Rahma memperhatikan jam yang menempel di dinding kamar kost. Waktu sudah menunjukkan tepat pukul tujuh, sudah waktunya ia berangkat ke kantor. Ia keluar dari kamar kostnya lalu mengunci pintu kamar.
Rahma berjalan keluar dari tempat tempat kost. Di depan tempat kost ia melihat Ibu Sumarni sedang bebelanja sayur di tukang sayur keliling. Rahma mendekati Ibu Sumarni.
“Bu, Rahma berangkat kerja dulu.” Rahma pamit kepada Ibu Sumarni.
Ibu Sumarni menoleh ke Rahma. “Hati-hati jalannya, Neng! Di pinggir jalan raya banyak trotoar yang bolong,” kata Ibu Sumarni.
“Iya, Bu. Rahma akan hati-hati. Assalamualaikum,” ucap Rahma.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Sumarni.
Rahma berjalan menyusuri jalan menuju ke kantor. Kantor Rahma tidak jauh dari tempat kost hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Jika ditempuh dengan berjalan kaki hanya memakan waktu lima sampai sepuluh menIt. Tergantung kecepatan Rahma berjalan.
Rahma bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara atau disingkat ASN di sebuah instansi milik pemerintah yang letaknnya tidak jauh dari tempat kost Rahma. Ia sudah lama kerja di instansi tersebut semenjak ia lulus kuliah. Kira-kira sudah setahun ia bekerja di instansi tersebut.
Rahma berjalan cepat menuju kantornya. Hari ini banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Ketika ia sampai di jalan raya ia berjalan di trotoar sambil memperhatikan trotoar. Di trotoar banyak sekali keramik yang sudah pecah, ada juga bolongan. Jika ia tidak memperhatikan jalan, kakinya akan ke jeblos ke gorong-gorong yang dalam. Atau kakinya akan terkilir karena tidak melihat lubang yang tidak dalam.
Tanpa sengaja ia melihat seorang kakek yang hampir jatuh, kakinya seperti keseleo. Untung si kakeknya berpegangan pada pagar sehingga ia tidak jatuh. Cepat-cepat Rahma mendekati kakek tersebut.
“Kakek tidak apa-apa?” tanya Rahma dengan wajah yang khawatir.
Kakek itu menoleh ke Rahma.
“Kaki Kakek keseleo, Kakek tidak melihat kalau ada lubang,” jawab kakek tersebut.
“Sakit tidak kakinya, Kek?” tanya Rahma.
Kakek itu menggerakkan kakinya.
“Sakit sekali kalau kakinya digerakkan,” jawab kakek tersebut.
“Maaf ya, Kek. Saya periksa dulu kaki kakek,” kata Rahma.
“Iya,” jawab kakek itu.
Rahma berjongkok dan memeriksa sekitar mata kaki kake. Ternyata di sekitar mata kaki kakek itu kulitnya agak kemerahan. Sepertinya kaki kakek itu keseleo. Rahma menoleh ke arah apotik di seberang jalan, apotik itu belum buka.
Bagaimana cara mengobatinya? tanya Rahma di dalam hati.
Rahma teringat ada rumah sakit ibu dan anak di sekitar situ. Ia mempunyai ide untuk membawa kakek itu ke rumah sakit tersebut.
“Kek, kita ke rumah sakit. Biar kaki Kakek diobati oleh dokter,” kata Rahma.
“Tapi Kakek tidak membawa uang,” ujar kakek itu.
“Saya yang akan bayar,” kata Rahma.
“Ayo, Kek.” Rahma membantu kakek itu berjalan. Kakek itu berjalan perlahan-lahan. Jarak rumah sakit dengan tempat kejadian hanya sekitar seratus lima puluh meter. Namun karena kakek tersebut jalan perlahan-lahan, mereka sampai di rumah sakit sekitar lima menit.
Akhirnya mereka sampai ke rumah sakit ibu dan anak. Rahma membawa kakek itu ke instalasi gawat darurat. Rahma menghampiri suster yang berjaga di ruang IGD.
