Sania Anggara, gadis berusia dua puluh satu tahun itu memang bukan gadis biasa ia terlahir didalam keluarga Anggara, keluarga yang kaya raya. Ayah Sania, tuan Martin Anggara merupakan orang yang terpandang dikota itu.
Tuan Martin Anggara memiliki sebuah perusahaan besar dikota itu, perusahaannya sangat maju dan berkembang hingga tuan Martin berencana untuk membuka beberapa cabang perusahaan dikota lain.
Sania adalah anak semata wayang dari tuan Martin, sejak kecil Sania selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Apapun yang Sania minta, tuan Martin akan memberikannya.
Mungkin karena terlalu dimanja dan terbiasa mendapatkan semua yang ia inginkan Sania tumbuh menjadi gadis yang kurang mandiri dan suka berbuat seenaknya.
Sania masuk kedalam mobilnya, ia jadi marah melihat Arlan tidak ada didalam mobilnya.
"Pergi kemana supir bodoh itu?" Gerutu Sania.
"Arlan! Arlan!" Teriak sania.
Suara teriakan Sania membuat Erika jengah, ia memutar bola matanya malas. dengan cepat Erika memasang handsant dikedua telinganya, hal itu ia lakukan agar ia tidak mendengar suara cempreng Sania.
Sania sudah lama bersahabat dengan Erika, sahabatnya itu semalam menginap dirumahnya. pagi itu mereka akan pergi bersama sama kekampus.
Setelah beberapa kali berteriak memanggil nama Arlan, Arlan akhirnya datang. Arlan masuk kedalam mobil dengan dahi yang sedikit berkeringat.
"Supir bodoh! dari mana saja kamu?" Hardik Sania dengan wajah cemberut.
"Maaf nona Sania, saya barusan dari toilet." Arlan memakai sabuk pengaman tidak ada rasa takut meskipun Sania membentaknya. Arlan memang sudah terbiasa mendengar Sania marah marah.
"Alasan aja kamu." wajah Sania masih cemberut
Melihat kedatangan Arlan, Erika tersenyum senang. Erika melepaskan Handsant yang yang tergantung ditelinganya. Erika tidak suka Sania memarahi Arlan ia buru buru memotong pembicaraan Sania dan Arlan.
"Ayo kita berangkat."
Ujar Erika dengan senyum yang dibuat buat.Entah Erika sedang menutupi rasa kesalnya pada Sania atau ia memang benar benar senang melihat kedatangan Arlan. Hanya Erika yang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Tunggu tunggu!" Sania membuat Arlan mengurungkan niatnya untuk menjalankan mobil.
"Ada apa nona?" Arlan menengok kebelakang, melihat kearah Sania yang sedang duduk dikursi belakang bersama Erika.
Erika segera menundukan wajahnya ketika pandangan matanya bertemu dengan mata Arlan.
Erika kenapa? Batin Arlan, ia menggelengkan sedikit kepalanya.
"Tas ku ketinggalan. cepat kamu ambil." Perintah Sania sontak membuat Erika dan Arlan tersentak.
Saat itu Sania, Arlan dan juga Erika masih berada didepan rumah Sania. untuk masuk kedalam rumah Sania memerlukan waktu dan juga kesabaran.
Rumah Sania sangat besar halamannya juga luas. untuk masuk kedalam rumah itu tidak cukup hanya dengan beberapa langkah apalagi kamar Sania berada dilantai dua, membuat Arlan menarik nafas.
"Kenapa kamu malah diam? cepat ambilkan."
Arlan masih diam walaupun Sania sudah memarahinya.
"Arlan, kamu engga mau ambil tasku? mau aku pecat?" Sentak Sania seraya menatap tidak senang pada Arlan.
"Saya mau mengambilkan tas nona, saya cuma bingung mau ambil tas yang mana?" Karena tidak ingin dipecat Arlan mencari cari alasan, tapi alasan Arlan terdengar masuk akal hingga Sania percaya dengan Arlan
"Arlan benar Sani.. tas kamu itu ada banyak." ucap Erika membela Arlan.
Mendengar ucapan Erika membuat Sania tidak jadi marah pada Arlan.
"Ambil tas aku yang ada dimeja rias, warnanya biru." Perintah Sania.
"Baik nona."
Arlan segera keluar dari mobil, ia berlari kecil memasuki halaman rumah Sania. sampai didalam rumah Arlan langsung naik kekamar Sania yang berada dilantai dua.
