Namanya adalah Anta Reza. Semua orang tahu dan memang ku akui bahwa dia memang tampan. Aura manly dan ketampanannya itu memancar tak hanya dari morfologi fisik yang menggambarkan kejeniusan Tuhan dalam merancang dan menciptakannya, tetapi juga pada kebaikan hatinya yang mau menikahi aku, seorang gadis tanpa masa depan karena telah hamil di luar nikah.
Kenapa?
Mungkin itu adalah pertanyaan yang muncul dalam benak para individu saat mengetahui polisi 28 tahun itu mau meminang ku seorang gadis biasa yang baru tamat dari Sekolah Menengah Atas. Tentu saja bukan orang lain saja yang terkejut, tetapi aku juga begitu. Ketika dia mengatakannya dengan lantang di depan ayahku; "Biar aku yang menanggungnya, izinkan saya menikahi putri anda."
Dia berperan sebagai pelipur lara bagi setiap makhluk yang telah salah memilih jalan dan kalah melawan takdir, dia adalah pelita dan penghibur bagi ayahku yang renta, duniaku yang sedih dan tenggelam dalam ratapan melankolis.
Untuk menjelaskan pertemuan dan peristiwa hingga akhirnya kami dapat menikah, mungkin satu bab ini saja tak akan cukup. Maka biarkan aku buat dalam pandangan yang sederhana saja, semua ini bermula saat aku kabur ke kota bersama kekasih ku. Saat itu, ketika pertama kali naik ke kelas 12 aku lebih aktif bersosialisasi terutama dalam berteman. Aku merasa waktu itu adalah saat bagi diriku untuk mencari jati diri dan menikmati masa remaja.
Aku sering keluar rumah untuk main atau sekedar jalan-jalan dengan teman-temanku. Di sini lah drama sentimentil itu bermula, merekalah yang memperkenalkan dia kepadaku, pria yang menjadi kekasih pertamaku. Aku berkenalan dengannya di sebuah pertemuan yang penuh dilema dan hiruk pikuk. Pertemuan yang kelabu.
Seiring berjalannya waktu, kami jadi demikian dekat dan saling mengenal lewat perkenalan yang rumit dan panjang. Dia memberikan aku pengalaman tentang romansa di masa remaja, dia memberikan perhatian, tak pelak juga rayuan dan gombalan maut di sertai beberapa hadiah kecil yang sebelumnya memang belum pernah ku dapatkan. Pertemuan yang demikian rutin, hampir setiap hari, aku merasa hariku begitu berwarna dan penuh cerita sejak berkenalan dengannya. Maka bukan barang aneh bila aku terbujuk dan jatuh cinta padanya.
"Aku jatuh cinta padamu, kamu cantik dan aku sangat tertarik, kamu persis seperti kolam misterius yang menggugah siapa saja untuk mengenalnya secara lebih dalam. Aku ingin kamu jadi kekasihku, agar orang lain tak dapat memilikimu. Maukah?"
Beberapa bulan setelah berpacaran dengannya, ayah mulai risih dengan pergaulan dan tingkah laku ku yang sering meninggalkan kewajiban sebagai anak dan pelajar, ayah merasa bahwa aku telah menyalahi fitrah sebagai anak perempuan yang seharusnya diam di rumah. Ayah marah karena aku sering pergi ke sana kemari setelah pulang sekolah, sebab itu berlangsung bukan satu atau dua jam saja tapi bisa dari siang sampai malam.
Pernah suatu hari, mungkin karena sudah geram dan khawatir ayah mulai bersikap keras padaku. Sebagai orang tua mungkin ayah telah menyadari gelagat ku yang sudah tahu berpacaran, hal yang tak lazim dan sangat dilarang ayah. Aku dipukuli, berkali-kali sampai badanku merah dan memar. aku menangis semalaman dan merasa ayah adalah orang tua paling jahat yang pernah ada.
Hingga yang paling parah, aku pernah di kurung di kamar mandi dan di pukul habis-habisan dengan tangan kosong, setelah ayah tahu sesuatu tentangku yang membuatnya marah besar. Aku yang hancur sedemikian rupa akhirnya menghubungi Petra sampai ia mengusulkan untuk mengajakku minggat dari rumah. Awalnya aku menolak, karena bagaimana pun juga ayah adalah satu-satunya orang tua yang kini ku miliki, ibu sudah meninggal sejak aku berusia dua tahun. Namun, setelah peristiwa di kurung itu, aku begitu marah dan hancur, perasaanku tidak karuan dan akhirnya ku putuskan untuk menuruti ide dari Petra.
