Bab 1
Byurr!
Aku mengusap wajahku yang sudah basah karena guyuran air bah. Baru aja aku mimpi dijemput pangeran, tiba-tiba mimpiku bubar karena siraman air seember yang saat ini sudah membasahi kasurku.
"JENAR! BANGUN, NAK! KAMU MAU BANGUN JAM BERAPA? AYAM AJA UDAH KELILING CARI CACING, KAMU ENAK BANGET YA MASIH GULING-GULING!"
Teriakan mamakku sudah menjadi hiburanku setiap pagi. Mamak Ndari, mamak kesayanganku yang selalu saja menghancurkan mimpi indahku.
"Lihat tuh udah jam berapa! Lihat tuh matahari udah setinggi apa! Mau sampai kapan kamu males-malasan kayak gini terus?" omel Mamak Ndari hingga suara mamakku tercinta itu terdengar sampai ke ujung gang.
Aku pasti sekarang lagi jadi bahan gosip. Setiap pagi Mamak Ndari selalu membangunkanku dengan teriakan yang sama.
"Udah jam delapan sekarang! Kalau kamu kaya gini terus, gimana kamu bisa cepet dapat suami kalau kamu malas-malasan kaya gini teru?"
Lagi-lagi aku menerima sindiran menohok dari mamakku tersayang. Setiap ada kesempatan, mamakku pasti membahas tentang suami, jodoh, pasangan, dan segala hal yang bertolak belakang dengan kehidupan jombloku saat ini.
Pengen banget rasanya aku ngobrak-abrik kaleng Khong Guan setiap kali mamakku membahas tentang suami. Emangnya kenapa kalau aku belum nikah? Aku masih cukup muda. Umurku BARU 29 tahun. Kalau aku mati sekarang, orang-orang pasti akan mengatakan kalau aku mati muda, kan? Itu artinya aku masih muda, kan? Kenapa mamakku selalu saja rewel dan mengatai usiaku yang sudah tua dan telat menikah.
"Buruan bersihin belek kamu itu! Mau sampai kapan kamu bengong di sini?" sentak Mamak Ndari.
"Iya, Mak!" ucapku dengan suara lirih dan sopan pada ibuku yang sebenarnya sudah keterlaluan itu. Daripada dosa dan jadi anak durhaka, aku tidak ingin mengikuti jejak Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu.
Bisa kan bangunin aku dengan cara baik-baik? Ditepuk punggung atau ditepok bokong juga pasti aku bangun kok. Kenapa mamakku harus ngedrama banget pakai guyur air seember segala? Mamakku benar-benar mirip sama emak tiri antagonis yang ada di novel.
"Mama mau ke tempat laundry sekarang! Buruan mandi terus gosok gigi! Tiap hari kerjaan kamu rebahan main HP mulu!"
Aku hanya bisa mengelus dada. Tidak hanya harus menerima cibiran sebagai perawan tua, aku juga harus tahan banting setiap kali disangka sebagai pengangguran.
Oh iya, kenalin! Namaku Siti Jenar. Seperti yang sudah aku sebutkan tadi, aku gadis (perawan) yang sudah berusia 29 tahun.
Aku seorang penulis novel online. Wajar aja dong kalau kerjaan aku tiap hari mantengin HP terus? Meskipun mamakku selalu kesal lihat aku tiduran sambil lihat HP terus, setidaknya aku bukanlah beban negara seperti yang dituduhkan oleh para tetangga.
"Mak, kasurnya digimanain ini? Udah basah semua. Kita beli kasur baru aja gimana?" tanyaku pada mamakku saat aku melihat kasur kesayanganku yang basah. Mau rebahan di mana aku nanti kalau kasurnya basah begini?
"Beli dari Hongkong? Pakai duit siapa? Pakai duit kompeni?" omel Mamak Ndari.
Perkataan mamaku selalu saja kejam dan kasar pada diriku ini. Tapi aku tahu, sebenarnya mamakku sangat sayang padaku. Hanya saja mungkin caranya menunjukkan kasih sayang tidak seperti ibu pada umumnya.