“Sus, Kakek ini kakinya keseleo. Sekarang ia sulit berjalan karena kakinya sakit,” ujar Rahma.
Suster jaga menghampiri kakek lalu membawa kakek itu ke tempat tidur yang kosong. Rahma mengikuti dari belakang. Suster membantu kakek duduk di atas tempat tidur.
“Bapak tunggu dulu di sini! Nanti dokter jaga akan memeriksa,” kata suster.
Suster menoleh ke Rahma. “Teteh keluarganya?” tanya suster.
“Iya,” jawab Rahma.
“Silahkan ke loket pendaftaran untuk mendaftar!” kata suster.
“Baik, Sus,” jawab Rahma. Kemudian suster meninggalkan tempat itu.
“Kek, saya ke loket pendaftaran dulu,” ujar Rahma.
“Maaf, Kakek sudah merepotkanmu,” kata kakek.
“Tidak apa-apa, Kek,” jawab Rahma.
Rahma mencatat nama dan tempat tanggal lahir kakek. Sedangkan alamat dan nomor telepon Rahma menggunakan alamat dan nomor ponselnya sebahgai penanggung jawab.
Rahma keluar dari ruang IGD menuju ke loket pendaftaran. Untung antrian loket pendaftaran tidak banyak sehingga Rahma bisa cepat mendaftarkan kakek tersebut. Setelah selesai mendaftar Rahma kembali ke ruang IGD.
Ketika Rahma sampai di ruang IGD kakek sedang diperiksa kakinya oleh dokter. Rahma memperhatikan dokter yang sedang memeriksa kaki kakek. Akhirnya dokter selesai memeriksa kakek.
“Bagaimana dengan kaki kakek?” tanya Rahma.
Dokter itu menoleh ke Rahma. “Tidak apa-apa. Hanya keseleo biasa,” jawab dokter.
“Tetapi Kakek sulit berjalan, ia merasa kesakitan,” kata Rahma.
“Mungkin karena kakinya bengkak jadi Kakek merasa kesakitan. Nanti saya kasih obat penghilang rasa sakit. Untuk mengurangi bengkak pada kaki akan saya berikan salep dan obat,” ujar dokter.
Setelah selesai memeriksa kaki kakek, dokter itu pergi. Tidak lama kemudian datang suster, ia memberikan resep obat kepada Rahma.
“Ini resep obat yang harus ditebus di apotik,” kata Suster.
Suster itu juga memberikan kertas lain.
“Ini tagihan IGD, bayar di kasir,” kata suster.
“Baik, sus. Saya titip kakek saya,” jawab Rahma.
“Iya, Teh,” jawab suster.
Rahma mendekati kakek.
“Kakek tunggu di sini. Saya mau bayar di kasir,” kata Rahma.
“Iya,” jawab kakek.
Rahma keluar dari ruang IGD menuju ke kasir. Tidak berapa lama Rahma kembali, ia membawa slip pembayaran. Ia memberikan slip pembayaran ke suster dan kakek diperbolehkan pulang.
Rahma memapah kakek keluar dari ruang IGD lalu menuju ke apotik yang berada di rumah sakit itu. Rahma mendudukkan kakek di kursi.
“Kakek tunggu di sini. Saya mau menebus obat dulu,” kata Rahma.
“Tidak usah, Neng. Nanti saja kakek yang menebus obat,” ujar kakek.
“Tidak apa-apa, Kek. Biar kaki kakek bisa cepat diobati,” kata Rahma.
“Tunggu sebentar, ya.” Rahma meninggalkan kakek, ia menuju ke loket obat dan memberikan resep obat kepada karyawan apotik. Tidak lama kemudian Rahma kembali, ia duduk di sebelah kakek. Menunggu nama kakek dipanggil.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya nama kakek pun dipanggil.
