NovelToon NovelToon

Pengawal Untuk Tuan Putri

Bab 1 : Demi Dua Ribu Dollar

Awan hitam melahap sinar bulan dan langit menjadi gelap seutuhnya. Waktu yang sangat tepat bagi makhluk-makhluk malam untuk menyebarkan malapetaka bagi orang-orang yang tidak bersalah dan waktu yang tepat pula bagi orang yang tidak bersalah untuk mati.

Dengan telapak tangan yang berkeringat, seorang pria memacu kuda besinya dengan kencang. Menembus tembok hujan dan beragam halang rintang. Dia berbelok terus menerus, menyembunyikan jejak, dan berlari untuk bertahan hidup. Dia naif dan polos, dalam kata lain, dia hanyalah seorang anak muda.

Sebuah geng mendekat di belakang. Mereka muncul dari sudut paling gelap di tempat parkir gedung-gedung kosong. Tangan mereka penuh oleh senjata tajam. Orang-orang itu diperintahkan untuk menunjukkan kepada pemuda itu, apa itu kematian melalui pengalaman nyata.

Pertarungan jalan tidak bisa dihindari. Motor dengan motor saling hantam, pisau ditusukkan dan parang ditebaskan. Namun, pemuda itu bukan orang sembarangan, meski kelelahan, dia bisa mengatasinya tanpa terluka. Dia dididik untuk berperang, dan karena perang sudah selesai, setelah ini dia tidak lagi dibutuhkan.

Dalam sekejap mata, mayat berceceran di jalan. Amisnya darah menarik perhatian hewan-hewan yang kelaparan. Mereka memacu kuda besinya lagi, masih mencoba menghentikan laju sang pemuda yang mencoba melewati jembatan panjang yang menghubungkan Provinsi Selatan dan Provinsi Timur.

Saat mereka sudah sampai di tengah, suara ledakan terdengar dari belakang. Demi menghabisi seorang pria muda, orang-orang itu sampai harus bekerja keras untuk menghancurkan jembatan penting, bahkan membunuh rekan mereka sendiri.

Beberapa ledakan lagi terdengar dan para pengendara motor itu berjatuhan ke sungai yang mengamuk. Beberapa berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, tetapi karena mereka tidak berhasil melepas helm, pada akhirnya mereka meninggal karena tenggelam.

Jauh di hilir sungai, seorang pria naik ke daratan, dia adalah Ardian, pemuda yang sebelumnya dikejar. Dia basah kuyup dan udara dingin membuatnya menggigil. Saat dia mendapatkan sedikit tenaganya kembali, dia mulai berlari, masuk lebih dalam, lebih cepat, gang demi gang, dan akhirnya terjatuh lemah di sudut jalan.

Sebuah mobil berhenti di sampingnya. Dia berpikir bahwa inilah akhirnya. Seorang pria tua berseragam formal keluar dan terburu-buru menyeret Ardian masuk ke dalam mobil. Ardian mengenal pria tua itu dengan jelas, sehingga hatinya menjadi tenang dan bisa pingsan dalam damai.

Pagi berikutnya, Ardian terbangun dengan kaki yang sakit, lengan mati rasa, dan demam yang membakar. Pakaiannya sudah diganti menjadi pakaian tidur. Luka-luka di tubuhnya sudah diobati dan dia berhasil bertahan hidup lagi kali ini.

Ardian dengan bebas membiarkan matanya berkeliaran di sekitar ruangan. Tempat itu benar-benar feminim. Tirai dinding berwarna merah muda, kasur dan bantal pun tertutup warna yang sama. Semuanya nampak artistik dan cocok, membuat siapapun yang memasukinya merasa nyaman.

Sinar matahari memuncak dari jendela. Saat mata Ardian telah disesuaikan dengan cahaya, dia tahu bahwa pemilik ruangan ini pasti seorang miliarder, karena semua hal yang ditampilkan di kamar ini sangat mahal. Ardian menghela napas. Sedikit rasa lega tertoreh di hatinya. "Selera gila dan aneh ini. Siapa lagi kalau bukan Kakek Tua itu."

