Harun, Azha, Arraya, Arion dan Bariana. Lima bocah seumuran hanya beda bulan. Arraya dan Arion adalah yang paling belakangan lahirnya. Lima bocah yang sama dengan kakak angkatan pertama mereka. Kean, Calvin, Arimbi, Satrio, Sean, Nai, Daud dan Al.
“Bu guru, memangnya kita nggak bisa ya, duduk satu meja gitu?” tanya Bariana.
“Nggak bisa Nak. Sudah jangan protes. Duduk sama temenmu ya!” perintah bu guru.
Bariana akhirnya tak protes, Arion akhirnya mengalah, ia yang duduk dengan teman sebangku Bariana. Seorang gadis kecil berhijab. Bariana menolak sekolah di tempat khusus. Padahal Bart memfasilitasi sekolah katolik untuk Domesh, Bomesh dan Bariana. Namun ketiganya menolak untuk sekolah di sana.
Sudah tiga bulan mereka masuk sekolah SD. Mereka lebih banyak teman di banding kakak-kakak mereka terdahulu. Harun menjadi ketua kelas, pria kecil itu memang sangat mendominasi terlebih karena mata birunya.
“Nah sekarang kalian buka halaman delapan ya!” suruh bu guru.
“Iya bu guru!” seru semua anak-anak.
Belajar mengajar pun dimulai, semua anak serius dalam belajar mereka. Hingga waktu istirahat pun usai. Semua anak-anak berhamburan keluar kelas untuk jajan. Harun cs juga keluar kelas dengan membawa bekal mereka. Dari dulu memang Maria tak pernah mengijinkan anak-anak untuk jajan.
Titis duduk agak jauh dari kelimanya. Titis adalah anak perempuan yang satu meja duduk bersama Arion. Bariana kurang menyukainya karena tubuhnya yang bau.
Gadis kecil itu menyandar di tiang menatap kosong halaman sekolah. Sesekali ia menguap lengannya yang kecil. Arion hendak mendekat, tetapi Bariana mencegahnya.
“Kamu kenapa sih?” tanya Arion gusar.
“Aku bukan kenapa-kenapa kok. Cuma ...,” Bariana menghentikan kata-katanya.
“Cuma apa?” tanya Harun gusar.
“Gara-gara bau badan ya?” tanya Arraya yang diangguki oleh Bariana.
“Nggak boleh gitu. Nanti Mommy marah gara-gara kita menjauhi orang hanya perkara bau badan!” ujar Azha mengingatkan.
“Bau banget, aku nggak tahan ... takut muntah,” aku Bariana jujur.
“Terus dia garuk-garuk gitu,” lanjutnya risih.
“Apa air di rumahnya kotor ya? Atau dia nggak mandi?” tanya Arion.
Arion yang begitu penasaran mendekati gadis kecil yang sepertinya melamun itu.
“Hai,” sapanya. Seluruh saudaranya akhirnya mengikutinya.
Mereka duduk di sisi Arion. Titis tampak sedikit menjauhkan tubuhnya menempel pada tiang kayu.
“Kamu mau?” tawar Arion menyerahkan kotak makannya.
Titis menggeleng, sebisa mungkin ia menjauhkan diri dari mencium makanan yang terlihat lezat itu. Ia menekuk kaki dan memeluknya, hingga bunyi cacing dalam perut Titis tak terdengar.
“Ambil aja, nggak apa-apa,” Harun menyerahkan kotak makannya pada gadis kecil itu.
“Kamu?” tanya Titis.
“Dia bisa makan bareng aku,” ujar Azha menjawab.
Perut Titis berbunyi, semua tersenyum mendengarnya. Harun meletakkan kotak makannya di pangkuan Titis.
“Ayo makan bareng!” ajaknya.
Azha menyodorkan kotak makan pada Harun, keduanya makan bersama. Melihat semua makan dan tak mempermasalahkan dirinya. Secara perlahan, gadis kecil itu memakan isi dari kotak makan Harun.
“Uhuk ... uhuk ... uhuk!” Titis tersedak akibat terlalu terburu-buru.