Atau mungkin mamakku memperlakukanku seperti ini karena beliau kesal padaku. Ya siapa sih yang nggak kesel? Umur 29 tahun belum menikah. Ditambah lagi aku juga nggak punya pekerjaan keren di kantor kelurahan.
Mungkin mamaku malu. Setiap hari aku juga selalu menjadi bahan gosip tetangga kepo nan julid. Maklum saja, aku tinggal di kampung. Sebagai wanita berusia 29 tahun yang belum menikah, aku benar-benar diperlakukan seperti penjahat di desa ini hanya karena aku belum berumah tangga.
Entah dosa apa yang akan aku peroleh jika aku tidak menikah sesegera mungkin? Jiwa julid para tetanggaku selalu meronta setiap kali mereka melihatku. Apalagi di kampung ini aku terkenal sebagai perawan tua yang tidak bekerja. Benar-benar predikat sempurna yang membuatku menjadi bahan gibah ibu-ibu satu kecamatan.
Padahal kan aku kerja di rumah. Aku tetap menghasilkan uang. Cuma mereka menganggap aku tidak bekerja karena aku tidak keluar dari rumah. Maklum aja, orang desa kampungan mana ngerti cara cari duit dari rumah. Mereka tahunya orang kerja itu harus nguli di luar rumah.
Tapi ya sudahlah! Biarin aja mereka nganggap aku nganggur. Yang penting aku punya duit buat beli sayur.
"Mandi dulu? Makan dulu? Apa nulis dulu, ya?" gumamku sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Setiap kali bangun tidur dan hendak tidur, di kepalaku selalu saja tergiang-ngiang tulisanku yang belum selesai. Tapi aku bisa ditempeleng Mamak kalau aku tidak juga mandi. Aku juga tidak akan bisa fokus menulis, kalau aku belum mempersiapkan amunisi. Amunisi untuk perut.
"Selamat pagi diriku! Tetap semangat ya meskipun habis diguyur satu ember air sumur!" ucapku sembari memandangi wajahku yang ada di cermin.
Mukaku nggak jelek-jelek amat, kan? Emang sih nggak cantik banget, tapi juga nggak jelek banget kok. Nggak mungkin aku belum nikah sampai sekarang karena nggak laku, kan?
Tapi tentu aja mulut-mulut tetangga julid di kampung ini menganggap diriku belum menikah karena tidak ada yang mau. Mereka melihat aku seperti wanita yang hina cuma karena aku masih jomblo.
Bukan mauku juga menjomblo sampai sekarang. Aku juga kesepian. Apalagi tiap hari aku juga cuma menghabiskan waktu bekerja di rumah sendirian.
"Mulut orang-orang pada makan apa sih, sampai-sampai kalau ngomong bisa sepedes itu?" gerutuku sembari mengusap belek yang ada di mataku.
Aku pun bergegas membersihkan diri untuk menyegarkan badanku kembali. Selesai mandi, aku segera melangkah menuju meja makan untuk menyantap sarapan pagi.
"Ke rumah sepi banget?" gumamku sembari celingukan ke seluruh sudut ruangan.
Adikku, Arya sudah berangkat ke sekolah. Bapakku juga sudah pergi bekerja. Mamakku sendiri juga bekerja sebagai buruh laundry di jalan seberang Kampung Lestari. Semuanya sibuk sendiri. Hanya aku yang melakukan aktivitas full di dalam rumah seharian.
"Bikin telur ceplok aja deh," ujarku bergegas membuat lauk mudah yang mengenyangkan itu.
Selesai menyantap sarapan, aku pun segera mengambil kasurku untuk dijemur. Bisa-bisa aku tidur di ubin kalau kasurku nggak bisa kering hari ini.
"Eh, Tuan Putri lagi sibuk apa?" sapa seseorang tiba-tiba di saat aku tengah sibuk mengurus kasur berhargaku.
