Kini aku hidup dengan wajah baru, tidak seperti dulu. Wajah yang selalu dibohongi dan dikhianati dengan kedustaan. Setelah aku berhasil selamat dari kematian, kini ku ubah semuanya menjadi berbeda.
"Apa kamu yakin, akan merubah identitasmu ini?"
Melipatkan kedua tangan, merasa yakin aku menjawab dengan tegas, " Ya. "
"Apa kamu tidak akan takut dengan resiko yang akan terjadi nantinya. "
Aku menatap dalam dalam wajah Gina, wanita yang menjadi sahabatku plus dokter yang sudah menangani wajahku ini.
Mendekatkan kedua mata pada wajahnya, " Apa kamu melihat aku sedang bercanda. "
"Mm, tidak. "
"Jadi, aku sudah bertekad balas dendam. "
Gina menghela napas, aku mendengarnya terasa penuh beban.
"Kaira, aku kuatir dengan keadaanmu. Takut jika. " Menempelkan jari tangan pada bibir sahabatku ini.
"Hus, jangan katakan lagi oke. Ini sudah niatku melakukan semuanya, jadi doakan saja yang terbaik untukku. "
Gina malah menggelengkan kepala, ia mengambil alat alat medis untuk menyerahkan pada perawat untuk segera dibersihkan agar kembali steril. " Kaira, sudah aku ingatkan kamu, jadi aku tidak akan melarangmu lagi. "
Mendengar perkataan Gina membuat aku tak peduli. Bagiku saat ini balas dendam adalah jalan terbaik untuk memusnahkan lelaki bernama Angga, lelaki yang sudah menghancurkan hidupku. Tega menguras harta peninggalan kedua orang tuaku dan berselingkuh dengan Shireen, janda yang aku kenal sebagai sahabatku dulu.
"Ahk."
Aku menjerit sekeras mungkin, memukul meja yang berada di hadapanku, mengingat betapa sadisnya Angga memukul wajah menusukku perut ini dengan pisau tajam.
Perlahan kedua tangan tanpa sadar, menjambak rambut sendiri, seakan mental dan juga hatiku terganggu.
"Tunggu pembalasanku. "
Gina datang kembali ke ruangan," Astaga, Kaira, kenapa kamu merusak meja ini. "
Aku tersenyum lebar, merapikan rambut dan menjawab, " Upss, maaf ya Gina, aku tadi nahan emosi eh malah kayak gini. "
Gina kini berkacak pinggang, membulatkan kedua matanya, memukul kepala. " Kaira, bisa tidak kamu mengontrol emosimu?"
Menghela napas, aku berusaha melatih diri agar menjadi wanita lembut dan tak gampang marah.
Gina mulai mengajarkanku perlahan demi perlahan, " Coba kamu tarik napas pelan dan keluarkan. Lakukan itu berulang kali, di saat kamu kesal dan marah pada seseorang."
Aku mencoba saran yang dilakukan Gina, berulang kali hingga terbukti.
"Gimana?"
"Rasanya plong, seperti amarah itu hilang dalam sekejap mata!'
" Tapi aku kurang yakin dengan hal ini, karena kepribadian seseorang itu beda beda, ketika marah mereka kadang lupa dan tak sadar. Mereka lebih banyak dikuasai oleh emosi. "
Aku menahan dagu, " Memangnya sebagai wanita pelakor harus lembut ya?"
"Nggak juga sih, kalau menurutku asal kamu bisa bikin cowok itu nyaman!"
"Mm, berarti waktu aku menikah dengan Angga dia nggak nyaman ya denganku, sampai tega membunuhku?"
Gina malah terdiam, membuat aku menatap ke arah wajahnya, menyenggol bahu sahabatku ini " Heh, malah diam."
"Bukan gitu, ini kasusnya beda kan. Angga dari awal sudah niat ingin menghancurkan kamu karena harta. Dan sudah menyusun rencana dengan baik bersama sahabat kamu itu. "
Aku mendengarkan perkataan Gina, dimana aku membalas," Mm, ya. Aku mengerti dengan apa yang harus aku lakukan saat ini."
"Besok identitas barumu sudah jadi, aku memberi nama baru kamu sebagai Sinta. Kamu ingat nama itu baik baik, besok aku akan membuat kamu bekerja di perusahaan papah kamu yang kini sudah berada di tangan Angga."
"Oke."
Padahal tadi Gina melarangku untuk tidak melakukan hal bodoh ini, tapi nyatanya dia membantuku.