"Jadi, kamu sudah bangun?" Seorang pria tua berbicara di belakang Ardian. Membuat pemuda itu terkejut dan tercengang. Dia tidak mendengar pintu dibuka, juga tidak merasakan kehadiran orang sebelumnya. Bahkan jika kondisinya sedang tidak bagus dan kesadarannya rendah, tetap saja dia adalah Ardian, seorang yang dilatih khusus untuk berperang. Bahkan saat dia sudah berkembang begitu jauh, kakeknya masih berada satu tingkat di atasnya?

Ardian mencoba untuk menarik dirinya ke atas, tetapi gravitasi masih terlalu berat untuknya. Ardian mencoba untuk menggerakkan tangan dan kakinya, tetapi tidak ada gunanya, dia terlalu lelah untuk melakukan sesuatu. Ardian menghela napas lagi. Dia ingin bicara tetapi tenggorokannya terlalu kering. Jadi, dia hanya bisa pasrah untuk saat ini.

"Jangan bergerak dulu." Kakek Prasetya berjalan ke arah Ardian dan membantunya duduk untuk kemudian bersandar di kepala ranjang. Dia segera memberi Ardian segelas air hangat untuk menenangkan pikiran cucunya dan meringankan sedikit rasa lelahnya.

"Terimakasih." Ardian mengangguk sebagai jawaban. Kakek Prasetya menyeringai. Matanya licik dan hidungnya meninggi. Dia berkata, "Kerja bagus, kamu menyelesaikan misi dengan baik pula kali ini. Klien sangat senang, khususnya soal pemutusan jembatan. Jadi, dia memberikan bayaran ekstra untuk kontribusimu di Provinsi Utara." Kakek Prasetya mengeluarkan dua lembar kertas kusut yang terbungkus kain dan memberikannya kepada Ardian. Pemuda itu menatap lembaran itu dengan seksama.

Saat Ardian Prasetya melihat dua buah uang kertas senilai seribu dollar di tangan kakeknya, dia memiliki begitu banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Misi yang dia ambil selalu sangat berisiko, musuhnya sangat kuat, dan dia selalu pulang dalam keadaan sekarat. Misi yang ia kerjakan selalu sempurna, bahkan dia memastikan klien mendapat banyak manfaat dari aksinya. Namun, mengapa pada akhirnya bayarannya hanya bernilai ratusan dan ribuan dollar?

Ardian tidak tahu bagaimana kakek tua itu berhasil mendapatkan semua misi itu untuknya. Namun, kontribusinya dalam misi hampir seluruhnya. Dialah orang yang bekerja keras sampai sekarat, tetapi hampir seluruh uang yang dihasilkan mengalir ke dalam dompet kakeknya. Keadilan macam apa ini?

Bagian terburuknya adalah, ketika dia mencoba menuntut keadilan, kakeknya akan menghajarnya dengan serangan lisan dan berkata bahwa uang kontribusinya telah dipotong biaya perawatan senjata, motor, dan medis. Kesimpulannya adalah, salah dia karena selalu pulang dalam kondisi sekarat, salah dia karena selalu menghilangkan senjata, salah dia karena merusak kendaraannya. Setiap kali dia mengingat saat-saat itu, dia merasakan dorongan untuk menangis.

Ketika Ardian menerima dua ribu dollar yang diperolehnya dengan mempertaruhkan nyawanya, dia merasa ingin mengutuk agar kakek tua itu segera mati dan semua hartanya diwariskan kepadanya. "Dua ribu dollar?"

Namun, Kakek Prasetya adalah orang yang membesarkannya, memberinya nama, dan melatihnya selama lima belas tahun. Dia mengajarinya seni beladiri dan cara untuk bertahan hidup. Memberontak melawannya rasanya sangat kurang ajar. Jadi, dia memendam semua kutukan dan amarahnya di dalam hati.

"Dua ribu dollar katamu? Kamu seharusnya senang bahwa kamu menerima sejumlah uang. Apa menurutmu uang bisa didapatkan dengan mudah?" Kakek Prasetya menarik dompet kainnya ke belakang kemudian memutar matanya dan berkata dengan nada kesal. "Jika kamu tidak menginginkannya, berikan uang itu kepadaku! Apakah kamu tahu sejak aku membesarkanmu, aku tidak pernah makan makanan mewah!?"

Ardian tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa ingin memukul pria tua gemuk di hadapannya, tetapi dia tahu bahwa itu hanya akan menjadi pukulan sepihak dari orang tua itu. Dia sangat tidak berdaya sekarang dan sekalipun dia dalam kondisi prima, dia tidak yakin bisa mengalahkan kakeknya.

