Bang Dewa duduk menyendiri di sudut gedung. Seragam kebesarannya sudah berantakan, dengan cepat ia menghapus air matanya. Sang kekasih hati telah menikah dengan seniornya. Bang Dewa sendiri tidak tau kapan sang kekasih menjalin hubungan dengan seniornya padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja bahkan sudah menyiapkan foto guna pengajuan nikah berdua.
"Aku paham sakit hatimu Wa. Tapi sudahlah, jangan berlarut dalam kesedihan. Lebih baik semua terjadi sekarang daripada kamu tau setelah pernikahan atau mungkin yang lebih parah, Melani berselingkuh saat kalian sudah menikah." Kata Bang Rawa.
Bang Sadewa memang adalah rekan satu litting Bang Rawa. Mereka sudah sangat dekat bahkan Bang Seba Abangnya Bang Rawa pun juga sangat dekat dengan Bang Dewa.
"Iya Wa. Sudah jangan di sesali. Perempuan di dunia ini tidak hanya Melani saja." Kata Bang Seba.
"Tapi di hatiku hanya ada Melani saja Bang. Sumpah hatiku sakit sekali. Aku tidak tau kalau Melan dan Bang Tono saling mengenal. Aku tidak tau kapan mereka menjalin hubungan. Bahkan hatiku rasanya terhantam kuat saat mendengar kenyataan bahwa Melan sedang mengandung anak dari Bang Tono." Jawab Bang Sadewa.
Bang Seba segera memeluk juniornya itu. Ia pun merasa ngeri, tak sanggup membayangkan sepuluh tahun menjalin hubungan namun semua hancur sia-sia. Wanita yang di jaga sepenuh hati dan sepenuh jiwa malah melabuhkan hatinya pada pria lain.
"Abang mungkin tidak akan sekuat, sesabar dan setabah hatimu Wa. Tapi inilah perjalanan hidup manusia. Ilmu ikhlas tidak semua orang memiliki, semoga setelah ini kamu mendapatkan pengganti Melani.. yang pastinya baik budi, sholehah, bisa di didik dan mampu menenangkan hati." Bujuk Bang Seba.
"Baaang.." terdengar suara Mbak Raya memanggil Bang Seba. Istri seniornya itu sedang hamil enam bulan, tak terlihat anak pertamanya dan yang pasti sedang berada dalam asuhan Opa dan Omanya.
"Ada apa sayang? Mau pulang sekarang?" Tanya Bang Seba sembari mengusap perut Mbak Raya.
Bang Dewa menunduk, sungguh selama ini jiwanya memang sudah ingin memiliki momongan namun impiannya tak akan pernah terjadi karena wanita yang di cintainya sudah bersama pria lain.
Saat masih terbawa arus pikirannya sendiri, suara MC menyerukan bahwa pengantin akan melempar bucket bunganya. Baru saja pandangan terarah pada MC, tak di duga ada seorang gadis melompat di atas pangkuannya.
"Weeeehh.. opo iki?????" Pekik Bang Dewa yang sama sekali tidak siap.
Bang Seba sigap menarik tubuh Mbak Raya agar tidak menghantam tubuh yang tiba-tiba melayang.
Bruuugghhh..
"Lailaha Illallah.. Astagfirullah..!!" Bang Dewa tidak bisa bergerak karena gadis itu menindih tubuhnya tanpa ampun.
"Aduuuhh badanku sakiiiit..!!!"
Melihat kegaduhan itu Bang Rawa menarik tubuh gadis itu.
"Kamu ini kenapa?? Ini acara nikah, bukan outbound..!!!!" Tegur keras Bang Rawa pada Sabian adik bungsunya.
"Bian mau ambil bunga ini..!!" Bian menunjuk bunga yang ternyata juga ada dalam genggaman tangan Bang Sadewa.
"Ini bungaku..!!!" Pekik Bian.
"Ambil semua..!!!!! Bunga bangkai begitu saja di ributkan. Dasar perempuan aneh." Bentak Bang Dewa.
