...Jika kamu pernah merasakan Hujan turun Saat langit Tidak Mendung. Maka jelas kamu tahu Rasanya Air Mata Turun saat Bibir Tersenyum....
...🍁...
Suasana Pagi di Pesantren Ustadz Hamzah terasa lebih dingin dari hari-hari biasanya, musim hujan yang kerap kali mengguyur kota Bandung membuat Jalanan sedikit basah, menyisakan tetesan embun diatas dedaunan.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke rumah sakit Nissa lebih dulu menjalankan kewajibannya sebagai pengajar di pesantren yang di kelola oleh Abi nya , yaitu Ustadz Hamzah.
Selepas menyelesaikan tugas mengajarnya, Annisa bergegas ke rumah sakit untuk menunggu Ali yang masih membutuhkan beberapa hari untuk terapi pemulihan. Seorang santri yang sebelumnya mengalami kecelakaan, sementara orang tuanya berada di luar negeri untuk mengais rezeki. Tentu hal itu sudah menjadi tanggung jawab pesantren untuk memastikan santrinya kembali pulih. Dan Nissa lah yang bertanggung jawab untuk hal itu.
Waktu menunjukan pukul 08.45 WIB.
Seperti kebiasaan Nissa bahkan sejak di Cairo, Annisa kerap kali berjalan dengan langkah cepat, sudah menjadi kebiasaanya, bukan terburu-buru hanya saja memang sudah menjadi kebiasaan.
Brug.
Langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.
"Ma Maaf maaf" ucap Nissa dengan menangkupkan kedua tangannya di dada.
Beberapa saat mengucapkan kata Maaf, bukan mendapatkan sambutan atau mungkin makian, kerena telah teledor , sosok di hadapannya hanya terus diam, namun juga tidak pergi dari hadapannya.
Menyadari hal itu, Sekilas Nissa menengadahkan wajahnya, menatap sosok di hadapannya yang berdiri juga dengan menatap Nissa.
Deg.
"Mas Denis" lirih Nissa.
Keduanya tampak sesaat terlibat adu pandang, mungkin jika bukan karena rencana perjodohan semula, yang kemudian berakhir dengan penolakan dari pihak Denis , mungkin Annisa tidak akan merasa malu ketika berpapasan dengan Denis.
Namun nyatanya sedikit banyak pesona Denis sang mualaf yang memiliki wajah Chinese mampu sedikit menggoyahkan iman seorang Annisa Khairunisa.
Meski hanya sekilas mengenal Denis, nyatanya sikap dan tutur kata nya serta ketekunannya dalam belajar tentang Islam mampu membuat Nissa kagum.
Sejujurnya bukan marah atau kecewa, hanya saja Nissa tidak cukup memiliki hati yang lapang untuk secepat itu melupakan.
Terlebih sosok yang telah Denis pilih untuk menjadi pendamping hidupnya, merupakan sosok yang begitu Nissa kenal, dan sangat dekat tentunya. Ya Mahira Altafu Nissa Sosok yang nyatanya berhasil memenangkan hati seorang Denis.
Bukan pula tidak bahagia atas kebahagiaan sahabatnya, sungguh Nissa pun juga begitu bahagia, sahabatnya telah benar-benar memiliki pemilik hati yang begitu luar biasa.
Bagaimana tidak luar biasa, Denis memilih Mahira karena perubahan hidupnya, terlepas dari masa lalu Mahira, tentu tidak banyak laki-laki yang bersedia dengan ikhlas menerima kekurangan seorang wanita yang pernah berstatus sebagai janda.
Sungguh jika Perasaan Iri diperbolehkan dalam agama, maka orang pertama yang akan akan merasakannya tentu adalah Nissa. Sungguh beruntung Mahira mendapatkan laki-laki sebaik Denis.
Hening.
"Assalamualaikum Nissa" Ucap Denis
"Waalaikumsalam mas" jawab Nissa dengan kembali menundukkan pandanganya.
"Maaf Ustadz Hamzah ada ?"
"Ada. Tapi Abi sedang mengajar, InshaAllah sebentar lagi selesai, Mas Denis bisa menunggu Abi di Mushola" titah Nissa.
"Em. Terima kasih" ucap Denis, dan di jawab dengan anggukan kepala oleh Nissa.
