“Woy,” pekik Amara mengagetkan Juan dan Melly yang terkejut karena teriakan Amara yang malah terbahak menyadari ulahnya.
“Rese banget, dari tadi ditungguin pas udah dateng malah ngagetin,” ujar Melly tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok yang sejak tadi mencuri perhatian.
“Lagian pada serius amat sih. Eh, lo lihat siapa?” tanya Amara ikut menatap ke arah padangan Melly.
“Pak Randy,” jawab Juan yang masih asyik dengan game onlinenya.
“Ada yang aneh dengan beliau?” tanya Amara lagi karena heran, bukan hanya Melly yang sering membicarakan dosen tersebut tapi sebagian mahasiswi lainnya pun sering mengucapkan nama Randy atau mengidolakannya.
“Gue tuh heran sama lo,” ujar Melly menoleh sekilas pada Amara lalu kembali menatap dosen yang diidolakannya berjalan semakin menjauh. “Cowok ganteng dan sesempurna Pak Randy masih nggak bisa membuat mata lo terbuka. Hallo, situ waras.”
“Hallo, gue cuma sadar diri. Biasanya yang ganteng dan sempurna juga pilih wanita yang sempurna lagi. Apa perlu kita ngaca bareng penampilan kita sudah sempurna atau belum?”
“Sempurnalah, apa yang kurang dari diri gue,” ujar Melly.
“Kurang pintar,” sahut Amara dan Juan serempak lalu tertawa bersama.
“Siall.”
Ketiga sahabat itu berjalan menuju kelas mereka sambil sesekali terkekeh.
“Oh my God,” gumam Melly saat sudah berada di kelas dan seseorang memasuki ruangan lalu duduk di kursi meja dosen. “Mimpi apa gue semalem sampai dia harus ikuti gue kesini,” ujar Melly lirih.
“Jangan geer, bisa jadi dia salah kelas,” ejek Juan.
Bukan hanya Melly yang terkejut dengan kedatangan Pak Randy tapi para mahasiswi lainnya langsung riuh.
“Maaf Pak, kayaknya salah kelas deh,” cetus Amara yang langsung mendapat sorakan dari para penggemar rahasia dan penggemar terang-terangan Randy sang dosen idola.
Randy pun menoleh dan menatap Amara, sedangkan gadis itu hanya mengedikkan bahu.
“Saya tidak salah kelas,” ujarnya. “Selamat pagi,” sapa Randy lalu berdiri dan berjalan ke tengah kelas.
“Pagi, Pak.”
“Selama satu semester ke depan saya akan menggantikan Ibu Dila untuk menyampaikan kuliah Statistika bisnis,” jelas Randy.
“Mampus, mana bisa gue kelihatan sempurna di mata kuliah hitungan,” lirih Melly.
“Ralat, semua mata kuliah lo lemah sayang,” ejek Amara.
“Sialan lo,” ucap Melly pelan.
Amara malah terbahak melihat raut wajah kecewa Melly membuat Randy menoleh ke arahnya.
“Anda kalau masih mau bercanda silahkan tunggu di luar, karena tidak ada yang lucu dari apa yang saya sampaikan.”
“Sempurna apaan, galak kayak begitu,” gumam Amara. “Maaf Pak, saya ingat hal lucu jadi tertawa deh,” jelas Amara.
“Lucu atau mesum,” cetus salah satu mahasiswa dari arah belakang.
“Otak lo yang mesum,” jawab Amara lagi.
Kelas pun semakin riuh karena ulah Amara.
“Cukup!" Pak Randy berteriak dan kelas kemudian hening, pria itu menatap Amara yang tidak merasa bersalah. “Saya masih toleran dengan sikap kamu tapi lain kali, ada hal seperti ini silahkan temui BAAK untuk merubah KRS kalian dan membatalkan mata kuliah ini,” ancam Randy pada semua mahasiswa terutama Amara.
“Dasar beg*, ngapain juga malah mendebat dosen,” bisik Melly.
“Diem, jangan bicara di telinga gue,” lirih Amara berusaha menjauh dari Melly.
Hampir dua jam berlalu, akhirnya kelas tersebut berakhir.
Bukan hanya Amara yang menghela lega, sepertinya sebagian mahasiswa pun sama.
