Malam baru saja datang menjelang. Sang surya merangkak ke peraduan dengan menyisakan warna jingga di ufuk barat untuk memberikan kesempatan pada rembulan menjadi satu penerang gulita yang diiringi pengawal ribuan bintang. Lara baru saja ke luar dari area perkantorannya, menyetir dengan wajah sumringah penuh rona bahagia menuju salah satu rumah kontrakan elit milik sang kekasih.
“Dodi pasti bakal senang banget kalau sampai tau aku naik jabatan, mudah-mudahan aja dia makin sayang deh padaku,” monolog Lara dengan binar mata bahagia.
Gadis itu tidak ada janji sama sekali dengan Dodi – kekasih hatinya. Lara sengaja datang untuk memberikan kejutan tentang kabar bahagia kalau dirinya baru saja diangkat menjadi kepala bagian keuangan di perusahaan tempatnya bekerja. Hatinya begitu bahagia membayangkan raut wajah tampan sang kekasih yang amat dicintai bakal terus tersenyum mendengar prestasi karirnya.
“Aku udah gak sabar ketemu ama Dodi, dia pasti bakal bahagia karena setelah ini gajiku akan naik dari gaji sebelumnya. Mudah-mudahan saja suatu saat nanti dia benar-benar bisa membuka usaha bengkel yang diimpikannya setelah aku mengumpulkan uang untuknya.”
Lara memang terlalu mencintai Dodi hingga gaji yang diterimanya seringkali diambil sebagian oleh pria itu, padahal tanpa dia ketahui, sang kekasih menggunakan uang yang diberikan untuk berkencan dengan wanita lain. Gadis itu selalu terbuai dan terlena atas gombalan yang selama ini diberikan Dodi, hingga membuat matanya buta dalam melihat kebenaran yang ada.
Mobil yang dikendarai Lara mulai memasuki kawasan elit dan berhenti persis di depan rumah pujaan hati. Gadis itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum ketika kedua kakinya mulai melangkah menuju salah satu unit yang dituju. Mata Lara sebenarnya melihat ada mobil lain berwarna hitam — Fortuner sport yang sedang parkir tak jauh dari posisi mobilnya saat ini.
Namun, Gadis itu sama sekali tidak merasa curiga dengan kehadiran mobil mewah yang terparkir begitu indah, persis di depan rumah kontrakan kekasihnya.
Gadis itu terus saja melangkah membawa sejuta harapan dengan penuh kebahagiaan karena dirinya sudah punya gaji besar dan bakal memberikan sebagian untuk menyenangkan hati pacarnya. Dodi sering meminta sebagian pendapatan Lara dengan alasan untuk ditabung demi mencapai cita-cita keduanya demi membangun bengkel yang diinginkan Dodi sejak lama.
Namun, bukan kata sambutan penuh cinta yang didapatkan Lara, saat dirinya sudah hampir melangkahkan kaki menaiki teras rumah tapi malah mendengar sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Sayang … apa kamu nggak takut, kalau sampai si Lara hati yang bloon itu meninggalkanmu? Gimana kalau sampai gadis barbar itu tahu tentang hubungan kita yang berpacaran di belakangnya? Apa menurutmu dia akan mewek sehari semalam sampai membuat kamarnya banjir air mata karena kau manfaatkan? Aku sangat yakin kalau dia sampai tau hubungan kita, maka bisa-bisa Lara bakalan pingsan … atau mungkin malah lebih parah dengan mati bunuh diri, hahaha,” ujar seorang seorang wanita yang tak dikenal Lara sama sekali.
Deg!
Langkah kaki Lara yang tadi berjalan begitu lincah seperti orang yang sudah tak sabar ingin bertemu dengan kekasih hatinya, tiba-tiba saja terhenti seketika. Jantungnya berdetak lebih kencang dengan napas yang memburu karena tidak menyangka akan mendengarkan hal semenyakitkan itu.
‘Ap-apa ini? Kenapa ada suara perempuan sedang bersama Dodi di dalam rumah ini? Ini maksudnya apa, sih? Kenapa dia berucap seolah-olah aku bisa saja bunuh diri karena ketahuan —’ ucapan di dalam hatinya terhenti seketika merasa tak sanggup membayangkan kalau dugaannya akan menjadi kenyataan.
