Sepasang kaki terbalut sepatu kulit berwarna hitam mengkilap itu nampak berlari tergesa-gesa keluar dari pintu kedatangan internasional. Pria itu sedang buru-buru hendak ke rumah sakit karena mendapatkan kabar kalau mommynya mendadak kritis dan masuk ICU setelah mengalami kecelakaan. Tidak mau menyesal kalau terjadi hal buruk pada orang tuanya, Aloysius memilih untuk meninggalkan rapat kerjasama dengan perusahaan lain di Belanda. Detik itu juga pulang ke Helsinki.
Aloysius Finlay Dominique, pria berusia dua puluh enam tahun itu menaiki taksi dan menyebutkan tempat tujuan agar segera membawanya ke sana. Meski perasaan sedang kalut karena khawatir bercampur sedih akan kondisi sang Mommy, tapi ia berusaha tenang dan tidak panik.
Merasakan ada getaran dari dalam saku, Aloysius mengeluarkan benda itu dan mengangkat panggilan. Saudara kembarnya yang menghubungi. “Aku sedang di taksi, Bre. Sebentar lagi sampai,” beritahunya.
“Tujuan dipindah, ke mansion Daddy, sekarang. Ada hal penting yang perlu kau tahu,” ucap Brennus. Suaranya keluar dengan nada menyimpan amarah, tapi berusaha ditekan.
“Kenapa? Terus Mommy? Sudah sembuh?” tanya Aloysius.
“Masih di ICU, tadi kami sudah ke sana untuk memastikan kondisinya.” Ada jeda sejenak sebelum Brennus melanjutkan. Dia menyempatkan untuk mengambil napas dalam. “Mommy sudah ada yang menjaga, kau langsung ke mansion saja karena di sini lebih gila lagi situasinya.”
Kening Aloysius berkerut bingung. Terlalu lama bepergian ke luar negeri sampai membuatnya tidak tahu situasi keluarga. “Ada masalah, kah?” Dia memilih menyibukkan diri selama enam bulan terakhir karena frustasi ditinggalkan oleh seorang wanita tanpa kabar.
“Hm ....” Brennus mengakhiri panggilan setelah bergumam.
Menatap ponsel yang layarnya telah redup, Aloysius sedikit ragu antara mengikuti perintah kembarannya agar langsung pulang, atau menjenguk dan memastikan kondisi sang Mommy. Pada akhirnya dia memilih yang kedua. Sepenting dan semendesak apa pun masalah di mansion, mengetahui kondisi dengan mata kepala sendiri tentang bagaimana wanita yang sudah melahirkannya adalah prioritas.
Sampai, Aloysius segera turun dan menuju ruang ICU. Di sana dia diizinkan masuk tapi hanya sampai batas kaca, tidak bisa mendekati pasien.
“Mommy, jangan lama-lama di dalam sini. Hatiku sedih dan terluka saat kau tidak berdaya,” ucap Aloysius. Entah didengar atau tidak oleh wanita yang tengah terbaring lemah dan banyak alat medis menancap.
Ada lelehan air mata ingin menerjang keluar, tapi Aloysius tahan. Waktunya untuk berkunjung habis. Dia keluar ruang ICU dan menemui dokter untuk bertanya tentang kondisi mommynya.
“Kenapa bisa sampai kritis?” tanya Aloysius. Kini ia tengah duduk di dalam ruang dokter yang tadi menyambutnya. Itu adalah orang yang sudah ditunjuk untuk menangani sang Mommy.
“Beberapa hari lalu beliau tidak sengaja terserempet motor, kemudian jatuh. Sel-sel kanker yang selama ini sudah berusaha kami lumpuhkan, mendadak aktif kembali dan berkembang secara cepat dibeberapa organ—” Panjang sekali penjelasan dokter.
Aloysius menghela napas panjang dan berat saat keluar ruangan. Sebelum pulang ke mansion, dia menyempatkan melewati ICU.
“Kenapa Daddy tidak menemani di sini? Bahkan sejak tadi tak melihatnya,” gumam Aloysius.
Rasanya berat meninggalkan Mommy sendirian tanpa ada anggota keluarga yang stay di sana. Tapi, Aloysius mendapatkan panggilan lagi dari kembarannya. Kali ini Clemmons yang menghubungi. Akhirnya dia kembali ke mansion karena penasaran dengan hal urgent apa yang akan dibahas.
Turun dari taksi, Aloysius mendapati dua kembarannya, Brennus dan Clemmons sudah berdiri di depan pintu. “Kalian menungguku?”
“Ya,” jawab Brennus.
“Sepenting itu masalahnya, ya? Sampai kalian terlihat tegang sekali.” Aloysius yang belum tahu pun merangkul Brennus dan Clemmons, mengajak untuk masuk bersama.
Tapi, dua manusia itu membatu dan enggan bergerak. Sehingga tak ada satu pun yang berhasil melangkah ke dalam.