“Kadar sempurna Pak Randy minus lima persen karena tugasnya banyak banget,” keluh Melly sambil merapikan bukunya.
“Di mata gue dia udah minus seratus persen, jadi tampangnya enggak sesempurna yang kalian kira.”
“Lo kenapa sih, kayaknya enggak suka banget dengan pria-pria tampan seperti Pak Randy dan gue?” tanya Juan.
Amara malah berekspresi ingin muntah mendengar Juan memuja dirinya tampan.
“Karena rata-rata pria tampan, kekasihnya ganteng,” sahut Amara dan Melly berbarengan lalu mereka terbahak.
“Parah, jadi menurut lo Pak Randy belok?”
“Mana gue tahu, lo pikir gue pernah nyicipin.”
Tanpa mereka ketahui kalau Randy ada di depan pintu kelas yang sebagian terbuka, dia mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Amara dan kedua rekannya karena meja kursi yang mereka tempati tidak jauh dari pintu.
“Kantin yuk, laper nih,” ajak Amara.
“Oh my God, lo dalam masalah,” ucap Melly dan membuat mereka bertiga terpaku menyadari Randy berdiri di depan pintu.
“Bapak bukannya udah pergi? Kok masih ….”
“Ada yang tertinggal,” ujar Randy menyela pertanyaan Amara dan menunjuk meja dosen. Benar saja, ada sebuah buku di atas meja tersebut.
Melly langsung berpindah ke belakang tubuh Juan memberi jalan untuk Randy. Ketiganya memang sudah berada tidak jauh dari pintu saat mendapati Randy berdiri dan sepertinya mendengar apa yang mereka bicarakan. Masih belum beranjak dari posisinya bahkan saat Randy kembali melewati ketiga mahasiswa tersebut.
Sudah hampir bernafas lega dan menduga pria itu tidak mendengar jika tadi dibicarakan, tiba-tiba Randy berhenti melangkah dan berbalik.
“Saya masih normal dengan mengagumi makhluk berjenis kelamin wanita.” Pria itu bicara sambil menatap Amara sekilas. “Dan saya tidak suka mahasiswa yang terlalu banyak omong tapi kosong di sini,” ujar Randy sambil menunjuk kepalanya.
Setelah kepergian Randy, Amara menggerakan bibirnya seakan mengikuti gaya bicara Randy.
“Bodo amat,” pekik Amara.
“Parah lo, nggak kapok-kapok. Berarti dia tadi dengar kita gibahin, ahhh gimana dong,” rengek Melly.
“Nggak gimana-gimana, pasrah aja sih kalau lo udah tak bernilai di mata beliau,” ejek Juan.
“Udah ah, makin laper gue. Mikirin dosen tadi, kenyang kagak senewen iya.” Amara berjalan mendahului kedua sahabatnya.
“Amara, tungguin.”
“Makan nohhh, idola lo.”
...***...
Amara melepas helm dan jaketnya yang kemudian disampirkan di atas motornya. Menatap parkiran butik milik Mirna, Bunda Amara. Ada sebuah mobil mewah terparkir di sana dan membuat gadis itu mengernyitkan dahinya.
Salim Boutique, bukan butik mewah dengan perancang busana terkenal yang membuat pejabat atau para sultan akan menjejakkan kaki untuk berbelanja.
“Siapa ya? Hebat bener pelanggan Bunda, ini ‘kan mobil mewah.”
“Selamat siang, Mbak Amara,” sapa salah satu karyawan butik.
“Siang, Mbak. Bunda ada ‘kan?”
“Kayaknya ada deh, saya belum lihat beliau turun dan pergi.”
Amara pun melanjutkan langkahnya menuju lantai dua, di mana ruang kerja sang Bunda berada. Kebiasaan buruk Amara adalah memberi kejutan dan saat ini dia melakukan hal itu lagi. Membuka pintu tanpa mengetuk.
“Bunda, aku datang,” ujar Amara agak berteriak. Senyum di wajahnya pudar karena dia yang dikejutkan dengan pemandangan di mana Bundanya sedang memeluk seorang pria.
“Amara, ketuk pintu dulu. Kebiasaan banget sih,” keluh Mirna yang sudah mengurai pelukannya dengan pria tersebut.