‘Astaga … oh no, apa jangan-jangan itu selingkuhannya …? Apa mereka sedang melakukan adegan menjijikkan di dalam sana?’
Lara masih berusaha bersabar agar bisa mengetahui apalagi yang kedua pasangan pengkhianat itu katakan, walau air matanya sudah mulai merebak turun melewati pipi.
“Apa peduliku! Lara itu hanya gadis dungu yang tak tau apa-apa, hahaha. Kamu kan tahu sendiri, kalau dia itu kujadikan pacar hanya untuk membiayai kepentingan kita berdua saja. Termasuk buat tabungan masa depan kita biar bisa membuka usaha nanti!” tegas lelaki yang selama ini memacari Lara.
Sungguh begitu hancur perasaan Lara kala mengetahui fakta yang sebenarnya, apa salahnya hingga Dodi melakukan hal kejam di dalam kehidupan cinta yang dianggapnya suci selama ini?
Gadis yang mendengar perkataan Dodi itu sekarang merasakan ada ribuan jarum bergerak menuju jantungnya hingga terasa begitu menyakitkan. Tak bisa dibayangkan sakit hati yang sekarang didapati karena dikhianati.
‘Astagfirullah … jadi aku selama ini hanya dianggap sebagai mesin pencetak uang? Kejam sekali kamu, Dodi … aku gak nyangka kalau kamu hanya mempermainkan cintaku selama ini!’ Lara memejamkan mata selaras tangan yang sedang memegangi dadanya, merasakan detak jantung yang tiba-tiba saja meronta seolah ingin marah mencuatkan emosinya.
“Ih, tanganmu jangan nakal dong, Sayang! Aku hanya nggak mau hubungan kita ketahuan sama si Lara, terus belanjaku tersendat dong! Rugi tau … jadi jangan pernah mutusin dia, tapi kamu juga nggak boleh tidur dengannya, awas saja kalau kau sampai menidurinya maka akan kupotong burung tak bertulang milikmu!” ancam wanita itu dengan nada begitu manja.
Lara hanya bisa membekap kuat mulutnya. Sakit, tentu saja. Apalagi mendengar perkataan seorang perempuan yang entah sedang melakukan apa dengan kekasihnya. Tangan yang nakal? Apalagi yang terlintas di dalam kepala tentang kalimat tangan yang nakal kalau bukan sedang melakukan rambatan di tubuh wanita yang bicara.
“Kamu tenang saja, Sayang. Lara itu sekali kugoda dan kurayu … maka dia akan langsung bertekuk lutut di bawah kakiku. Dia bahkan mungkin rela mati untuk memperjuangkan cinta kami. Sayangnya gadis bodo itu tak pernah menyadari, kalau aku sebenarnya hanya sedang memanfaatkannya saja! Bukankah dengan cara begini, aku jadi bisa memberikanmu apa saja, hmm?” sahut pria itu dengan jawaban sensual penuh nada manja.
Tubuh Lara rasanya sudah seperti jelly tak punya tenaga untuk sekadar menopang jiwa yang sudah terasa lara. Ingin rasanya dia masuk ke rumah kontrakan itu dan melampiaskan kemarahan dengan mencakar-cakar wajah pria yang telah membodohinya selama ini. Atau mungkin melempar wajahnya dengan air got dan lumpur hitam berbau kotoran.
‘Jadi ternyata cintaku selama ini hanya bertepuk sebelah tangan. Aku hanyalah mesin ATM berjalan untuknya. Astagfirullah ya Allah … bagaimana mungkin kalau selama ini ternyata aku hanya dimanfaatkan seorang laki-laki breng-sek seperti Dodi?’ rutuk Lara dengan simbahan air mata, tak ada lagi yang bisa dipertahankan dari lelaki seperti Dodi.
Air mata Lara tak bisa dibendung lagi, mengalir begitu saja bagai anak sungai tanpa henti. Seumur hidup baru kali ini dirinya merasakan yang namanya patah hati, ternyata rasanya begitu sakit dan ingin mati. Wanita itu sepertinya sudah tak sanggup hidup lagi akibat rasa patah hati yang terlalu dalam, hingga yang ada di dalam kepalanya saat ini hanya ingin pergi untuk selamanya dari dunia ini.
‘Aku rasanya tak sanggup hidup lagi ….’