Kami akhirnya kabur bersama ke kota, saat itu aku merasa begitu bebas dan senang dapat meninggalkan penjara ayah yang kejam. Meski di dasar hatiku, aku juga merasa sedih dan bersalah karena meninggalkan ayah sendirian. Tetapi, Lagi-lagi Petra mampu meyakinkan aku untuk terus menyusuri jalan yang telah ku pilih ini.
Dan di sinilah kisah cinta kedua ku di mulai, kisah cinta yang sentimentil dan dewasa, kisah antara aku dan Kak Anta bermula. Aku yang duduk sendirian di alun-alun kota sambil makan nasi goreng yang dibelikan oleh Petra tiba-tiba di datangi segerombolan polisi yang tengah berdinas berkeliling kota. Tengah malam, sendirian, perempuan. Tepat sekali, itulah alasan para polisi ini menghampiriku.
Aku di berikan banyak pertanyaan, seperti tengah menghadapi ujian lisan. Mereka yang tegas namun juga baik dan ramah setelah mengetahui masalah yang aku alami, aku di bawa sendirian ke kantor tempat mereka dinas untuk akhirnya di antar pulang kembali ke rumah ayah di desa. Sementara Petra, dia tak kunjung kembali setelah pergi mencari toilet. Jadi tinggallah aku sendiri.
Tak seorang pun paham di mana letak jiwa seseorang. Kita hanya mengetahuinya dengan meraba-raba. Kesan yang muncul dalam diri kita menyangkut jiwanya yang murni. Ia terjaga dari belenggu yang membosankan. Dia selalu lari dari segala yang menjajah kebebasannya. Dengan begitu jiwanya selalu hidup, tak tertekan, memiliki ruang gerak.
Karena kejadian ini akhirnya aku mengetahui bahwa Petra ternyata sengaja membawaku ke kota dan meninggalkan aku sendirian karena enggan bertanggung jawab. Aku hancur berkali lipat, seperti di jatuhi komet dan meteor dalam waktu yang bersamaan, sakit dan kecewa aku menelan pil pahit di saat sedang mengandung anak dari hasil hubungan bebas yang ku lakukan.
Tak sampai di situ saja, ayah yang masih hancur, menolak kepulangan ku di rumah. Ayah bahkan sampai kalap ingin melempar ku dengan kursi di depan polisi-polisi yang mengantarku ini.
Dengan segala peristiwa melankolis itu, beberapa hari setelahnya, salah seorang polisi yang mengantarku waktu itu datang kembali di temani satu orang lagi yang lebih tua, sebut saja komandannya. Aku tidak mengenal mereka dengan baik, namun dia malah menjadi salah satu laki-laki paling penting dalam hidupku.
"Saya Anta Reza, polisi yang membantu Karunia, putri anda pulang ke rumah kemarin. Saya tahu mungkin pertemuan kami berlangsung singkat dan belum mengenal dengan baik satu sama lain. Tetapi, saya mohon izin untuk memikul tanggung jawab atas putri anda, Pak. Tolong, izinkan saya menikahinya."
Dengan segala kelebihan dan kekuranganku, dia mampu menerimaku meski pun masih bersikap dingin dan kaku. Kami menikah, dan Kak Anta (begitu aku memanggilnya) dia menjadi suami dadakan yang menyelamatkan aib keluarga dan harga diri ayah yang sudah ku hancurkan sedemikian hina.
"Kenapa kakak mau menikahi dan bertanggung jawab untuk seseorang yang tidak kamu kenal dengan baik?"
"Karena aku tahu rasanya tidak punya orang tua."
Meski begitu dia bukan sosok yang sempurna, dia memiliki kelemahan permanen yang membuatku akhirnya paham bahwa tidak ada seorang pria yang mau menikahi wanita asing yang mengandung anak orang lain dengan sukarela, sebagaimana pemikiran orang lain pada umumnya. Hingga akhirnya aku mengetahui, bahwa ia memiliki alasan lain yang lebih masuk akal, selain dari yang telah dia ucapkan.
Aku Karunia, dan inilah kisah cintaku.
"Aku cari toilet dulu, oke? kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya!"