Sedih sudah pasti, mungkin penjabaran nya tidak hanya sedih , namun Nissa juga begitu merasa malu, entah karena sebab apa. Namun yang jelas dirinya merasa jika harus bertemu dengan Denis, sebaiknya hal itu tidak pernah lagi terjadi dalam kehidupannya.
"Nissa !"
Belum juga sempat Nissa melangkahkan kaki. Kini panggilan dari Denis memaksa nya untuk berbalik badan, dan kembali menghadapi laki-laki yang telah menolak lamaran Abi nya.
"Iya"
Tidak butuh waktu lama, sebuah Kertas tebal berukuran persegi terulur dari tangan Denis. Begitupun Nissa yang juga tanpa ragu menerima nya.
"Datanglah jika tidak berhalangan"
Deg.
Surat undangan. Begitulah Tulisan Pertama pada halaman depan yang mampu Nissa baca.
"InshaAllah " ucap Nissa singkat, dan di balas dengan senyuman oleh Denis.
Setelah Perbincangan singkat antara keduanya, kini baik Nissa maupun Denis berlalu meninggalkan tempat tersebut.
Masih seperti semula, Nissa melangkah dengan langkah cepat nya, berharap hatinya akan baik-baik saja setelah nya.
Namun tanpa di sadari oleh Nissa cairan bening menetes begitu saja di pelupuk matanya. Namun tidak ingin larut dalam kesedihan Nissa memilih untuk menyibukkan perasaanya dengan berdzikir pada Allah.
***
"Assalamualaikum Ali" Sapa Nissa ketika telah berada di ruang perawatan Ali.
"Waalaikumsalam ust" jawab Ali.
Tiba di rumah sakit hal pertama yang Nissa lakukan adalah memastikan perkembangan Ali pada sang dokter. Kodarullah perkembangan Ali semakin baik, dan hanya menghitung hari saja dia akan dapat kembali ke pesantren .
"Aku sudah sarapan ?"
"Sudah ust, Dokter Tama tadi datang bawa banyak makanan"
"Alhamdulillah"
Menilik jadwal Ali kurang dari satu jam lagi Ali akan melakukan terapi untuk memulihkan kakinya.
"Ali , Ust sholat sebentar ya, Tadi belum sempat duha sewaktu di pesantren".
"Iya ust"
Tidak menunggu lama, Nissa bergegas untuk mengambil wudhu dan segera melaksanakan duha. Nissa terlihat begitu khusyuk dalam sholatnya, hingga tanpa disadari langkah kaki yang tiba-tiba masuk kedalam ruangan.
Duduk bersimpuh diatas sajadah nyata nya mampu membuat Nissa melupakan apa yang baru saja dia rasakan.
"Astagfirullah !" kaget Annisa yang baru menyadari kedatangan Dokter Tama di sana.
"Maaf aku langsung masuk saja tanpa mengetuk"
"Tidak papa dok"
Annisa tampak menundukkan pandanganya, sembari merapikan sajadah dan mukena yang baru saja dia gunakan.
"Apakah waktu Ali sudah tiba ?"
"Em. Aku kemari untuk membawanya Terapy " ucap dokter Tama, dan di balas anggukan oleh Nissa.
Dengan cekatan Nissa membantu Ali duduk diatas kursi roda, dengan di bantu dokter Tama untuk bersiap melakukan terapi. Tidak lama hanya satu jam saja setiap harinya.
Tugas mendorong kursi roda kini diambil alih sepenuhnya oleh dokter Tama, sementara Nissa hanya mengekor, mengikuti langkah dokter Tama dari belakang.
Meski mengalami kecelakaan , setidaknya Ali masih cukup beruntung karena sang penabrak yang tidak lain adalah dokter Tama bersedia menanggung pengobatan Ali hingga dia pulih seperti sedia kala.
Tidak hanya pengobatan nyatanya sebagai wujud rasa terima kasih dari dokter Tama, dia juga memberikan beasiswa bagi Ali selama melakukan pendidikan di pesantren.
Selama menjalani terapi, Ali hanya bersama petugas tanpa ditemani Nissa ataupun dokter Tama, keduanya hanya berjaga di luar ruangan.