Sayangnya kalaupun Lara pergi dari dunia ini, semua yang terjadi takkan pernah berhenti walau dirinya tak lagi bersama Dodi. Haruskah dia membunuh pria yang selama ini sudah mengeruk habis keuangannya demi wanita lain? Atau mungkin dia harus melepas dendam terlebih dahulu dengan elegan agar rasa sakit di hati sedikit terobati tapi bagaimana caranya?
Sh*it!
Bersyukur ternyata Lara bukan perempuan lemah yang akan mengemis cinta pada laki-laki brengsekk seperti Dodi. Wanita itu merasa tidak pantas lagi untuk laki-laki yang telah menghabiskan isi dompetnya selama ini dengan dalih belum mendapat pekerjaan setelah di-PHK dari salah satu perusahaan ternama yang dulu pernah mempekerjakannya.
Sesaat tubuh Lara tetap luruh merosot ke tanah, kala mengetahui orang yang selama ini begitu disayang dan dicintai, ternyata hanya laki-laki kurang ajar yang memanfaatkan kebaikannya.
‘Ya Allah … kuatkan hamba yang sudah sangat lama melupakan Engkau,’ gumamnya sesaat teringat akan adanya Tuhan yang sudah sangat lama terlupakan.
Hatinya begitu terasa hancur ketika mendengar suara manja seorang perempuan yang ternyata selama ini adalah pacar dari kekasihnya. Sementara gurauan canda berbumbu tawa, terdengar begitu jelas di telinga. Pasangan itu benar-benar berbahagia diatas penderitaan yang menimpa hidupnya.
‘Aku ini memang seorang gadis yang bodo tak berguna, ternyata aku selama ini hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan uang demi memanjakan pacarnya! Dasar pria kurang ajar, aku pasti akan membalasmu!’ Kedua tangan Lara terkepal kuat menahan sesak di dalam dadanya, akibat dikhianati oleh kekasih yang sangat dicintai.
Miris, inilah gambaran kehidupan cinta seorang Lara. Mencintai berujung dikhianati memang sangat menyayat hati. Ingin melabrak tapi dirinya masih punya harga diri dan tak ingin semakin merasa dipermalukan. Biarlah dirinya menjauh dan pergi karena selalu ada hari untuk membalaskan rasa sakit hati.
‘Rara, maafkan aku karena selama ini tak mau mendengar nasehat darimu …!’ lirihnya kala teringat akan nasehat sang sahabat yang tak pernah ia didengarkan.
Lara sudah sangat sering diberikan nasihat oleh teman baiknya, bahkan gadis itu pernah memarahi Rara hingga tak menegurnya beberapa hari hanya karena temannya itu menceritakan tentang sifat asli seorang Dodi. Penyesalan memang selalu datang ketika fakta telah terpapar di depan mata dan didengar oleh telinga.
Betapa berdosanya dia karena telah salah menyangka tentang kebaikan hati dari sahabat sejatinya. Ternyata sekarang semuanya malah diperlihatkan begitu nyata dan didengarkan telinga, hingga dirinya bisa mengetahui tentang apa saja yang diucapkan sama Dodi pada kekasih gelapnya.
Apa jangan-jangan selama ini dialah yang jadi selingkuhan dari Dodi karena mendengar kenyataan yang ada, bahwa wanita itu tau tentang kehadirannya yang hanya dimanfaatkan selama ini. Pikiran Lara tak salah lagi!
‘Aku nggak sanggup lagi di sini lebih lama,’ batinnya lirih begitu sedih dengan air mata dan suara tertahan.
Dengan sisa tenaga, akhirnya gadis itu kembali merasa sedih yang tak terperi begitu terasa lengket di hati. Memasuki mobil dengan kepala yang mulai terasa berdenyut berat, rasa benci dikhianati bercampur dengan dendam yang sedang membara, membuatnya emosi dan memacu kuda besi begitu ganas di jalanan kota.
“Dasar pria kurang ajar! Aku pasti akan membalas perbuatan jahatmu nanti, kau benar-benar begitu tega menghianati cintaku yang tulus … apa salahku padamu, Dodi, apa …? Aku bahkan rela menyisihkan setiap gajiku agar kamu selalu merasa bahagia berada di sisiku, tapi balasanmu malah mengkhianati cinta suci yang kuberikan dengan tulus hati!” raung Lara penuh sesal di balik kemudi.
