NovelToon NovelToon

Petualangan Pendekar Kecapi

Bab 1

Peradaban Lembah Sungai Kuning adalah peradaban bangsa Tiongkok, yang muncul di lembah Sungai Kuning (Hwang Ho atau yang sekarang disebut Huang He).

Sungai Hwang Ho disebut sebagai Sungai Kuning karena membawa lumpur kuning sepanjang alirannya. Sungai ini bersumber dari Pegunungan Kwen-Lun di Tibet dan mengalir melalui daerah Pegunungan Cina Utara hingga membentuk dataran rendah dan bermuara di Teluk Tsii-Li, Laut Kuning.

Pada daerah lembah sungai yang subur inilah kebudayaan bangsa Tiogkok berawal. Di dalam sejarah, daerah tersebut menyulitkan masyarakat Tiongkok kuno untuk melaksanakan aktivitas hidupnya karena terjadinya pembekuan es di musim dingin dan ketika es mulai mencair akan terjadi banjir serta air bah.

Berbagai kesulitan dan tantangan tersebut mendorong bangsa Cina untuk berpikir dan mengatasinya dengan pembangunan tanggul raksasa di sepanjang sungai tersebut.

Peradaban Tiongkok kuno berkembang di daerah sungai Ho Dan sungai yang tse. Kedua sungai ini lah yang mempunyai Aliran yang sangat baik,sehingga menjadi kan sektor pertanian yang berkembang, bangsa cina kuno Ada pada masa kekuasaan dinasti Chou, Dan mereka percaya pada kekuasaan dewa dewa,Karya peradaban cina kuno yang Ada sampai sekarang adalah The Great Wall of China. Bangunan ini sendiri di bangun untuk membendung serangan musuh dari Bangsa Utara atau Bangsa Mongol pada masa Dinasti Ming. 

Jika dikatakan Sistem Kepercayaan Bangsa Tiongkok, Bangsa Cina kuno mempunyai kepercayaan yang bersifat politheisme, yaitu percaya kepada banyak dewa. Mereka memuja dewa-dewa yang dianggap sebagai sumber kekuatan.

Dewa-dewa utamanya, antara lain:

- Dewa Feng-Fa (sebagai dewa angin)

- Dewa Lei-Shih (sebagai dewa taufan) 

Kedua dewa ini digambarkan dalam wujud ular naga besar. Dewa Ho-Po dianggap sebagai dewa tertinggi yang bertakhta di Sungai Hwang-Ho. Dewa ini digambarkan sebagai dewa berbentuk manusia berkendaraan dua ekor naga besar. Gadis-gadis cantik setiap tahunnya dipersembahkan untuk dikurbankan. Sebelum diterjunkan ke Sungai Hwang-Ho, gadis-gadis itu dirias terlebih dahulu.

...*********...

"Awas banjiirr...!"

"Banjir bandang.....!"

"Banjir datang...!"

"Selamatkan keluarga dan harta yang mudah dibawa...!"

Seru orang-orang yang semrawut karena bingung dan ketakutan.

Hujan yang berhari-hari membuat daerah di sekitar aliran sungai kuning menjadi banjir, yang hampir tiap tahun selalu terjadi, dan menjadi langganan.

Air bah menggenangi sebuah desa di aliran sungai kuning, yaitu desa bambu kuning yang terletak di tepi sungai lembah kuning.

Sepasang suami istri yang bernama Hua Tian dan Yan Qiu, telah bertahun-tahun menikah dan belum mempunyai keturunan dan keduanya sedang menyusuri aliran sungai kuning untuk mencari ikan.

Tiba-tiba sang istri yang bernama Yan Qiu, melihat sesuatu terombang-ambing di atas air.

"Suamiku! lihat itu apa?" tanya Yan Qiu pada suaminya yang sebelumnya sibuk melihat ikan-okan di dalam air, yang hendak dia jala.

"Hah, memangnya apa?" tanya Hua Tian yang mengarahkan pandangannya pada sesuatu yang ditunjukkan oleh Yan Qiu.

"Ada sesuatu yang mengambang disana! seperti anak kecil yang mengambang bersama balok kayu!" jawab Yan Qiu seraya menunjuk ke arah yang dia maksudkan.