"Em. Apa kau baik-baik saja ?" Tanya dokter Tama yang menyadari Sikap dan raut wajah Nissa pagi ini tidak seperti hari-hari sebelumnya.
"Oh. Iya dok" jawab Nissa dengan gagap.
Buru-buru Nissa menyeka sisa embun yang tanpa sadar masih saja terus merembes dari sudut matanya.
Namun bukan Tama namanya jika begitu saja dia percaya, Terakhir kali ketika Tama bertemu dengan Nissa yang kala itu pertemuan keduanya diatur oleh Orang tua Tama, Nissa terlihat begitu bahagia.
"Apakah terjadi sesuatu ?"
"Tidak dok"
Setelah jawaban singkat dari Nissa , suasana tampak kembali hening, dengan pikiran masing-masing.
***
Assalamualaikum Reader Fillah , Semoga selalu dan senantiasa dalam Perlindungan Allah SWT.
Alhamdulillah Tiba pada Novel ke- 6 Author, Novel yang berjudul "JODOH DARI ALLAH" , Novel yang merupakan Sequel dari PESONA MARYAM (Maryam Albathul Rahmah) . Kisah cinta Romansa Islami yang Ringan dan Tentunya Menghibur.
Mohon Maaf bila Masih banyak Kekurangan dalam Penulisan.
Terima kasih Untuk Readers Fillah yang selalu setia dengan Cerita-cerita Author. Atas semua Like, komen, Subscribe, dan Vote . Author Ucapkan banyak Terima kasih 🥰🥰🙏
---------SELAMAT MEMBACA---------
...Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang mempunyai Penglihatan, Namun tidak memiliki Pandangan...
...🍁...
Sedikit banyak Dokter Tama cukup terganggu dengan perubahan sikap Nissa.
Penasaran, sudah pasti !. Namun Dokter Tama tidak ingin bertindak gegabah, dengan selalu mencecar Nissa dengan pertanyaannya. Dia hanya tidak ingin Nissa merasa ilfil dengan nya.
Meski baru beberapa hari mengenal sosok Nissa, Nyatanya Dokter Tama memiliki penilaian tersendiri terhadap nya. Nissa yang memiliki kepribadian lembut dan santun cukup membuat Tama tertarik.
Cinta ?, Entah lah. Yang pasti Nissa seolah menjadi penyejuk kegersangan hati Tama saat ini.
Sama hal nya dengan Nissa, Tama pun kini juga tengah merasakan kehampaan, karena harus mengalah dan kembali berkorban perasaan akibat dari lamaran nya terhadap Mahira yang di tolak.
Kecewa ?. Sudah pasti, untuk yang kesekian kali Tama harus menerima kenyataan, penolakan dari wanita yang dia harapkan bisa menjadi pasangan hidupnya.
Nahasnya, Tama pun merasakan apa yang di rasakan Nissa, merana dan kecewa karena cinta, meski keduanya tidak saling menyadarinya, namun nyatanya keduanya memiliki profil percintaan yang sama.
Sama-sama di tolak.
Beberapa saat menanti , akhirnya Ali telah selesai dengan terapi nya, kini baik Nissa maupun dokter Tama telah di perbolehkan untuk masuk, hal ini berkaitan dengan penjelasan perkembangan terapi Ali.
Bersyukur perkembangan kesehatan Ali jauh lebih baik, bahkan diluar dugaan Ali pulih lebih cepat, meski nantinya masih harus mengenakan bantuan Tongkat untuk berjalan.
Dan tentu perkembangan yang sangat pesat ini membuat Ali mendapatkan izin dari dokter untuk bisa lebih cepat kembali ke pesantren.
"Lalu kapan Ali diperbolehkan pulang dok?" tanya Nissa.
"Em. Untuk itu Lusa Ali bisa pulang, dan berkaitan dengan jadwal kontrol serta terapi bisa dilakukan satu Minggu sekali dalam bulan pertama, setelah itu bisa satu bulan satu kali untuk pemulihan maksimal" ujar sang dokter yang menangani Ali.
"Baik dok, terima kasih"
"Sama-sama Bu Nissa , Adakah yang ingin di tanyakan lagi?"
"Sepertinya tidak dok" ucap Nissa.