"Jangan kasar begitu..!! Kalian dapat bunga ini bersama-sama. Takutnya benci berubah jadi benar-benar cinta." Ledek Bang Seba.
"Ogaahh..!!"
"Malaaass..!!" Sambar Bian.
Bang Seba dan Bang Rawa tersenyum geli melihat sahabat dan adiknya ribut padahal mereka berdua belum saling mengenal.
:
Bang Tono yang tidak tau apa-apa tentang hubungan Melani dan Bang Dewa masih stay cool dan menyambut para rekan yang membantu acara pedang pora termasuk Bang Sadewa.
"Terima kasih atas bantuannya ya. Tadi siapa ya yang dapat bucket bunganya. Sadewa ya??" Tanya Bang Tono.
"Siap Bang..!!" Jawab Bang Dewa tidak bersemangat.
"Malam ini di bawa nggak calon Nyonya?" Tanya Bang Tono lagi.
Bang Dewa bingung sendiri, hatinya masih berantakan tapi ia pun tidak ingin terlihat culun di hadapan rekan yang lain. "Siap.. di bawa Bang." Tanpa persiapan dan kesiapan apapun Bang Dewa menarik lengan Bian yang sedang meneguk soft drink berwarna merah. "Ijin.. ini calon saya Bang. Bulan depan juga akan menikah."
Sontak Bang Rawa dan Bang Seba refleks ikut mendampingi Bang Dewa yang sudah kacau balau dengan segala tindak tanduk nya yang pastinya tidak sempat di pikirkan secara matang.
Bang Tono berusaha menebak di balik ingatannya yang kabur. "Lho.. ini bukannya adiknya Bang Seba dan Rawa??"
jdeeerrr..
Mata Bang Dewa melotot. Sungguh saat ini rasanya Bang Dewa tertimpa berbagai macam masalah yang bertubi-tubi.
"Iya, Bian adik kandung saya..!!" Jawab Bang Seba.
"Waduuuhh..!! para rekan semua, catat ya.. bulan depan kita bantu acara pernikahan Dewa dan Bian.. adik dari Kapten Sabda." Kata Bang Tono menyerukan pada seluruh rekan bahkan Danyon dan Dan Markas ikut mendengar, lebih parahnya lagi ada Panglima tingkat wilayah juga mendengar sembari menggendong batita laki-laki yang pastinya putra dari Kapten Sabda Palinggih.
Seketika kaki Bang Dewa lemas. Wajahnya pucat pasi. Matanya melirik Bang Seba yang ternyata sudah meliriknya dan lagi Bang Rawa juga sudah menatapnya penuh ancaman.
"Sekarang mau apa kau Le??" Tegur Bang Seba.
Kesadaran Bang Dewa masih belum seutuhnya genap tapi dirinya harus kembali di kagetkan oleh sebuah hantaman.
"Aduuhh.. apa??" Tanya Bang Dewa.
"Gaunku basah..!!!! Bagaimana ini?? Apa di bongkar disini?????" Protes Bian.
Bang Dewa menarik nafas panjang melihat gaun di bagian dada milik Bian memang basah terkena soft drink berwarna merah.
"Iyaa maaf, jangan marah disini. Nggak enak sama Papamu, Abangmu sudah melotot tuh..!!" Bisik Bang Dewa kemudian melepas jas kebesarannya.
"Paaa.. Mas Dewo mau ngintip Biaaann..!!" Teriak Bian.
Untuk kesekian kalinya refleks tangan Bang Seba dan Bang Rawa sedikit memundurkan posisi Bang Dewa agar menjauh dari adiknya.
"Sumpah aku nggak ngintip Bang, hanya mau kasih jas ini ke Bian saja." Kata Bang Dewa mulai panik.
Langkah tegap Papa Sanca pun mengarah ke Bang Dewa.
"Sejak kapan kamu ada hubungan dengan putri saya?? Setau saya Bian tidak punya pacar." Tegur Papa Sanca.
Bian tersenyum nakal, keusilannya memang sudah tidak di ragukan lagi.