Hati gadis mana yang tak akan jadi hancur kala mendengar suara manja seorang wanita dengan lelaki pujaan yang selama ini dikira saling mencinta tapi kenyataan seolah telah menampar wajahnya.
“Dasar brengsekk! Kau pasti akan mendapatkan karmanya karena telah mengkhianatiku!” monolognya untuk ke sekian kali.
Wanita itu terus saja bicara sendiri sembari sekali-kali menghapus air mata yang telah membentuk seperti anak sungai kecil nan turun menetes sampai ke dagunya. Beberapa kali gadis itu terlihat memukul-mukul setir kendali mobil.
“Ternyata aku benar-benar dungu seperti apa yang pernah dikatakan Rara. Aku hanya dimanfaatkan saja sama Dodi sialann itu, oh Tuhan … apa yang harus kulakukan sekarang untuk membalas semua perbuatan Dodi padaku? Haruskah aku melakukan hal yang sama?” Lara bertanya pada benda berbentuk lingkaran berwarna hitam yang dijadikannya sebagai pegangan tangan dengan deraian air mata.
Sudah jatuh ke tanah ditimpa tangga pula, itu lah pepatah yang cocok untuk dirinya saat ini. Bukan saja hatinya yang patah tapi hampir seluruh tabungannya tersimpan indah di saku Dodi. Marah, benci dan dendam sepertinya sedang berkumpul jadi satu di dalam jiwanya, bersiap meledak seperti bom yang akan menghancurkan segalanya.
“Ah gak mungkin aku membunuhnya karena dia akan mendapatkan kematian tanpa merasakan sakit yang sekarang aku alami. Aku harus balas dendam terlebih dahulu agar dia menyesal karena telah berkhianat padaku!” tekadnya dengan kembali menginjak pedal gas seperti supir yang kesetanan di jalan raya.
Gadis itu terus saja terbayang akan sosok pria yang selalu menunjukkan senyum manis di kala penat melanda jiwa. Sosok yang selalu bisa memberikannya rayuan gombal tetapi begitu membuatnya bahagia. Bahkan pria itu adalah penumpu yang selalu meminjamkan pundaknya kala diri merasakan sedih karena sering dianggap sebagai anak pembawa sial di dalam keluarganya.
Lara masih terbayang kedekatan mereka berdua belum lama ini yang saling berbagi kasih, “Kalau nanti aku diusir ayah dan ibu tiriku dari rumah, apa kamu akan menerimaku di kontrakan ini?” tanya Lara waktu dirinya dimarahi sang ibu tiri.
Mereka berdua terlihat sedang sangat mesra dengan kepala Lara bersandar di pundak sang pujaan hati, tanpa pernah mengetahui kalau Dodi sama sekali tidak pernah mencintainya dengan setulus hati. Memang terkadang kebanyakan orang yang sedang dimabuk asmara suka lupa dan juga buta terhadap logika.
“Tentu saja dong, Sayang … toh rumah itu juga kamu yang sering membayar bulanannya. Bahkan nama yang tertera di sertifikatnya nanti juga atas namamu kan? Berarti hakmu jauh lebih besar untuk tinggal di sini dibandingkan aku. Atau … gimana kalau kita tinggal bersama aja sebelum menikah? Aku selalu merindukanmu, Lara, dan aku ingin selalu berada di dekatmu,” sahut Dodi kala itu begitu manis.
Hati perempuan mana yang tidak akan meleleh mendengar ucapan memabukkan seperti yang dikatakan Dodi?
“Aku akan selalu menjadi tempat bersandarmu kapan pun kau butuh karena aku tercipta hanya untuk mengabdikan cintaku padamu,” lanjutnya yang mampu membuat jiwa Lara melayang ke angkasa tinggi.
Aaagh!!
Gadis itu memekik di dalam mobil dengan frustasi.
Gadis itu tersadar sesaat lalu menepikan mobilnya untuk berhenti dan mengingat akan satu hal bahwa dirinya harus bisa bermain pintar. Cepat Lara mengambil ponsel dan menghubungi bagian administrasi properti rumah yang sejatinya dia beli untuk masa depan bersama Dodi.
[Halo property Azura ada yang bisa kami bantu, Mbak Lara?] suara seorang perempuan yang begitu merdu menyapanya.