"Baiklah jika begitu Ali bisa kembali ke kamar" ujar sang dokter
Setelah cukup mendapatkan penjelasan dari dokter, Nissa bersama Ali keluar dari ruangan, di luar Tama telah menunggu keduanya. Meski tidak membersamai Nissa, namun Dokter Tama tetap setia menanti keduanya hingga pemeriksaan dan konsultasi selesai.
"Bagaimana ?"
"Alhamdulillah, InshaAllah Lusa Ali bisa pulang dok" jawab Nissa pada dokter Tama.
"Syukurlah"
Seperti formasi semula, Dokter Tama kembali mengambil alih kursi roda untuk kemudian dia dorong kembali ke kamar Ali.
Ketiganya menyusuri lorong-lorong rumah sakit, dengan sesekali dokter Tama kembali mencuri pandang pada Nissa.
Masih seperti sebelumnya, Nissa tampak murung entah karena sebab apa. Yang jelas Tama akan mencari tahu sendiri sebab dari hal itu.
Tidak butuh waktu lama , ketiganya telah samai di lantai 8 , tempat dimana kamar Ali berada.
"Tama !!"
"Heii!!"
Sebuah suara, dan lambaian tangan yang seketika membuat ketiganya menoleh.
Seorang wanita berparas Ayu dengan kemeja pink yang di balut jas berwarna putih serta nametag bertuliskan Dr. Inara, Sp.JP. , menggunakan Rok hitam Sebatas lutut yang tampak memperlihatkan kaki jenjang nya.
Tama yang merasa di panggil pun lantas menajamkan penglihatan nya, mencoba mengingat sosok yang baru saja menyapa dirinya.
"Kau lupa dengan ku ?" Tanya wanita tersebut dengan Ter engah, setelah keduanya berada tepat saling berhadapan.
"Inara ?"
"Ya !"
Begitu bahagia nya Inara bertemu dokter Tama, hingga tanpa disadari dia menghambur begitu saja dalam pelukan Dokter Tama.
"Astagfirullah!"
lirih Nissa dengan begitu pelan, Hingga dua orang yang baru saja bertegur sapa itu tidak mendengar nya.
Hal ini tentu bukan pemandangan yang biasa Nissa saksikan, terlebih bagi Ali yang masih seorang remaja kemarin sore.
"Astaga, Kapan kau kembali dari Jerman ?" tanya Tama yang tampak kaget dengan kedatangan teman lama nya.
"Hellow !. Aku sudah 3 Tahun di Indonesia, Sepulang dari Jerman aku bekerja di Jakarta, Tapi sekarang aku di mutasi ke sini" Ujar Inara dengan penuh semangat.
"Benarkah ?"
"Ya !. Dan kita akan menjadi partner Tam !" ujar Inara penuh kegembiraan.
Keduanya tampak asyik mengobrol, hingga tak sedikitpun menyadari jika masih ada Nissa dan Ali yang juga berada disana.
Beberapa kali jelas terlihat oleh pasang mata Nissa, bagaimana Inara sangat dekat dengan Tama, terlihat bagaimana dia menyentuh Tama meski hanya sebatas bahu. Begitu juga Tama yang terlihat tidak terganggu dengan hal itu.
"Maaf dok, bisa saya bawa Ali masuk" sela Nissa yang tidak ingin Ali melihat percakapan gaya barat antara Tama dan Inara.
"Oh. Maaf, aku melupakan kalian" Ucap Tama yang tampak bersalah. Sementara Annisa hanya tersenyum kecil.
"Tidak masalah dok, Anda bisa melanjutkan perbincangan anda, saya akan membawa Ali masuk" ujar Nissa.
Kini tanpa aba-aba Nissa langsung mengambil alih kursi roda dari tangan Tama, dan setelahnya dia dorong masuk kedalam kamar.
Setelah kepergian Nissa dan Ali, Tama dan Inara terdengar kembali berbincang. Seolah tiada habisnya obrolan diantara keduanya , Annisa yang mendengar perbincangan keduanya dapat memahami hal itu. Sepertinya memang keduanya sangat akrab.
"Siapa Tam ?"
"Apa mereka saudaramu ?" tanya Inara yang tampak penasaran.
