NovelToon NovelToon

Muslimah Tangguh Untuk Sang Mafia

1 : Pernikahan Dan Wanita Lain

Hamparan gorden tebal yang menghiasi sebuah jendela berangsur ditarik, menyisakan gorden tipis yang juga sengaja ditepikan, oleh seorang wanita paruh baya berkebaya keemasan dan juga memakai hijab berwarna senada. Suasana di luar sudah terang, berhias sorot matahari pagi yang sudah menyempurnakan, menemani hiruk pikuk pagi di kota metropolitan.

Di sebuah kamar hotel mewah sekaligus luas bersuasana sunyi, sepasang mata hitam berbinar cerah tengah mematut penampilannya pada cermin rias yang ada di hadapannya. Ia memakai pakaian pengantin lengkap dengan jilbab panjang berwarna senada yaitu putih, tanpa rias berarti. Rias natural sengaja ia pilih, selain mahkota kecil yang masih berwarna putih di atas ubun-ubunnya dan membuat penampilannya sangat manis. Tanpa berniat menyombongkan diri, wanita muda itu sungguh mengagumi kesempurnaan rupa yang ia miliki, hingga ia tak hentinya bersyukur kepada Sang Maha Pencipta, jauh di dalam hatinya. Baru saja, ia bertukar tatapan dengan wanita pembuka gorden tadi. Ia melakukannya sambil memakai cadar putih.

“Mamah jangan nangis terus dong. Aku kan mau menikah, bukan malah mau pergi perang! Senyum dan berbahagialah!” Azzura Pelangi Putri Kalandra, wanita berkebaya pengantin yang begitu cantik itu, menatap sebal sang mamah yang malah terisak pilu di depan jendela dan beberapa saat lalu, gorden berikut jendelanya baru saja mamahnya itu buka.

Azzura merengut manja, berharap dari apa yang ia lakukan barusan, sang mamah menepi dari kesedihan.

Ibu Arum yang tak lain mamah Azzura, susah payah menyeka air matanya menggunakan tisu yang sampai ia genggam di kedua tangannya. Entah kenapa, baru kali ini dirinya tidak bisa mengontrol kesedihan. Kesedihan yang sampai melahirkan rasa sesak tak berkesudahan dan rasanya benar-benar menyiksa. Seolah, putri semata wayangnya memang akan pergi berperang seperti yang baru saja Azzura sampaikan dalam menegur kesedihannya, beberapa saat lalu.

Padahal semuanya tahu, Azzura menjadi salah satu wanita paling beruntung karena akan diperistri oleh Cikho Putra Maheza—pengusaha muda dari keluarga Maheza. Keluarga yang juga dikenal sebagai salah satu keluarga paling berada negara mereka tinggal.

“Cantiknya ....” Pujian itu tak hentinya terlontar dari ketiga saudara laki-laki Azzura, maupun pak Kalandra yang merupakan papah Azzura. Keempatnya baru saja bergabung, kompak memakai setelan jas hitam, kemeja putih, dan juga dasi berwarna keemasan selaras dengan kebaya yang menyempurnakan penampilan ibu Arum.

Azzura yang masih duduk di depan cermin rias di hotel tempat mereka menginap, hanya tersipu. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu membiarkan papah dan juga ketiga saudara laki-lakinya, secara bersamaan merangkulnya dari samping. Kemudian, ibu Arum yang masih di depan jendela juga ikut bergabung, membiarkan orang kepercayaan mereka untuk mengabadikan kebersamaan mereka melalui bidik kamera.