“Kau jangan mengamuk jika aku beri tahu,” pinta Clemmons seraya menepuk dada Aloysius. “Kau yang emosinya paling menggebu-gebu diantara kita. Takutnya bisa membuat orang yang ada di dalam jadi babak belur.”
Alis Aloysius naik sebelah. “Aku sangat penasaran.”
“Daddy akan menikah lagi,” beri tahu Brennus dan Clemmons bersamaan. Nadanya begitu lirih, tapi syarat dengan kekecewaan.
“Setan ...!” umpat Aloysius. Benar apa yang baru saja dikatakan, dia paling menggebu-gebu kalau emosi. Buktinya mata seketika langsung melotot setelah mendengar informasi yang tak mengenakkan. “Baru enam bulan aku tak pulang, dapat kabar menjengkelkan seperti ini!” Tangannya menghempas lengan Brennus dan Clemmons yang merangkul pundak. “Aku harus memberikan pelajaran.”
“Jangan hajar Daddy.” Brennus menarik kerah kemeja Aloysius, menahan kembarannya agar tak brutal saat menghadapi orang yang kini sedang menanti mereka datang bersama.
Aloysius menepis sesuatu yang menahannya. “Kalian bisa mengontrol diri, tapi aku tidak!”
“Pasti ada alasannya Daddy melakukan itu,” ucap Clemmons, menghadang tubuh Aloysius agar tak langsung bergerak ke dalam. Dia sampai menahan dada pria yang kini berdiri di depannya dengan rahang mengeras. “Kontrol amarahmu, supaya kita bisa bicara dengan baik. Daddy baru berencana mau menikah, belum terjadi. Masih bisa kita cegah.”
“Jangan sampai keluarga kita menjadi hancur karena kau menghajar dia. Ingat, kau bisa sampai di titik ini juga karena Daddy yang membesarkan,” imbuh Brennus mencoba menasehati.
“Ck! Banyak bicara!” Aloysius mendorong dua kembarannya hingga sedikit berjarak. Kakinya lekas diayun masuk melewati pintu depan.
“Daddy!” teriak Aloysius. Suaranya sampai menggema karena terlalu keras. Masa bodoh, dia hanya ingin menumpahkan kekesalan saat ini. “Delavar Doris Dominique ... keluar kau!”
“Akhirnya kau pulang juga. Ku pikir lupa jalan ke sini.” Delavar, itu adalah daddynya si kembar tiga. Baru keluar dari kamar saat mendengar teriakan memanggil namanya.
Kaki Aloysius berhenti bergerak saat sudah berdiri berhadapan dengan sang daddy. Tatapannya sangat tajam, tak bisa santai kalau sudah menyangkut poligami, apa lagi mommynya sekarang sedang kritis. “Benar kau mau menikah lagi?” tanyanya memastikan, sebelum benar-benar melayangkan tinjuan.
Delavar tersenyum, santai sekali menghadapi anaknya yang kini nampak merah dan marah. Anggukan sebagai jawaban, ditambah suara juga. “Benar.”
Semakin melotot saja mata Aloysius, nyaris keluar. Tanpa basa-basi, tangannya mengepal dan berlari hingga tiga langkah. Tinjuan menghantam kencang tepat di wajah daddynya. “Setan kau!”
Tak puas hanya sekali tinju, Aloysius layangkan lagi. Kali ini lebih bertenaga. Tidak peduli kalau itu adalah orang tuanya dan yang sudah berjasa dalam kehidupannya. Dia tak bisa menerima kenyataan menjengkelkan itu.
Walau dihajar, tapi Delavar tidak membalas anaknya. Dia hanya tersenyum.
“Mommy sedang kritis, kau mau menikah lagi?!” Kaki Aloysius menendang dada daddynya hingga Devalar tersungkur dan tas jinjing besar yang sejak tadi ia bawa pun terlepas dari genggaman.
Delavar terbatuk-batuk. “Masih mau menghajarku?”
“Oh ... tentu, kalau perlu sampai kau terkapar.” Hendak menarik lengan ke atas, tapi Aloysius lupa ada kancingnya, akhirnya ia tarik paksa hingga kancing itu terlepas dari jahitan. “Sesusah itu setia dengan satu wanita? Lagi pula kau sudah menikah, punya istri yang rela melahirkan anak kembar tiga.” Kakinya naik ke udara, hendak memijak dada daddynya.
“Tahan, Alo!” Brennus menarik tangan kembarannya, lalu menahan.
“Kau selalu emosian, lihat Daddy sudah babak belur.” Clemmons juga sama mengapit lengan Aloysius.
“Haish ... biarkan aku menyalurkan kekesalan ini, sampai dia mengurungkan niat mau menikah lagi.” Dengan seluruh kekuatan yang dimiliki, Aloysius menghempas dua kembarannya.
Lagi-lagi mendekati daddynya yang kini sudah berdiri kembali. Dia tarik kaos polo hitam itu, tangannya siap memberikan salam di wajah lagi sampai ia puas.