Aku menoleh ke sumber suara tersebut dan kulihat tetanggaku bernama Bu Margiyati yang tengah menatapku dengan wajahnya yang menyebalkan. Sindiran wanita itu benar-benar menohok hingga ke hati sanubari.
"Lagi jemur kasur, Bu. Bu Mar mau ke mana?" tanyaku mencoba berbasa-basi. Padahal pengen banget aku langsung kabur masuk ke dalam rumah daripada meladeni wanita kepo tukang nyindir itu.
"Ini habis belanja sayur tadi. Lagi sibuk santai, ya?" sindir Bu Margiyati.
Emangnya kenapa kalau aku santai? Seolah wanita itu tidak terima melihatku hidup leha-leha.
"Daripada di rumah terus, mending kamu ngelamar kerja tuh di warung kampung sebelah lagi butuh tukang cuci piring. Lumayan kan buat duit jajan? Siapa tahu kamu ketemu pembeli ganteng di sana. Kamu bisa dapat kerjaan sekaligus dapat suami, kan?" Bu Margiyati sengaja menyinggung diriku yang saat ini tengah hidup berbahagia sebagai single dan juga wanita karir yang bekerja dari rumah.
Setiap kali mendengar perkataan Bu Margiyati, ingin sekali aku melemparkan galon aqua ke arah wanita itu. Tapi aku sudah mulai kebal. Mau seperti apa pun para tetangga mencibir diriku, aku tidak akan peduli lagi.
"Maaf, Bu. Tangan saya gatal kalau cuci piring kelamaan!" sahutku kemudian berpamitan masuk ke dalam rumah tanpa memperpanjang obrolan tidak menyenangkan itu.
Pasti habis ini aku langsung dikatain songong sama Bu Margiyati. Pasti habis ini aku langsung jadi bahan gosip di arisan ibu-ibu PKK. Tapi bodo amat! Inilah hidupku yang sekarang. Aku puas dan aku bahagia dengan hidupku saat ini.
Awas ya, Bu Margiyati! Kalau aku nikah nanti, nggak akan aku undang! Kalau aku jadi jutawan nanti, nggak akan aku kasih utangan!
****
Bab 2
Krukkk! Waktu sudah menunjukkan tengah hari. Perutku sepertinya udah demo minta diisi lagi.
Siapa bilang kerjaanku cuma tiduran sambil main HP? Nyatanya nulis seribu kata aja, bikin satu piring nasi yang aku makan tadi langsung ludes. Kerja pakai otak itu beneran nguras tenaga.
"Duh, laper banget!" gumamku sembari berjalan menuju dapur untuk menemukan sesuatu yang bisa dimakan.
Sayangnya nggak ada apa-apa di dapur. Mau nggak mau, aku harus nyari sesuatu buat dimakan sebelum aku pingsan.
Aku melangkah menuju jendela dan mengamati situasi di luar rumah dengan penuh waspada. Kalau aku beli makanan di warung sekarang, pasti aku ketemu sama ibu-ibu. Kalau aku ketemu sama ibu-ibu, aku pasti disindir lagi. Kalau aku disindir lagi, nanti aku sakit hati. Kalau aku sakit hati, nanti imbasnya aku nggak bisa fokus cari duit.
"Pesan online aja, deh!" ujarku kemudian setelah memikirkan matang-matang baik buruknya jika aku membeli makanan di warung.
Ternyata lebih banyak buruknya. Mendingan pesan online aja. Aku tinggal duduk manis di rumah. Nggak perlu keluar panas-panasan. Nggak perlu buang-buang waktu. Nggak perlu buang-buang tenaga. Dan yang paling penting, nggak perlu ketemu sama ibu-ibu nyebelin.
"Pasti sekarang juga aku lagi digosipin di warung." Pikiranku selalu penuh dengan prasangka buruk setiap kali aku berjumpa dengan Bu Margiyati.
Aku segera meraih ponselku dan bergegas memilih makanan yang ada di daftar menu. Kalau pesan online, pilihannya lebih banyak juga.
