" Belum selesai dokter itu menerangkan apa yang sedang terjadi dengan Adinda tetapi Reza buru-buru memotong perkataan pria paruh baya yang masih mengenakan jas putih itu.
"Mengalami apa, Dokter? Tolong cepat katakan!" potong Reza yang merasa ikut penasaran dengan penjelasan dari dokter.
Dirinya benar-benar sudah tak sabar ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dengan Dinda, Reza hanya tak ingin Gadis itu tiba-tiba saja mengalami stroke atau sakit jantung gara-gara jiwanya yang terganggu dengan perkataan mama dan juga Papanya. Tentu saja hal itu terpikirkan oleh pria dewasa yang sudah berumur 28 tahun itu karena bagaimanapun juga, Adinda masih berusia 18 tahun dan pasti sangat masuk akal jika Gadis itu langsung sakit jantung mendengar permintaan kedua orang tuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!