Azha menuang air dalam tutup air minum yang ia bawa, lalu menyerahkannya pada Titis. Para guru melihat bagaimana kelima bocah begitu peduli pada temannya. Mereka tersenyum. Kebaikan keluarga Dougher Young memang tak diragukan dari dulu.
Makanan habis, Titis melicinkan isi kotak bekal Harun. Bocah laki-laki itu tersenyum. Ketampanan Harun memang luar biasa terlebih mata birunya yang jadi sorotan.
“Maaf,” cicit Titis malu.
“Nggak apa-apa. Makanan Mommy memang seenak itu kok,” ujar Harun tak masalah.
“Iya, kita juga licin kok!” sahut Arraya.
Azha yang memang selalu kepo dengan sesuatu, bocah itu sangat penasaran kenapa tubuh temannya itu sangat bau. Sungguh kelima bocah itu sedikit menghirup udara agar bau badan Titis tak tercium.
“Eh ... maaf ya ... kamu mandi nggak?” tanya Azha langsung.
Titis menunduk, sesekali ia menggosok lengannya yang terbungkus seragam yang memang memakai lengan panjang. Gadis kecil itu menggeleng lemah. Ia memang tak mandi karena air di rumahnya kering.
Titis tinggal bareng keluarga besar ayahnya. Mereka harus menimba air terlebih dahulu untuk mengisi bak mandi. Semua sudah besar, tentu tak masalah dengan hal itu kecuali Titis.
“Jadi kamu mesti nimba air dalam sumur?” tanya Azha dengan mata dibesarkan.
“Ini emang jaman apa? Kok masih nimba?” tanya Bariana tak percaya.
“Lah itu Titis nimba air!” sahut Arion.
“Sebenarnya, aku sudah nimba ... tapi ....”
“Pasti dipakai sama yang lebih besar dan kamu disuruh ngalah!” potong Harun cepat.
“Kok tau?” cicit Titis bingung.
“Biasa ... orang dewasa memang kadang nggak pengertian,” sahut Harun menjawab.
“Kakak-kakak kita nggak ya!” sela Arraya tak terima jawaban Harun.
“Iya ... kecuali kakak-kakak kita. Walau kita terkadang harus adu urat sih,” sahut Azha menimpali dan diangguki oleh Bariana, Arion dan Harun setuju.
“Tapi selama ini kamu digituin?” tanya Bariana.
“Soalnya hampir tiap hari kamu bau badan,” lanjutnya dengan nada minta maaf.
“Aku mandi seadanya air, jadi kadang nggak bersih. Pernah subuh-subuh aku nimba biar mandi duluan. Tapi pasti diduluin paman atau kakak sepupu yang kebelet. Entah itu mau pipis atau buang air besar,” jelas gadis kecil itu sesekali menggaruk kepalanya yang terbungkus hijab.
“Mereka nggak gantiin air kamu?” tanya Arraya yang dijawab gelengan Titis.
“Emak dan Bapak suka marah kalau aku ngadu ... katanya kita harus tau diri karena numpang,” jawabnya.
“Nggak ada mesin air?” tanya Azha.
“Ada sih, tapi Paman selalu marah karena listrik yang mahal,” jawab gadis kecil itu lagi-lagi sambil menggaruk lengannya.
“Air dinyalain kalau mau masak dan nyuci saja,” lanjutnya.
“Nggak sekalian menuhin bak?” tanya Bariana bingung.
“Kata Emak sudah. Tapi, pasti habis dipakai oleh keluarga lainnya. Jadi kami yang hanya numpang gratis di sana banyak ngalah. Makanya kadang bajuku ini dicuci seminggu sekali,” jawab Titis.
“Nggak coba tinggal sendirian?” tanya Azha.
“Bapak kerja serabutan, uangnya hanya cukup buat kami makan. Terkadang Paman suka minta buat nambahin bayar listrik,” jawab Titis miris.
“Eh ... bukannya Mama ada ruko yang buat usaha laundry itu ya!” celetuk Arraya tiba-tiba ingat.