Rumah itu terlihat sepi karena orang tua Sania sedang tidak ada dirumah. orang orang yang bekerja dirumah Sania juga belum datang yang ada hanyalah Bu Amina Nenek Sania.
"Arlan dari mana kamu?" Nenek Sania menyapa Arlan
Dikeluarga Sania tidak ada yang bersikap baik pada Arlan kecuali Bu Amina.
"Saya habis mengambilkan tas Nona Sania." Jawab Arlan sambil tersenyum.
"Anak itu selalu saja menyusahkanmu." Nenek sania menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa apa nek, ini memang sudah tugas saya. saya pergi dulu nek." Arlan berpamitan kemudian ia keluar dari rumah itu. setelah Arlan keluar dari rumah itu nenek Sania pergi kekamarnya.
Arlan lalu masuk kedalam mobil, ia terlihat lelah.
"Kamu itu, jadi cowo loyo. cuma disuruh begitu udah cape." Sania mengambil tas yang dipegang Arlan.
"Engga kok nona, saya engga cape." Arlan tersenyum kecut.
"Ya sudah, cepat jalan." Lagi lagi Sania menjukan sikapnya yang suka memerintah.
"Iya nona." Arlan menyeka keringat yang mengalir didahinya.
"Tunggu tunggu." Untuk kedua kalinya Sania mencegah Arlan yang ingin menjalankan mobil.
"Ada apa lagi nona Sania?" Arlan jadi kesal.
Arlan ingin sekali keluar dari mobil itu kemudian membanting pintu mobil dengan keras namun Arlan tidak melakukan karena ia tidak ingin dipecat.
"Hp ku mana?" Tanya Sania tanpa beban.
Sania semakin hari semakin membuat aku kesal, kenapa dia menanyakan hpnya pada Arlan? perempuan menyebalkan. kalau bukan karena Arlan rasanya aku malas berteman dengan Sania. Erika merasa marah.
"Saya tidak tahu nona." Arlan sedikit bingung.
"Kalau kamu engga tahu, ya kamu cari tahu. sekarang kamu masuk kedalam dan cari handphone aku sampai ketemu." Bentak Sania.
Arlan dan Erika menatap tidak percaya pada Sania. Sania baru saja meminta Arlan mengambil tasnya didalam rumah dan sekarang ia meminta Arlan untuk mencari ponselnya.
Sikap Sania benar benar membuat aku lelah, tapi kenapa aku tidak ingin jauh jauh darinya? Ucap Arlan dalam hati.
Tanpa bicara Arlan langsung keluar dari mobil Sania, Arlan kembali masuk kedalam rumah Sania untuk mencari ponsel Sania.
Sepuluh menit kemudian Arlan kembali lagi kedalam mobil Sania, tapi Arlan tidak membawa apa apa ditangannya hal itu membuat Sania marah.
"Mana hp aku?" Sania berharap Arlan menyimpan ponselnya disaku baju atau saku celananya.
"Maaf nona Sania. saya sudah keliling rumah mencari hp nona, tapi hp nona tidak ada." Ujar Arlan seraya menarik nafas dalam dalam.
"Maksud kamu? hp aku engga ketemu? aku sudah bilang cari hp aku sampai ketemu, kalau belum ketemu kamu jangan berhenti mencari." Sania marah marah.
"Nanti nona Sania bisa terlambat kuliahnya."
"Aku engga mungkin kuliah, tanpa membawa hp." Sania sangat kesal.
"Sudah! sudah! kalian jangan berdebat lagi. Arlan kamu miss call saja hp Sania." Erika tidak suka Sania memarahi Arlan.
"Supir bodoh, seharusnya dari tadi kamu miss call hpku. supaya kamu tidak terlalu repot mencarinya." Belum ada satu jam Sania sudah berkali kali memarahi Arlan.
"Saya engga punya pulsa non."
"Arlan! kamu jangan bikin malu aku. gaji yang diberikan papaku itu lumayan besar. masa sih, beli pulsa saja kamu engga mampu."
Kalau kamu ngomel ngomel terus, kita bisa terlambat kuliah karena waktu kita habis hanya untuk mendengarkan ocehanmu. Erika bicara sendiri dalam hati.
"Biar aku saja yang miss call hp Sania." Erika lalu mengambil ponsel yang ada didalam tasnya.