Petra meninggalkan aku di alun-alun kota sendiri sambil membawa belanjaan dan tas pribadi miliknya. aku duduk sendiri sambil menikmati nasi goreng. suasana kota yang sepi dan dingin, tenang namun terasa asing sekali.
ku angkat tinggi-tinggi benda kecil yang dari tadi ku simpan di saku. berlatar langit legam berbintang, "garis dua," benar, aku hamil dan lepas mengetahui itu, keributan besar antara aku dan ayah terjadi sampai akhirnya aku memilih pergi diam-diam dari rumah ke kota.
tidak jauh di sana, ada area di dekat air mancur dengan berbentang padang rumput sintetis dan bunga-bunga yang baru bersemi, sekarang ku rasa di sana adalah tempat yang tepat untuk beristirahat sebentar sambil menunggu kekasih ku kembali.
tetapi aku terkejut mendapati banyak sekali motor polisi berhenti menghalangi jalanku. meski begitu aku berpura-pura tidak tahu dan tidak peduli, sebab menurutku, aku tidak berbuat kriminal apa pun atau terlibat masalah dengan siapa pun.
aku terus jalan dan berlalu, namun salah satu polisi besar dan tinggi menarik tanganku. aku memekik karena kebetulan dia menekan bagian memar bekas pukulan ayah.
"Akh.. " aku merintih. pada saat itulah perhatianku teralihkan ke sosok pria dengan kulit coklat kekar yang sepertinya berumur hampir tiga puluhan. pria itu menatapku tajam, seperti mengintrogasi. cocok dengan seragam Kepolisian yang ia kenakan.
rambutnya agak kecoklatan gelap, sebagian helai-helai di puncak kepalanya terlihat kemerahan alami karena terkena cahaya bulan, mengingatkan aku pada para pria yang menghabiskan musim panas dengan berselancar di pantai Bali.
"Sedang apa? malam-malam begini mau kemana?" katanya.
dia bertanya, dan aku pun bertanya-tanya tentang warna mata di bawah naungan alis yang berbentuk cekung tegas yang indah itu, polisi ini melepaskan tangannya dariku. matanya memancarkan warna kecoklatan yang meluluhkan, dan tubuhku gemetar akibat dalamnya sorot mata itu.
"Luka? badanmu penuh memar, apa yang terjadi?"
"Tidak ada, bukan apa-apa, Pak."
"Tidak bisa, kamu mengalami kekerasan atau bagaimana? jangan menyembunyikan apa pun, kami hanya ingin membantu jika terjadi sesuatu." tanpa di duga polisi lainnya juga ikut bicara.
aku masih bersikeras untuk tidak bongkar masalah, agar tidak semakin panjang dan runyam. tetapi rupanya mereka pun tak kalah argumen, untuk mengulik apa yang terjadi padaku? apa yang ku simpan?
"Jangan takut," tambah polisi yang pertama dengan nada dalam yang maskulin.
aku terdesak, Petra yang tidak juga kembali. di tambah lagi tatapan polisi yang berada di depanku ini, matanya berbicara seakan meyakinkan ku bahwa aku akan aman di sisi mereka.
dengan kaki melemas, akhirnya ku ceritakan semua yang terjadi, semua masalah yang ku alami lengkap dengan sensasi kepedihan yang sama sekali tidak masuk akal. dalam sekejap polisi yang pertama, ku dapati namanya dari name tag; Anta R - itu menghilang dari pandangan.
aku terisak seusai bercerita, mereka menyuruhku untuk membuat laporan terhadap ayah. namun ku tolak, "Mau bagaimana pun juga, dia ayah saya." kataku menegaskan. hingga kemudian kami bersepakat, mereka akan mengantarku pulang, dan mengupayakan agar ada jalan damai.
Sambil menunggu Petra kembali, Polisi pertama datang lagi sambil membawa kantung plastik berisi obat merah, es batu dan kapas. dengan lembut dia meraih tanganku lagi, sambil mengusap luka dan memarnya pelan-pelan dengan es yang sudah dibalutnya dengan sapu tangan.
"Kalau kamu dipukul lagi, lapor. biar saya yang pukul dia."
seketika gelombang rasa hangat menguasai diriku, saat ku tangkap tatapan matanya yang tegas dan lembut. nafasku seakan tersumbat di paru-paru, sampai nyaris tak mampu berpaling saat kedua pasang mata kami bertemu.
ku amati profil pria itu yang tampak kuat, sejenak memusatkan pandangan pada bibir lebar polisi ini. lekuk maskulin yang sensual itu seakan menyelinap ke dalam diriku, membuat tubuhku meremang.
ketika mengalami reaksi fisik yang kuat seperti ini merupakan kejutan untukku. terakhir kali aku hanya terhanyut oleh kata-kata Petra yang memabukkan dan sejak saat itu rasanya tidak ada lagi kata-kata dari pria lain yang bisa sebaik Petra saat menguatkan ku.
tetapi barusan, ucapan yang keluar dari mulutnya tak pelak jauh lebih bermakna dan aura yang tidak di miliki semua orang.