"Kaira."
Gina melangkahkan kakinya ke belakang, memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Bodymu kurang seksi. Coba putar badan. "
Aku memutar badan, menuruti perintah Gina.
"Sepertinya ada yang harus diperbaiki"
"Maksud kamu. "
"Badan kamu kurang seksi, terlalu banyak lemak yang menempel."
Aku menyunggingkan bibir, setelah mendengar ucapan Gina yang membuat aku tak pede.
"Jadi apa yang akan kamu lakukan."
"Sedot lemak. "
"Apa, menyakitkan tidak. "
"Kamu tenang saja, tidak terlalu sakit, seperti kamu menjalani operasi wajah. "
Aku menghela napas, berusaha tetap tenang. Mendengarkan perkataan Gina, apapun yang ia suruh akan aku lakukan.
******
Satu bulan melatih diri, untuk merubah diri, adalah hal yang sulit. Aku harus bisa membuang kebiasaanku menjadi Kaira, merubah dengan kebiasaan baru, menjadi sosok Gina, membuatku tak sabar ingin segera membalaskan dendam yang sudah menggunung dalam hati ini.
" Gimana, kamu sudah siap, ada di lingkungan suami kamu sendiri, bertemu Shireen setiap hari?"
"Aku sudah siap sekali!"
"Berarti sekarang namamu sudah sah menjadi Sinta. "
Aku tersenyum lebar, bersiap melayangkan aksi yang aku tunggu-tunggu dari dulu.
********
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, aku sudah bersiap menjadi sosok wanita bernama Sinta. Sosok Sinta yang akan menjadi wanita pelakor, " Tak sabar rasanya. "
Gina tersenyum melihat semangat yang membara pada hati ini, ia berkata, " semangat."
Aku menunjukkan kedua jempolku dan berkata, " Oke. "
Menaiki mobil yang sudah di sediakan Gina, membuat aku semakin percaya diri. " Aku datang Angga. "
Mobil sudah aku parkirkan didepan perusahaan papah, menghela napas terlebih dahulu.
"Aku harus siap. "
Keluar dari mobil.
Brakk .... " Ahk. "
Aku tak sadar jika pintu mobil, mengenai seseorang, membuat aku terburu buru keluar dan melihat siapa orang yang sudah mengenai pintu mobilku.
"Maaf. Saya nggak sengaja. "
Ia memegang kepalanya, membuat aku merasa bersalah, karena ceroboh dan tak hati hati.
Kini kepalanya yang menunduk ia tegapkan dihadapanku, membuat aku terkejut. Orang yang terkena pintu mobilku ternyata Angga, target yang akan aku hancurkan.
"Aduhh, maaf ya. Aku tak sengaja, " ucapku, mempelihatkan wajah bersalah.
Angga menatap kearahku terus menerus, tanpa berkedip sedikit pun.
"Halo, pak."
Aku melabaikan tangan beberapa kali dihadapannya, membuat ia membalas, " ahk, iya. "
Aku berusaha membuat perhatian kecil dengan memegang jidatnya yang memar. " aduh pasti sakit sekali ya. "
"Oh ini, tidak. "
Angga tersenyum menatap ke arah wajahku, membuat aku kini membalas senyumannya, kita berdua saling menatap satu sama lain.
Sampai.
"Angga."
Suara seorang wanita mengagetkan kami berdua, membuat aku langsung memalingkan wajah, "Angga."
Wanita itu menarik tangan Angga, menatap ke arahku dengan wajah kesalnya.
"Kamu ngapain sih, saling menatap satu sama lain sama dia?"
"Tadi itu, aku .... !"
Aku mulai hadir di antara mereka berdua. " Maaf sebelumnya mbak. "
"Mbak." Shireen melipatkan kedua tangannya, ia seperti terkejut dengan panggilan yang aku berikan padanya.
"Heh, aku ini masih muda, masa di bilang Mbak sih. Kurang ajar banget sih kamu, " ketus Shireen mempelihatkan kemarahannya dihadapanku.
Angga mulai menenangkan Shireen dengan berkata, " sudah, sebaiknya kita masuk ke kantor, jangan mempermasalakan hal yang tak penting. "
Angga menarik tangan Shireen, dimana ia menatap sekilas ke arahku dengan melemparkan sebuah senyuman.
Akhirnya mangsa sudah dapat di lumpuhkan, tinggal masuk dan mendekati si Angga lelaki tidak tahu diri itu.