“Eh ... iya ya!” sahut empat anak lainnya kecuali Titis yang tak tahu menahu.
“Kamu sabar ya ... aku mau coba tanya mamaku dulu soal ruko itu. Nanti kami kabari jika kosong,. kalian bisa usaha di sana sampai kalian punya usaha sendiri,” ujar Harun tersenyum.
“Iya ... sabar aja dulu, kalo ini rejeki baru tanyain ibu kamu mau nggak usaha laundry dimodali gratis,” ujar Arraya semangat.
Titis menatap lima wajah rupawan teman-teman yang baru tiga bulan ini ia kenal. Memang kelimanya baik dan tak pernah membuat keributan, kecuali Bariana yang langsung menolak keberadaannya.
“Maaf ya, aku langsung jauhin kamu,” sesal Bariana meminta maaf.
“Nggak apa-apa ... aku ngerti kok. Aku juga kalau jadi kamu, pasti berlaku sama,” ujar Titis tak masalah.
Kelimanya tersenyum hingga menular pada Titis. Gadis kecil itu berharap jika keadaanya jauh lebih baik. Ia berdoa agar usaha yang dikatakan temannya itu benar. Ia pun yakin ayah dan ibunya pasti antusias jika ada yang baik hati memberi mereka modal secara cuma-cuma seperti itu.
Bersambung ....
Hai-hai ... ini karya baru othor ya ... Big Families.
Saksikan keseruan Harun dan seluruh saudarnya ya.
Anak-anak hebat dibentuk dari keluarga hebat dan harmonis. Setuju Readers?
Next?
Pulang sekolah Harun dan lainnya duduk di lantai membuka sepatu mereka.
"Atur lagi sepatunya di rak ya!" perintah Layla.
"Iya Umi," sahut kelimanya.
Gino juga sudah selesai, ia sekarang kelas dua. Bocah itu makin tampan dan mulai tumbuh besar.
"Kak Gino tadi kok nggak keluar kelas?" tanya Azha.
"Iya tadi di dalam kelas. Kakak sedikit pusing," jawab Gino.
"Kamu pusing kenapa Baby?" Rahma meraba kening Gino.
"Kamu hangat sayang," ujarnya.
"Sini Baby," panggil Terra.
Gino dan adik-adiknya memang tinggal bersama Terra. Ia meraba kening Gino yang memang sedikit hangat.
"Ganti baju dulu sana! Kak Rahma ... tolongin anak-anak ya!" pinta Terra.
"Iya Te," sahut Rahma.
Gina membantu Rahma untuk mengurus anak-anak yang baru pulang sekolah.
"Amah ... imih pa'a?" tanya Faza pada Maria.
"Seledri baby," jawab Maria lalu mencium pipi gembul bayi cantik itu.
"Leledi?" angguk bayi itu.
"Amah ait amah!" Zora naik ke kursi, Layla membantu bayi kecil itu.
"Tanti Paypi!' angguk Faza.
"Amuh au pa'a laja ipu?" tanya Zora.
"Imih leledi, imi sabe, imi momat ... imih ...?!" Faza berhenti di sayur pare.
"Imih pa'a Mumi?" tanyanya.
"Pare," jawab Layla.
"Bale!" tiru Faza.
"Jangan pegang cabai sayang," larang Rahma.
"Mumi ... Ega au lelenan!" pekik Meghan.
Putra Dahlan ini memang suka sekali berenang. Batita itu sudah terjun ke kolam sebelum mendapat ijin dari ibunya.
Sedang Hasan dan Hapsah tengah duduk di kursi sambil menyedot botol susu mereka.
"Ayo makan sayang!' ajak Rahma.
Meghan tentu dalam keadaan basah. Ani membersihkan batita itu dan menggantikan bajunya.
"Netnet Ani!" panggil Meghan sambil mengelus pipi keriputnya.
Ani mencium gemas bayi itu. Gino sudah lebih baik, walau sedikit pucat.
"Nanti periksa sama Mama Nai ya!' suruh Terra.
Gino mengangguk, bocah itu makan walau hanya sedikit. Terra dan ibu-ibu yang lain sedikit khawatir.