Amara menatap pria paruh baya itu, dari penampilan dan gayanya jelas bukan orang sembarangan.
Sepertinya mobil yang di bawah milik Bapak ini.
“Dia putriku, maaf ya,” ujar Mirna pada pria tersebut yang hanya direspon menoleh sekilas pada Amara.
“Aku pamit,” ujar pria itu.
“Thanks ya Mas, hati-hati di jalan.”
Pria itu tidak menjawab bahkan tidak memberikan senyum pada Mirna dan melewati Amara yang bergeser memberi jalan.
“Dia siapa Bun?” tanya Amara tanpa bermaksud menuduh Mirna dan berpikir negatif, setelah pintu ruangan tertutup dan memastikan kalau orang itu sudah pergi. Amara tidak ingin kejadian di kampus tadi terulang lagi.
“Teman Bunda.” Mirna sudah duduk di kursi kebesarannya, memakai kacamata dan memandang layar laptop.
“Bun,” panggil Amara yang berdiri di depan meja kerja Mirna.
“Hm.”
“Aku tidak melarang Bunda dekat dengan pria manapun, termasuk menikah lagi,” tutur Amara sambil tangannya memainkan papan nama yang berada di atas meja. “Asal jangan menjadi orang ketiga di rumah tangga orang lain.”
Mirna menghela nafasnya.
“Bunda boleh egois nggak?”
“Enggak,” jawab Amara. “Pria tadi, aku yakin dia ada hubungan spesial dengan Bunda tapi aku tidak yakin jika dia pria single.”
Mirna bergeming dan membuat Amara yakin dengan apa yang dia duga.
“Bunda pasti paham maksud aku, jangan sampai nanti aku bertemu dengan putri dari pria itu dan rambutku dijambaknya. Aku pulang ya Bun,” pamit Amara.
“Loh, baru datang masa mau pergi lagi? Katanya mau ….”
“Sudah tidak mood,” sahut Amara lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan Mirna.
Amara memang hanya tinggal berdua dengan Bundanya. Ayah yang diharapkan bisa memberikan kenyamanan dan bertanggung jawab terhadap hidupnya malah meninggalkan dan menikah lagi dan beberapa tahun lalu meninggal dunia.
Amara menyempatkan diri mampir ke mini market dan memarkirkan motor di belakang sebuah mobil yang juga terparkir di sana.
Cukup lama gadis itu memilih snack, soda dan coklat. Keluar membawa sekantong cemilan dan menuju motornya.
"Kamu lagi," ujar seseorang saat Amara mengambil helm dan akan memakainya.
"Pak Randy."
"Kamu paham cara parkir nggak? Saya tunggu lama karena mobil saya tidak bisa keluar terhalang motor kamu."
"Yaelah Pak, cuma sebentar. Seneng amat marah-marah sih," gumam Amara lalu menghidupkan motornya. "Maaf deh," ujar gadis itu lalu pergi.
Randy menggelengkan kepalanya. "Gadis bar-bar."
“Amara, sarapan dulu,” titah Mirna pada putrinya.
Amara hanya meraih gelas yang berisi air lalu menghabiskan setengah isinya. Masih dalam mode tidak suka dengan ulah sang Bunda yang dekat dengan pria beristri.
“Udah telat Bun, aku langsung berangkat.”
“Amara ….” Mirna hanya menggelengkan kepalanya melihat sang putri yang keras kepala. “Maafkan Bunda sayang, tapi Bunda dan Mas Pram Saling mencintai dan beliau sudah banyak membantu kita," gumam Mirna setelah kepergian putrinya.
Amara mengendarai motor, walaupun dalam keadaan kesal dia tidak ngebut atau ugal-ugalan tapi saat memasuki area kampus dia tidak sabar dengan mobil yang ada di depannya berjalan begitu pelan. Gadis itu memberikan klakson tapi masih belum diberi jalan, saat ada peluang dia menyalip dan mengklakson panjang saat melewati mobil.
“Astagfirullah,” ujar Randy yang berada di dalam mobil. “Gadis itu lagi, kenapa sih sikapnya kasar begitu. Seharusnya seorang perempuan lebih lembut dan penuh kasih.”
Bugh.