"Sudah lama sih Pa, Mas Dewo sering nginap di kostnya Bian." Jawab Bian asal.
Seketika Bang Seba dan Bang Rawa menepuk dahinya tidak bisa mencegah ucap fatal yang keluar dari mulut Bian.
"Apaaaaaa???????? Kamu menghadap saya sekarang juga Wo. Nggak usah tunggu satu bulan. Malam ini juga kalian nikah...!!!!!!" Perintah Papa Sanca yang sudah terlalu geram.
Baru kali ini dan di saat seperti ini Bian terdiam seribu bahasa. Dirinya luar biasa panik dan syok hingga jantungnya nyaris berhenti berdetak.
"Siap.. laksanakan Dan." Jawab Bang Dewa tegas dan mantap.
Jauh di sudut yang lain Melani menatap Bang Dewa dengan wajah datar.
.
.
.
.
"Kamu jangan main-main Bian..!!! Semua orang sudah mendengar ucapan bodohmu itu. Apa Papa tidak mendidikmu sampai kamu harus bermalam sama laki-laki di dalam kost?? Sekarang nama Papa jelek.. Nama Mas Dewo ikut terseret. Makanya sebelum berucap dan bertindak harus di pikir dulu..!!!!!" Bentak Papa Sanca.
"Ampun Pa..!!! Bian nggak mau nikah dulu. Bian mau jadi perawat, pengen masuk tentara juga." Tolak Bian.
Bang Sadewa memang sangat kesal namun semua sudah terjadi. Ia pun tidak tega melihat tangis sedih Bian.
"Jadi bagaimana ini??? Rekan Papa satu Indonesia sudah memberikan selamat, semoga kembali cepat dapat cucu." Omel Papa Sanca.
"Ijin Dan. Mohon maaf saya lancang. Saya menerima apapun keputusannya, tergantung Dinda Sabian saja. Bersedia atau tidak untuk saya nikahi." Kata Bang Dewa.
"Jelas saja kau mau. Targetku adalah laki-laki yang kulitnya bersih, tidak hitam seperti Abangku atau Papaku. Skin care ku mahal.. makanya aku ingin kerja biar bisa beli apa yang aku mau. Aaahh.. pokoknya targetku bulan kamu. Lelaki impianku itu seperti Bang Hisyam." Cerocos Bian memanaskan hati.
Papa Sanca, Bang Rawa dan Bang Seba hanya diam mendengarnya. Saat itu Mbak Raya mendekat ingin menasihati Bian namun Bang Seba mencegahnya.
"Wajah saya ya begini, kulit saya memang hitam terbakar matahari, tapi apa yang saya kerjakan adalah pekerjaan halal. Besar kecilnya saya syukuri. Kalau kamu tidak ada rasa bangga terhadap saya.. saya pun tidak masalah. Biar do'a Ayah dan Ibu saya yang mengiringi langkah saya. Ayah saya hanya seorang prajurit berpangkat kecil. Hanya purnawirawan berpangkat Peltu tapi ibu saya tidak pernah mengeluh betapa pun beratnya hidup menjadi seorang istri tentara. Ibu saya menjalani hari sebagai pedagang kecil di pasar dan kadang menjadi tukang pijat kampung. Saya juga tidak pernah malu akan hal itu. Ubah pola pikirmu, hidup ini tidak akan menjadikanmu Nona selamanya." Jawab Bang Dewa mengeluarkan seluruh isi hatinya tanpa ada rasa takut.
Bian tersenyum kecil. Sekali lagi ia menatap paras wajah Bang Dewa yang tegas. Tangan pria itu sudah mengepal kuat menahan rasa emosi.
"Kalau kau memaksa menjadi suamiku, kau harus tahan dengan segala sikapku, termasuk diriku yang menolak hadirmu. Aku masih suka main bersama temanku, aku punya kehidupan yang tidak bisa kau ganggu. Aku ingin kebebasan dan tidak ingin anak dari kamu." Ancam Bian.