“Bapak Sultan Wijaya.” Kasir apotik memanggil nama kakek. Rahma langsung berdiri dan menghampiri kasir apotik. Ia membayar obat kakek. Setelah itu ia kembali duduk dan menunggu obat.
Kakek menoleh ke Rahma. “Neng. Obatnya mahal, ya?’ tanya kakek.
“Tidak, Kek. Harga obat segitu tidak terlalu mahal. Sekarang yang penting kaki kakek bisa cepat sembuh,” jawab Rahma.
Kakek memperhatikan baju yang digunakan Rahma. Pakaian Rahma mirip seperti seragam yang biasa digunakan oleh ASN.
“Neng mau berangkat bekerja?” tanya kakek.
“Iya, Kek,” jawab Rahma.
“Jadi kesiangan gara-gara harus mengantar Kakek,” kata kakek.
“Tidak apa-apa, Kek. Tadi Rahma sudah ijin ke atasan Rahma. Lagi pula kantor Rahma dekat dari sini,” ujar Rahma.
“Dimana kantor, Neng?” tanya kakek.
“Di dekat tempat Kakek hampir terjatuh,” jawab Rahma.
Tidak lama kemudian nama kakek dipanggil kembali. Rahma langsung berdiri dan menghampiri karyawan apotik. Karyawan apotik memberikan sejumlah obat kepada Rahma. Rahma membawa obat tersebut dan kembali ke tempat duduk.
Rahma berdiri di depan kakek. “Saya obati dulu kaki kakek.” Rahma jongkok di depan kakek lalu mengoleskan salep di kaki kakek yang memar. Setelah kaki kakek diobati Rahma kembali duduk di kursi.
“Nanti di rumah dikasih salep lagi biar cepat sembuh!” ujar Rahma. Rahma memberikan plastik obat ke kakek.
“Rumah Kakek dimana?” tanya Rahma.
“Di jalan Nyland,” jawab kakek.
“Kakek ke sini naik apa?” tanya Rahma.
“Jalan kaki sendiri,” jawab kakek.
Jalan Nyland lumayan jauh dari jalan Padjadjaran, apalagi kakek ini jalan sendirian. Sungguh ceroboh keluarga kakek ini, pikir Rahma.
“Lain kali jangan pergi sendiri, harus ada yang menemani! Nanti keluarga kakek tidak ada yang tahu kalau terjadi sesuatu pada Kakek,” ujar Rahma.
“Iya, nanti Kakek akan minta di antar,” kata kakek.
“Sekarang kita pulang,” ujar Rahma.
Rahma langsung berdiri dari tempat duduk dan membantu kakek untuk berdiri. Ia memapah kakek keluar dari rumah sakit. Tiba-tiba terdengar perut kakek berbunyi. Kakek menjadi malu karena suara perutnya terdengar oleh Rahma. Rahma tersenyum mendengar suara perut kakek.
“Kakek lapar, ya?” tanya Rahma.
“Iya. Kakek belum sarapan,” jawab kakek.
“Kakek suka bubur ayam, nggak?” tanya Rahma.
“Suka,” jawab kakek.
“Di depan ada bubur ayam enak. Kita sarapan di sana. Rahma juga belum sarapan,” ujar Rahma.
Rahma memapah kakek menuju ke penjual bubur ayam. Kakek jalan dengan perlahan dan hati-hati. Kakek tidak ingin kejadian tadi terulang kembali. Mereka sampai di penjual bubur. Rahma membantu kakek duduk di kursi.
“Mang, bubur ayam dua!” kata Rahma.
Penjual bubur menoleh ke arah Rahma. Ia langsung tersenyum ketika melihat Rahma.
“Eh, Neng Rahma. Tumben belum berangkat ke kantor. Biasanya pagi-pagi sudah ke kantor,” ujar penjual bubur ayam.
“Tadi saya ke rumah sakit dulu, Mang. Antar kakek ke rumah sakit,” kata Rahma.
Kakek memperhatikan pembicaraan Rahma dengan penjual bubur. Gadis itu selalu ramah pada setiap orang.