Saku baju Sania bergetar ketika Erika menelphone keponsel Sania, Sania baru menyadari kalau ponselnya berada didalam saku bajunya.
"Erika, kamu mau kemana?" Tanya Sania saat ia melihat Erika ingin membuka pintu mobil.
"Aku mau masuk kedalam rumahmu, mungkin didalam aku bisa mendengar bunyi suara hp kamu." Erika masih mengira ponsel Sania ada didalam rumah Sania.
Erika tahu Arlan sudah lelah, karena itu ia memutuskan untuk mencari ponsel Sania.
"Tidak usah." Sania melarang Erika pergi.
"Kenapa?"
"Hp aku udah ketemu." Sania mengambil ponsel dari saku bajunya.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening, Sania merasa bersalah sedangkan Arlan dan Erika merasa begitu kesal.
"Arlan, cepat jalan. malah bengong." Sebenarnya Sania merasa tidak enak pada Arlan, tapi karena gengsi ia tidak ingin menunjukkannya didepan Arlan dan Erika.
Mobil Sania berjalan dengan cepat, tidak ada yang bicara didalam mobil itu. Erika sibuk dengan ponselnya dan Arlan hanya diam sepertinya ia enggan untuk bicara. Sania sendiri juga tidak tahu harus berkata apa,Saniapun ikut diam tak bersuara sampai akhirnya mereka bertiga sampai dikampus.
"Sani, kamu masuk duluan. aku mau balas pesan dari mamaku." Erika berlaga sibuk memainkan ponselnya, padahal ia hanya ingin berduaan dengan Arlan.
"Iya, tapi jangan lama lama." Sania keluar dari mobil itu, ia pergi meninggalkan Arlan dan Erika.
Sebelum pergi Sania sempat menoleh kearah Arlan tapi pandangan mata Arlan lurus kedepan ia seakan tak mau memandang Sania, dengan hati yang kecewa Sania turun dari mobilnya.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
"Sampai kapan kamu mau menjadi supir Sania?" Pertanyaan Erika membuat Arlan menengok kebelakang, tempat dimana Erika duduk.
"Maksud mu?" Arlan tidak mengerti kenapa Erika bertanya seperti itu.
"Arlan, kuliah kamu sudah selesai, kamu bisa mencari pekerjaan lain. kenapa kamu tetap bertahan menjadi supir Sania?"
Supir sania semula adalah pak Brata ayah dari Arlan karena pak Brata sakit, Arlan menggantikan posisi pak Brata menjadi supir Sania.
Beberapa bulan menjadi supir Sania, Arlan jadi merasa kasihan pada ayahnya Karena menjadi supir Sania ternyata adalah pekerjaan yang melelahkan.
Setelah ayahnya sembuh Arlan melarang ayahnya bekerja kembali dengan alasan ayahnya sudah tua dan lebih baik istirahat sambil menikmati masa tuanya dirumah.
Sudah satu tahun Arlan bekerja sebagai supir Sania namun ia tidak pernah mengabaikan kuliahnya yang hampir selesai. kini ia sudah lulus kuliah, tapi Arlan justru melupakan tujuan utamanya yaitu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
"Mencari pekerjaan itu tidak mudah, aku akan berhenti bekerja jika aku sudah mendapatkan pekerjaan baru."
Arlan mengungkapkan alasan kenapa ia tetap bekerja menjadi supir Sania.
Aku juga tidak mengerti, kenapa aku merasa berat berhenti dari pekerjaan ini? meskipun sikap Sania menjengkelkan, tapi aku merasa senang berada didekatnya. apa mungkin aku sudah jatuh cinta pada Sania. Batin Arlan.
Arlan merasa risih karena Erika masih berada didalam mobil dan terus mengajaknya bicara, untunglah kuliah akan segera dimulai sehingga Erika pergi meninggalkan Arlan sendiri.
Saat Erika masuk kedalam kampus, Erika melihat Sania sedang bicara dengan seseorang.
Tanpa sengaja Sania menabrak seseorang, ternyata Sania mengenal orang itu. orang itu adalah Dennis, kakak kelas Sania saat Sania masih duduk dibangku sma.
"Dennis." Sania sangat senang bisa bertemu lagi dengan Dennis.
Sudah lama Sania tidak bertemu dengan Dennis, sejak lulus sma Dennis memutuskan kuliah diluar negeri.
"Sani.. sedang apa kamu disini?" Dennis tersenyum bahagia.