Aku masuk untuk interview, menghadapi HRD bernama Pak Gunawan, lelaki yang dipercaya oleh almarhum ayah.
Lelaki tampan berkulit kuning langsat itu menatap ke arah wajahku, lalu melihat ke arah kertas lamaran yang sudah aku siapkan bersama Gina.
"Nama kamu Sinta. "
"Iya, pak. "
Pertanyaan yang begitu bertele tele membuat aku bosan, " jadi gimana pak, bisa saya bekerja di perusahaan ini. "
Gunawan yang terkesan judes itu, tak menjawab pertanyaanku, membuat aku mengepalkan tangan ingin meninju wajahnya saat ini.
Ceklek … .
Pintu ruangan ayah terbuka, dimana Angga dan Shireen keluar dengan perdebatan yang membuat aku penasaran.
"Angga, kamu dengar tidak. "
"Ahk, apa lagi, sudah aku bilang tunggu dulu. "
Angga kini menatap ke arah wajahku, membuat aku menundukkan pandangan, ia mendekat dan melihat surat lamaran yang dibolak balik oleh Gunawan.
"Kamu diterima."
Mengambil bolpoin dan menandatanganinya saat itu juga.
Gunawan hanya diam, dimana aku bertanya pada Angga, " terima kasih pak, jadi kapan aku bisa bekerja disini. "
"Sekarang juga kamu bisa bekerja disini, jadi sekretaris saya. "
Saking senangnya, aku berdiri, memperlihatkan betapa aku membutuhkan pekerjaan di perusahaan milik ayahku sendiri.
Berjabat tangan dan tersenyum lebar ke arahnya, " terima kasih, pak. "
Tangan kekar Angga masih memegang tanganku, sampai Shireen berpura pura batuk. " Huuk. "
Angga melepaskan tanganku begitu saja, membuat aku menundukkan pandangan berpura pura sok polos.
Angga mulai pergi dari hadapanku, dimana Shireen janda bolong itu mengejar Angga.
"Angga, kamu dengar dulu. "
Aku tersenyum, menyatukan kedua tangan.
"Ayo."
"Hah, iya, kenapa pak. "
"Saya tunjukkan ruangan kamu. "
"Baik pak. "
Melangkahkan, mengikuti Gunawan yang terkenal jutek itu. " Ini ruangan kamu. Tak jauh dengan ruangan Pak Angga. "
"Baik, pak. Terima kasih. "
Tiba tiba saja Gunawan membisikan suatu perkataan kepadaku, " Jangan pakai rok pendek seperti itu, kalau kamu tidak ingin jadi mangsa Pak Angga. "
Aku mengerutkan dahi, dimana ia pergi.
"Mm, bisa bisanya si Gunawan itu memberitahuku tentang kejelekan Angga. Tapi lumayan juga sih, toh aku kan masih istri sahnya, bakal seru nih. Hahhah. "
Saking kencangnya tertawa, membuat foto yang berada di meja ruanganku terjatuh.
Mengambil poto itu, " Ini kan?"
"Mm, siapa yang suruh kamu menatap foto ini?"
Aku terkejut, saat Angga tiba tiba muncul.
"Pak Angga. Maafkan saya, tadi …."
Angga mendekat memegang tanganku yang masih memegang foto, " Hust, tak usah dijelaskan aku sudah paham. "
Tiba tiba saja, tangannya memegang pinggangku, membuat tubuh ini berdempetan dengan tubuhnya.
"Pak, ini terlalu dekat. "
"Mm."
Apa yang dikatakan Gunawan benar, tangan Angga begitu jahil, ia hampir memegang daerah sensitif.
Aku yang berpura pura lugu dan sok polos berusaha menjauh dan berkata, " ahk, maaf pak. "
Namun, Angga seperti orang yang tak bisa mengendalikan napsu, ia malah tersenyum dan menarik bajuku, " Kamu begitu cantik."
"Terima kasih, pak."
Aku tak menyangka sekali, jika lelaki bernama Angga ini, begitu mudahnya tergoda dengan wanita.
"Dasar b@j*ng*n, b€r*ngs*k." Gumamku dalam hati, mengatai Angga.