“Oh, kakek Neng Rahma sedang sakit?” tanya penjual bubur.
“Iya, Mang,” jawab Rahma.
“Seperti biasa buburnya, Neng?” tanya penjual bubur.
“Iya, Mang,” jawab Rahma.
Rahma menoleh ke kakek itu. “Kakek, buburnya mau pakai apa? Telor atau ati ampela? Atau mau pake dua-duanya?” tanya Rahma.
“Pakai telur saja. Jangan pakai kacang,” jawab kakek.
“Mang! Yang satu pakai telur, jangan pakai kacang!” kata Rahma kepada penjual bubur.
“Siap, Neng,” jawab penjual bubur. Mereka menunggu pesanan mereka dibuat.
“Rahma.” Kakek memanggil Rahma.
“Iya, Kek?” tanya Rahma.
“Boleh Kakek pinjam ponselnya?” tanya kakek.
“Tentu saja boleh.” Rahma mengambil ponselnya yang berada di dalam tas lalu diberikan kepada kakek.
Kakek menekan nomor telepon rumah lalu menghubungi nomor tersebut. Kakek berbicara dengan seseorang melalui telepon. Beberapa menit kemudian kakek mengakhiri pembicaraannya. Ia mengembalikan ponselnya kepada Rahma.
“Terima kasih sudah dipinjamkan ponsel,” ucap kakek.
“Sama-sama, Kek,” jawab Rahma.
Bubur pesanan mereka sudah siap, penjual bubur menghidangkan di atas meja. Rahma dan kakek menyantap bubur mereka. Tiba-tiba sebuah sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan lapak penjual bubur. Seorang laki-laki sekitar berusia empat puluh tahunan turun dari mobil sambil membawa sebuah pounch yang terbuat dari kulit. Laki-laki itu menghampiri kakek.
“Ini Pak dompetnya.” Laki-laki itu memberikan pounch kepada kakek.
“Terima kasih,” ucap kakek.
“Pak Lilih sudah makan, belum?” tanya kakek sambil memakan bubur.
“Sudah, Pak. Tadi dikasih nasi goreng sama Bi Wiwiek,” jawab Pak Lilih.
“Hampir setiap hari kamu makan nasi goreng. Nanti saya suruh Bi Wiwiek ganti menu, jangan nasi goreng terus!” ujar kakek.
“Tidak apa-apa, Pak. Nasi goreng Bi Wiwiek enak,” kata Pak Lilih sambil tersenyum. Kakek menoleh ke Pak Lilih lalu matanya melotot.
“Awas, jangan macam-macam! Ingat sama anak dan istri di rumah!” seru kakek.
“Nggak berani saya, Pak. Nanti saya dikunciin di luar,” kata Pak Lilih.
“Bagus!” ujar kakek.
“Kamu tunggu di mobil. Saya mau habiskan dulu makanan saya,” kata kakek.
“Baik, Pak,” jawab Pak Lilih. Pak Lilih kembali ke mobil.
“Itu siapa, Kek?” tanya Rahma.
“Oh, itu supir Kakek. Namanya Pak Lilih,” jawab kakek.
Mereka melanjutkan makan hingga bubur mereka habis. Kakek meminum air teh sampai habis.
“Terima kasih atas semua bantuan Rahma. Kalau tidak ada Rahma, entah apa yang akan terjadi kepada Kakek. Sebab Kakek tidak membawa uang dan ponsel,” ucap kakek.
“Sama-sama, Kek. Kebetulan saja Rahma sedang lewat sini,” kata Rahma.
“Mang!” Kakek memanggil penjual bubur.
Penjual bubur menoleh ke kakek. “Iya, Pak?” tanya penjual bubur.
“Semuanya berapa?” tanya kakek.
“Jangan, Kek! Biar Rahma saja yang bayar. Kan Rahma yang mengajak Kakek makan di sini,” kata Rahma.
“Tidak apa-apa. Biar Kakek yang bayar,” ujar Kakek.