Hua Tian pun penasaran, kemudian dia mendayung sampannya ke arah balok kayu yang mengapung itu.

Semakin lama semakin dekat dan terlihat balok kayu dan kepala manusia yang menyembul.

Laki-laki setengah baya itu semakin penasaran dan terus mendayung mendekat ke arah balok kayu itu.

Setelah dekat dengan balok kayu itu, ternyata ada seorang anak perempuan yang pucat, tertidur dengan memeluk sebuah balok kayu yang ternyata adalah sebuah alat musik kecapi.

"Ada anak kecilnya suamiku!" seru Yan Qiu yang terus memperhatikan sesosok anak kecil itu.

"Iya, kamu disini berjaga-jaga di perahu. Aku akan turun melihat apakah anak itu masih hidup atau sudah meninggal!" ucap Hua Tian yang menatap istrinya.

"Iya, hati-hati suamiku!" balas dan pesan Yan Qiu yang sedikit takut dan khawatir, karena banjir kali ini arahnya dari mana saja.

Hua Tian segera turun ke sungai, dan perlahan-lahan berenang menghampiri balok kayu itu. Dan ternyata memang ada seorang gadis yang sedang memeluk sebuah balok kayu.

Ternyata balok kayu itu adalah sebuah kecapi, dan Hua Tian memeriksa anak kecil yang memeluk kecapi itu.

Setelah menyikap rambut yang terurai dan menutupi wajah gadis itu, Hua Tian mengulurkan dua jari tangannya ke hidung anak itu.

"Masih hidup!" seru Hua Tian yang kemudian merangkul bocah yang berusia kurang lebih enam tahun itu, dibawanya berenang menuju ke perahu kecil yang dimana istrinya menunggu diatasnya dengan rasa cemas dan penasaran.

"Apakah benar masih hidup suamiku?" tanya Yan Qiu yang penasaran.

"Iya, kita rawat dia! nampaknya bocah ini terapung di sungai sudah berhari-hari!" seru Hua Tian seraya mengangkat tubuh mungil bocah perempuan itu.

Pada awalnya bocah itu tak mau lepas dari kecapi yang dia peluk itu, namun setelah dibujuk Yan Qiu dan Hua Tian, akhirnya dia mau melepaskan kecapinya dan diangkat oleh Hua Tian naik ke atas perahu dibantu oleh Yan Qiu.

Setelah bocah itu berada diatas perahu, Hua Tian menyerahkan kecapi yang tadi dipeluk bocah itu pada Yan Qiu istrinya dan kemudian dia naik ke perahu.

Yan Qiu dan Hua Tian segera memeriksa bocah itu dan nampak kondisinya yang begitu lemah, Yang Qiu memberikan air putih bekal minum mereka secara perlahan-lahan.

Kemudian bocah itu membuka mata dan menatap kedua orang yang ada dihadapannya itu dengan tatapan penuh kedukaan.

"Apakah kamu mau makan roti?" tanya Hua Tian seraya menunjukkan sebongkah roti bekal mereka.

Anak itu menganggukkan kepalanya, yang sepertinya telah berhari-hari bocah itu terapung di sungai. Hal itu terlihat dari jari-jari tangan dan kakinya yang berkerut dan warna kulit yang pucat.

Hua Tian menyerahkan roti itu pada Yan Qiu, dan menyuruh istrinya untuk menyuapi bocah itu.

Kemudian Yan Qiu menyuapi bocah itu dengan perlahan lahan dengan sesekali memberikan dia minum air putih yang sebelumnya.

Sementara itu Hua Tian mendayung perahu kecilnya itu kembali menuju ke pondoknya.

Tak berapa lama perahu kecil itu menepi, mereka pun turun dari perahu itu. Hua Tian membopong bocah perempuan itu, sementara Yan Qiu mengikuti dari belakang seraya membawa kecapi milik bocah itu, peralatan pancing dan sisa bekal mereka.

Mereka menyusuri jalan setapak yang sering mereka lalui, yang tentunya mengarah ke pondok mereka.

Sesampainya di depan pondok, Yan Qiu segera membuka pintu dan menyiapkan kamar untuk merebahkan bocah perempuan itu.