"Bawa periksa saja Te," suruh Maria.
"Iya deh," angguk Terra.
Wanita itu mengganti bajunya, ia membawa Gino. Bocah itu memeluknya, tubuhnya kembali hangat.
"Baby," Terra mengecup pucuk kepala Gino.
Mereka naik mobil dan pergi ke rumah sakit Nai. Hanya butuh waktu dua puluh menit. Mobil sampai di rumah sakit.
Terra mendaftarkan Gino dan menunggu di ruang tunggu. Nai jadi dokter anak dan juga ibu hamil. Wanita itu tengah hamil muda.
Gino dalam pelukan Terra. Hanya butuh sepuluh menit. Karina menyusul Terra ke rumah sakit.
'Te!' panggil Karina.
"Kak!' sahutnya.
"Baby kenapa?' tanya Karina duduk di sisi Gino.
"Nggak tau, dia tadi sudah mendingan. Tapi hangat lagi," jawab Terra.
"Apa yang Baby rasakan?' tanya Karina.
"Pusing Mommy," jawab Gino masih setia memeluk Terra.
"Adik Gino!' panggil perawat.
Karina, Terra dan Gino masuk. Gino langsung diminta berbaring di brangkar.
"Mama periksa ya sayang," ujar Nai.
Dinginnya stetoskop meraba dada Gino. Nai memeriksa nadi dan tekanan darah Gino.
Sementara di rumah. Anak-anak diminta tidur siang. Harun sedikit gelisah karena niatnya bertanya pada Terra perkara ruko laundry tak bisa dilakukan.
"Mama lama nggak ya Umi?" tanyanya.
"Kenapa sayang?" tanya Layla.
"Ada hal penting yang ingin Harun tanyakan," jawaban Harun membuat Layla gemas.
"Coba bilang aja sayang," ujar Layla mencium Harun.
"Tanya ruko laundry," ujar Harun.
"Ruko laundry?"
"Iya, tadi di sekolah ada anak yang butuh bantuan. Dia nggak mandi karena rumahnya penuh manusia dan ia harus menimba air untuk mandi," jelas Harun.
"Dia nimba sendiri?" tanya Layla yang diangguki Harun.
"Nanti tunggu Mama pulang ya," ujar Layla lalu mengelus kepala Harun.
"Sekarang kamu bobo dulu," suruhnya.
Harun menurut, Layla mencium pucuk kepala bocah tampan itu. Semua anak-anak yang rusuh pasti akan berubah ketika menjelang besar.
Terbukti dengan Sky, Bomesh, Domesh dan Benua. Empat bocah yang dulunya super aktif kini lebih kalem. Walau pengawal jauh lebih banyak menjaga mereka dibanding yang lain.
"Layla!" panggil Maria.
"Iya Mommy," sahutnya.
Layla akan bergayut manja pada Maria. Maria pun tak keberatan memanjakan Layla. Rahma kadang-kadang suka iri.
"Mommy aku juga dong," ujarnya.
"Hei kalian kenapa sama seperti perusuh-perusuh itu?" tanya Maria gemas.
Dua wanita terkekeh, mereka memang suka begitu. Hati mereka tak tenang karena salah satu putranya sakit.
Tak butuh waktu lama Terra pulang bersama Gino.
"Baby sakit apa?" tanya Layla.
"Gejala typus, harus dirawat di rumah setidaknya sampai beberapa hari," jawab Terra sedih.
Layla mengusap kening dan membawa bocah itu ke pangkuannya. Gino tampaknya lelah dan mulai tertidur di pangkuan Layla.
"Rosa ... bawa Baby ke kamarnya!" perintah Terra.
Rosa mendatangi Layla dan menggendong Gino serta membawanya ke kamar. Terra meletakkan obat yang mesti dikonsumsi Gino.
"Obatnya banyak sekali!" ujar Rahma sedih melihat obat yang harus diminum Gino nantinya.
Semua memilih beristirahat sebentar, Terra yang meminta mereka untuk tidur dan membiarkan maid yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Sore menjelang anak-anak sudah rapi dan bersih. Semua memandangi Gino yang lemas. Dita, Verra, Lilo dan Seno sedih kakak mereka sakit.