"Di dalam kepercayaan kita mengatakan bahwa istri harus menurut apa kata suami dalam artian sikap yang benar. Selama saya masih berada dalam garis lurus, kamu wajib mengikuti apa kata saya. Tapi jika saya menyimpang dari ajaran yang seharusnya, kamu boleh menuntut hak dan keadilanmu. Saya tidak mau tau.. menurut suami hukumnya wajib."
Papa Sanca dan kedua Abang pusing tujuh keliling mendengar adik dan calon iparnya berdebat namun juga tidak ada yang salah dari setiap jawaban Bang Dewa. Mbak Raya sudah ketar ketir sampai perutnya mulas.
"Bang.. mereka jangan di paksa..!!" Bisik Mbak Raya.
"Dindaa.. jangan lihat covernya. Bian akan selamat bersama Dewo. Percayalah.. Abang ini laki-laki, Abang paham maksud dan keinginan Dewo." Balas Bang Seba. "Kamu jangan berpikiran terlalu jauh. Abang saja yang mikir Bian."
"Oke, nikah ya nikah saja. Apa susahnya." Jawab Bian.
...
Melalui perdebatan dan perjuangan yang panjang akhirnya Bang Dewa menikahi Bian, gadis pecicilan, urakan dan usil tiada tara.
"Bian belum siap sekarang, besok saja Bian ikut sama kamu." Kata Papa Sanca sembari menggendong cucunya. "Hmm.. atau kamu pulang saja ke rumah Papa??"
"Biar saya di mess dulu Pa. Pelan-pelan saja supaya Bian juga bisa beradaptasi dengan keadaan." Bang Dewa bukannya mau menolak hidup bersama Bian, tapi ia sungguh menghindari hal yang tidak di inginkan termasuk pertengkaran yang mungkin saja terjadi di antara mereka.
Papa Sanca pun mengerti, beliau mengijinkan Bang Dewa mencari ruang dan memberi kepercayaan serta keputusan pada menantunya.
Bang Seba dan Bang Rawa pun mempercayakan segala sesuatunya pada Bang Dewa. Mereka menepuk bahu adik iparnya itu.
"Atas nama pribadi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini." Kata Bang Dewa.
"Ini sudah suratan. Termasuk kamu harus momong adikku yang luar biasa itu." Jawab Bang Seba.
Bang Dewa tersenyum simpul. Sungguh hatinya masih terasa mengambang namun tak ada sedikitpun rasa sesal dalam hatinya.
"Ijin Para senior..!! jika di ijinkan, apa bisa saya membawa Bian bertemu dengan orang tua saya?" Tanya Bang Dewa.
"Silakan..!! Itu hak mu. Saya rasa kalau ada niat baikmu seperti itu, kami pihak keluarga juga tidak akan menolak. Nanti salamkan pada orang tuamu dulu. Mohon maaf kami belum sempat datang kesana secara resmi karena keadaan."
"Siap."
***
Bang Dewa meletakan punggungnya pada sandaran ranjang. Sejenak ia memejamkan matanya teringat hari-hari bersama Melani. Rasa sakit itu masih terasa menghujam ulu hati. Dirinya masih tidak percaya wanita yang ia cintai bisa menusuk dirinya dari belakang. Kini dirinya tau Melani tidak menginginkan dirinya karena dirinya berasal dari keluarga yang tidak berada.
"Tega sekali kamu dek. Apa yang tidak Abang berikan untuk kamu. Berbahagialah kamu bersama pria pilihanmu dan Abang juga akan bahagia bersama gadis yang sudah Abang pilih." Gumamnya namun jelas keadaan tidak bisa membohongi hatinya yang tengah hancur lebur. Bang Dewa berdiri kemudian mengambil air wudhu berniat mengadukan semua pada Yang Maha Kuasa.
:
Tangis Bang Dewa pecah. Ia benar-benar menunduk pasrah. Sakit hatinya sungguh tidak terarah.
'Tuhan tolong beri aku jawaban atas semua takdirMu. Bagaimana caraku menjalani hari yang berat ini. Bisakah kau buka hati Sabian untukku? Dan bisakah Engkau menyadarkan hambaMu yang tiada daya ini.. bahwa hamba telah memiliki gadis yang harus kumuliakan dan kusayangi sepenuh hati. Tolong hambaMu ini Ya Tuhan, tolong..!!'.