Amara melemparkan tasnya ke atas meja lalu duduk dan menelungkupkan wajah pada kedua tangan yang dilipat di atas meja lainnya.
“Eh, kesambet apaan ini bocah,” ejek Melly.
“Nggak dikasih uang jajan ya, tenang aja kalau teh gelas doang mah nanti gue beliin.” Juan menimpali ejekan Melly.
“Iya Ra, gue beliin ok* jelly dan prom*g buat tahan lapar seharian ya,” timpal Melly lagi.
“Dasar teman lakn4t kalian,” gumam Amara.
“Nah, elo datang-datang langsung pundung. Ngomong dong Ra, siapa tau bisa kita biarin aja,” ungkap Juan lagi-lagi ujungnya tidak mengenakan.
Amara mengangkat wajahnya.
“Ayah lo pernah selingkuh?” tanya Amara.
Juan dan Melly saling pandang lalu menggelengkan kepalanya.
“Kalau ternyata Ayah lo selingkuh dan selingkuhannya punya anak sepantaran kita. Lo bakal lakukan apa?” tanya Amara lagi.
“Hm. Biarin aja sih, tapi sebelumnya mungkin akan gue tampar bolak balik terus gue cakar dan gue jambak kalau perlu gue injek dan ….”
“Cukup,” sela Amara yang ngeri mendengar penuturan Melly, tidak bisa membayangkan kalau dia akan merasakan apa yang Melly sebutkan.
“Kalau lo?” tanya Amara pada Juan.
“Gue berharap dia cewek.”
“Kenapa?” tanya Amara semakin penasaran.
“Gue balas ulah ibunya dengan gue tidurin anaknya, kalau perlu jadi simpenan gue,” tutur Juan dengan ide konyolnya.
“Dasar aja otak lo emang nggak beres.” Amara menghela nafasnya, bergidik ngeri jika dia mengalami apa yang Melly dan Juan katakan.
Hari ini hanya ada dua mata kuliah dan terasa sangat lama karena Amara tidak begitu antusias. Bahkan sempat pamit ke toilet untuk cuci muka.
“Alhamdulillah,” ucap Amara ketika kuliah berakhir.
“Tumben amat.” Melly membereskan tas sambil menatap heran pada sahabatnya.
“Lagi enggak semangat, gue cabut ya,” usul gadis itu.
“Gimana kalau kita nge-mall, nonton kek atau shopping gitu,” usul Juan. “Tenang aja, untuk kali ini gue yang traktir.” Juan merangkul bahu Amara.
“Sorry, gue mau ke makam.”
Melly dan Juan tidak berkomentar. Berteman sejak SMA dengan Amara dan sudah paham kalau gadis itu sedang gundah dan akan mengunjungi makam ayahnya. Meskipun saat Ayahnya masih hidup, dia sempat kecewa pernah ditinggalkan tapi bagaimanapun pria itu adalah Ayahnya.
“Mau kita antar? Jauh ‘kan? Masa lo mau pakai motor,” usul Melly.
“Nggak apa-apa, kalian have fun ya. Bye.” Amara pun meninggalkan kelas dan bergegas menuju motornya.
...***...
Perjalanan dari tempat tinggal Amara menuju daerah di mana makan Ayahnya berada memang agak jauh, kira-kira satu jam setengah perjalanan dengan motor. Berada agak ke pelosok kampung dan saat ini langit sudah gelap.
Amara bergegas mengendarai motornya, khawatir terjebak hujan. Apalagi dia harus melewati jalan membelah kebun yang jauh dari pemukiman.
Terdengar bunyi petir dan langit yang semakin gelap, Amara pun semakin mempercepat laju motornya.
Sedangkan di tempat berbeda, Randy sedang mengemudi akan menuju ke sebuah kampung untuk survei kegiatan. Beberapa panitia dari mahasiswa sudah berada di lokasi. Ponsel pria itu berdering tertera nama calon istrinya di layar.
Randy pun menjawab telepon sambil me-loudspeaker.
“Assalamu’alaikum, dek.”
“Walaikumsalam, Mas Randy apa aku mengganggu?” tanya Hana di ujung telepon.
“Tidak, tapi aku memang sedang mengemudi,” sahut Randy.