"Aku kuliah disini, kamu sendiri? bukannya kamu kuliah diluar negeri."
"Kuliahku sudah selesai, aku datang kekampus ini untuk menemui adikku."
"Jadi adikmu kuliah disini?"
"Iya... " Ujar Dennis masih dengan senyum yang merekah dibibirnya.
Mereka lalu ngobrol sebentar, saat Sania ingin pergi Dennis sempat meminta nomer ponsel Sania.
"Sani..kamu masih tinggal dirumah yang dulu?" Tanya Dennis ingin tahu.
"Iya...aku belum pindah rumah. ya sudah, aku masuk kedalam dulu. aku harus kuliah." Sania berpamitan, ia lalu masuk kedalam kampus.
Dennis masih memandang Sania sampai tubuh Sania menghilang dari penglihatannya.
"Dennis." Erika berjalan mendekati Dennis, sama seperti Sania Erika juga merasa senang bisa bertemu lagi dengan Dennis.
"Erika, Kamu kuliah disini?" Dennis seakan tidak senang bertemu dengan Erika.
"Iya.." Erika tersenyum ramah.
"Oh..." Dennis ingin pergi meninggalkan Erika.
"Dennis, tunggu! kamu mau kemana?" Erika memegang tangan Dennis.
"Aku mau pergi." Dennis menepis tangan erika lalu ia pergi meninggalkan erika yang masih terdiam karena sikap Dennis yang dingin padanya.
Kenapa Dennis bersikap seperti itu padaku? Dennis bersikap manis pada Sania sedangkan denganku... Erika merasa sedih.
"Apa bagusnya Sania? kenapa Arlan dan Dennis suka berdekatan dengan Sania? Sania memang cantik, tapi aku juga cantik. Sania memang berasal dari keluarga kaya, tapi keluargaku juga kaya." Erika memuji dirinya sendiri sambil mengepalkan satu tangannya
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Siang itu udara begitu panas membuat Sania berkeringat, Sania buru buru masuk kedalam mobil dan disana Arlan sudah menunggunya.
"Kita mau kemana nona?" Tanya Arlan saat melihat Sania sudah masuk kedalam mobil.
"Kita pulang."
Biasanya pulang kuliah Sania tidak langsung pulang, ia sering menghabiskan waktu dengan teman temannya. entah itu berbelanja atau pergi ketempat tempat yang biasa ia kunjungi dengan temannya, tapi hari itu Sania tiba tiba ingin pulang membuat Arlan sedikit heran.
"Tumben."
Kata kata yang ingin Arlan ucapkan didalam hati keluar begitu saja dari mulutnya.
"Nanti ada temanku yang mau datang kerumah, jadi aku mau siap siap menyambutnya." ucap Sania penuh semangat
"Siapa teman nona yang mau datang? Erika?" Entah kenapa Arlan merasa kalau Erika bukanlah teman yang baik walaupun Erika selalu bersikap baik, tapi Arlan bisa merasakan kebaikan Erika itu palsu dan tidak tulus.
"Kamu pikir temanku cuma Erika." Sania jadi kesal.
"Kalau bukan Erika lalu siapa?" Tanya Arlan ingin tahu.
"Bukan urusanmu. supir bodoh, tugasmu itu cuma menyetir. jadi jangan banyak omong." Sania menatap sinis pada Arlan.
Arlan sebenarnya sakit hati setiap kali ia mendengar ucapan kasar Sania yang merendahkan dirinya, namun karena ia bekerja pada Sania ia tidak bisa membalas kata kata pedas Sania.
Sampai dirumah Sania segera mandi, Sania berendam selama sepuluh menit setelah itu ia memakai baju lalu berdadan, usai berdandan Sania terlihat lebih cantik.
Sania berjalan menuruni anak tangga sampai dibawah ia melihat Arlan yang sedang minum. Arlan hampir saja menjatuhkan gelas yang ia pegang ketika ia melihat Sania, hari itu Sania benar benar cantik hingga membuat mata Arlan tidak berkedip memandangnya.
"Apa liat liat? ada yang aneh?" dipandang seperti itu membuat Sania merasa ada yang salah dengan penampilannya.
Sania merasa dandanannya terlalu berlebihan.
"Tidak ada nona, tidak ada yang aneh. justru hari ini nona Sania sangat cantik."
Mendengar pujian Arlan Sania wajahnya memerah, entah mengapa Sania menjadi malu. ia menundukan wajahnya.