"Nama-Mu siapa?"
"Karunia, tapi bisa dipanggil Kania."
"Kamu sudah baca name tag saya, kan? saya Anta. Anta Reza. panggil yang mana saja kamu suka, Anta atau Reza, bebas." katanya sambil berlalu.
tidak lama kemudian semua rombongan polisi ini bergegas dan menghidupkan kembali mesin motornya masing-masing, aku akan di antar malam ini juga kembali ke rumah ku di desa. beriring-iringan, aku di bonceng polisi Anta.
terpaksa ku tinggalkan Petra yang batang hidungnya menghilang entah kemana, sebab aku tak berani melawan pada niat baik aparat keamanan ini. lagi pula kami sudah menunggu Petra hampir setengah jam.
tidak lama kemudian Sampailah kami di belokan area parkir kampungku. aku menuntun mereka berjalan menembus gang yang agak sesak, sampai di depan rumahku yang berada paling ujung, dekat danau.
ayah muncul di balik pintu, setelah aku mengetuk dengan gemetar. ayah menatapku tajam dengan mata merah berair, lantas dia menarik kursi plastik di depan rumah dan hendak melemparkannya kepadaku, beruntung, para polisi yang menemaniku ini begitu tangkas dan cekatan menghalangi ayah.
aku menangis, namun yang lebih menyakitkan adalah ketika ayah menangis di pundak salah satu polisi yang memegangi tubuhnya.
"Aku telah gagal sebagai orang tua, aku tidak bisa menjaga putriku pak!" ayah menangis dengan rintihan paling menyakitkan. kelemahan yang belum pernah ku saksikan selama 17 tahun hidup di dunia bersamanya.
aku gemetar, sampai tubuhku merambang. segera aku bersujud ke lantai, bersimpuh di kaki ayah mohon pengampunan dan maaf darinya. aku bukan hanya shock akibat tangisan dan reaksi ayah, tetapi juga pada perasaannya, seperti ia telah menerima pengkhianatan paling mengerikan terhadap cinta tulus akan aku, anaknya.
"Aku melakukan ini bukan tanpa alasan, pak. dia putriku satu-satunya. hartaku yang paling berharga. satu jengkal saja dia terluka, hatiku sakit, tetapi untuk menjaganya aku pun harus tegas. memang berjuang menjaganya seorang diri itu sangat sulit pak, apalagi saat ku ketahui ada seorang pria yang berani menyentuh tubuhnya secara utuh, duniaku runtuh."
begitulah ayah menjelaskan isi hati dan kekecewaannya. dan apalah arti penyesalanku, semua sudah terjadi dan terlanjur, seperti nasi yang sudah menjadi bubur. aku terbuai akan pergaulan, kisah cinta bebas yang penuh hasrat dan sensual. aku merasa diriku begitu bodoh, anak yang paling durhaka, neraka paling panas yang di takdirkan untuk ayah.
namun, berkat Pak Anta, dan yang lainnya. permasalahan ini dapat meredam. meskipun masih ada jarak sedikit dan ayah tetap mendiami dan bersikap dingin padaku. sejak malam panjang dan kelabu itu, Pak Anta dan anggota aparat yang membantuku ini selalu datang entah siang atau malam, sekedar mampir minum kopi di warung ayah dan memastikan bahwa hubungan kami tetap baik-baik saja.
hingga yang paling mengejutkan, tepatnya di malam sabtu; saat itu hanya ada Pak Anta di temani beberapa rekannya, tidak sebanyak biasanya. tiba-tiba dia melamar ku di hadapan ayah.
"Saya tahu mungkin pertemuan kami berlangsung singkat dan belum mengenal dengan baik satu sama lain. tetapi, saya mohon izin untuk memikul tanggung jawab atas putri anda, Pak. tolong, izinkan saya menikahinya."
mendengar permintaan Pak Anta, aku shock. menyadari bahwa tatapannya yang tegas menelusuri penglihatan di dalam mata ayah dan ucapannya yang blak-blakan dan menyiratkan kesungguhan,
"A-yah ini kopinya," sahutku tergagap, layaknya gadis ingusan yang kasmaran, bukannya gadis yang sudah tidak perawan.
ayah melirik ke arah ku yang baru saja menata kopi untuk para tamu. aku yakin di dalamnya ayah menyiratkan bahwa ia setuju dengan lamaran pak Anta.