Tangan kekar kini mengusap pelan pipiku, membuat aku berusaha menghindar lagi. " Aduh pak, jangan gini. Nanti kalau istri bapak tahu bagaimana. "
"Oh, yang tadi. Dia cuman istri sirih saya," Aku terkejut dengan kejujuran Angga, membuat rasa penasaran menggebu hati ini. " Kenapa hanya istri siri, kan bapak itu tampan, kaya raya. "
Angga memegang foto, memperlihatkan wajahku yang dulu. " Dia, istri sah saya."
"Jadi bapak punya dua istri dong. "
Angga menggelengkan kepala, ia melepaskan tangannya yang memegang pinggangku. " Istriku sudah lama meninggal dunia. Ia dibunuh oleh seseorang yang tak bertanggung jawab."
Pintar sekali si b€r*ngs*k Angga ini, mengarang cerita. Seolah olah orang lain pembunuhnya, hah, dia tidak tahu saja kalau istrinya ada dihadapannya sekarang. Dasar bod*.
Aku mulai mendekati Angga, memegang bahunya dan berkata, " yang sabar ya, pak. "
Angga menatap ke arahku, ia kini memeluk tubuh ini dengan begitu erat.
"Terima kasih. "
"Oh ya, kenapa bapak malah menikah siri. "
"Mm, itu adalah privasi keluarga, jadi kamu tak harus tahu. "
"Maafkan saya sudah lancang, pak. "
Sialan tangan Angga benar benar nakal, sampai dimana suara pintu di buka lebar.
"Angga."
Ternyata itu adalah Shireen, pas sekali dia datang di saat aku berpelukan dengan Angga.
"Apa yang kalian lakukan?"
Shireen tampak murka sekali pada Angga dan padaku.
"Heh, kamu baru juga kerja di sini sudah gatal sama laki orang," pekik Shireen, membulatkan mata ke arah wajahku.
"Maaf bu, tadi saya hanya menenangkan Pak Angga, dia sedih karena .... "
Aku tidak meneruskan perkataanku, karena Angga memotong perkataanku tiba tiba, " kamu jangan salah paham, tadi itu aku lagi pusing. Tak sengaja jatuh langsung memeluk Sinta. "
"Ahk, alasan saja. Hah, pengakuan kalian beda beda."
Angga mulai membujuk Shireen keluar dari ruanganku, " kita bicarakan semua ini berdua. "
"Mas, kamu ini gila apa ya. Malah membela wanita murahan itu. "
Aku melihat Angga menarik paksa tangan istrinya pergi keluar ruangan, dimana wanita bolong itu mengatakan jika aku wanita murahan.
"Sialan, jelas jelas yang murahan dia."
"Ahk, mas. "
Aku mengikuti langkah kaki mereka berdua, setelah mendengar Shreen teriak.
Mengintip dibalik tembok.
"kamu kenapa?"
"Masih nanya aku kenapa, semua ini gara gara kamu!"
"Kok kamu nyalahin aku sih. "
"Anak kita marah di dalam perut, karena bapaknya suka genit sama cewek. "
Deg ....
Mendengar perdebatan mereka membuat aku menyandarkan badan pada tembok, meremas baju, perasaan yang tak karuan ini membuat aku seketika menitihkan air mata.
"Apa aku tidak salah dengar, Shireen hamil?"
"Aduh anak papah ini. " Mendengar suara Angga, membuat aku mengintip mereka kembali, " kenapa kamu tendang tendang mama kamu, hah. Kasihan dia. "
Angga mengusap ngusap perut Shireen membuat aku membayangkan kejadian dimana lelaki b@j*ng*n itu menusuk perutku, membuat janin yang ada dalam perutku ini ikut terbunuh.
Bayangan kejadian itu malah mengelilingi otakku, membuat aku meremas rambut, menahan rasa trauma pada hati ini. Berusaha menahan diri agar tidak berteriak, " tanah, Kaira. Kamu tak boleh menunjukkan siapa dirimu. Kamu harus kuat. "
Aku berusaha mengigat perkataan Gina, yang menyuruhku untuk bisa mengontrol emosi, menarik napas mengeluarkannya secara perlahan.
"Aku harus tenang. "
Seketika uluran tangan membuat aku terkejut, dimana aku duduk dengan posisi memegang kepala.
Menatap ke arah tangan itu, " perlu bantuan. "
Aku mulai meraih tangan Gunawan, untuk bisa berdiri, " terima kasih. "
Gunawan menatap ke arah wajahku dengan bertanya," kamu menangis, apa Pak Angga melakukan sesuatu padamu. "
Aku tak bisa menjawab perkataan Gunawan, membuat aku pergi dari hadapannya.