Beberapa detik kemudian Sania menyadari kalau ia sedang tersipu malu.
"Supir bodoh, kamu tidak perlu memujiku. aku sudah tahu kalau aku cantik." Sania menutupi rasa malunya dengan berpura pura marah.
Wajah Arlan berubah jadi tidak enak dipandang, ia yang semula tersenyum mendadak cemberut.
"Kalau tidak ada lagi yang nona butuhkan, saya, pulang dulu." Arlan berpamitan pulang.
"Aku sudah tidak butuh kamu lagi, kalau mau pulang pulang saja." Ujar Sania sinis.
Arlan kemudian pergi meninggalkan Sania sendirian, setelah Arlan pergi Sania keluar kehalaman rumahnya. Sania duduk didepan dihalaman rumahnya sambil menunggu seseorang.
Sania menunggu sampai langit yang terang berubah menjadi gelap, Sania mengira orang yang ia tunggu tunggu tidak akan datang.
Sania mencoba menelphone orang itu, tapi telphone Sania tidak jawab. Sania akhirnya memilih untuk masuk kembali kedalam rumahnya, Sania baru sampai didepan pintu rumahnya ketika ada seseorang yang memanggil namanya.
"Sani.... " Panggil orang itu.
"Dennis." Sania menoleh kebelakang, ia melihat Dennis sedang berdiri diteras rumahnya.
Tamu yang akan datang kerumah Sania ternyata adalah Dennis.
"Aku kira kamu engga datang." Sania berjalan mendekati Dennis.
"Kalau aku bilang aku akan datang, aku pasti datang." Dennis tersenyum manis.
"Diluar dingin, kita masuk." Sania mengajak Dennis masuk kedalam rumahnya.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Dennis duduk diruang tamu sambil menunggu Sania yang sedang mengambil minum, Beberapa saat kemudian Sania datang dengan membawa secangkir teh hangat.
"Ini diminum dulu." Sania meletakan cangkir itu diatas meja lalu ia duduk disebelah Dennis.
"Sani.... rumah kamu sepi, Dimana keluargamu?" Tanya Dennis, ia belum meminum teh yang disediakan Sania.
"Papa dan mamaku sedang pergi bersama nenekku dan orang orang yang bekerja disini sudah pulang semua."
"Jadi, tidak ada ditinggal disini selain keluargamu?" Dennis kembali bertanya.
"Tidak ada, semua orang yang kerja disini biasanya datang jam delapan pagi dan kalau pekerjaan mereka selesai mereka pulang kerumah mereka sendiri." Cerita Sania.
"Begitu ya. Sani, sebenarnya aku tidak suka teh. aku biasanya minum air putih, aku haus. apa boleh aku minta air putih?" pinta Dennis malu malu.
"Ya... boleh dong Dennis. Kamu tunggu sebentar, aku ambilkan." Sania berdiri lalu ia berjalan kearah dapur.
"Bagus.. kalau begini aku tidak perlu repot repot mencari tempat untuk bersenang senang dengan Sania, disini saja mumpung tidak ada orang." Dennis tersenyum licik.
Dennis kemudian mengambil kertas kecil yang terlipat, ia mengambil kertas itu dari saku celananya.
Dennis membuka lipatan kertas itu, didalam kertas itu ada sedikit serbuk. Dennis lalu memasukan serbuk itu kedalam cangkir teh yang berada diatas meja, Dennis memasukan kembali kertas yang tadi ia ambil kedalam saku celananya.
Usai Dennis melancarkan rencananya barulah Sania datang dari dapur.
"Ini air putih nya." Sania memberikan segelas air putih langsung pada Dennis.
"Terima kasih Sania." Dennis menerima segelas air putih yang diberikan oleh Sania, dengan cepat ia meminum air putih itu.
"Sani, tehnya kamu Saja yang minum." Pinta Dennis.
"Tadi ku sudah minum didapur." Sania menolak.
"Tapi sayang kalau tehnya dibuang." Ujar Dennis dengan wajah yang terlihat memohon.
"Ya udah.. oke aku minum." Sania menimum teh itu bahkan sampai habis.
Melihat itu Dennis tersenyum puas.
Yess berhasil. Batin Dennis, ia sangat senang.
"Dennis, kenapa rasa teh beda?" Sania memengangi kepalanya yang mendadak pusing.
"Mana aku tahu, itu kan teh buatanmu." Dennis pura pura bodoh ia mengangkat sedikit bahunya.
