Gadis berusia 23 tahun tersebut tengah menatap gundukan tanah dan nisan bertuliskan nama lengkap ibu kandungnya, air mata yang terus menerus mengalir tak henti-hentinya.
“Dea, ayo kita pulang. Menatap makam Ibumu tidak akan membuatnya hidup kembali!” seru ayahnya yang merupakan ayah tirinya.
Dea mengusap air matanya lalu mengangguk pelan.
Dea sangat kehilangan cahaya kehidupannya, setelah kepergian ibunya.
Cobaan yang bertubi-tubi menghampiri mereka sekeluarga, dua tahun yang lalu wabah penyakit sedang menyerang seluruh dunia membuat pendapatan dari penjualan toko pakaian mereka menurun drastis.
Sehingga tidak ada pemasukan yang masuk tiap bulannya, di tambah lagi sang ayah tidak bekerja karena di PHK. Karena saat itu di perusahaan tempat ayahnya bekerja ada pengurangan karyawan, membuat sang ibu jatuh sakit karena terlalu banyak beban pikiran. Belum lagi cicilan di bank setiap bulannya yang harus di bayar.
Untuk makan mereka hanya mengandalkan upah yang Dea terima, itupun dirinya hanya di bayar sebagian karena dampak pandemi tersebut.
Saat pulang bekerja, Dea melihat ibunya sudah terbujur kaku di ruang tamu, hingga membuat dirinya langsung menangis histeris.
Di dalam mobil, Dea berulang kali mengusap air matanya saat pulang dari makam, bahkan matanya sudah terlihat sembab karena sejak semalam menangis.
Ayahnya tampak menghela napas berat, tak dapat di pungkiri jika dirinya juga kehilangan istrinya saat ini.
10 tahun usia pernikahan mereka, namun mereka belum di karunia seorang anak. Sedangkan Dea adalah anak bawaan dari istrinya dari pernikahan pertamanya dulu.
Setibanya di rumah, para pelayat sudah pulang. Di rumah saat ini hanya ada dirinya dan ayahnya.
“Dea, kemasi barang-barangmu. Besok pagi kita akan pindah dari rumah ini, karena kita bukan pemilik dari rumah ini lagi!” Tanpa melihat anak sambungnya tersebut.
Dea hanya mengangguk, tanpa menyahut. Sebelum kematian ibunya secara mendadak, mereka memang sepakat akan menjual rumah tersebut dan membeli rumah yang lebih kecil.
Karena mereka harus membayar tunggakan di bank, karena sebelumnya kedua orang tuanya meminjam uang untuk modal usaha mereka.
Sebelumnya toko tersebut sangat ramai pengunjung, namun setelah wajah penyakit menyerang hingga toko tersebut jarang ada pembeli lagi.
Dea masuk ke kamarnya, lalu duduk di tepi kasur.
Dea mengusap air matanya yang sudah mengering, lalu mulai mengemasi pakaiannya.
***
Keesokan harinya, Dea dan ayahnya sudah berada di rumah kontrakan mereka.
“Ayah, ini rumah kita?” tanya Dea pelan.
“Iya, jangan banyak bertanya! Cepat masuk!” sentak ayahnya, membuat Dea terkejut dengan ayahnya yang tiba-tiba membentaknya.
“Apa kamu dengar apa yang aku katakan?!” tanyanya lagi menatap Dea dengan tajam.
Dea terlihat ketakutan dan mengangguk cepat.
Dea langsung membawa koper miliknya masuk ke dalam rumah.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, lima bulan sudah mereka menetap di rumah tersebut.
Seperti biasanya sejak dulu saat mendingan ibunya masih ada, Dea selalu membantu ibunya menyiapkan sarapan pagi untuk mereka sebelum berangkat bekerja. Namun berbeda dengan kali ini, ia harus menyiapkan sendiri.
Pagi ini ada yang berbeda dengan ayahnya, pria yang berusia sekitar 50 tahun tersebut tampak lesu.
“Ayah sakit?” tanyanya pelan.
Pria yang di panggil ayah olehnya itu tak menjawab, namun malah menatapnya balik.
“Kenapa kau tidak mati juga menyusul Ibumu? Kau menyusahkanku saja!” seru ayahnya lalu beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Dea yang masih mematung.
***
Keesokan paginya Dea tampak lesu melangkah menuju tempat kerjanya, seperti biasa ia menyelesaikan pekerjaannya dengan baik hingga jam kerjanya berakhir.
Karena pengunjung cafe cukup ramai, Dea di minta lembur hari ini hingga dirinya pulang sedikit larut malam.