"Tapi pak, anda tahu sendiri putri saya bukan gadis bersih lagi. dia sekarang mengandung anak orang lain, memangnya anda yakin tidak akan menyesalinya?"
Pak Anta menjawab hanya dengan senyuman. aku tahu, mungkin dia melakukan ini dengan alasan kemanusiaan. mau menikahi ku murni karena dasar kasihan.
aku memang tidak pernah mengira akan ada pria yang mampu melawan cercaan lingkungan saat dia mengambil keputusan yang tak wajar, tetapi yang pasti aku menyaksikannya hari ini, lewat Anta Reza yang kaku di balik pembawaannya yang dingin dan tegas, pak Anta adalah sosok paling peduli dan berjiwa besar, aku menyadarinya saat pertama kali bertemu dan bertatap mata dengannya. dia mampu membuatku merasakan kebutuhan yang menyesakkan dada dan sulit di jelaskan ini.
"P-pak, anda tidak perlu ambil keputusan berlebihan untuk memikul tanggung jawab. anda tidak memiliki kewajiban untuk itu."
namun, pak Anta melengos tanpa memperdulikan yang ku katakan padanya.
"Bagaimana pak, apakah anda menerima lamaran saya terhadap putri anda, Karunia?"
ayah menjabat tangan pak Anta dengan bangga dan penuh haru, mungkin baginya sekarang kedatangan pak Anta lebih segar di banding butir embun waktu fajar. ayah yang sudah tak tahu harus menuju kemana dan apa yang harus di lakukan dalam hidupnya pasca kehamilan ku ini. tanpa pikir panjang lagi, langsung menerima lamaran pak Anta. ia mengira bahwa kami dapat membangun keluarga dan selalu bersama selamanya, menyelamatkan masa depan ku yang tadinya hancur berantakan.
Akhirnya beberapa minggu setelah itu, tanpa desakan dari manapun pernikahan antara aku dan pak Anta berlangsung. sejujurnya aku merasa bersalah, karena menerima pinangan dari pria lain yang tidak ku cintai sama sekali hanya untuk menyelamatkan kembali harga diri ayah dan menutup aib ku. sebuah alasan yang begitu egois dan tidak tahu diri.
sampai malam pertama kami pun...
sambil duduk di ranjang pengantin, aku hanya membayangkan sosok pria yang sepatutnya berada di posisi pak Anta sekarang. Petra, dialah yang seharusnya bertanggung jawab, tetapi sampai sekarang pun dia tidak kembali atau menemui ayah untuk menikahi aku.
saat menikmati lamunan, Tiba-tiba pintu kamar terbuka, jantungku berdebar kencang saat ku lihat pak Anta yang masuk. dia mengenakan kaus hitam yang ketat sehingga menampakkan lekuk maskulin nya yang berotot di padu celana dasar warna abu-abu monyet. perawakannya yang sangat bagus membuatku tak henti untuk terus mengamatinya. seperti para anggota keamanan negara lainnya, dia jangkung, sedikitnya mungkin hampir 190 sentimeter.
dia mendekat ke arah ku, sampai jantungku serasa mau copot. meskipun ini bukan pertama kalinya ku hadapi, tetap saja rasanya berdebar. tetapi, aku salah. dia mengambil bantal di sampingku, dan reaksi tidak terduga dan sejujurnya tak ku inginkan, membuat hatiku terus di penuhi rasa bersalah saat pak Anta bersikap dingin dan memilih tidur di sofa dekat pintu kamar.
"Pak, kenapa tidur di situ?" kataku gugup.
"Aku tahu kamu masih belasan, tapi tetap saja agak risih di panggil pak. Panggil kak saja."
"Oh, maaf kak." kataku hampir tersedak saliva. "Kak, maaf. aku tidak tahu apa yang ada di pikiran kakak sekarang. tapi, apakah kakak mau tidur terpisah di malam pertama kita?"
"Nanti pasti tidur bersama, entah kapan. kalau sekarang, rasanya masih sangat kaku."
"Kalau begitu kenapa kakak mau menikahi ku? karena kasihan?"
"Karena aku tahu rasanya tidak punya orang tua."
dia kemudian bangkit dari sofa dan mendekat lagi ke arah ku, "Tidur lah, sudah malam." katanya lembut sambil berdiri di depanku.
...****************...
...Visual...
1. Anta Reza
2. Karunia
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!