Tidak ada yang berbeda dari kebersamaan kini. Air mata dan rasa nelangsa yang turut hadir, diyakini semuanya sebagai bagian kebahagiaan, dari keluarga mempelai apalagi mempelai wanita, yang akan melepas putri kesayangan dari keluarga mereka untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

***

Pernikahan Azzura dan Cikho berlangsung meriah tanpa meninggalkan kekhidmatannya. Tidak ada sedikit pun halangan berarti yang mewarnai pesta meriah yang berlangsung dari pagi hingga malam. Semuanya tampak sangat bahagia walau pesta yang mereka lakukan juga membuat mereka merasa sangat lelah. Termasuk ketika sesi ijab kabul yang juga masih dilangsungkan di hotel mereka menginap. Cikho yang memakai setelan pakaian pengantin warna putih selaras dengan gaun pengantin Azzura, mengucapkan lafal ijab kabul dengan tegas sekaligus lantang dalam satu kali helaan napas.

Hanya saja hingga resepsi meriah itu berakhir dan Cikho juga langsung memboyong Azzura ke rumah impian mereka, ibu Arum merasa, melepas Azzura menjadi seorang istri, tak beda dengan membiarkan anak gadisnya pergi ke medan perang.

Di lain sisi, Azzura merasa, kebahagiaan Cikho perlahan menepi seiring jarak mereka dari hotel tempat mereka melangsungkan pernikahan, yang semakin jauh. Azzura berpikir, pria yang baru resmi menikahinya itu belum rela jauh dari orang tua sekaligus keluarga mereka. Namun jika iya, kenapa Cikho langsung mengajaknya pulang ke rumah mereka?

“Sayang, ada apa? Ada yang mengganggu pikiran Mas?” tanya Azzura menatap pria di sebelahnya penuh perhatian. Baru saja, pria yang usianya empat tahun lebih tua darinya itu menoleh, menatapnya sambil tersenyum masam.

“Tanggapan Mas begitu, aku jadi deg-degan. Lagian, kenapa kita enggak menginap di hotel dulu biar besoknya, kita masih bisa sarapan bareng orang tua kita?” ucap Azzura yang menjadi gundah gulana. Entahlah, ia mendadak merasa, dirinya memang akan pergi berperang.

“Semuanya baik-baik saja. Benar-benar tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” lirih Cikho tanpa sedikit pun melirik Azzura, walau tangan kirinya sudah meraih, menggenggam erat tangan kanan istrinya itu.

“Mas Cikho kok tingkahnya makin aneh. Makin ke sini makin enggak nyambung karena dia jadi sering melamun. Sebenarnya, dia ada masalah apa bagaimana?” batin Azzura makin gelisah karena pemikirannya sendiri.

Jantung Azzura menjadi berdentam lebih kencang, terus begitu hingga akhirnya Cikho menghentikan laju mobil mewahnya di depan sebuah rumah berlantai tiga dan memiliki gerbang tinggi nyaris tiga meter yang juga sangat kokoh.

Walau bertahun-tahun lamanya menjalin hubungan dan Azzura yang tinggal di kampung juga kerap ke Jakarta selaku tempat tinggal Cikho, kini menjadi kali pertama Azzura melihat sekaligus datang ke rumah impian yang semuanya tahu, sengaja Cikho siapkan untuk Azzura. Lihat saja, semacam pintu gerbang dan juga pintu rumah saja, gagang pengaitnya berupa sepasang huruf A dan C. Itu inisial nama mereka.

Seorang satpam yang berjaga langsung membukakan Cikho mobil. Setelah keluar, Cikho langsung membukakan pintu mobil untuk Azzura yang memang sudah menunggunya. Sementara satpam tadi bergegas membuka garasi dan memboyong satu koper besar milik Azzura.

“Sayang,” ucap Azzura memberanikan diri mendekap mesra lengan kanan Cikho menggunakan kedua tangannya. Ia menatap saksama wajah khususnya kedua mata sang suami di tengah suasana remang yang menyelimuti. Pria itu terus membawanya masuk ke rumah, kemudian buru-buru mengunci pintu setelah sang satpam yang mengantarkan kopernya, keluar.

“Mas sakit?” lanjut Azzura khawatir lantaran kedua mata suaminya merah sekaligus basah khas mata lelah karena sakit.