Bukan tanpa alasan Inara menanyakan hal itu, karena bukan lah tugas seorang dokter, mendorong kursi roda pasien menyusuri koridor-koridor rumah sakit. Terlebih rumah sakit sebesar ini, tentu akan ada petugas khusus yang akan mengantar jemput pasien.
"Oh. itu, Ceritanya panjang" jawab Tama singkat.
"Ohya. Sepanjang apa, kau bisa menceritakannya, aku akan mendengarkannya" ucap Inara dengan gaya manja nya.
"Lain waktu saja akan aku ceritakan"
"Ayo lah, ini pertemuan pertama kita Tam" rengek Inara.
"Masih ada kedua , ketiga, dan seterusnya Inara" Ucap Tama.
"Aku ada operasi satu jam lagi, jadi kita bisa bicarakan ini lain waktu !" tukas Tama lagi.
Meski dengan berat hati, pada akhirnya Inara pun menganggukkan kepala, menyetujui tawaran Tama.
Setelah mengakhiri perbincangan dengan Inara, Tama berbalik dan setelahnya memegang handel pintu ruang perawatan Ali.
"Lho. Katanya mau ada operasi, kok malah kesitu!" ujar Inara.
"Aku harus menemui mereka terlebih dahulu Ra" jawab Tama.
"Oh"
Inara agaknya begitu penasaran, sungguh dia tidak percaya Tama mengabaikan dirinya begitu saja, bahkan sebelumnya mengatakan jika tidak dapat berbincang karena alasan ada operasi, namun saat ini justru Tama masuk kedalam ruangan tersebut untuk menemui dua orang yang belum Inara ketahui identitasnya tersebut.
***
Sejujurnya Tama merasa bersalah sebelumnya telah mengabaikan Nissa dan Ali begitu saja.
Melangkahkan kaki masuk kedalam ruangan, Tama pun mengedarkan pandanganya mencari sosok Nissa disana, namun nyatanya tidak dia temui, Hanya Ali yang terlihat telah tertidur pulas akibat dari efek obat yang dia konsumsi.
Gemericik air sayup-sayup Tama dengar, menandakan jika sosok di balik pintu kamar mandi adalah Nissa, karena tidak ada orang lain selain mereka bertiga.
Ceklek.
Pintu kamar mandi pun terbuka, menampakkan sosok Nissa yang berdiri tepat di ambang pintu.
Titik-titik air yang masih membasahi pipi, begitu menambah pesona ayu dari Nissa. Sejenak Tama tampak terpaku menatap Nissa yang begitu anggun.
"Nissa" panggil tama
"Ya"
"Bisa kita bicara" pinta Tama
"Maaf dok, Sudah masuk waktunya sholat Dzuhur"
"Oh. Baiklah, silahkan sholat kalau begitu, aku akan kembali lagi nanti" ucap Tama, dan di jawab dengan anggukan kepala.
Menyadari hal itu, Tama pun bergegas berlalu meninggalkan kamar Ali. Sementara Nissa terlihat bersiap melaksanakan sholat Dzuhur.
Kembali larut dalam khusyuk nya , bersimpuh dihadapan Illahi Robbi, Mengharap kebaikan dari setiap cobaan, Sungguh apa yang terjadi pada Nissa cukup menguras Hati dan pikiran.
Menumpahkan segala rasa, mencurahkan isi hati, karena hanya itulah yang dapat Nissa lakukan saat ini, seraya berharap segera ada yang mengobati luka di hati.
***
Mohon dukungannya ya Readers Fillah, Jangan lupa selalu tinggalkan jejak 🥰🙏.
Untuk setiap Like, Komen , Subscribe, dan Vote. Author Ucapkan banyak terima kasih 🥰🙏
...Yang Tidak Merasakan Tentu Tidak Akan Paham. Dan Yang Tidak Mengalami Tentu Tidak Akan Mengerti...
...🍁...
Setelah menyelesaikan sholat Dzuhur, Nissa kembali mengemas mukena dan sajadahnya kembali kedalam tas kecil yang selalu dia bawa kemanapun Nissa pergi. Hal itu karena tidak sekalipun Nissa melewatkan waktu beribadah, kecuali sedang berhalangan.
"Auch, Astagfirullah!"
Entah mengapa Nissa merasa kepalanya cukup sakit, hingga dia harus memegang dan memijat lembut pelipisnya.