Tapi ...
“Jangan berkelahi!” teriak seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke ruang tengah melalui pintu dapur.
Si kembar tiga pun menatap ke sumber suara. Tatapan Brennus dan Clemmons sama, datar karena mereka sudah pernah melihat sosok itu beberapa jam lalu sebelum Aloysius pulang.
Namun, berbeda dengan Aloysius yang terkejut oleh kehadiran wanita itu. Lindsay. Bahkan masih ingat nama seseorang yang pernah dekat dengannya dan satu tahun lalu tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Wanita yang kini sedang beradu padang dengan Aloysius itu mampu membuat sekujur tubuhnya mengendur. Cengkeraman tangan di kaos polo daddynya langsung terlepas karena kini fokus mata tertuju pada sosok yang selama ini ia nanti kemunculannya.
“Lindsay Novak?” panggil Aloysius. Hanya memastikan apakah itu sungguh yang ia kenal, kembaran, mirip, atau halusinasinya.
“Ya!” Lindsay lekas membantu Delavar berdiri karena sempat terjatuh dalam posisi duduk ketika dilepas oleh Aloysius. Pria itu terpaut usia jauh sekali diatasnya. Mungkin dua puluh tahun lebih karena usianya dengan Aloysius sama.
Brennus dan Clemmons baru terkejut saat kembarannya tahu nama panjang calon istri daddy mereka. “Kau mengenalnya?” Pertanyaan itu keluar dari dua bibir berbeda secara bersamaan.
Aloysius mengangguk. Tatapannya masih terjatuh pada Lindsay yang terlihat memperhatikan daddynya begitu detail. Mulai dari memastikan kondisi wajah lebam, mengecek anggota tubuh yang lain apakah ada yang terluka juga atau tidak. Semua hal itu membuatnya membisu dan tak ada satu kata pun mampu dikeluarkan sebagai komentar. Pemandangan di depan mata terlalu menyakitkan.
“Kau itu putranya, kan? Tega sekali menghajar orang tua sendiri,” omel Lindsay dengan tatapan menghunus marah pada Aloysius yang masih membeku dan membisu.
Ada satu alis terangkat sebelah. Benar kalau Lindsay adalah wanita yang ia nanti, tapi apa hak untuk mengatur kehidupan Aloysius? Tidak ada. “Terserah aku mau melakukan apa, bahkan menyingkirkanmu pun juga bisa. Agar kau tak pernah muncul lagi di muka bumi ini!” Ada tangannya mengepal kuat saat mengutarakan seluruh kalimat bernada penuh amarah itu.
“Jangan bertengkar dengannya, Alo.” Delavar menyingkirkan tangan Lindsay yang memapah lengannya. “Sebentar lagi dia akan menjadi anggota keluarga kita.”
“Dia calon istri barumu?” Telunjuk Aloysius terarah pada wanita yang entahlah akan dia benci atau justru sebaliknya. Rasanya mau menyukai Lindsay setelah kejadian ini pun pasti sulit. Hatinya terlalu berang karena sudah masuk ke dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya.
“Iya. Maka, perlakukanlah dia secara baik, aku tidak pernah mengajarkan kau kasar dengan wanita, bukan?” Delavar mengambil lagi tas jinjing yang teronggok di lantai.
“Cuih!” Aloysius meludah tepat jatuh di lantai depan kaki Lindsay. “Apa bagusnya lembut dan baik pada wanita kalau pada akhirnya melukai perasaan istrimu yang sedang ada diambang hidup dan mati itu! Bang—sat!”
Brennus menahan tangan kembarannya yang memang lumayan tempramen kalau perasaan sedang terluka. “Sadar, Alo. Tahan emosi,” bisiknya.
“Bagaimana bisa menahan? Mommy di ICU sendirian, saat aku datang tak ada siapa pun di sana. Bahkan Daddy berada di mansion bersama calon istri baru sialannya ini!” Dahulu tatapan Aloysius pada Lindsay selalu ada binar bahagia dan gairah. Tapi, sekarang justru rasa kesal dan ingin marah.
“Ini aku baru mau ke sana.” Delavar menjawab dengan sangat santai seraya mengangkat dan menunjukkan tas jinjing di tangannya. “Titip Lindsay, mulai sekarang dia tinggal di sini.” Meski wajah terdapat beberapa lebam, tapi ia tetap berjalan biasa saja, melewati ketiga putranya yang pasti semua masih bingung dengan keputusan tiba-tibanya mau menikah lagi.
“Kau! Ikut denganku!” Aloysius menyambar pergelangan Lindsay dengan kasar setelah daddynya pergi.
“Sakit!” Lindsay berusaha melepaskan, tapi amat sulit karena tenaga Aloysius saat marah bisa menjadi lima kali lipat dari biasanya.
“Dia wanita, Alo. Jangan dihajar juga,” teriak Brennus dan Clemmons.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!