Aku bisa beli siomay, martabak, cimol, sate maranggi, nasi padang, tanpa mengkhawatirkan uang. Sekali-sekali boleh dong nyenengin diri sendiri? Lagi pula pekerjaanku juga menghasilkan uang yang cukup besar untuk ukuran wanita single yang tidak mempunyai beban hidup sepertiku.
"Beli es buah juga deh biar seger!" ujarku segera memilih minuman dingin menyegarkan untuk mendinginkan otakku yang panas karena Bu Margiyati.
Usai memesan makanan, aku pun menunggu sembari menyelesaikan tulisanku. Jempolku sampai gemetaran saking laparnya.
Saat ini aku tengah menulis bab novel yang berisikan tentang tetangga julid yang mirip sekali dengan Bu Margiyati. Memang aku sengaja memasukkan karakter seperti Bu Margiyati dalam novelku sendiri. Meskipun ibu-ibu julid itu hanya bisa membuatku kesal, tapi sebagai gantinya aku membuat interaksi antara denganku dengan Bu Margiyati sebagai inspirasi untuk bab selanjutnya di novel yang saat ini tengah aku kerjakan.
Sebisa mungkin aku berusaha mengambil sisi positif dan juga keuntungan yang bisa aku dapatkan dari cibiran yang aku terima. Daripada stres mikirin ledekan mereka, mendingan mereka aku masukin aja ke dalam novel aku. Hitung-hitung sebagai inspirasi cerita.
Biarpun kadang juga aku agak sakit hati sebenarnya. Aku juga sadar kalau aku memang terlihat seperti pengangguran. Tapi yang penting aku tidak menganggur betulan, kan? Setiap bulan dompetku tidak pernah kosong. Paling sedikit, dua juta pasti aku kantongi.
Jumlah yang cukup besar untuk hidup di kampung kecil ini. Apalagi rata-rata penghasilan warga kampung di sini juga kebanyakan masih di bawah UMR.
Mereka udah nguli siang dan malam, tapi mereka cuma dapat bayaran di bawah standar. Kalau mau ngeledek, harusnya aku yang meledek mereka, kan? Aku bisa duduk santai di rumah tanpa berkeringat, dan aku bisa menghasilkan uang yang lebih banyak dari mereka.
Kalau mereka tahu kehidupanku yang sebenarnya, mereka bakal iri, kan?
[Saya sudah di depan, Kak.]
Aku langsung heboh mengambil jilbab begitu aku membaca pesan dari driver yang mengantarkan makananku. Makanannya sudah datang.
Segera kuraih jilbab bergoku dan aku pun bergegas berlari menuju pintu untuk menyambut makanan pesananku.
Driver yang membawa makananku itu sudah berdiri di depan pintu. Cowok ganteng dengan atribut berwarna hijau itu menyodorkan plastik makanan sembari melempar senyum padaku.
Astagfirullah! Aku langsung menjerit dalam hati begitu aku melihat paras driver kojek yang mengantarkan makanan itu.
Baru kali ini aku melihat driver kojek seganteng ini. Kulitnya putih. Badannya tinggi. Kelihatan proporsional banget!
Alisnya tebal. Bibirnya tipis. Senyumnya duh ... manis sampai bikin diabetes. Mimpi apa aku semalam? Padahal aku cuma duduk aja di rumah, tapi aku bisa berjumpa sama cogan.
Aku menatap driver ganteng itu tanpa berkedip. Mulutku juga menganga sampai iler pun hampir membanjiri sudut bibirku.
Nggak nyesel aku pesan makanan online. Kalau bisa manjain mata setiap hari lihat cogan kayak gini, aku rela deh mesen makanan online tiap jam.
"Mbak!" ujar driver itu sembari menepuk bahuku pelan.
Sepertinya driver itu sudah berteriak memanggilku sejak tadi. Masa sih aku bengong? Masak sih aku ngelamun dari tadi? Masa sih cuma gara-gara lihat driver ini aja, aku langsung jadi salah tingkah begini?