"Nyonya, saya ingin mandi. Badan saya tidak enak rasanya, gatal-gatal!" ucap bocah itu yang tentu saja membuat Hua Tian dan Yan Qiu terkejut. Karena baru pertama kalinya mereka mendengar suara bocah perempuan itu.

...~¥~...

...Mohon dukungannya dan terima kasih telah memberikan Like/komentar/rate 5/gift maupun votenya untuk novel Petualangan Pendekar Kecapi ini....

...Semoga sehat selalu dan dalam Lindungan Allah Subhana wa Ta'alla....

...Aamiin Ya Robbal Alaamiin....

...Terima kasih...

...Bersambung...

Bab 2

"Nyonya, saya ingin mandi. Badan saya tidak enak rasanya, gatal-gatal!" ucap bocah itu yang tentu saja membuat Hua Tian dan Yan Qiu terkejut. Karena baru pertama kalinya mereka mendengar suara bocah perempuan itu.

"Oh, baiklah. Panggil saja ibu ya nak! sebentar ibu merebus air dulu buat mandi kamu." ucap Yan Qiu dengan lemah lembut dan mengulas senyumnya.

Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dapur, sementara Hua Tian mendudukkan bocah perempuan itu di atas tempat duduk yang terbuat dari bambu di ruang tamunya.

Setelah itu Hua Tian menyimpan alat pancingnya dan memeriksa kecapi yang selalu bersama bocah perempuan itu.

"Kalau boleh ibu tahu, siapa nama kamu nak?" tanya Yan Qiu yang menghampiri Hua Tian dan bocah perempuan itu, seraya membawa minuman teh hijau yang hangat buat mereka bertiga.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, dia tak mengingat lagi siapa namanya.

"Kamu tak ingat siapa nama kamu nak?" tanya Hua Tian yang penasaran.

"Suamiku, anak ini sudah kita angkat menjadi bagian dari kita. Jadi dia adalah putri kita, bagaimana kalau suamiku yang memberikan nama untuknya?"'ucap Yan Qiu yang memberikan solusi.

"Baiklah kalau aku akan memberikan kamu sebuah nama, bagaimana kalau nama kamu sekarang Hua Li?" ucap dan tanya Hua Tian seraya mengusap kepala bocah permpuan itu.

"Hua Li?" ucap Yan Qiu dan bocah perempuan itu yang secara bersamaan.

"Hua Li, bagus juga nama itu. Mengingatkanku pada pendekar Azuya, Xiao Li!" ucap Yan Qiu yang mengingat kembali dengan sesosok gadis yang sempat menjadi pahlawan diantara mereka.

"Memang itu maksudku Istriku, apakah kamu tak melihat anak ini sedikit ada kemiripan dengan Xiao Li?" tanya Hua Tian yang menatap bocah perempuan yang sibuk meniup teh hijau buatan Yan Qiu.

"Iya, aku juga melihatnya. Semoga saja kelak dia bisa sehebat Li'er!" ucap Yan Qiu yang menatap bocah perempuan yang mereka beri nama Hua Li itu dengan berkaca-kaca.

Sejak itu Hua Li hidup bertiga dengan sepasang suami istri itu dan menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari Hua Tian yang gagah perkasa dan ilmu pengobatan dari Yan Qiu yang merupakan putri tabib di istana kerajaan Ming.

Namun disaat Hua Li berusia sepuluh tahun Yan Qiu telah lebih dahulu dipanggil yang maha Kuasa. Jadi sekarang ini mereka hanya tinggal berdua bersama ayah angkatnya.

Hua Tian bukan saja ahli ilmu silat, tapi juga ilmu dalam air, sehingga bukan saja ia dapat berenang cepat sekali bagaikan seekor ular air, tapi juga kuat sekali bertahan dalam air seperti seekor ikan.

Sementara Hua Li si gadis cilik itu pun ternyata suka sekali akan permainan dalam air, sehingga setiap hari tentu terjun ke air yang dalam dan berenang gembira ria bersama ayah angkatnya.

"Hua Li kali ini apakah kamu sanggup menggunakan kepandaianmu sendiri membawa biduk kita melintasi tikungan sempit di hutan Koai-siong-lim itu?" tanya Hua Tian pada putri angkatnya.