Dea melihat lampu ruang tengah sudah mati, Dea berpikir jika ayahnya saat ini sudah tertidur. Karena biasanya sang ayah sudah pulang dan tidur lebih awal.
Saat hendak mengambil kunci serep di tasnya, tak sengaja Dea mendorong pintu rumah yang ternyata tidak terkunci.
“Tidak di kunci?” gumamnya dalam hati.
Dea perlahan melangkah masuk, agar tidak mengganggu tidur ayahnya pikirnya. Karena Dea berpikir ayahnya sudah tidur.
Namun, Dea mendengar samar-samar suara ayahnya tengah berbincang dengan seseorang di dalam kamar.
Rasa penasaran yang cukup tinggi, Dea menajamkan telinga mendekati kamar ayahnya kebetulan saat itu pintu kamar terbuka lebar.
“Bagaimana Pak, berapa harganya jika aku menjualnya padamu? Aku sangat butuh uang sekarang,” ujarnya.
Dea masih belum mengerti apa yang di maksud oleh ayahnya dan ayahnya menjual apa.
Terlihat ayahnya berdecap kesal, karena Dea juga tidak mendengar suara di balik telepon tersebut.
“Ck ... hanya segitu?! Dia itu masih perawan, belum pernah di sentuh pria manapun. Bahkan, dia belum pernah berpacaran,” lanjut ayahnya mencoba menawarkan harga tinggi.
Dea tampak gusar mendengar ucapan ayahnya tersebut.
“Dia bukan anak kandungku!” sentaknya terlihat marah.
Dea membulatkan matanya, ia baru menyadari jika dirinya yang di bicarakan oleh ayahnya tersebut. Tubuh Dea tampak bergetar, bersamaan dengan air mata yang mengalir begitu saja.
Dengan langkah yang gemetar, Dea masuk ke kamarnya tanpa suara.
Di kamar Dea terduduk lemas, tak menyangka pria yang sudah dianggap seperti ayah kandungnya sendiri, tega ingin menjual dirinya.
“Tidak! Aku harus segera pergi dari rumah ini,” gumamnya sembari mengusap air matanya dengan kasar.
Dea melirik jam di pergelangan tangannya, jam tersebut baru menunjukkan pukul 11 malam.
Dea berniat akan kabur dari rumah tersebut, ketika ayahnya sudah tidur.
Dea segera mengemasi pakaiannya sebagian dan memasukkan ke dalam tas ranselnya.
Namun, di tengah sibuk mengemasi pakaiannya, terdengar ketukan pintu kamarnya.
Tok ... Tok ...
“Dea, kamu sudah pulang?” teriak ayahnya dari luar kamarnya.
Dea terdiam sejenak, ia melihat ada gelas kaca di kamarnya untuk berjaga-jaga. Sebelum itu Dea mengusap air matanya terlebih dahulu, agar tak terlihat seperti orang yang sedang menangis.
Lalu mengambil gelas tersebut, tangannya satunya di lipat kebelakang. Sementara tangan satunya, untuk membuka pintu kamar.
“Dea, kapan kamu kembali?” tanya ayahnya menatap sang putri.
Tak seperti biasanya, pria setengah baya itu tampak berkata lembut.
“A-aku ... aku baru saja kembali, Ayah. Apa Ayah butuh sesuatu?” tanyanya berusaha terlihat baik-baik saja.
“Hah, tidak. Ayah hanya memastikan kamu baik-baik saja. Oh ya, besok ada teman Ayah yang ingin bertemu denganmu.”
Dea tidak terkejut dengan ucapan yang di lontarkan oleh ayahnya tersebut, karena sudah mengetahui rencana busuk ayah tirinya itu.
Dea tak banyak bertanya, ia hanya mengangguk patuh.
Ia kembali menutup pintu dan menguncinya setelah melihat ayahnya pergi.
Dea menghela napas berat setelah melihat kepergian ayahnya, Dea bersandar di pintu.
“Huft ... Ibu, Maafkan Dea, Bu.” Dea bergumam, teringat dengan mendiang ibunya.
Tanpa menunggu lagi, Dea kembali mengemasi pakaiannya dan menunggu waktu yang tepat untuk kabur dari rumah tersebut.
***
Hai semua, maafkan author yang belum bisa up banyak ya. Karena kesibukan author di rl, sehat selalu untuk kalian.
“Mau kemana kau?!” suara terdengar mencekam, napas Dea menjadi tak beraturan dengan kaki yang mulai gemetar.
“Dea! Mau kemana kau malam-malam begini?!” pernyataan itu kembali terdengar, Dea menutup matanya.