Cikho tidak menjawab dan langsung membingkai mesra kedua sisi wajah Azzura kemudian mengunci kening Azzura dengan kecupan tak kalah mesra. Kecupan yang juga berlangsung sangat lama.

“Mas sudah ngelakuin kesalahan?” lirih Azzura menerka-nerka lantaran gelagat Cikho mirip orang yang merasa bersalah. Belum pernah Cikho terlihat berat serba salah layaknya sekarang, meski selama enam bulan terakhir, Cikho memang menjadi lebih pendiam.

Cikho tetap belum menjawab dan terlihat sangat kebingungan, Azzura berangsur menggeleng. “Enggak apa-apa. Aku enggak masalah walau kita langsung pulang ke rumah kita, kita enggak sampai menginap di hotel agar kita bisa lebih dekat dengan orang tua bahkan keluarga kita. Sudah lah Mas, aku beneran enggak apa-apa. Jadi, Mas jangan merasa bersalah begitu.” Azzura terus meyakinkan, tapi ulahnya malah membuat Cikho yang hanya bungkam dan bibirnya perlahan bergetar, malah berlinang air mata. Pria itu mendekapnya sangat erat.

“Aku mohon, apa pun yang terjadi. Apa pun yang terjadi, dan benar-benar apa pun, ... aku mohon jangan pernah meninggalkan aku karena apa pun yang terjadi, KAMU TETAP MENJADI WANITA YANG PALING AKU CINTAI!” tegas Cikho sembari menatap kedua mata Azzura penuh keseriusan. Ia sengaja membuat kening mereka saling menempel.

Kenyataan pipi Cikho yang sampai basah oleh air mata, juga pria itu yang sampai sesenggukan, menjadi luka tak berdarah tersendiri bagi Azzura. Dada Azzura terasa semakin sesak, rasanya sungguh tak karuan hingga darah Azzura seolah didihkan karena tubuhnya kehabisan stok oksigen.

“Oh, kalian sudah pulang ...?”

Suara lembut seorang wanita barusan langsung mengalihkan perhatian mereka. Azzura memastikannya dan seperti keyakinannya, itu memang suara Rere, wanita yang Azzura ketahui sebagai sekretaris Cikho. Wanita yang juga Azzura anggap sebagai kakak perempuannya sendiri karena selain usia Rere sebaya dengan Cikho dan keduanya juga bersahabat, hubungan mereka memang sebaik itu.

Hanya saja, kenyataan Rere yang memakai gaun malam warna hitam dan itu sangat transparan, membuat Azzura memelotot syok. Tak sepantasnya Rere berpenampilan sebebas itu di rumahnya dan Cikho, sedekat apa pun hubungan mereka.

Selain itu, yang membuat Azzura tak kalah bingung, bukan hanya maksud keberadaan Rere di rumah pribadinya dan Cikho, tapi juga tanggapan Cikho yang seolah tidak akan pernah menatap Rere, selain ... perut Rere yang tampak buncit mungil layaknya wanita hamil sekitar enam bulan.

Yang Azzura tahu, Rere itu belum menikah. Sementara andai Rere mengalami kenaikan berat badan dan sampai membuat perut wanita itu buncit, ... harusnya perut buncit karena gendut bukan seperti itu.

“Oppps ... sori, soalnya kebiasaan begini. Biasanya kan hanya Cikho yang datang ke sini. M-maksudku ...,” ucap Rere kebingungan dan berusaha menutupi bagian bawah perut dan juga dadanya yang tentu terlihat sempurna.

Tentu, apa yang baru saja Rere katakan dan itu semacam refleks karena keceplosan sudah langsung membuat dada Azzura pegal sekaligus bergemuruh.

Satu, dua, dan benar-benar tak terhitung, ... butiran bening berjatuhan dari kedua sudut mata Azzura.