“Semuanya dua puluh dua ribu, Pak,” jawab penjual bubur.
Kakek membuka pounch lalu mengambil selembar uang pecahan seratus ribu. Ia memberikan uang itu kepada penjual bubur.
“Kembaliannya ambil saja!” kata kakek.
“Hatur nuhun,” ucap penjual bubur sambil membungkukkan badannya.
Kakek mengeluarkan uang pecahan seratus ribu rupiah sebanyak sepuluh lembar lalu diberikan kepada Rahma.
“Ini sebagai ganti uang biaya rumah sakit dan membeli obat,” ujar kakek.
“Tidak usah diganti! Rahma ikhlas menolong kakek.” Rahma menolak menerima uang pemberian kakek.
“Kakek mohon, terimalah! Nanti uangmu kurang karena sudah membayar rumah sakit dan membelikan obat untuk Kakek,” ujar kakek.
“Tidak akan kurang. Rahma masih punya uang.” Rahma tetap tidak mau menerima uang tersebut.
“Kalau begitu kakek minta nomor teleponmu. Kapan-kapan kita janjian sarapan bubur bersama-sama,” ujar kakek.
“Tentu saja. Dengan senang hati Rahma menerima ajakan Kakek,” kata Rahma.
Kakek mengeluarkan ponselnya dari dalam pounch lalu diberikan kepada Rahma.
“Tolong kamu simpan nomor ponselmu di ponsel Kakek!” kata kakek.
Rahma mengambil ponsel kakek lalu mengetik nomor ponsel miliknya di ponsel kakek. Ia menyimpan nomor ponselnya dengan nama Rahma setelah itu ia mengembalikan ponsel tersebut kepada kakek.
“Kamu pasti sudah kesiangan ke kantor. Pasti gaji kamu dipotong,” ujar kakek.
“Tidak, kok. Rahma masih bisa menggantinya dengan lembur. Lagipula kos-kosan Rahma dekat sini, jadi tak masalah kalau pulang telat,” kata Rahma.
“Hati-hati kalau pulang malam, banyak orang ja*hat berkeliaran! Belum lagi trotoarnya banyak yang bolong, membuat kamu tidak nyaman jalan malam-malam,” ujar kakek.
“Baik, Kek. Rahma akan hati-hati,” jawab Rahma.
“Kakek pulang dulu, ya. Terima kasih sudah membantu Kakek,” ucap Kakek.
“Sama-sama, Kek,” jawab Rahma.
Rahma membantu kakek berdiri lalu memapah kakek menuju ke mobil. Pak Lilih cepat-cepat membuka pintu mobil. Dengan hati-hati kakek masuk ke dalam mobil karena kakinya masih terasa sakit.
“Sampai ketemu lagi, ya. Assalamualaikum,” ucap Kakek.
“Waalaikumsalam,” jawab Rahma.
Pak Lilih menutup pintu mobil lalu masuk ke dalam mobil bagian kemudi. Dari balik kaca kakek melambaikan tangan, Rahma membalas lambaian tangan kakek. mobil kakek pun meluncur meninggalkan tempat itu
Rahma baru selesai apel pagi, tiba-tiba terdengar suara dering telepon di ponselnya. Ia mengambil ponselnya yang berada di dalam saku celana. Ia membaca nomor telepon yang tertera di layar ponselnya. ia tidak mengenal nomor telepon tersebut.
Ini nomor ponsel siapa? tanya Rahma di dalam hati.
Jawab jangan, ya? Rahma ragu untuk menjawab telepon tersebut.
Rahma berjalan masuk ke kantor sambil memandangi layar ponsel. Ia membiarkan ponselnya terus berdering. Ia ragu untuk menjawab telepon tersebut. Tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya. Rahma menoleh ke samping. Ternyata Irgi yang menepuk punggungnya.
“Hei! Jangan dipandangi terus ponselnya. Jawab tuh, telepon masuk. Berisik berdering terus dari tadi!” seru Irgi.