"Kak ... makan yang banyak dong, biar nggak sakit," pinta Seno.
Seno dan Lilo masih taman kanak-kanak. Vera dan Dita belum sekolah.
"Jangan ganggu kakak ya Babies. Biar kakaknya tenang dulu!" peringat Maryam.
"Iya Mommy!" sahut semua anak.
Harun mendekati Terra, ternyata bocah itu tetap berniat untuk mengatakan keinginannya membantu temannya, Titis.
"Jadi kamu mau bermaksud meminta ibu dan ayah Titis bekerja di laundry itu?" Harun mengangguk.
"Iya Ma, kasihan," ujar Harun setengah menghiba.
"Baiklah, beruntung ruko itu memang sudah lima bulan kosong. Kamu bisa katakan pada temanmu itu. Besok kamu bawa Papa Dewo ya!" Harun mengangguk ia senang karena bisa membantu temannya.
Bocah itu tak sabar menanti esok dengan berita gembira ini. Azha mendekatinya, ia juga ingin tau apa sang ibu bersedia membantu teman mereka itu.
"Kata mama boleh. Besok kita akan bilang dan minta bantuan Papa Dewo buat siapin semua!" jawab Harun antusias.
"Alhamdulillah!" seru Azha senang.
Bariana, Arraya dan Arion memegang dada mereka dengan senyuman mengembang.
"Kok aneh ya?" Bariana bingung.
Hatinya terasa ada kupu-kupu terbang, ia seperti hendak menangis tapi bukan sedih.
"Kenapa Baby?" tanya Rahma khawatir.
"Emang kamu rasain apa Bar, Aya, Iyo?" tanya Samudera tiba-tiba ia juga khawatir melihat adik-adiknya memegang dadanya.
"Nggak tau kak, tapi rasanya ada kupu-kupu terbang dan kita mau nangis tapi bukan nangis sedih!" jawab Arraya dengan mata berkaca-kaca.
"Oh ... Babies ... hati kalian lembut sekali. Itu tandanya kalian terharu," jelas Layla ikutan terharu.
"Teulhalu pa'a Mumi?" tanya Maryam ingin tau.
"Terharu itu sama dengan perasaan muncul akibat sesuatu yang membuat kalian iba, senang dan bahagia jadi satu," jawab Layla ikutan terharu melihat jiwa-jiwa bersih itu bisa melakukan satu kebaikan.
'Umi bangga sama kalian semua!"
Kening para bayi mengkerut, bahasa baru mereka dapatkan. Seperti biasa mereka akan memakan bulat-bulat bahasa itu.
'Auh ...!" Alia mengaduh pelan.
"Baby?" semua orang tua menoleh.
Faza mengigit ujung jari telunjuk Alia. Bayi itu mengangguk.
"Amah ... Ata' Yiya waluwalu!' ujarnya sok tau.
Terra hanya menghela napas panjang begitu juga semua ibu yang melihat itu.
Bersambung.
Faza ... Faza ... kamu buat Othor teulhalu!
next?
Pagi menjelang, semua anak bersemangat sekolah. Terutama bagi Harun dan seluruh saudaranya. Dewo pengawal yang sudah ikut semenjak kelahiran Arraya diberi tugas untuk menjalankan misi kebaikan itu.
Delapan pengawal diikutkan untuk menjaga Harun, Azha, Bariana, Arraya, Arion, Benua, Sky, Bomesh, Arfhan, Ditya dan Radit. Semua sekolah di sekolah yang sama.
"Babies hebat loh. udah bisa nolong orang," puji Benua pada adik-adiknya.
"Kebetulan Kak. Pas nemu orang yang butuh. Lagian bukan kita nolong langsung, tapi Mama yang nolong," sanggah Harun sangat bijak.
Benua kelas enam SD sama dengan Domesh, sedang Ditya kelas lima, Radit kelas empat bersama Sky, Bomesh dan Arfhan hanya beda kelas saja.