“Hm. Ya sudah aku tidak akan berlama, kartu undangan sudah selesai dicetak. Untuk yang Mas Randy, aku paketkan saja atau bagaimana?”
“Hm, nanti aku sambil sekalian silaturahmi dengan Pak Kyai,” usul Randy.
Panggilan tidak lama berakhir, tersemat senyum di wajah Randy karena tidak lama lagi dia akan meminang gadis cantik dan salihah putra kyai yang juga pemilik pesantren.
Walaupun Randy sebenarnya lahir dan besar di keluarga pebisnis tapi dia sendiri pernah mengecap pendidikan pesantren jadi bisa dikatakan ilmu agamanya lebih baik dibandingkan anggota keluarga lainnya.
“Hujan,” ujar Randy yang kemudian bersyukur karena walau bagaimana pun turun hujan adalah sebuah berkah.
Jalan yang dilalui Randy semakin rusak, bahkan kiri dan kanan jalan adalah kebun. Mengendara dengan sangat hati-hati dan perhatiannya teralihkan pada sosok yang tidak jauh di depannya.
Ada pengendara dari arah berlawanan yang sedang kesulitan karena motornya terjebak di jalan yang rusak. Semakin dekat, Randy semakin menyadari kalau pengendara itu adalah perempuan.
Pria itu menepikan mobilnya lalu berhenti, mencari payung dan keluar dari mobil.
“Motornya kenapa Mbak?” tanya Randy.
Perempuan itu menoleh dan terlihat pakaiannya sudah basah begitu pula dengan wajah dan rambutnya.
“Pak Randy!”
“Kamu ….”
Randy menghela nafasnya ternyata dia bertemu lagi dengan mahasiswinya yang bar-bar.
“Kenapa dengan motormu?” tanya Randy.
Amara menggelengkan kepalanya.
“Hubungi bengkel atau keluargamu,” titah Randy.
Amara mengeluarkan ponsel dari saku jacketnya.
“Tadi jatuh waktu motor selip, malah pecah,” ungkap Amara memperlihatkan layar ponsel yang memang pecah parah.
Randy menatap keliling memang tidak ada pemukiman dan jarang sekali ada yang lewat karena hujan.
“Ikut saya ke mobil, kamu saya antar sampai ke pemukiman warga.”
“Nggak usah Pak, pakaian saya basah nanti mobil Pak Randy kotor,” tolak Amara yang tidak ingin berurusan dengan dosennya.
“Kamu tidak takut? Di sini jarang ada yang lewat,” ujar Randy.
Tidak ada pilihan lain, Amara pun pasrah dan ikut masuk ke dalam mobil. Melihat gadis itu kedinginan, Randy tidak menyalakan AC bahkan sempat membuka tas yang dia siapkan untuk acara kegiatan dan mengeluarkan handuk juga pakaian ganti.
“Keringkan dan ganti di belakang,” titah Randy yang tadi sempat melihat pakaian dalam Amara terlihat jelas karena kaos yang dikenakannya basah.
Randy menyadari kalau mereka tidak seharunya berada dalam mobil hanya berdua saja apalagi bukan muhrim. Namun, karena situasi darurat pria itu berharap tidak akan ada masalah yang terjadi.
Amara berpindah ke jok belakang melewati tengah jok depan.
“Bapak jangan ngintip ya,” pekik gadis itu.
“Astagfirullah, mana mungkin aku melakukan hal itu,” sahut Randy. “Aku menutup mata.” Pria itu benar menutup matanya dan membenamkan pada stir.
Amara membuka pakaiannya lalu mengeringkan dengan handuk. Mengganti dengan kaos dan celana training dengan ukuran besar, yang jelas dia melepaskan pakaian dalamnya karena tidak mungkin mengganti dengan pakaian kering sedangkan ********** basah.
Saat hendak mengenakan kaosnya, terdengar ketukan di jendela mobil tepat di samping Randy.
“Eh, jangan dibuka pak. Saya belum selesai.”
Randy menatap ke jendela sudah ada beberapa orang yang berdiri di luar mobil dan menunggunya membuka pintu.
“Cepat,” titah Randy lagi.
Ketukan terdengar semakin kencang bahkan ada yang berteriak, “Buka pintunya atau kita pecahkan jendela. Mesum aja lo.”
"Sepertinya mereka salah paham."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!