"Sinta."
Aku berjalan menuju kamar mandi dengan tergesa-gesa, masuk menatap ke arah cermin. Kulihat tidak ada satu orang_pun ada di sana.
Memegang perut, bergumam dalam hati," Andai saja, Angga tidak menusuk perutku saat itu. Mungkin aku tidak akan kehilangan bayiku. Menangis, membuat make-up yang tadinya menempel sempurna kini berantakan.
"Hah, kenapa bisa seperti ini, jangan menangis Kaira, kamu harus kuat demi mengambil hak kamu lagi dan membalaskan semua dendam pada Angga. "
Aku berusaha menguatkan diri menggerutu kesal dalam hati.
Menarik napas mengeluarkan secara perlahan, aku selalu mengingat perintah yang dilakukan oleh Gina jika aku mendapatkan masalah ataupun rasa kesal. Perlahan demi perlahan sudah aku lakukan berulang kali, sampai hati ini merasa tenang. Aku mulai mengusap air mata yang sudah membasahi pipi.
Keluar dengan memperlihatkan raut wajah tanpa beban sedikitpun, "Sinta."
Panggilan dari seseorang mengagetkanku, membalikan badan menatap ke arah orang itu.
"Gunawan."
Aku memukul pelan mulutku yang tidak menggunakan kata-kata sopan saat memanggil Gunawan.
Menundukkan wajah berharap jika lelaki itu tidak mendengarkan ucapanku, " Sinta, apa si Angga itu melakukan hal tak pantas pada kamu?"
Pertanyaan Gunawan membuat aku mengangkat kepalaku, berpura-pura menjadi wanita yang sok polos, " hal yang tak pantas bagaimana ya, pak?"
Gunawan tiba-tiba membungkukkan badan, menatap ke arah wajahku, membuat wajahnya kini berjajar denganku.
"Kamu ini polos, apa pura pura polos."
Ucapan Gunawan membuat jantungku berdetak, membuat bibir ini keluh.
"Apa maksud si bujang lapuk ini?" Gumamku dalam hati.
Aku berusaha menjadi sosok wanita yang benar-benar polos di hadapan semua orang, agar rencanaku berjalan dengan sempurna.
kedua pipi memerah, aku berpura pura malu, menundukkan wajah, " maaf pak, saya pergi bekerja dulu. "
Membuka pintu ruangan Angga, aku melihat keduanya tengah bercumbu, membuat aku kesal, " Bisa bisanya mereka berbuat hal yang tak pantas di kantor almarhum ayah. "
Sebelum membuka pintu sepenuhnya, aku mulai merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk segera merekam atraksi mereka berdua.
"Seru sekali ternyata. "
Selesai merekam atraksi mereka, aku perlahan menutup pintu ruangan, " Sedang apa?"
Aku membalikkan ke arah belakang, terkejut dengan ucapan Gunawan yang selalu tiba tiba saja muncul dimanapun aku berada.
"Ah, tidak ada. Saya pergi dulu. "
Melewati Gunawan, untuk pergi ke kantin.
Namun, tangan lelaki itu malah menahan tanganku.
"Kenapa buru buru."
Aku tak mengerti dengan Gunawan, dia selalu mengekori aku dan tahu dimana aku berada, mencoba tetap tenang dan menampilkan sebuah senyuman.
"Saya lapar, Pak. "
"Wah kebetulan sekali, gimana kalau aku ikut dengan kamu, biar kita jalan berdua. Gimana?"
Kesal bukan main, Gunawan benar benar membuat darahku naik.
Karena tak enak dengan keinginannya, aku terpaksa mengajaknya.
"Ya sudah, ayo pak."
Kami mulai memilih kursi untuk kami duduk, sampai dimana Gunawan menarik lenganku, " Kita duduk di sana. "
Gunawan menunjuk tempat dimana, meja itu begitu berada di ujung. Sampai aku menghempaskan tangannya.
"Ayo duduk. "
Memajukan kedua bibir, aku duduk bertatapan mata dengannya, ia seperti menyelidiki ku dengan begitu detail.
"Kenapa, menatap saya seperti itu? Apa ada yang aneh. "
Gunawan menyenderkan dagunya pada tangan, " aku melihat kamu seperti tak asing."
Deg ....
Jangan jangan Gunawan mencurigaiku, tapi bagaimana? Itu semua tak mungkin, karena aku sudah mempermak semua wajah dan badanku.
"Sinta."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!