"Ya Allah aku kenapa" lirih Nissa.
Meski merasa sakit, Nissa mencoba mengalihkan dengan membaca buku yang juga tidak lupa dia bawa.
Namun setelah beberapa saat, sakit di kepala nya tak juga kunjung reda, justru semakin menjadi. Hal itu tentu sangat membuat Nissa tidak nyaman.
"Ust, Ustadzah baik-baik saja?" tanya Ali yang kini memperhatikan Nissa dari tempatnya tidur.
"InshaAllah Ali, Ust baik-baik saja"
"Tapi sepertinya Ust tidak sedang baik-baik saja" Ujar Ali yang merasa khawatir.
"Tenang saja Ali, InshaAllah tidak papa"
"Sebaiknya Ust pulang saja dulu, Ali tidak papa Ust sendiri" ujar Ali.
Meski Ali begitu mengkhawatirkan Nissa, Namun Nissa sendiri juga enggan meninggalkan Ali, Nissa memilih untuk sejenak menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata, berharap setelah itu akan menjadi lebih baik.
Lagi-lagi bukan semakin membaik, justru Nissa merasakan sakit kepala yang terasa semakin berat dan menekan.
Ali pun tampak kebingungan, namun tidak dapat melakukan apapun, tidak ada yang bisa dia mintai tolong saat ini.
Setelah beberapa saat berfikir, Ali pun mendapatkan sebuah ide, dengan menekan tombol emergency berharap akan ada perawat atau petugas kesehatan yang datang.
Benar saja tidak butuh waktu lama , seorang perawat laki-laki datang menemuinya, dan menanyakan keluhan pada Ali.
Namun berhubung Ali tidak sedang mengalami keluhan apapun, Ali meminta tolong pada sang perawat untuk memanggilkan dokter Tama.
Tidak butuh waktu lama , setelah perawat laki-laki sebelumnya keluar, dokter Tama pun muncul dengan wajahnya yang tampak panik.
Masih mengenakan setelah ruang operasi, lengkap dengan penutup kepala, tentu setelah menyelesaikan sebuah operasi. Dokter Tama buru-buru menemui Ali.
Sama halnya dengan perawat sebelumnya, dokter Tama pun juga menanyai Ali apa yang terjadi pada dirinya.
"Maaf dok membuat Dokter khawatir"
"Tidak masalah Ali, Ada apa ?"
"Bukan saya dokter"
"Lalu ?" tanya Tama dengan mengerutkan keningnya.
"Ustadzah Nissa dok, sebelumnya mengeluhkan kepalanya sakit, saya memintanya untuk pulang tapi beliau menolak, Tapi entah mengapa sejak beberapa saat yang lalu ustadzah hanya diam saja" panik Ali.
"Saya takut terjadi sesuatu dengan Ustadzah Nissa dok" tukas Ali lagi.
Tidak butuh waktu lama , Tama pun menghampiri Nissa yang kini tengah duduk bersandar di sofa. Memastikan kondisi Nissa, benar saja nyatanya Nissa tengah dalam kondisi tak sadarkan diri.
Seketika Tama pun larut dalam kepanikan.
"Ali tetap di sini ya, saya akan memeriksa Nissa"
"Baik dok " jawab Ali
Tidak menunggu lama, Tama menarik kursi roda yang biasa Ali gunakan untuk terapi, membopong tubuh ramping Nissa ,dan mendudukkannya disana, mendorong dengan kecepatan penuh menuju ruangannya.
Di titik ini Tama baru menyadari jika seharusnya dia membawa Nissa UGD , Bukan ke ruangannya. Namun otaknya terlalu pendek untuk berfikir ke sana, hanya ruang kerja nya lah yang dapat dia pikirkan.
Setelah mendorong kursi roda dengan tenaga dalam tentunya, Tama sampai juga di ruang nya, namun kini lagi lagi justru dia di buat kebingungan, rasa canggung seketika muncul tatkala Tama bimbang untuk membuka kerudung Nissa.
Nalurinya mengatakan tidak, namun jiwa dokter nya meminta dia melakukanya.
Ceklek.
Pintu terbuka tanpa ketukan sebelumnya, disusul kemunculan Inara yang berdiri tepat di ambang pintu.