Dan beberapa detik setelah itu, tubuh Sania terjatuh diatas sofa.
"Sani....Sania." Dennis melambai lambaikan satu tangannya didepan wajah Sania.
"Rupanya dia sudah pergi kealam mimpi." Lagi lagi Dennis tersenyum.
Dennis menutup pintu ruang tamu lalu ia menguncinya, dihampirinya Sania yang sedang tertidur diatas sofa.
Dennis duduk tepat disamping Sania dengan lembut ia membelai belai rambutnya.
"Sania, kamu cantik. aku harus mendapatkanmu hari ini." Tangan Dennis mulai turun.
Tangan Dennis kini sudah berada diabawah leher Sania, dengan lancang Dennis membuka kancing baju Sania satu persatu.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Perasaan Arlan tidak enak, Arlan tidak tahu kenapa ia mencemaskan dan memikirkan Sania. Arlan merasa tidak tenang meninggalkan Sania sendirian.
Walaupun Sania mengatakan ada temannya yang akan datang, tapi tetap saja Arlan mengkhawatirkan keadaan Sania.
Bagaimana kalau kalau teman Sania tidak jadi datang, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk kedalam rumah Sania. itulah yang ada dipikirkan Arlan.
Sampai didepan rumah Sania, Arlan merasa ada yang aneh karena rumah Sania sepi. pintunya pun tertutup, Arlan mengira Sania sedang pergi.
Arlan tahu kalau Nenek Sania dan kedua orangtua Sania sedang tidak ada dirumah, tapi yang membuat Arlan merasa aneh. rumah Sania terlihat sunyi.
"Sania bilang ada temannya yang akan datang, tapi kenapa rumah ini sepi? Apa mungkin Sania pergi bersama temannya?" Arlan bertanya tanya sambil berdiri didepan pintu rumah Sania.
Arlan ingin pergi meninggalkan rumah Sania namun mendadak ia merasa haus. Arlan ingin membuka pintu rumah Sania, tapi ia tahu pintunya pasti dikunci.
Arlan kemudian berjalan kehalaman belakang rumah Sania, ia masuk kedalam rumah Sania melalui pintu belakang. Arlan beruntung karena pintunya tidak dikunci.
"Sania, ceroboh sekali dia. pergi tanpa mengunci pintu." Sesuai dugaan Arlan pintu belakang tidak dikunci, Arlan lalu membuka pintu belakang rumah Sania.
Kebetulan pintu itu adalah pintu yang terhubung dengan ruangan dapur, Arlan kemudian mengambil segelas air putih didapur.
Setelah meminumnya air yang ia ambil Arlan melangkahkan kaki menuju ruang tamu, Entah mengapa perasaan Arlan tidak enak. ia terus saja mencemaskan Sania.
Arlan ingin menunggu Sania pulang diruang tamu, sampai diruang tamu Arlan sangat terkejut karena ia melihat Dennis sedang berasa diatas tubuh Sania.
"Dennis! apa yang kamu lakukan?" Arlan setengah berteriak, ia sangat marah.
Walaupun sudah lama Dennis tidak berkunjung kerumah Sania, tapi Arlan masih mengenali Dennis. Dennispun masih mengenali Arlan.
Mendengar namanya disebut Dennis menoleh, Dennis buru buru turun dari atas tubuh Sania. ia tidak mengira kalau Arlan berada dirumah Sania.
Darah Arlan seakan mendidih, jiwanya terasa panas. ia benar benar sangat marah. Arlan mendekati Dennis, dengan geram ia memukuli Dennis. Arlan memukul Dennis beberapa kali.
"Anak supir! Berani beraninya kamu memukulku." Bentak Dennis saat Arlan berhenti memukulnya.
"Menurutmu apa yang harus aku lakukan? apa aku harus diam saja melihatmu berbuat jahat pada Sania?" Arlan ingin kembali memukul Dennis.
Dennis tahu, ia tidak akan menang melawan Arlan. Dennis sama sekali tidak bisa berkelahi sedangkan Arlan, Dennis tidak tahu dari mana Arlan mendapatkan ilmu bela diri.
Karena tidak ingin dipukul lagi, Dennis memutuskan untuk kabur. Dennis berlari meninggalkan Arlan dengan tergesa gesa ia membuka pintu rumah Sania.