"Atas nama Mbak Jenar, ya?" tanya driver tersebut padaku.
Mau jawab aja rasanya udah gemeteran duluan. Jawab pertanyaan Mas Driver ganteng ini rasanya lebih sulit daripada jawab soal ujian UN.
"I-iya, betul!" ucapku dengan suara terbata-bata.
"Silakan dicek pesanannya dulu, Mbak!" ujar driver itu padaku dengan senyum ramah.
Ya, Gusti! Meleyot aku! Jantungku nggak kuat. Udah deg-degan banget ini. Rasanya kayak mau meledak.
"I-iya, Mas!"
Ini orang makan apa sih bisa terlahir ganteng kayak gini? Mukanya nggak kalah ganteng sama Nicholas Saputra.
"Udah semua, Mas," ucapku pada driver itu dengan senyum lebar hingga memperlihatkan gigi-gigiku.
Harusnya tadi aku pakai dempul dulu. Harusnya tadi aku pakai gincu dulu. Nyesel deh aku keluar dari rumah dengan tampilan kusam kayak gini.
"Kalau begitu saya permisi. Selamat menikmati, Mbak!" ucap driver itu kemudian berpamitan meninggalkan rumah.
Rasanya nggak rela banget waktu driver itu melangkah menjauh dariku. Hatiku masih saja berdebar meskipun aku hanya melihat punggungnya. Sepertinya aku benar-benar jatuh dalam pesonanya.
"Mas driver, apa ini yang dinamakan takdir?" ujarku mulai mendramatisir. Maklum, aku kan penulis novel romantis. Boleh dong lebay dikit?
Mas-mas kojek itu pun pergi, dengan membawa hati dan jiwaku bersamanya. Mungkinkah ini yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama? Meskipun aku sudah tua, nggak ada kata telat untuk jatuh cinta, kan?
"Mas kojek, I love you!" ucapku sembari tersenyum-senyum sendiri pada driver kojek yang sudah melaju dengan motornya itu.
Aku kembali masuk ke dalam rumah dan terus tersenyum seperti orang gila. Namanya juga lagi kasmaran. Aku nggak bisa menahan diri buat nggak senang saat aku berjumpa dengan pria idaman.
"Mas driver ... apakah kamu takdirku?"
****
Bab 3
"JENARRR!" Mamak Ndari berteriak kencang tepat di kupingku. Untung aja gendang telingaku nggak ambyar.
Lagi asik-asik ngelamunin driver ganteng, Mamak malah muncul dan bikin lamunanku buyar. Duh, Bang Agus! Kamu beneran udah mengalihkan duniaku!
"Ada apa sih, Mak? Jenar nggak budek. Ngomong pelan-pelan aja didengar pasti dengar kok," ujarku sembari mengusap-usap telingaku yang malang.
"Kamu yakin kamu nggak budek? Mamak udah manggil kamu dari tadi, tapi kamu malah asik bengong!" omel Mamak Ndari.
Masa sih Mamak udah manggil aku dari tadi? Kok aku nggak denger, ya? Apa emang bener aku lagi bengong tadi? Perasaan aku nggak bengong. Tapi yang namanya orang bengong mana sadar kalau dirinya lagi bengong?
"Jenar nggak bengong."
"Nggak usah bohong! Kamu lagi nyembunyiin apa dari Mamak? Udah tiga hari ini sikap kamu aneh tahu nggak!" ungkap Mamak Ndari.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Memangnya apa yang aneh sama aku? Aku merasa nggak ada yang aneh.
"Aneh kenapa, Mak?" tanyaku dengan polosnya.
"Kamu kebanyakan bengong kayak orang kesambet! Berhari-hari kamu juga cuma diem melulu di kamar. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Mama Ndari. "Kamu lagi ada masalah? Kamu lagi dikejar rentenir? Kamu utang pinjol, ya?" tuduh Mamak Ndari dengan kejamnya padaku.
Gini-gini, aku bukan orang yang mudah tergiur dengan rayuan pinjol. Imanku masih teguh. Lagian aku juga punya duit. Ngapain juga aku pinjol?