“Telepon dari siapa, sih?” tanya Irgi penasaran.
Irgi mendekatkan wajahnya ke ponsel Rahma. Ia ingin melihat wajah si penelepon.
“Yah, yang nelepon kakek-kakek.” Irgi mengejek Rahma.
“Kamu jadi sugar baby kakek-kakek, ya?” tanya Irgi
“Enak saja. Sembarangan ngomong!” ujar Rahma kesal.
Rahma melihat layar ponselnya sekali lagi. Ia melihat sekali lagi foto si penelepon. Wajah di foto itu mirip dengan wajah kakek Sultan Wijaya.
Apa kakek yang menelepon? tanya Rahma di dalam hati.
Akhirnya ia memutuskan untuk menjawab telepon tersebut. Rahma menyentuh tombol terima dan telepon pun terhubung.
“Assalamualaikum,” ucap Rahma.
“Waalaikumsalam,” jawab kakek Sultan.
“Maaf, Rahma lama mengangkat telepon. Rahma kirain orang iseng yang menelepon,” kata Rahma.
“Kakek lupa kasih nomor telepon Kakek ke Rahma. Jadi kamu tidak tau siapa yang menelepon,” ujar kakek Sultan.
“Tidak apa-apa, Kek. Nanti Rahma simpan nomor telepon Kakek,” kata Rahma.
“Sabtu besok kamu ada acara, tidak?” tanya kakek Sultan.
“Tidak, Kek,” jawab Rahma.
“Kakek mau mengajak kamu makan siang di rumah kakek,” ujar kakek Sultan.
“Boleh. Jam berapa?” tanya Rahma.
“Jam sepuluh,” jawab kakek.
“Bisa, Kek. Nanti kirim saja lokasi rumah kakek. Rahma ke sana sendiri,” kata Rahma.
“Kamu ada ke kendaraan, tidak? Kalau tidak ada, Kakek suruh Pak Lilih menjemput kamu,” ujar kakek Sultan.
“Rahma punya motor sendiri. Rahma ke rumah Kakek naik motor,” kata Rahma.
“Hati-hati nyetir motornya!” ujar kakek Sultan.
“Baik, Kek,” jawab Rahma.
“Oke, sampai ketemu besok. Assalamualaikum,” ucap kakek Sultan.
“Waalaikumsalam,” jawab Rahma.
Rahma memasukkan ponselnya ke dalam saku celana , ia berjalan menuju ke ruang kerjanya.
***
Sementara itu di kediaman Sultan Wijaya Kartabatara.
Kakek Sultan baru saja selesai menelepon Rahma, seorang wanita setengah baya menghampirinya. Ia adalah Ibu Claudia Irena, menantu kakek Sultan Wijaya. Ibu Claudia tinggal di rumah kakek Sultan semenjak ia menikah dengan putra kakek Sultan. Kakek Sultan hanya memiliki satu orang putra yang bernama Pak Raja Nagara Kartabatara. Pak Raja meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang. Pak Raja meninggalkan istrinya Ibu Claudia dan putranya yang bernama Rendi Dirgantara Kartabatara. Kini kakek Sultan hanya tinggal bersama menantu dan cucunya.
“Ayah, sarapannya sudah siap,” kata Ibu Claudia.
“Rendi mana? Dia sudah keluar dari kamarnya, belum?” tanya kakek Sultan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka, seorang laki-laki menggunakan suit bergaya seperti seorang CEO keluar dari kamar.
“Rendi!” Claudia memanggil Rendi.
Rendi berjalan menghampiri mamanya.
“Iya, Mah,” jawab Rendi.
“Kakek mencari kamu,” kata Ibu Claudia.
“Ren, duduk sini dekat Kakek.” Kakek Sultan menepuk sofa di sebelahnya.
Rendi duduk di sebelah kakek Sultan. “Ada apa, Kek?” tanya Rendi.
“Besok kamu ada acara, tidak?” tanya kakek Sultan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!