Dennis berdecak kesal karena saat ia membuka pintu, ada mobil yang berhenti dihalaman rumah Sania. Dennis melihat Nenek Sania bersama kedua orang tua Sania keluar dari mobil itu.
Sial, aku tidak bisa kabur. Batin Dennis, ia merasa kesal.
"Dennis, benar ini kamu?" Melihat Dennis, ibu Sania langsung menyapanya.
"Iya tante Ranti, ini aku Dennis." Dennis keringat dingin karena Ia melihat Arlan juga sudah keluar dari dalam rumah Sania.
"Dennis, kenapa muka kamu?" Tanya Ayah Sania, ia kelihatan kaget.
Ibu Sania dan nenek Sania juga kaget melihat wajah Dennis luka seperti orang yang habis dipukuli.
Keluarga Sania bukan hanya mengenal Dennis, mereka juga mengenal orang tua Dennis. Dennis berasal dari keluarga terpandang dan juga keluarga baik baik sebab itu Keluarga Sania selalu bersikap ramah pada Dennis.
"Arlan memukulku." ujar Dennis dengan wajah yang dibuat memelas.
"Arlan, sebenarnya apa yang terjadi?" Nenek Sania ingin tahu.
"Arlan mau berbuat kurang ajar pada Sania." Sebelum Arlan mengatakan sesuatu Dennis sudah mendahuluinya, Dennis memutar balikan fakta.
"Saya ingin mencegahnya, tapi dia memukul saya." Dennis melanjutkan kebohongannya.
"Tidak itu tidak benar. justru Dennis yang mau berbuat kurang ajar pada Nona Sania karena itu saya memukulnya." Arlan membantah tuduhan Dennis.
"Arlan bohong. Saya datang kerumah ini hanya untuk bertemu dengan Sania. sampai dirumah ini, saya lihat pintunya terbuka. Saya lalu masuk kedalam saya kaget karena saya lihat Arlan sedang membuka kancing baju Sania." Dennis mengarang cerita.
Cerita Dennis membuat keluarga Sania terkejut. Mereka tidak percaya, Arlan yang mereka anggap sebagai orang baik ternyata bisa melakukan hal itu.
"Saya takut terjadi sesuatu pada Sania, saya lalu berlari keluar untuk mencari bantuan, saya tidak bisa melawan Arlan sendirian karena saya tidak bisa berkelahi." Untuk lebih menyakinkan semua orang Dennis bahkan meneteskan air mata. Dennis benar benar pintar akting.
"Laki laki kurang ajar, tidak tahu diri." Tuan Martin ingin memukul Arlan namun nenek sania menghalanginya.
"Martin! jangan main hakim sendiri." ucap Nenek Sania, ia kelihatan marah.
"Tapi bu, Arlan hampir saja berbuat jahat pada Sania. aku tidak tahu, apa yang terjadi pada Sania? jika Dennis tidak datang." Tuan Martin menurunkan tangannya yang semula ingin ia gunakan untuk memukul Arlan.
"Itu benar bu, Arlan salah. dia memang pantas dipukul." Ibu Sania mendukung suaminya.
"Arlan bilang, Dennis yang ingin berbuat kurang ajar pada Sania dan Dennis bilang Arlan yang ingin berbuat kurang ajar pada Sania. kalian boleh percaya pada Dennis, tapi aku percaya pada Arlan." Nenek Sania yakin Arlan tidak bersalah, nenek Sania sangat mengenal Arlan. ia merasa Arlan adalah anak yang baik.
"Maksud nenek aku bohong?" Dennis pura pura sedih.
"Bukan begitu Dennis, aku tidak melihat sendiri kejadiannya. aku juga tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. aku tidak bisa menyalahkan Arlan. kalau tidak ada bukti, bahwa Arlan bersalah." Ujar Nenek Sania membela Arlan.
"Begini saja, kita tanya pada Sania. apa yang terjadi sebenarnya?" usul Nenek Sania.
Mereka semua lalu masuk kedalam rumah untuk mencari keberadaan Sania, didalam rumah mereka menemukan Sania sedang tidur disofa ruang tamu.
"Sani... Sani bangun nak." Ibu Sania duduk disamping Sania tidur, ia mencoba membangunkan Sania.
Dengan mata yang masih terasa berat karena mengantuk Saniapun terbangun dari tidurnya.
"Mama sudah pulang?" Sania tampak bingung melihat semua orang berkumpul diruangan itu, mereka seperti sedang menunggu Sania bangun.