"Astagfirullah, Mak! Nggak mungkinlah aku terkena rayuan setan yang nawarin pinjol" ucapku dengan yakin.
Mungkin mamakku ngerasa ada yang aneh sama aku karena memang beberapa hari ini otakku terus dipenuhi dengan wajah driver Agus. Mungkin emang bener kata Mamak. Aku emang lagi kesambet. Lebih tepatnya, kesambet cogan.
Pesona Bang Agus membuatku tidak bisa berpaling. Wajah cowok ganteng itu terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Kayak orang kena pelet, mendadak aku jadi kangen banget sama Bang Agus. Bang Agus udah bikin tidur aku nggak nyenyak. Bang Agus udah bikin makan aku rasa nggak enak.
"Ngelamun lagi, kan?" tegur Mamak Ndari padaku.
Baru aja mau ngehalu Bang Agus lagi, tapi Mamak gangguin mulu. "Nggak, Mak. Siapa yang melamun?" elakku.
"Kamu nggak kayak biasanya. Makan cuma ala kadarnya. Diajak ngomong cuma jawab sekenanya. Kalau kamu lagi mikirin sesuatu, bilang aja ke Mamak," ujar Mamak Ndari begitu perhatian padaku.
Nggak biasanya Mamak kayak gini. Apa Mamak kira aku lagi kenapa-napa? Apa Mamak kira aku lagi punya masalah berat? Memang sih masalahku agak berat. Masalah rindu ini beneran bikin aku nggak fokus ngapa-ngapain.
"Jenar baik-baik aja, Mak,"ujarku singkat pada Mamak Ndari.
"Udah dulu, ya? Jenar sibuk!"
Segera kuusir ibuku dari kamarku. Aku butuh waktu untuk semedi. Aku butuh waktu untuk menyendiri.
"Jenar, jangan keseringan ngelamun! Nanti kamu kesurupan!" omel Mamak Ndari padaku sebelum beliau keluar dari kamarku.
Kalau setannya Bang Agus, aku rela kok! Daripada dengerin omelan Mamak, mendingan aku haluin Bang Agus.
****
Malam hari, aku pun membuka kunci pintu kamarku dan hendak melangkah menuju dapur. Tapi langkahku terhenti saat aku mendengar sayup-sayup suara mamakku bersama dengan bapakku.
Jiwa kepoku pun mulai meronta-ronta begitu aku samar-samar mendengar Mamak dari menyebut namaku. Kayaknya Mamak Ndari sama Pak Joko lagi gosipin aku.
"Gimana, Pak? Bapak coba cari dukun handel dulu deh!" ujar Mamak Ndari pada Pak Joko.
Apa-apaan nih? Ngapain Mamak pusing cari dukun? Emangnya Mamak mau nyantet siapa?
"Sabar dulu, Bu. Mungkin Jenar lagi bete aja, makanya dia bengong terus," sahut Pak Joko.
"Kalau ternyata dia ketempelan jin gimana, Pak? Kalau ternyata Jenar jadi aneh gara-gara kesambet jin gimana?" ujar Mamak Ndari.
Ternyata benar mereka sedang menggosipkanku. Dan parahnya lagi, mamak dan bapakku menyangka kalau aku kesambet jin. Sungguh terlalu!
"Kamu udah coba tanya sama anaknya? Emangnya Jenar bertingkah aneh gimana? Dia nggak kejang-kejang kayak kesurupan, kan?" tanya Pak Joko.
"Tapi dia bengong terus, Pak! Tatapannya kosong! Udah berhari-hari ini dia diem terus di kamar!" Kayaknya mamakku beneran cemas sama aku. Tapi ini sih cemasnya udah berlebihan. Sampai ngira aku ketempelan jin segala. Aku kan nggak ketempelan jin. Aku cuma ketempelan cintanya Mas Agus.
Aku harus segera meluruskan kesalahpahaman ini! Bisa-bisanya Mamak aku tega mau membawaku ke orang pintar?