"Boleh ikut nemenin mereka nggak sih?" tanya Sky.
"Kita pulang cepet loh!' lanjutnya.
Bomesh antusias, Arfah apalagi. Sedang Radit hanya bisa diam begitu juga Ditya.
"Tapi kata Mama tadi yang boleh cuma Papa Dewo," sahut Ditya mengingatkan.
"Bener tuh. Jangan bikin repot orang tua lah!" peringat Benua.
Bahu Sky turun, padahal sudah lama ia tak berpetualang. Setelah kejar-kejaran dengan almarhum paman dari Arfhan dan kejadian waktu ke mini market atau serangkaian petualangan lainnya.
"Ah ... pantesan kita dibanyakin pengawal!" kekeh Sky geli sendiri.
Akhirnya semua tak ribut ingin ikut membeli perlengkapan laundry. Semua masuk kelas hingga kelas satu istirahat.
Ternyata benar, kelas Sky sudah keluar karena memang pelajaran usai dan akan memasuki ujian nasional.
Mereka mendatangi Harun dan semuanya. Radit dan Ditya juga keluar kelas mereka.
"Kamu sudah kelar kelas Dit?' tanya Domesh.
"Sudah Kak," jawab Ditya.
"Radit juga?" Radit mengangguk.
'Kalau gitu nunggu adik-adik pulang ya!' Ditya dan Radit juga Sky, Bomesh serta Arfhan mengangguk setuju.
"Ini Titis yang kemarin kita ceritain Kak!' ujar Harun memperkenalkan dirinya.
Bau badan Titis memang sedikit berkurang. Tadi ia mandi dengan benar karena ibunya menampung air banyak-banyak dan menyimpannya.
"Titis, perkenalkan ini kakak-kaka aku!" ujar Harun memperkenalkan semua kakaknya.
Titis menyalin semua anak yang lebih tua usia darinya. Bocah perempuan itu menggaruk terus kepalanya.
"Jadi kamu bisa bilang ke ibu kamu kalo bisa kerja di laundry kemarin!" ujar Harun lagi.
"Bener begitu?" tanya Titis lagi semangat.
"Iya, besok atau nanti pas pulang, kamu bisa bawa orang tua kamu untuk langsung tinggal di sana!" ujar Azha kini.
"Kamu kok garuk-garuk kepala aja sih?" tanya Bariana tampak risih melihat Titis yang berulang kali menggaruk kepalanya.
"Eh ... itu jilbabnya ada noda darah ... kepalamu nggak luka kan?" tanya Arraya.
"Nggak aku nggak apa-apa kok!' ujar Titis malu.
"Titis ... kamu nggak akan konsen belajar kalo gini!' ujar Bomesh mengingatkan.
"Beneran kak ...."
Titis menggaruk hebat kepalanya. Ia benar-benar ingin menangis, karena kepalanya sangat gatal.
"Ada hewan tinggal di kepala saya!" ujarnya lirih.
"Hah ... apa?!" tanya Bariana setengah berteriak.
"Ssshhhh! Pelan kan suaramu Baby!" peringat Domesh pada sang adik.
"Ada hewan tinggal di kepala Titis kak," ujar Titis sangat pelan.
"Kamu emang piara apa di kepala? Meong?" tanya Harun polos.
Bariana sudah membayangkan sebesar apa kucing yang tinggal di kepala temannya itu.
"Bukan meong baby," jawab Benua, "tapi kutu kepala."
"Kutu kepala?" Harun dan lainnya tentu tak tau apa itu.
"Kutu kepala adalah sejenis parasit berbentuk hewan yang menghisap darah di kepala manusia," jawab Bomesh.
"Sereumnya!" pekik Bariana kaget.
"Ah ... kakak, bisa disembuhin nggak?!" rengek Bariana merasa iba pada Titis.
"Bisa kok, selain potong rambut ada obat pembasmi kutu pada kepala," jawab Bomesh lagi.
"Ntar pulang kita obatin ya!" Titis mengangguk sambil menggaruk kepalanya lagi.
Tak lama mereka pulang. Semua mau ikut ke rumah Titis.