Bab 2 : Tujuh Puluh Ribu Dollar

Tidak ada yang tahu persis seberapa kuat Kakek Prasetya, bahkan Ardian pun tidak. Saat latihan, selama sesi sparing mereka, Kakek Prasetya selalu menahan diri. Bahkan ketika ada peningkatan besar dalam seni bela diri Ardian, Kakek Prasetya akan meningkatkan keterampilannya sendiri agar selalu berada di atasnya. Sehingga Ardian selalu kalah dari kakeknya.

"Baiklah, kamu sudah mendapatkan cukup pengalaman dalam beberapa tahun terakhir ini. Karena perang saudara di Provinsi Timur juga berakhir, aku rasa ini sudah saatnya untuk diselesaikan." Bahkan tanpa membuka matanya, Kakek Prasetya duduk di ranjang batu dan mulai mengunyah sepiring kacang.

"Tadi kamu mengoceh soal uang, kan? Selamat, kamu benar-benar beruntung. Jika kamu dapat menyelesaikan misi yang akan Kakek berikan ini, kamu tidak perlu khawatir tentang uang selama sisa hidupmu."

"Yang benar?" Diketahui bahwa sejak Ardian diadopsi pada usia tiga tahun, semua yang diajarkan kepadanya, seni bela diri, keterampilan medis, dan pengetahuan lainnya adalah untuk mempersiapkannya untuk misi penting. Jadi, Ardian tidak meragukan keberadaan misi tersebut.

Dia hanya memiliki keraguan tentang hadiah yang dinyatakan oleh Kakek Prasetya. Hadiah yang bisa membuat satu orang menjadi kaya seumur hidup terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Orang pelit tidak akan menjadi dermawan kecuali dia mati.

"Dasar bocah ini, memangnya kapan Kakek pernah berbohong padamu?" Setelah memasukkan kacang lagi ke dalam mulutnya, Kakek Prasetya berkata, "Jadi, kamu ingin pergi atau tidak? Jika kamu tidak mau, Kakek akan memilih orang lain. Kakek yakin dia akan berterimakasih dan bersujud."

"Ugh, baiklah-baiklah, aku akan menerimanya dan pergi, oke?" Ardian berpikir pada dirinya sendiri, dia hanya akan menjadi idiot jika menolak kesepakatan sekaligus kesempatan yang bagus ini. Yang perlu dia lakukan hanyalah menyelesaikan misi ini, dan dia tidak perlu bekerja sampai setengah mati lagi dan dapat hidup dalam kekayaan selayaknya orang-orang yang menyewa jasanya.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Pergilah ke grub Angkara Murka yang terletak di Distrik Tenggara dan cari seorang pria bernama Angkara Adam di sana. Dia akan memberi tahumu tentang isi misinya." Kakek Prasetya menyeringai dan berkata, "Pikirkan baik-baik tentang ini. Setelah kamu menerima misi ini, kamu akan terikat kontrak jiwa dan tidak dapat meninggalkannya."

"Mengapa? Bahkan jika misinya menjadi terlalu berbahaya? Aku tidak bisa mundur?" Ardian bukanlah tipe orang yang akan menerima misi jika itu misi hampir mustahil yang sedari awal sudah mempertaruhkan nyawanya. Dia tidak segila itu hanya untuk ratusan dollar.

"Dengarkan aku, wahai Cucuku! Aku telah menjagamu selama lima belas tahun. Aku sudah menyediakan makanan, membelikanmu motor canggih, dan senjata api!" Mata kakek Prasetya terbuka lebar dan mulai mengomel. "Yang kulakukan hanyalah meminta sesuatu darimu. Mengapa kamu memiliki begitu banyak pertanyaan? Cih, beginikah perlakuanmu kepada kakekmu? Tidakkah kamu melihatnya, Kakek bahkan dengan senang hati mengecat ruangan ini dengan warna favoritmu."

"Apa-apaan..." Ketika Ardian mendengar apa yang kakeknya katakan, dia seketika meledak dalam kemarahan. "Benar, kakek memang merawatku selama tiga tahun pertama, tetapi ketika aku berusia enam tahun, kakek menyuruhku mengemis dan mencuri di jalanan. Aku mencari uang makanku sendiri, bahkan kakek sendiri menikmati hasilnya! Lalu, asal kakek tahu bahwa warna kesukaanku itu merah dan hitam!"