Azzura membeku, merasa dirinya sudah nyaris meledak padahal Cikho belum menjelaskan apa pun.

❣️❣️❣️❣️

Merupakan bagian dari novel :

Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga(Novel orang tua Azzura)

Pembalasan Istri yang Terbunuh (Suamiku Simpanan Istri Bos!)—Novel ibu Aleya, Tuan Maheza, dengan orang tua Cikho yang bersahabat dengan orang tua Azzura.

Talak Di Malam Pertama (Kesucian yang Diragukan)—Novel mas Aidan kakaknya Azzura .

2 : Pengakuan yang Sangat Menyakitkan

Kedua orang dewasa di dekat Azzura masih saja bungkam, walau cadar yang menutupi wajah Azzura sudah basah akibat air mata Azzura yang tak hentinya berlinang. Kebungkaman yang juga membuat hati Azzura terasa sangat sakit karena diamnya Cikho termasuk Rere yang sempat sengaja keceplosan dan itu mengabarkan kepada Azzura, seolah membenarkan apa yang sudah telanjur Azzura simpulkan atas keadaan sekarang.

Mundur, Azzura melakukan itu di tengah tatapannya yang fokus kepada wajah khususnya kedua mata Cikho. “Mas tahu, makin Mas diam, makin sengaja Mas melukaiku. Kita, ... apalagi kalian sama-sama dewasa. Mustahil tidak ada hal lebih jika keadaannya sudah begini.” Terisak pedih, Azzura susah payah berusaha tegar.

Terdengar dari depan sana, Rere yang menghela napas dalam dan terdengar sangat berat, tak kalah menyiksa dari rasa tak terduga ya g tengah Azzura rasa. Rere Azzura dapati menatap kosong lantai di hadapannya. Tampang Rere mendadak terlihat sadis bahkan, ... keji ketika akhirnya wanita itu menatapnya.

“Karena kita sama-sama dewasa, ... karena itu juga ini terjadi.” Rere menatap Azzura penuh keseriusan.

Tak ada sedikit pun penyesalan yang terpancar dari cara Rere bersikap, termasuk itu tatapan Rere kepada Azzura. Malahan Rere seolah ingin menegaskan, Azzura yang menjadi pengganggu di sana. Pengganggu dalam kebersamaan Rere dan Cikho.

Satu anak panah seolah Rere lepaskan melalui tatapan tajamnya dan langsung mengenai tepat jantung Azzura. Alasan yang juga membuat Azzura kembali mundur sempoyongan menahan sakit dari luka tak berdarah yang tengah ia rasakan.

“Maaf ....” Cikho belum berani menatap Azzura.

Kata maaf dari Cikho barusan, benar-benar menyempurnakannya luka tak berdarah Azzura. Sekali lagi, Azzura mundur sempoyongan bersama anak panah tak kasat mata yang wanita itu rasa mendarat tepat di ulu hatinya.

Azzura menatap tak percaya Chiko dengan mata yang benar-benar basah, hingga pandangannya buram sangat tidak jelas. “Kata maaf sama saja mengakui.” Layaknya ucapannya, ia juga menjadi menatap Cikho penuh kepastian cenderung menuntut.

Lantaran Cikho tetap menunduk, padahal di depan sana, Rere sudah langsung gelisah dan tak hentinya melirik Cikho penuh harap, Azzura sengaja berkata, “Jika caramu tetap begitu, ke depannya bahkan untuk selama-lamanya, aku pastikan kamu tidak akan pernah lagi melihatku!”

“S-sayang, aku mohon jangan katakan itu!” sergah Cikho sudah langsung ketakutan.

“K-Khooo!” tahan Rere mirip cacing kepanasan.

Rere terlihat jelas tidak terima, tak bisa membagi Cikho dengan siapa pun apalagi Azzura apa pun alasannya.

Tubuh semampai Azzura menjadi terguncang pelan akibat tangisnya. “Apa yang kamu lakukan sangat jahat, Mas! Kamu sudah melukai keluargaku!”