"Papa sembuhin kepala Titis dulu pa, itu darahnya udah memenuhi jilbab!" pinta Bariana.
Arraya mengenakan jilbab karena dia muslim sedang Bariana tidak. Terkadang Bariana suka nekat pakai penutup kepala itu.
"Kita ke salon yuk!" ajak Dewo.
Semua pengawal mengikut anak-anak itu. Mereka menggunakan tiga mobil golf. Ke sebuah salon kecil.
"Tolong obati kepala anak ini. Banyak kutunya!" pinta Dewo pada laki-laki yang menatapnya penuh hasrat.
"Astaga ... kok bawain eke anak ke gini ... emak lu kemane non!"
"Sudah jangan banyak omong!" sentak Dewo kesal.
"Bisa obatin nggak?" tanyanya sambil melotot.
"Iya ... iya ... galak amat jadi laki!" ujar pria gemulai itu takut.
Titis membuka jilbab. Bau menyengat menyeruak, hampir semua menutup hidung akibat sangat bau.
Satu botol obat pembasmi kutu dituang ke kepala bocah malang itu.
"Jangan digaruk!" larang pria ngondek itu kesal.
"Gatel mas!" rengek Titis.
"Ih ... makanya jangan jorok!" umpatnya sebal.
Titis menahan rasa gatalnya. Setengah jam berlalu, pria gemulai itu mulai menyerit rambut gadis kecil malang itu. Banyak hewan kecil berjatuhan dan ikut pada sisir bergerigi rapat itu.
"Kutu kek gimana sih?" tanya Arion penasaran.
"Jangan deket-deket! nanti kutunya terbang malah hinggap di kepala kamu!" larang pria gemulai itu.
Arion takut, ia pun urung mendekat. Dewo memperlihatkan seperti apa kutu yang ada di kepala Titis.
"Oh jadi itu kutu?" tanya Arion dan lainnya mengerti.
Satu jam berkutat pada rambut Titis. Dewo membelikan makanan untuk semua agar tak lapar. Para orang tua membiarkan anak-anak mereka kembali berpetualang asal dijaga ketat oleh pengawal.
"Nah ... udah beres!" ujar pria perias itu bangga.
Tiga ratus ribu upah untuk membersihkan kepala Titis dari parasit yang mengganggu itu.
"Alhamdulillah ... makasih Om!" ujar Titis senang.
"Sama-sama!" ujar Dewo ikut tersenyum.
Mereka kembali ke rumah di mana orang tua Titis tinggal. Setelah sampai Dewo memberitahu jika mereka bisa tinggal besok.
"Ingat ya Pak. Hanya bapak, ibu dan Titis saja yang bisa tinggal. Ini amanah dari boss saya!' peringat Dewo tegas.
"Iya Pak, saya tau!' ujar Wawan ayah dari Titis.
Sore itu mereka langsung pindah, setelah mengantar anak-anak pulang ke rumah. Dewo yang mengajari ayah dan ibu Titis mengelola laundry.
"Jadi kalian boleh tinggal selama kalian mau. Tapi semua harus memiliki target. Setelah punya modal usaha sendiri. Kalian wajib pergi tanpa membawa apapun dari tempat ini!" jelas Dewo lagi.
"Apa kalian mengerti?!" lanjutnya.
"Mengerti Pak!' makasih tolong ucapkan pada pemilik usaha ini!" ujar Wawan bahagia.
Sebuah banner dipasang "Titis Laundry, cuci, strika kiloan". Wawan menatap nama usahanya. Di sana Titis disuapi ibunya makan ayam goreng kesukaannya. Dewo membelikan mereka untuk makan sampai malam.
"Bismillahirrahmanirrahim!" ucap Wawan sebelum memulai semuanya.
"Ayo masuk Pak, kita makan!" ajak Suti sang istri.
"Ya Bu ...."
Sementara itu di hunian besar. Bart menatap bangga semua keturunannya yang tengah merusuh di ruang keluarga.
"Kalian memang luar biasa!"
Bersambung.
Ah ... bahagianya.
Next?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!