"Ck, bocah ini. Kamu benar-benar tidak memberi kakek pilihan lain. Jangan pikir kakek tidak tahu kalau kamu selalu menyelinap di malam hari untuk menonton film porno di komputer!" Kakek Prasetya menatap dan berkata, "Haih, mengapa orang yang berolahraga di siang hari, malah melakukan sesuatu yang sensual di malam hari. Anak muda zaman sekarang memang tidak dapat diharapkan."

"Ak-aku berbeda! Aku tidak punya waktu untuk berinteraksi dengan perempuan. Jadi, aku melakukannya agar mentalitasku sebagai manusia laki-laki tetap terjaga, oke? Aku tidak melakukannya karena aku mesum atau semacamnya! Mentalitas, kakek mengerti, kan?" Wajah Ardian sekarang sangat merah dan dia berpikir bahwa hal ini sangat memalukan. Siapa sangka Kakeknya tahu tentang aktivitas malamnya.

"Bukan cuma itu, kamu jug—"

"Oke-oke, aku yang salah, oke? Aku akan pergi tanpa pertanyaan. Sekarang kakek puas?" Saat Kakek Prasetya ingin melanjutkan ucapannya, Ardian secara terburu-buru memotongnya. Oleh karena itu, saat keadaan tubuhnya mulai membaik, Ardian mengemasi tasnya dan naik kereta ke Distrik Tengah yang modern dan mendunia.

Selama perjalanan kereta api, pikiran Ardian dipenuhi oleh kegelisahan, dari nada suara Kakek Prasetya, dia tahu bahwa misi ini tidak mudah, tetapi dia benar-benar menantikannya. Sebuah misi yang akan segera membuatnya pensiun adalah sesuatu yang selalu diimpikan oleh Ardian. Kolam renang di atas gedung yang dipenuhi oleh wanita cantik adalah cita-citanya.

Seorang pria dengan bekas luka di pipinya membuka botol minuman bersoda. Dia duduk di seberang Ardian dengan kaki yang terbuka lebar dan membuang tutup botol minuman itu begitu saja.

Seorang pria kekar yang duduk di sebelahnya melepas earbuds dari telinganya dan dengan santai mengambil penutup botol itu kemudian melepas sesuatu yang ada di baliknya. Setelah beberapa saat terdiam, dia tiba-tiba berseru, "Lu-luar biasa! Hadiah kedua, tujuh puluh ribu dollar?" Meskipun suara pria bernama Bane itu tidak terlalu keras, semua orang di dalam kereta mendengarnya dan mereka mulai memandangnya dengan mata penasaran.

Begitu pula dengan pria pembuang tutup botol bernama Tara, dia juga memandangnya dengan mata yang menyelidik. Ketika dia melihat bahwa tutup botol yang ia buang menghilang dari tempatnya, dia sadar bahwa tutup botol di tangan Bane sebenarnya adalah miliknya yang baru saja dia buang. Dia berdiri dan menunjukkan ekspresi panik. "Hey, benda itu milikku, kan? Ke-kembalikan!"

"Bagaimana kamu tahu benda ini milikmu? Siapa namamu? Apa namamu tertulis di sini?" Bane mencengkeram tutup botol itu erat-erat di tangannya dan berseru, "Namamu Hadiah Kedua? Jangan bilang namamu Tujuh Puluh Ribu Dollar!"

"Ti-tidak, namaku bukan itu dan tidak tertulis di sana, tetapi tutup botol itu jelas dibuang olehku, botol ini buktinya." Wajah Tara meringkuk ketakutan saat melihat wajah Bane yang marah. Namun, karena dia tidak ingin kehilangan apa yang seharusnya menjadi miliknya, dia membantah dengan suara gemetar dan mendorong botol ke tengah, agar orang-orang mengetahui kebenarannya.

"Kalian mendengarnya, bukan? Tutup botol ini dibuang olehnya. Jadi, karena dia telah membuangnya, benda ini pada dasarnya adalah sampah dan siapapun yang mengambilnya setelah itu dapat menjadi pemiliknya yang sah!" Bane menyeringai dengan perasaan kemenangan.