"Ada apa ini?" Sania berusaha untuk duduk.
"Sani... apa yang terjadi padamu?" Tanya Ibu Sania.
"Apa yang terjadi? tidak ada yang terjadi. kenapa ibu bertanya seperti itu?" Sania tidak mengerti, kenapa ibunya bertanya seperti itu.
"Dennis bilang Arlan mau berbuat kurang ajar padamu, tapi Arlan bilang itu tidak benar. " ucap ibu Sania.
"Apa?" Mata Sania berkaca kaca, sama seperti keluarganya. Sania seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Nak..katakan, siapa yang ingin berbuat jahat padamu?" wajah Ibu Sania kelihatan sedih.
"Aku... aku engga tahu, aku engga ingat apa apa. seingatku, aku lagi ngobrol sama Dennis diruang tamu. terus tiba tiba aku ngantuk, setelah itu aku engga tahu lagi apa yang terjadi, mungkin aku ketiduran disofa." Sania bercerita.
"Kalian dengar kan? Sania sedang bersama Dennis bukan bersama Arlan." Nenek Sania semakin yakin kalau Arlan tidak bersalah.
Dennis memutar otaknya. Dennis mulai berpikir, kebohongan apa lagi yang harus ia katakan pada keluarga Sania.
"Sani.. tadi kita memang lagi ngobrol. lalu kamu jatuh tertidur disofa. aku tidak tahu, kamu pingsan atau tidur? aku panik, aku keluar rumah untuk mencari bantuan tapi diluar sepi. aku masuk lagi kedalam, aku mau membawamu kerumah sakit tapi.. " Dennis berhenti bicara.
"Tapi apa?" Sania penasaran, ia ingin mendengar kelanjutan cerita Dennis.
"Tapi Aku lihat, Arlan ada diatas tubuhmu. ia sedang membuka kancing bajumu. Aku berusaha mencegah perbuatan Arlan, Arlan marah lalu dia memukuliku. kamu lihat Sani, lihat mukaku babak belur begini. Semua gara gara Arlan." Dennis memegangi wajahnya agar Sania melihat wajahnya yang lebam.
"Setelah dipukul Arlan, aku belari keluar untuk mencari bantuan. syukurlah keluargamu pulang tepat waktu." Dennis terus bicara agar Sania mempercayainya, ia juga menangis.
"Arlan, tega kamu. tega kamu melakukan itu padaku." Sania menatap kearah Arlan, ia seperti ingin menangis.
"Nona Sania, itu semua tidak benar. nona percayalah padaku. nona sudah mengenalku sejak kecil, apa selama ini pernah berbuat kasar atau berbuat tidak sopan pada nona?" Mata Arlan mulai memerah.
Pak Brata ayah Arlan memang sudah betahun tahun bekerja pada keluarga Sania, bahkan sejak Arlan masih berusia sebelas tahun. seandainya waktu itu pak Brata tidak sakit mungkin pak Brata masih bekerja pada keluarga Sania.
Hati Sania hampir luluh mendengar kata kata Arlan, tapi Dennis tidak mau kalah. ia juga berusaha untuk mempengaruhi Sania.
"Sani... aku tidak bohong padamu, kita berteman sejak kita sma. dulu hampir setiap hari kita bertemu, aku juga tidak pernah berbuat macam macam padamu. Sania aku punya banyak teman perempuan. bukan hanya didalam negeri, tapi juga diluar negeri. teman temanku sering berusaha mengajak aku ke klub malam dan aku selalu menolak." Dennis terus bicara.
"Kalau aku mau, aku bisa bersenang senang dengan perempuan lain. untuk apa aku datang kesini? lalu melakukan sesuatu yang tidak pantas padamu." Dennis masih bicara agar Sania yakin dan percaya padanya.
"Iya.. Dennis, aku percaya padamu."
Kata kata Sania membuat Arlan sakit hati, untuk sesaat ia memejamkan matanya.
"Sudah cukup bicaranya. sebaiknya sekarang kita lihat cctv." Nenek Sania tetap tidak percaya dengan Dennis.
Aku memang pintar, saat Sania tidur aku sudah merusak cctv. waktuku banyak terbuang cuma untuk melakukan hal itu. aku baru naik keatas tubuh Sania, Arlan sudah keburu datang. gara gara Arlan si anak supir, aku tidak sempat melakukan apa apa pada Sania. Dennis menggerutu dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!