Hua Li pun tersenyum memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan putih bersih.

"Kenapa tidak sanggup, ayah? Ketika kita lewat dahulu, kau hanya membantu sedikit dan telah memberi petunjuk kepadaku. Dan seandainya aku masih belum dapat, aku tidak percaya kau akan tinggal berpeluk tangan saja dan membiarkan biduk kita terbalik sehingga pakaian kita akan basah kuyup!" ucap Hua Tian dengan polos tapi cerdik.

"Ha...ha...ha....!" Hua Tian tertawa geli mendengar ucapan dari putri angkatnya yang cerdik itu.

"Kalau sekali ini kau tidak dapat, biarlah kita basah kuyup bersama, aku tidak mau membantumu, tentu kau tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan bantuanku belaka!" ucap Hua Tian.

Ayah dan anak itu lalu tertawa geli bersama-sama sehingga di atas Sungai Huang-ho yang memanjang itu bergemalah suara tertawa yang kecil nyaring dan bercampur dengan suara tertawa besar parau. Tikungan yang disebutkan oleh Hua Tian itu memang sangat berbahaya.

Ketika sampai di tempat itu, sungai menjadi kecil dan sempit dan air mengalir sepanjang tikungan yang menurun itu dengan cepat sekali! Ini saja sudah berbahaya, belum ditambah dengan batu-batu besar menonjol di permukaan air, besar dan tajam berwarna hitam menakutkan karena batu-batu itu berbentuk aneh sebagai binatang-binatang buas. Dan semua ini masih ditambah lagi pusaran-pusaran air yang berputar cepat merupakan sumur-sumur air yang berbahaya sekali, yang terjadi karena aliran air terpukul kembali oleh air yang tiba-tiba menikung sehingga terjadi aliran bertentangan.

Tempat ini telah sangat terkenal bagi para nelayan dan penduduk di sekitar tempat itu, sebagai tempat yang banyak mendatangkan korban. Kebanyakan yang menjadi korban adalah tukang-tukang perahu yang datang dari tempat jauh dan belum tahu akan berbahayanya tempat itu.

Memang bagi yang tidak tahu, tadinya air bergerak maju biasa saja karena memang sangat dalam sehingga lajunya tidak kentara. Tapi setelah mendekati tikungan itu, air melaju cepat dan jika perahu sudah terbawa hanyut oleh aliran yang cepat itu, maka sukarlah untuk melepaskan diri.

Apalagi setelah tiba di tempat yang penuh batu-batu, tak mungkin lagi untuk mendayungnya ke tepi. Dan celakalah mereka yang berada di dalam perahu yang telah hanyut sampai ke tempat itu.

Oleh karena ini, maka tempat itu disebut Tikungan Maut oleh para nelayan dan bilamana melalui tempat itu, mereka naik ke darat bersama perahu mereka dan menyeret perahu itu sampai melewati tikungan. Tentu hal ini membikin repot sekali, terutama sekali mereka yang membawa barang-barang banyak dan berat.

Maka bermunculanlah buruh-buruh pengangkut barang-barang itu dan keadaan di situ menjadi lebih makmur bagi penduduk di dekat tikungan, yakni di sekitar hutan Koai-siong-lim.

Ketika biduk yang didayung Hua Tian telah kena terpegang oleh aliran sungai yang mulai melaju, Hua Li berseru dengan girangnya.

"Huoo....ho....ho....!"

Bibirnya yang kecil merah tersenyum-senyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan ditujukan ke air di depan biduknya, sedangkan sepasang tangannya erat-erat memegang sepasang dayung di kanan kiri perahu kecil yang runcing depan belakangnya itu.

Hua Tian benar-benar mulai memeluk tangannya dan memandang putrinya dengan tersenyum senang. Karena aliran air sangat cepat, Hua Li tidak mendayung, hanya menggunakan dayung-dayungnya untuk menahan imbangan biduk dan mencari jalan di pusat aliran terbesar, yakni di tengah-tengah.

Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya.

...~¥~...

...Mohon dukungannya dan terima kasih telah memberikan Like/komentar/rate 5/gift maupun votenya untuk novel Petualangan Pendekar Kecapi ini....

...Semoga sehat selalu dan dalam Lindungan Allah Subhana wa Ta'alla....