Saking lelahnya menghadapi rasa sakitnya, Bang Dewa tertidur di atas sajadah.
~
Bang Dewa melewati jalanan berkabut, lirih ia mendengar suara tangis lirih. Suaranya begitu pilu menyayat hati. Tak tau mengapa hatinya tergerak mengikuti suara tersebut sampai di balik gelapnya kabut ia melihat sosok Sabian tengah menangis tanpa pakaian.
"Astagfirullah hal adzim.. kenapa kamu disini sendirian??" Bang Dewa segera melepas pakaiannya untuk menutupi tubuh Bian di balik gelap dan dinginnya hari.
"Bajuku tertiup angin, aku tidak tau jalan pulang. Mereka menyakitiku.. aku takut..!!" Ucapnya sembari menangis terisak.
"Siapa?? Siapa yang berani menyakitimu???? Cepat katakan..!! Biar kuhajar dia tanpa ampun..!!!" Jawab Bang Dewa tak main-main.
"Melani akan marah kalau Mas mendekatiku..!!"
Hati Bang Dewa terketuk dan terpukul, Bian sangat ketakutan bahkan gadis itu masih mengingat nama Melani.
"Mas janji akan menghapus namanya dalam hati dan hidupku. Mas janji akan menyayangi dan mencintaimu. Hanya ada nama Sabian yang akan kamu dengar dari bibirku. Belah dada ini jika aku mengingkari."
Bang Dewa berniat memeluk Bian namun bayang itu hilang dan ia hanya bisa menggenggam tangannya saja.
"Biaaaann..!!!" Bang Dewa tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal. "Ya Allah Ya Rabb.. Bian..!!"
Bang Dewa mencari ponselnya dan menghubungi Bang Seba di hari menjelang pagi.
"Assalamu'alaikum.. Ada apa Wo. Ganggu kenikmatan aja." Jawab Bang Seba di seberang sana sembari mengucek matanya yang masih berat.
"Wa'alaikumsalam.. kirim nomer ponsel Bian Bang..!!"
"Iya nanti."
"Sekarang Bang, saya mau jemput Bian."
"Ini belum subuh Wo..!!!" Kata Bang Seba mendadak terserang jengkel.
"Kalau nggak di kirim, Bian saya culik tanpa persiapan..!!" Ancam Bang Dewa.
"Ada apa sih Wo.. Dewoooo..!!!! Abang lagi nggak bisa gerak nih. Tangan Abang di begal bumil."
"Ya sudah, saya otewe ke rumah panglima."
"Heeehh Letnan sarap..!!!!!" Bentak Bang Seba.
tuuuuuttt..
"Aseeeeemm.. Ono opo sih."
.
.
.
.
Papa Sanca berlari ke luar rumah. Bang Rawa pun ikut kaget mengintai dengan celana pendeknya sedangkan Bang Seba turun berlari melewati anak tangga sembari membenahi letak sarungnya.
Bian di pusat masalah membuka pintu memakai baju mini dress satin berwarna merah jambu yang menggoda.
"Ada apa Bang?" Tanyanya sambil mengikat rambut model ekor kuda.
"Mana kutahu, si Dewo datang buat huru hara padahal datang baik-baik juga bakalan di kasih pintu." Jawab Bang Rawa.
"Wooo.. tadi Papa sudah bilang, kalau kamu mau tidur disini ya silahkan. Kenapa sekarang buat masalah subuh begini. Kenapa sih lu????" Tegur Bang Seba.
"Lebih baik aku bawa dia pergi Bang. Nggak baik sudah menikah harus terpisah jarak." Kata Bang Dewa.