"Apa? Mana bisa begitu!" Wajah Tara panik, dan dia menatap pria berkacamata yang duduk di samping Ardian dengan tatapan meminta pertolongan. Dia bertanya, "Ka-kamu yang pakai kacamata. Kamu terlihat seperti orang yang pintar. Kamu tahukan apa yang dia katakan barusan tidak masuk akal? Jelas-jelas botol ini ada di tanganku. Jadi, tutup botol itu adalah milikku!"

Bab 3 : Lima Puluh Ribu Dollar

"Siapa yang kamu katakan tidak masuk akal?" Bane sekarang sangat marah sehingga dia juga menghadap pria berkacamata dan berseru, "Jadi, apa kamu setuju dengan orang ini atau setuju denganku bahwa benda ini menjadi milikku karena dia membuangnya!?"

"Hm." Pria Kacamata menyesuaikan kacamatanya, berhenti sejenak dan berkata, "Baiklah, Saya Rokan, seorang Profesor di Universitas. Karena kalian berdua mempercayai Saya, maka Saya akan memberi tahu kalian pendapat Saya tentang situasi saat ini. Apa itu tidak masalah?"

"Tentu, tolong lakukan!" Tara dan Bane keduanya setuju dan mulai menatap cemas pada Profesor Universitas bernama Rokan itu.

"Menurut Saya, pemilik dari tutup botol ini haruslah orang yang membelinya. Jadi, tutup botol ini harusnya milik orang yang memegang botol minumannya." Rokan berhenti sejenak. Tara mulai tertawa ketika mendengar itu. Sementara itu Bane menjadi panik, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Rokan melambai-lambaikan tangannya dan menghentikannya. Dia melanjutkan, "Namun, karena pemilik botol sudah membuangnya, benda itu seharusnya menjadi tanpa pemilik. Jadi, orang yang memungutnya menjadi pemiliknya sekarang."

"Apa-apaan ini? Bukannnya tadi kamu mengatakan bahwa tutup botol itu milikku? Kenapa tiba-tiba berubah!" keluh Tara ketika dia mendengar apa yang dikatakan Rokan. "Kalau begitu, bagaimana jika kalian berdua berbagi hadiah. Maka itu akan menjadi adil bagi kalian berdua. Bagaimana?" Rokan memberi saran.

"Berbagi?" Ketika Bane mendengar ini, dia ragu sejenak kemudian sambil cemberut dia berkata: "Baiklah, itu tidak masalah untukku."

Bane pasti menyadari bahwa pendiriannya tidak jelas dan hampir tidak dapat dipertahankan. Jadi, daripada tidak mendapatkan apa-apa, dia memilih untuk menerima saran dari Rokan. Tara mengangguk dan setuju juga. Karena tutup botol itu ada di tangan Bane, dia merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan mendapat satu sen pun jika dia tidak setuju.

"Bagus. Kalau begitu, karena kedua belah pihak sudah setuju dengan saran Saya, maka hadiahnya akan dibagi dua."

Rokan mengambil botol minuman dari tangan Tara dan berkata, "Dinyatakan di sini, hadiah kedua adalah tujuh puluh ribu dollar dan setelah pengurangan pajak dua puluh persen maka akan tersisa lima puluh enam ribu dollar. Karena pengumpulan hadiahnya akan merepotkan, orang yang akan mengambil hadiah akan mendapatkan enam ribu dollar lebih banyak, tetapi dia harus memberikan dua puluh lima ribu dollar terlebih dahulu ke pihak lain. Apakah kalian berdua baik-baik saja dengan pengaturan ini?"

"Aku tidak masalah." Tara senang selama dia menerima sejumlah uang. Jadi, dia setuju, "Aku akan mengambil dua puluh lima ribu dollar. Jadi, kamu dapat pergi untuk mengklaim hadiahnya."

"Dalam hal ini..." Bane tampak bermasalah. Dia merogoh sakunya dan melanjutkan, "Aku tidak punya uang sebanyak itu. Mengapa tidak kamu saja yang memberiku dua puluh lima ribu dollar?"

"Apa menurutmu aku akan memilih dua puluh lima ribu dollar jika aku punya uang sebanyak itu?" Tara mengerutkan keningnya kemudian melanjutkan ucapannya, "Kasusku sama sepertimu!"

"Profesor, tolong bantu kami memikirkan solusi, kami berdua tidak punya uang tunai sebanyak itu. Bagaimana ini?" Sekali lagi Bane meminta bantuan dari Rokan.