Di dalam hati ia menghitung dari satu sampai tiga, apapun yang terjadi Dea bertekad akan kabur dari rumah tersebut.
“Satu, dua, tiga.”
Bruak!
Suara pintu terbentur dinding, karena Dea mendorongnya dengan paksa.
Dea berlari dengan sekuat tenaga.
“Dea! sialan! Kemana kau?!” teriak ayah tirinya.
Pria paruh baya itu tak tinggal diam, melihat Dea berlari.
“Dea, berhenti disana!” teriaknya.
Karena tenaga pria itu lebih kuat ketimbang Dea, walaupun usianya sudah paruh baya.
Dea tak mau kalah, ia membuang tasnya yang membuatnya kesulitan untuk berlari. Namun, sialnya pria yang biasa di panggil ayah olehnya tersebut bisa menggapai rambutnya yang terurai panjang. Hingga membuat langkah Dea seketika langsung terhenti dan tersungkur ke jalan.
Bruk! Bruk!
Keduanya terjatuh bersamaan.
Dea terlihat kesakitan, karena dagunya terbentur keras di jalanan aspal.
“Berdiri! Mau kemana kau anak bodoh?! Hah ... kau mau lari dariku?! Tidak semudah itu ....” sembari menyeringai jahat, menarik paksa tangan Dea agar berdiri.
“Ayah ... hiks ... lepaskan aku! Apa salahku pada Ayah?!” suara Dea mulai bergetar menahan tangis.
“Jangan banyak bicara! Cepat pulang!” sentaknya menarik paksa tangan Dea.
Dea berusaha memberontak dan berteriak meminta tolong. Namun, usahanya hanya sia-sia, karena tenaga ayahnya lebih kuat dan bahkan berteriakpun percuma, karena tidak ada yang mendengarnya. Apalagi, jam tersebut semua orang pasti sudah terlelap.
“Diamlah, bodoh!” sentaknya pada anak tirinya tersebut berulang kali.
Ia terlihat sangat murka, apalagi Dea sudah berani membantah.
Setibanya di dalam rumah, pria setelah baya itu langsung mengunci pintu rumah dan meletakkan kunci tersebut di saku celananya.
“Jangan berani selangkahpun keluar dari rumah ini! Jika kau masih ingin hidup!” ancamnya dengan menatapnya tajam.
Lalu pergi meninggalkan Dea yang masih terduduk lemah di lantai, terlihat luka memar di dagunya akibat tersungkur ke aspal jalanan.
“Ayah, apa salahku pada Ayah? Kenapa Ayah tega ingin menjualku?!” tanya Dea setengah berteriak melihat ayahnya yang hendak masuk ke kamar.
Langkah pria setengah baya itu langsung berhenti, ia menatap Dea yang terlihat menatapnya juga.
“Sudah aku katakan, jangan banyak bicara! Rupanya kau itu tidak punya telinga! Apa perlu ku robek mulutmu itu?!” menatap murka wajah Dea.
Nyali Dea langsung menciut mendengar ucapan ayah tirinya tersebut, apalagi pria itu menatapnya dengan tatapan murka.
“Aku sudah menafkahimu selama belasan tahun, sekarang kau harus membalas jasaku itu! Kau paham ....”
Dea meneteskan air matanya, ia tak menyangka jika selama ini kasih sayang yang ayah tirinya berikan padanya itu hanya palsu belaka. Padahal, selama ini dirinya sudah menganggap ayahnya seperti ayah kandungnya sendiri.
“Hiks ... Ibu ....” tanpa sadar Dea memanggil ibunya yang sudah tiada.
“Jangan kau panggil Ibumu yang sudah tiada! Kau pikir dengan memanggilnya, dia bisa membantumu?! Jika kau ingin selamat, turuti perkataanku!”
Dea hanya menunduk, berusaha agar tidak menangis.
Pria itu masuk ke dalam kamarnya, tak lama ia keluar lagi dengan tali di tangannya.
“Ayah ....”
“Diam!” selanya.
Dea lagi-lagi terdiam.
Pria setengah baya itu mengikat tangan Dea dengan kuat, hingga dirinya tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan mulutnya pun di sumpal dengan sapu tangan.
“Aku sudah katakan sejak tadi, jangan membantah jika kau ingin selamat! Dengarkan aku baik-baik, jangan berani macam-macam denganku!” ancamnya lagi.
Dea hanya bisa pasrah dengan kedua tangan terikat ke belakang, berteriakpun percuma karena mulutnya penuh dengan sapu tangan.
“Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?!” gumamnya dalam hati setelah melihat kepergian ayahnya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!