...Aamiin Ya Robbal Alaamiin....

...Terima kasih...

...Bersambung...

Bab 3

Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya.

Kemudian biduk mulai memasuki daerah batu, dan batu-batu karang besar dan tajam mulai tampak menonjol di permukaan air. Keadaan mulai berbahaya dan makin lama batu-batu itu makin banyak, malang-melintang di tengah-tengah sungai menghadang jalan air sehingga aliran air melenggak-lenggok laksana menggila.

Tapi makin berbahaya keadaannya, makin gembiralah Hua Li. Anak gadis itu menggunakan dayung di tangannya untuk menolak batu-batu di kanan kiri yang mengancam pinggir biduk, sehingga biduk itu sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri.

Kini tidak mungkin lagi untuk "menumpang" pusat aliran air dan menyerahkan biduk dibawa hanyut saja karena batu-batu yang ganas itu telah memecah-belah aliran sehingga menjadi aliran-aliran kecil di antara batu-batu yang tidak cukup lebar untuk dilewati badan perahu.

Karena itulah Hua Li harus memilih jalan sendiri, di antara batu-batu karang itu dan ini membutuhkan ketabahan, kecepatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang luar biasa.

Sungguh mengherankan anak gadis yang sekarang berusia kurang lebih dua belas tahun itu dapat menguasai biduk sedemikian gagah dan hebatnya.

Ketika berada di tempat yang paling banyak terdapat batu, tiba-tiba Hua Li kehilangan jalan. Jalan di depannya buntu, dan tidak ada satu pun ruang yang cukup lebar untuk dilewati biduknya.

Ia teringat bahwa pada perjalanan yang lalu ia telah mendapat kegagalan tiga kali sehingga perlu dibantu oleh ayahnya, dan kegagalan pertama adalah di tempat ini.

Kemudian Hua Li mengambil keputusan cepat. Dengan mata tajam setengah dikatupkan ia bawa biduknya meluncur ke arah batu karang yang menonjol rendah dari permukaan air dan di kanan-kiri batu karang itu terdapat batu karang lain yang lebih tinggi.

Gadis itu berdiri lalu sambil berseru keras ia pentang kedua kakinya di kanan kiri badan biduk yang kecil itu, sehingga ia duduk di atas biduk bagaikan seorang yang menunggang kuda.

Setelah biduk dekat sekali sehingga akan membentur karang yang menonjol rendah, ia menggunakan kedua dayungnya menekan karang di kanan-kiri dan berteriak keras sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam yang telah mulai dilatihnya.

"Naik!" pekik Hua Li.

Dan biduk itu bagaikan terbang dapat meloncat cepat di atas karang yang menonjol rendah dan bagian paling bawah hanya setengah dim saja lewat di atas karang tajam itu.

"Bagus!" puji Hua Tian.

Tapi ia masih tetap berpeluk tangan, Ia tidak menyangka bahwa putri angkatnya itu demikian cerdiknya sehingga dapat menggunakan tenaga tekanan dayung pada batu karang untuk meloncatkan biduk yang ia kempit dengan kedua kakinya itu.

Hua Li belum puas dengan hasil pertama dan pujian dari ayahnya ini, karena di depan masih ada dua perintang yang lebih berbahaya lagi.

Bahaya kedua adalah tikungan itu sendiri. Setelah batu-batu dapat dilewati, maka aliran air itu berkumpul dan berpusat lagi menjadi aliran yang sangat kuat dan yang maju menubruk dinding karang hitam yang sangat kuat untuk kemudian membelok dengan tajamnya ke kanan.

Biduk Hua Li bagaikan disambitkan ke arah batu karang itu. Tapi dengan berseru keras gadis ini menggunakan dayungnya membuat perahunya beralih haluan sehingga menjadi melintang dan tidak bisa melaju lagi, dan dengan jalan inilah ia berhasil mematahkan tenaga bantingan hebat.

"Hiaaaaa....!"

Ketika berada dekat dengan dinding batu karang yang hitam berkilat itu, ia menggunakan tangan kiri menolak batu karang itu dan dayung kanan tetap digunakan untuk mengatur haluan biduk agar jangan menuju ke dinding itu.