"Kebetulan kamu kesini" panik Tama
"Ada apa ?" bingung Inara dengan sikap Tama.
Bukan menjawab pertanyaan Inara , Tama justru menarik tangan Inara hingga dia masuk kedalam ruang periksa, disana terbaring sosok Nissa, dengan wajah begitu pucat.
"Kau apakan dia !!" Ketus Inara.
"Hei, aku tidak melakukan apapun, Dia pingsan !" jawab Tama yang tidak menerima tuduhan Inara.
"Aku meminta mu memeriksa nya"
"Kenapa tidak kau lakukan sendiri?" ujar Inara.
"Tidak, aku tidak yakin membuka kerudungnya" tegas Tama.
Ucapan Tama tentu cukup membuat Inara lantas berfikir berulang kali, Tama yang dia kenal selalu profesional dalam pekerjaannya, kini harus bimbang dalam melakukan tindakan hanya karena sebuah kerudung. Sungguh diluar dugaan Inara.
"Hanya kerudung tam !"
"Lakukan saja apa yang ku perintahkan!" ucap Tama dengan nada sedikit meninggi.
Entah karena sebab apa , Tama begitu tidak yakin untuk sekedar menyibak kerudung yang di kenakan Nissa. Tama memilih keluar dan menunggu di meja kerjanya, selama Inara memeriksa Nissa.
Meski dengan perasaan berkecamuk, namun pada akhirnya Inara memeriksa Nissa, menempelkan stetoskop yang selalu dia tenteng kemana-mana, dan memastikan kondisi Nissa.
"Bagaimana ?" tanya Tama dengan wajah penuh kekhawatiran
Lagi-lagi Inara kembali dibuat bingung dengan sikap Tama, bukan saudara, namun Tama begitu mengkhawatirkan nya.
Tidak langsung menjawab pertanyaan Tama, meski Inara jelas tahu kepanikan di wajah Tama.
"Siapa wanita itu ?"
Bukan memberi penjelasan perihal kesehatan Nissa , justru Inara balik bertanya pada Tama.
"Ceritanya panjang Ra, sekarang bagaimana keadaanya ?" tanya Tama lagi masih dengan wajah panik nya.
Sejujurnya Inara begitu kesal dengan Tama yang selalu mengabaikan dirinya, padahal ini merupakan kali pertama keduanya bertemu kembali setelah bertahun-tahun lamanya tidak berjumpa.
"Dia. Dia baik-baik saja"
"Hanya kelelahan, dan sepertinya kurang istirahat"
"Setelah makan dan meminum suplemen, dia akan segera pulih" tutur Inara dengan suara datar nya.
Mendengar hal itu, Tama sedikit lega, setidaknya penjelasan Inara masuk akal, karena memang yang tergambar di benak Tama juga persis seperti itu.
"Syukurlah" ucap Tama.
Sejak dulu sampai sekarang Tama tidak pernah berubah dalam pandangan Inara, tetap tampan dan mempesona, hanya otot-otot bisep nya yang tampak lebih berisi, hingga menonjol di balik baju yang dia kenakan.
Cukup menggoda bagi Inara yang memang sejak lama telah menaruh hati pada Tama.
"Sore ini kau ada waktu, aku ingin sekali mengajak mu ke tempat biasa dulu kita kumpul" ajak Inara.
"Akan Aku usahakan"
"Kenapa begitu ?"
"Maksut mu ?" Tanya Tama
"Kau tidak pernah menolak sebelumnya jika aku memintamu berkumpul, lagi pula disana akan ada banyak teman kita nanti" ucap Inara dengan sedikit kesal.
"Aku tidak menolak Ra !, hanya saja ini berkaitan dengan Tanggung jawab Ra"
"Tanggung jawab !, dulu kau selalu bisa melakukanya !" ketus Inara
"I see, tapi dulu dan sekarang jelas berbeda. Dulu tanggung jawab kita hanya berkaitan dengan kampus. Tapi sekarang ?, Tanggung jawab kita adalah Manusia Ra !. Nyawa" Tegas Tama.
"Tapi aku tetap berharap kau datang !"
"Akan aku usahakan " jawab Tama masih sama dengan sebelumnya.
Merasa kesal dengan jawaban Tama, Inara memilih pergi meninggalkan ruang kerja Tama.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!