Rokan merenung sejenak, lalu dia berkata, "Haruskan Saya memberi kalian masing-masing dua puluh lima ribu dollar dan Saya akan mengambil hadiahnya sebagai gantinya?"

Tara dan Bane saling berhadapan sejenak dan merasa bahwa itu masih akan menjadi kesepakatan yang bagus karena mereka masih dapat menerima dua puluh lima ribu dollar, mereka menjawab serentak, "Kami setuju!"

Ekspresi senang terlihat di wajah Rokan saat dia meraih tasnya untuk mengambil uang, tetapi itu tidak berlangsung lama. Segera, dia mulai panik dan mulai menggeledah tasnya dengan lebih panik. Keringat mulai muncul di dahinya dan akhirnya dia berkata, "Haih, sepertinya ini tidak bisa dilakukan. Sayang sekali, Saya tidak membawa uang tunai sebanyak itu. Saya hanya punya tiga puluh ribu dollar dan Saya ragu kalian akan puas dengan masing-masing lima belas ribu dollar. Cih, sayang sekali, padahal aku bisa untung enam ribu dollar jika saja aku membawa uangku!"

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tara menatap bingung ke arah Bane dan pria itu hanya menggelengkan kepalanya sembari menghembuskan napas berat. Melihatnya, Tara menjadi tidak sabar dan bertanya kembali, "Profesor, Anda adalah orang yang cerdas, bisakah Anda memikirkan solusi lain?"

"Hmm..." Rokan berpikir sejenak sampai akhirnya tatapannya jatuh ke arah Ardian. "Ah! Bagaimana jika kalian meminta bantuan orang lain saja?" Saat dia mengatakan itu, secara alami mata Tara dan Bane tertuju pada Ardian.

"Bagaimana menurutmu? Bagiku ini adalah kesempatan yang sangat langka. Apakah kamu punya uang tunai senilai lima puluh ribu dollar? Jika kamu memberi mereka masing-masing dua puluh lima ribu dollar, kamu bisa mendapatkan keuntungan enam ribu dollar dalam sekejap mata. Saya belum pernah melihat cara yang lebih sederhana untuk menghasilkan uang selain ini. Aku sudah mengambilnya jika uangku cukup."

Ardian telah mengamati mereka bertiga untuk sementara waktu. Jelas bahwa ketiganya sedang bermain permainan sandiwara. Pria dengan luka wajah dan pria bertubuh kekar terlihat kaku dengan dialog mereka, sementara pria berkacamata yang berperan sebagai mediator cukup ahli, tetapi dia melakukan kesalahan di akhir.

Mereka mungkin menargetkan Ardian karena dia melihat kota dengan tatapan heboh seperti seseorang yang dibesarkan di gunung. Namun, pakaian yang Ardian kenakan sangat layak dan terlihat mahal. Ardian terkekeh di dalam hati mengenai adegan lucu ini dan berpikir bagaimana caranya agar plot indah ini menjadi lebih sempurna. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mengikuti permainan mereka dengan berperan sebagai orang udik yang menjadi korban penipuan.

"Maksud Masnya, Saya?" Ardian menjawab dengan heran sambil menunjuk dirinya sendiri. Dia memasang wajah bodoh dan berkata, "Masnya yakin mau ngasih ke Saya?"

"Tentu saja, sekarang kesempatan emas ini ada di tanganmu!" Rokan membalas Ardian dengan riang gembira. Padahal sebelumnya dia mengeluh mengalami sebuah kerugian. Dia secara alami kehilangan ketenangannya ketika Ardian memancingnya dengan tidak menyatakan bahwa dia tidak punya uang. Dengan begitu dia menjadi yakin bahwa Ardian memakan umpannya dan Ardian yakin bahwa hal ini benar-benar penipuan.

Saat Ardian hendak mengatakan sesuatu, dia merasakan seseorang menendang kakinya. Saat dia melihat ke arah kakinya yang ditendang, dia melihat seorang gadis cantik sedang menatapnya dengan dingin. Dari penampilannya, dia mungkin seumuran dengan Ardian.

Gadis itu sangat cantik dan kulitnya tampak lembut dan halus. Meskipun dia tidak pernah berdiri, Ardian dapat memperkirakan tingginya setidaknya seratus enam puluh lima sentimeter. Cukup tinggi untuk seorang gadis sekolah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!