Dan lewatlah biduknya dengan selamat di tikungan maut itu, dan saat ini kedua mata Hua Tian memancarkan sinar suka cita karena gerakan putrinya tadi memang sempurna yang ia sendiri juga akan melakukan hal itu.

"Awaaaaasss....!" seru Hua Tian.

Tiba-tiba badan perahu telah sampai pada sebuah ulekan atau pusaran air yang besar dan kuat sehingga sebentar saja biduk itu terputar-putar kencang yang tak dapat dikuasai oleh sepasang dayung Hua Li lagi.

Tenaga putaran itu terlampau kuat bagi gadis itu sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya. Ketika ia melirik ke arah ayahnya, ternyata orang tua itu masih tetap memeluk tangan dengan tenangnya sambil tubuhnya ikut berputar-putar dengan biduk.

Hua Li menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia tetap tidak hendak minta tolong kepada ayahnya.

Kemudian dia melepaskan kedua dayung di dalam biduk dan tubuhnya segera meloncat ke dalam air bagaikan seekor ikan saja.

Tubuhnya segera terbawa pusaran air dan ikut berputar-putar, tapi dengan sebelah tangan memegang pinggir perahu, ia mengatur sebelah tangannya lagi dan kedua kaki perlahan-lahan melepaskan diri dari putaran air. Setelah banyak menggunakan tenaga dan perhitungan tepat, akhirnya berhasil juga ia membawa perahunya keluar dari putaran itu dan ia lalu meloncat lagi ke dalam biduk dengan pakaian basah kuyup.

Hua Li berdiri di dalam perahunya yang kini terbawa oleh aliran sungai yang masih cepat tapi tenang itu dengan bangga.

"Ayah, Li'er dapat melewati Tikungan Maut!" seru Hua Li dengan gembiranya.

"Memang kau tadi telah mengatasinya dengan baik sekali Li'er, aku ikut girang melihat hasilmu. Tapi putaran air tadi berbahaya sekali, seharusnya kau jangan membiarkan biduk kita sampai tercengkeram olehnya!" seru Hua Tian yang mengingatkan. Hua Li pun menghela napasnya.

"Memang aku tadi kurang cepat, ayah!" ucap Hua Li yang membela diri seraya melihat pakaiannya yang masih basah kuyup.

Hua Tian lalu mengambil bungkusan pakaian dan melemparkan kepada putrinya.

"Cepat ganti pakaian kamu dengan pakaian kering!" seru Hua Tian yang kemudian menggantikan cucunya mendayung dan Hua Li tanpa segan-segan lagi lalu berganti pakaian di belakang ayahnya.

Setelah kedua dayung itu berada dalam tangan Hua Tian, tiba-tiba perahu kecil itu meluncur luar biasa cepatnya sehingga sebentar saja mereka telah maju beberapa belas li jauhnya.

Di suatu tempat yang airnya tenang dan sungainya lebar sekali, Hua Tian tiba-tiba membelokkan perahunya menuju ke tepi.

"Kita berlatih di sini Li'er!" seru Hua Tian yang kemudian dia mengeluarkan empat buah papan dari dasar perahu.

Papan-papan itu panjangnya kira-kira dua kaki dan lebarnya setengah kaki, di tengah-tengah agak ke depan dipasangi kayu jepitan seperti pada terompah kayu.

Kemudian dia melepaskan sepasang papan terompah air itu di atas air dan ia lalu meloncat di atas papan-papan kayu itu sambil menjepit kayu tadi.

Papan-papan itu hanya tipis saja dan jika yang memakai orang biasa tentu dia akan tenggelam atau terguling. Tapi Hua Tian menggerak-gerakkan kedua kakinya dan papan itu tetap mengambang.

Hua Li juga meniru perbuatan ayahnya dan ia melepaskan dua buah papan terompah air lagi yang lalu dinaikinya

...~¥~...

...Mohon dukungannya dan terima kasih telah memberikan Like/komentar/rate 5/gift maupun votenya untuk novel Petualangan Pendekar Kecapi ini....

...Semoga sehat selalu dan dalam Lindungan Allah Subhana wa Ta'alla....

...Aamiin Ya Robbal Alaamiin....

...Terima kasih...

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!