Bang Seba mengambil nafas panjang. Matanya melirik Bian dengan gaya nakalnya nan menggoda kemudian berganti melirik Bang Dewa. Mungkin sebagai Abang kandung, dirinya sudah terbiasa melihat ulah nakal Bian namun tidak bagi Bang Dewa. Terlihat dari cara juniornya itu memperhatikan Bian. Mulutnya ternganga dan terbuka lebar, matanya melotot nyaris terlepas dari bingkainya, untuk sementara siapapun tau Lettu Sadewa sedang terpana.
Bian yang tau reaksi suaminya malah semakin nakal pura-pura tidak melihat sengaja mengekspose tubuhnya yang seksi. Bahkan dengan segala tingkah absurdnya.. Bian sengaja membuka paha dari lantai atas.
"Yang sopan kamu Bian. Masih ada Abangmu disini..!!" Nada suara Bang Seba sedikit lebih keras.
"Tutup mulutmu Wo, banyak lalat..!!" Tegur Bang Seba. "Naik dan selesaikan secara pribadi di atas..!!" Perintah Bang Seba.
Tak membuang banyak waktu, Bang Dewa berlari naik ke lantai atas dan mengajak Bian masuk ke dalam kamar, kamar tidur yang lebih banyak di dominasi warna pink dan ungu.
"Masuukk..!!" Ajak Bang Dewa.
"Nggak mauu.. ini kamar Bian..!!!!" Tolak Bian.
Bang Dewa tak mau tau dan menarik Bian masuk ke dalam kamar lalu menguncinya rapat.
Mbak Raya sempat keluar dari kamar membawa perut besarnya karena mendengar suara gaduh tapi Bang Seba dengan sigap mengajak Mbak Raya masuk ke dalam kamar.
//
"Apaaa??? Mau minta jatah??? Nggak ada..!!" Ucap ketus Bian sengaja membuat Bang Dewa kesal agar pria itu segera menjauhinya.
"Ilmu apa yang kamu punya untuk menyenangkan saya sampai saya harus memohon minta jatah sama kamu??" Bang Dewa membalas gemas ucap Bian. "Cepat kemasi barangmu.. ikut saya..!!!"
"Nggak.. kalau Bian ikut sama Mas pasti Bian di apa-apain. Bang Seba dan Bang Rawa sudah mengajarkan sifat laki-laki yang jelalatan dan tidak bisa di percaya, jadi Bian yakin.. Abang hanya mau cari kesempatan dalam kesempitan."
Bang Dewa sampai mengusap wajahnya gemas sendiri menghadapi Bian. Tak tau apa yang sudah di ajarkan kedua Abang sampai Bian mampu menjaga diri sampai seperti ini.
"Cepat berkemas.. jangan sampai saya memaksa..!!" Ancam Bang Dewa.
"Paaaa.. Mas Dewo ngintiiipp...!!!!" Teriak Bian setiap mengadu pada Papanya.
"Teriak saja sampai urat lehermu putus. Abang sampai Papamu sekalipun tidak akan membantumu..!!"
"Papaaaaa.. Mas Dewo ngintiiiiiipp..!!" Bian semakin memperjelas suaranya dan benar saja. Kedua Abang dan Papanya tidak ada yang membantunya sama sekali.
Kini Bang Dewa tersenyum menyeringai. Ia mendekati Bian lalu melonggarkan ikat pinggang. "Cepat kamu bereskan barang dan pakaianmu atau kamu yang saya bereskan tanpa sisa..!!" Sebenarnya jelas Bang Dewa hanya berpura-pura tapi respon tubuhnya bukanlah hal yang pura-pura. Sebagai pria normal jelas batinnya terusik, tubuhnya menegang sempurna. Hatinya gelisah bukan main namun tak mungkin dirinya mengatakan pada Bian.
Bian menggerutu. "Halaah.. mau pamer apa?? Sebesar ulat sagu saja di banggakan..!!"
"Apa kamu bilang???? Ulat sagu??????? Ngenyek tenan kowe ndhuk.. sekali kamu kena red viper nya Mas Dewo.. iso lali omah dek..!!" Balas Bang Dewa semakin geregetan.
Bian lumayan gemetar dan deg-degan sebab matanya melirik di satu titik ke arah senjata yang sudah siap di kokang.