"Mamak sama bapak apa-apaan, sih?" omelku langsung muncul seperti jelangkung di depan Mama Ndari dan juga Pak Joko.
Keduanya langsung bangkit dari bangku dan menyambutku dengan panik. "Jenar, kamu ngapain di situ? Kamu ngupingnya?" sungut Mamak Ndari.
"Jenar cuma mau bilang kalau Jenar itu nggak kesambet jin! Jenar masih waras! Jenar masih dikuasai sama diri Jenar sendiri! Jenar masih sadar!" ucapku pada ibu dan bapakku dengan semangat 45.
Enak aja ngira aku kesambet jin tomang. Aku kan cuma kesambet driver Agus. Nggak ada hubungannya sama jin.
"Pokoknya aku nggak mau di bawa ke pak ustad, orang pintar, apalagi dukun beranak!" ujarku pada kedua orang tuaku.
"Tapi ini semua juga demi kebaikan kamu, Jenar!"
Kebaikan apanya? Ini sih namanya menjerumuskan! Orang aku baik-baik aja, ngapain harus sampai bawa ke dukun segala!
Sebelum membuat kedua orang tuaku semakin salah paham, mendingan aku nggak perlu banyak tingkah di depan mereka. Lebih baik, sekarang aku nyari cara buat deketin Bang Agus. Kira-kira gimana ya caranya supaya aku bisa ketemu sama dia lagi?
Hari berikutnya, aku sibuk ngotak-atik ponsel untuk mencari cara supaya aku bisa kembali berjumpa dengan sang pria idaman yang aku damba. Meskipun aku adalah penulis novel, tapi otakku nggak terlalu pintar.
Aku nggak bisa memikirkan cara lain selain ... pesan makanan online lagi dan berharap Bang Agus yang akan mengantarkannya. Benar juga! Ini ide yang layak dicoba! Kalau kita emang beneran jodoh, pasti Bang Agus bakal balik lagi ke sini.
Aku segera memesan makanan online dengan harap-harap cemas. Makanan pertama, aku iseng-iseng memesan pizza. Semoga aja Bang Agus yang ngambil orderannya.
"Ayo, pizza! Aku udah keluarin uang banyak buat kamu! Kamu harus bantuin aku!" gumamku sebelum memencet tombol "pesan".
Sayangnya, driver yang mengantarkannya bukan Bang Agus! Padahal aku udah siap-siap pakai dempul dan gincu. Aku udah dandan maksimal supaya nanti aku bisa tampil cantik waktu Bang Agus ngetok pintu. Tapi sayangnya orderan pertama sepertinya bukan rezekiku.
"Nggak apa-apa, deh. Coba pesan makanan lain aja!" ujarku pantang menyerah.
Makanan kedua, aku memesan takoyaki. Semoga ngajak takoyakinya bawa hoki. Tapi sayangnya, lagi-lagi uangku melayang tanpa hasil. Driver yang ngambil pesanan takoyaki juga bukan Bang Agus lagi!
"Mbak beli apa?" tanya Arya mendekat padaku yang masih sibuk memainkan ponsel.
"Tuh makan aja, nggak usah banyak tanya! Mbak lagi sibuk!" ujarku pada Arya.
Untuk ketiga kalinya, aku masih berusaha untuk mencari kesempatan. Semoga aja ayam geprek ini bisa membantuku.
Namun, aku kembali dikecewakan oleh harapan. Driver yang mengambil pesanan ayam geprek ini bukan Bang Agus lagi.
"Ya Gusti, aku salah apa, sih? Aku cuma pengen ketemu sama Bang Agus, tapi kenapa susah banget?" geramku sembari mencak-mencak sendiri di depan makanan yang sudah aku beli.
Kulihat Arya yang nampak lahap menikmati semua makanan yang sudah terlanjur datang. Rugi bandar sudah aku. Ditambah lagi, aku tak bisa menjumpai lelaki impianku.
Nasib, nasib! Apes kali diri kamu, Jenar!
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!