Nomor kontak Lara masih disimpan sama mereka hingga Gadis itu akan dengan mudah kembali mengambil apa yang seharusnya menjadi hak dirinya.
“Halo assalamu’alaikum Mbak Ruri, aku hanya ingin mengklarifikasi jika rumah itu akan kulunasi sekarang juga dan tolong simpan sertifikatnya dengan baik atas namaku seorang bukan atas nama berdua!” Rara ingin menegaskan jika dirinya bukan gadis yang terlalu bodo untuk ditindas hingga akan selalu dimanfaatkan Dodi selama-lamanya.
[Baiklah Mbak Lara, kami akan langsung mengisi data-data pemilik rumah type 36 yang sudah anda bayar selama 18 bulan dan selanjutnya anda hanya perlu membayar pokoknya saja sebab hari ini dilunaskan]
“Terima kasih Mbak Ruri, jadi berapa lagi harus saya transfer sekarang agar langsung lunas sore ini juga?” tanya Lara karena dirinya sudah tak sabar untuk mengusir Dodi dari rumah yang sudah dibelinya.
Setelah pegawai itu menyebutkan nominal angka yang masih harus ditransfernya, Lara dengan cepat melunasi rumah yang sekarang sudah atas nama pribadinya sendiri bukan lagi ada embel-embel nama Dodi di sana. Bahkan sebelum Lara mengakhiri obrolannya dengan pegawai bernama Ruri itu, dirinya meminta tolong pada pihak properti untuk mengusir Dodi dari rumahnya.
Setelah itu Lara kembali melajukan mobil bagai seseorang yang sedang dikejar polisi. Lara terus saja memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi, hingga tanpa ia sadari ada lawan yang juga sedang melaju kencang karena mengejar waktu keberangkatan sang adik yang tinggal beberapa saat lagi.
Brak!
Kecelakaan itu tak bisa terhindarkan, apalagi kedua pengemudi sama-sama ingin roda empat yang mereka kendalikan menjadi yang terdepan. Beberapa warga yang melihat langsung menjerit histeris, menyaksikan kecelakaan maut yang terekam jelas di depan mata kepala warga.
Berita itu pun mulai viral karena menjadi tontonan warga. Mereka ada yang menjadikannya sebagai konten live streaming dan ada juga yang langsung memvideokan guna di upload pada salah satu akun sosial media miliknya. Begitulah dunia jaman sekarang, bukan membantu yang sedang menjadi korban tapi sibuk berusaha untuk cari cuan.
“Hei ayo hubungi segera pihak kepolisian!” ujar salah seorang warga yang menyaksikan adegan kecelakaan tragis itu.
“Iya bener tuh, yang lain tolong panggilkan ambulance biar korban bisa langsung dilarikan ke rumah sakit!” sahut warga yang lain.
Suasana jadi riuh tak terkendali bahkan kemacetan pun tak bisa dihindarkan lagi.
“Tapi hati-hati loh, jangan sampai kita jadi saksi yang berakhir tersangka,” celoteh warga yang tak punya rasa empati sama sekali alias masa bodo.
“Yang penting kerjakan aja bagi yang punya hati nurani, yang gak punya bagusan pergi!” gerutu seorang bapak yang berusaha membantu mengevakuasi keluarga di dalam mobil berwarna hitam.
Hal semacam ini memang sering kali terjadi pada setiap adanya kecelakan karena tidak semua orang memiliki hati nurani yang tergerak untuk saling bantu, kebanyakan malah memanfaatkan moment untuk kepentingan demi dapat cuan.
Jalan Raya malam itu langsung menjadi macet total akibat kerumunan warga hingga tak ada mobil yang bisa lewat, sementara korban yang ada di dalam dua mobil berbeda belum diketahui bagaimana nasib mereka.
Tidak lama kemudian terdengar suara sirine saling bersahutan ternyata warga tadi ada yang memanggil pihak berwajib dan ada juga yang menelpon rumah sakit untuk minta ambulance. Tiga Ambulance langsung datang ke lokasi bahkan satu ambulance di isi oleh dua orang korban.