"Lihat apa kamu???" Bang Dewa meninggikan suaranya.
Bian tersenyum nakal, tanpa kata apapun ia membuka dress-nya hingga mengekspose lekuk tubuh Bian yang bagai gitar Mongol.
"Astagfirullah.." Bang Dewa memalingkan wajah sembari memejamkan matanya. Imannya langsung terombang ambing di ubun-ubun kepala. Tangannya membuka dan mengepal dengan gelisah.
Tawa renyah Bian pun semakin menjadi melihat Bang Dewa tidak tenang melihat penampilannya. Kini ia merasa menang sudah bisa membuat Bang Dewa mati kutu. Masih dengan penampilannya itu, Bian mendekati Bang Dewa lalu mengalungkan kedua lengannya di belakang leher Bang Dewa. Ide nakalnya semakin menjadi karena tiba-tiba Bang Dewa keringat dingin di dalam kamar ber AC miliknya. Saat Bang Dewa mengintip dan melirik ke arah bawah, saat itu juga Bian menurunkan wadah mendhut yang membuat Bang Dewa seketika langsung pucat.
"Jangan cari perkara, atau Mas akan celaka..!!"
Mendengar kata yang penuh ancaman tidak masuk akal itu, Bang Dewa pun tidak tinggal diam. Ia mencekal kedua tangan Bian lalu mendorongnya hingga ke ranjang.
"Maas.. Masss mau apa??" Tanya Bian mulai panik.
"Menunjukan padamu arti celaka yang sesungguhnya." Bang Dewa melepas gesper ikat pinggang lalu membebaskan tawanan dan menyentuhkan pada Bian.
"Aaaaaaaaaaaaaaa...."
...
Pagi hari Bian demam tinggi. Papa Sanca dan Mama Hemas sampai bingung karena dokter pribadi pun sedang pulang kampung.
Mbak Raya memeluk Bian karena adik iparnya itu sejak tadi diam tanpa kata dan memeluknya.
"Bian kenapa?? Apa Mas Dewo kasar??"
Bian menggeleng pelan. Ia seakan enggan mengatakan apapun.
Di luar sana Papa Sanca sibuk menghubungi bagian kesehatan. Bang Rawa mencari obat seadanya di rumah sedangkan Bang Seba menginterogasi Bang Dewa.
"Ada apa dengan Bian?" Tidak enak juga Bang Seba ikut campur dalam urusan rumah tangga adiknya tapi semalam ia seakan mendengar jerit ketakutan dari seorang Bian.
"Nggak ada apa-apa Bang." Jawab Bang Dewa dengan wajah datar saja namun tidak ada yang bisa menerka isi hatinya. Hanya sebersit wajah sedih tidak bisa menipu semua orang.
Terus terang saat itu Bang Seba dan Bang Rawa sangat cemas. Kedua Abang sangat takut jika mungkin selama ini Bian tidak bisa menjaga diri hingga membuat suaminya menjadi kecewa.
"Dewo, apa Bian begitu mengecewakan hatimu? Maafkan kami kalau tidak bisa mendidiknya..!!"
"Bagi saya nggak masalah karena semua hanya masa lalu." Jawab Bang Dewa.
"Lalu apa masalahmu?? Mungkin kamu bisa sharing biar hatimu sedikit lebih tenang?" Bujuk Bang Seba.
"Saya minta es batu..!!" Pinta Bang Dewa.
Bang Rawa segera mengambilkan littingnya segelas es batu. Ia menyangka litting yang sekarang adik iparnya itu tengah kehausan. Setelah mengambil dari lemari es, Bang Rawa segera menyerahkan pada Bang Dewa.
Bang Dewa menerimanya lalu membungkus es batu dengan sapu tangan yang ada di sakunya.
"Badanmu pegal? Apa keseleo?? Ada yang salah urat?" Tanya Bang Seba.
"Bagaimana nggak salah urat? gagal fight Bang."
"Owalaaaaahh..!!!!!!!" Bang Rawa dan Bang Seba terkikik geli.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!