*
*
Bias cahaya mengintip di sela-sela tirai hingga menyapa wajah seorang gadis yang terlihat memiliki lebam di beberapa titik tubuhnya. Bahkan tangan kirinya masih memperlihatkan adanya lilitan perban juga. Kelopak dengan bulu mata yang panjang dan tebal itu perlahan mulai terlihat beberapa kali mengerjap, Lara kembali mendapati cahaya yang sekarang terlihat sangat nyata.
Gadis itu mulai menyatukan penglihatan yang tadinya membuat ngilu indera penglihatannya mulai bisa menerima keadaan. Sayup-sayup sang gadis mendengar suara kedua orang tuanya yang sedang memaki dirinya. Padahal tanpa mereka ketahui, sebenarnya Lara sudah tersadar dari koma yang dialaminya selama dua hari lebih.
“Benar-benar anak pembawa sial, dia tak henti-hentinya membuat hidup kita berantakan! Lagian polisi juga sudah melihat kamera CCTV di tempat kejadian, dan mereka mengatakan bahwa anakmu yang sialan ini benar-benar melajukan mobilnya seperti setan!” rutuk emosi sang ibu tiri yang sedang memaki dirinya.
Deg!
Hati Lara merasa sedih mendengar ucapan sang ibu tiri yang begitu menyakitkan, bahkan umpatan itu tetap didapatkannya walau jiwa dan raga sudah tak berdaya. Berbaring dengan tubuh penuh luka tapi bukannya mendapatkan empati malah mendapatkan caci maki. Benar-benar sangat menyedihkan, dikhianati kekasih yang telah memanfaatkan hampir semua uang darinya, mengalami kecelakaan dan keluarga yang selalu membencinya.
‘Ya Allah … ternyata sakitnya aku sama sekali tak membuat orang tuaku berubah,’ lirihnya sedih di dalam hati. Bulir bening menetes melewati pipinya begitu saja.
Ibu tiri Lara memang sangat marah ketika mengetahui saat anak tirinya itu mengalami kecelakaan dan menghantam mobil yang ada di depannya, hingga menyebabkan hampir satu keluarga terpandang mengalami kesialan karena tiga orang diantaranya langsung meninggal di tempat kejadian.
Bukan hanya itu yang ditakutkan oleh keluarga Lara, mereka juga mendengar bahwa seorang korban yang selamat ternyata belum juga sadarkan diri hingga sekarang.
“Mungkin anak papa memang pengen mati dari dulu ‘kan, makanya dia sengaja menabrakkan mobilnya biar dia tidak membuat kita malu lagi memiliki anak pembawa sial seperti Lara!” timpal Mario — kakak tirinya yang menyela perkataan sang mama.
‘Ya Allah, ternyata kedua orang tuaku sama sekali tak pernah menginginkan aku untuk hidup lebih lama! Tapi kenapa Engkau masih membuatku hidup di antara mereka? Kenapa Engkau tidak sekalian mencabut nyawaku saja, Tuhan…?’ Lara yang mendengar makian ibu dan kakak tirinya, merasakan sesak di dalam dadanya hingga tanpa sadar ujung kelopak matanya kembali meneteskan bulir bening.
Hal yang paling membuatnya terluka, sang papa sama sekali tidak memberikan sedikit pun pembelaan atas apa yang menimpanya. Tidak ada memperlihatkan sedikit saja jika dirinya merupakan seorang ayah dari pasien yang berbaring di atas brankar.
“Kakak sudah sadar Ma … Pa!” beritahu Andri — adik bungsu Lara satu ayah.
Pemuda yang masih duduk di bangku kuliah jurusan hukum tersebut, langsung melangkah cepat mendekati brankar sang kakak. Menggenggam erat tangan Lara dengan senyum di bibir dan mata berbinar ceria karena akhirnya perempuan yang disayanginya itu kembali sadar dari koma-nya. Walau pun mereka beda ibu tapi Andri sangat menyayangi Lara karena pemuda itu bisa melihat mana yang salah dan mana yang benar di rumah mereka.
“Apa yang kakak rasakan sekarang? Apakah ada bagian tubuhmu yang terasa sakit? Andri akan memanggilkan dokter sebentar, ya!” Pemuda itu hendak beranjak pergi dari posisinya tetapi dengan cepat Lara menghentikan langkah kaki Andri, memegang pergelangan tangan adiknya agar pemuda itu tetap berada di dekatnya.
“Biarkan aku mati saja,” lirihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!