“Kamu melukai aku. Rasanya sakit banget, Mas!”

“Lima tahun aku jadi tunangan kamu setelah sebelumnya, hubungan kita juga sangat dekat. Mbak Rere tahu ini karena kalian memang bersahabat. Sebelumnya, aku dan bahkan orang-orang di sekitar kita selalu mengingatkan kalian agar kalian menjaga jarak jika Mas memang jauh lebih memilihku.” Azzura menatap tak habis pikir pria di hadapannya.

“Kami juga tidak sengaja melakukannya, sumpah!” yakin Cikho menangis ketakutan menatap Azzura dengan memohon.

“Tidak sengaja bagaimana?” sergah Azzura.

“Aku benar-benar bingung, tapi pada kenyataannya, aku memang melakukannya—” Cikho belum selesai menjelaskan karena Azzura sudah menahannya.

“A*l*ko*hol? Atau malah obat pe*rang*s*ang?” sergah Azzura. “Siapa yang menaruhnya? Teman-teman kalian atau malah rekan bisnis kalian yang merasa kalian terlalu cocok hingga kalian harus ‘melakukannya’? Atau malah memang Rere yang melakukannya karena baginya, kamu laki-laki sempurna? Tampan, kaya raya ... punya banyak relasi?” tegas Azzura masih sangat tenang, tertata layaknya ketika seorang Kalandra sedang meng*gem*pur lawan debatnya di depan meja persidangan.

Walau melalui lirikan sangat kilat, Azzura bisa melihat apa yang baru saja ia tegaskan sudah langsung membuat Rere menatapnya tidak suka.

“Kesalahan satu malam yang kami lakukan membuat Rere hamil anakku. Rere benar-benar tidak bersalah. Teman-teman kami lah yang melakukannya. Rere dan keluarganya bahkan mau menerima walau pernikahan kami hanya pernikahan siri dan itu kami rahasiakan dari keluargaku. Mereka juga menerima pernikahan kita.” Cikho berusaha meyakinkan dengan emosi yang jauh lebih stabil daripada sebelumnya. “Rere memang istri pertamaku. Namun percayalah, tidak ada satu pun wanita yang benar-benar aku cintai di dunia ini, selain dirimu!”

Kebas, tak ada lagi yang Azzura rasa karena nyawanya juga seolah dicabut paksa detik itu juga atas apa yang baru saja Cikho katakan. Benar-benar pengakuan yang sangat menyakitkan.

Azzura selalu berpikir, dirinya dan Cikho akan bersama-sama hingga akhir, menjadi pasangan dunia akhirat. Apalagi selain mereka yang sudah dekat sejak kecil karena orang tua mereka sudah seperti keluarga, alasan pernikahan mereka ada juga karena mereka saling mencintai. Namun, pengakuan Cikho barusan yang mengakui Rere sebagai istri pertama, walau Chiko baru menikahi Rere secara siri. Cikho terpaksa menikahi Rere tanpa sepengetahuan siapa pun termasuk orang tuanya, akibat kesalahan satu malam yang membuat Rere mengandung benihnya, benar-benar menghancurkan impian indah Azzura.

Tiba-tiba saja Azzura teringat kekhawatiran sang mamah yang merasa sangat berat melepasnya menikah dengan Cikho. Rasa berat tak beralasan, seolah Azzura akan pergi ke medan perang. Dan sekarang, Azzura menduga-duga, ... mengaitkan kekhawatiran itu pada apa yang tengah terjadi.

Orang bijak bilang, seorang ibu ibarat kulit ari dalam kehidupan anak-anaknya. Jadi, andai anak-anaknya terluka, ibu juga yang akan lebih dulu merasakannya. Azzura berpikir, itulah yang sebenarnya sang mamah rasakan perihal firasat yang membuat ibu Arum berat melepasnya. Karena sebenarnya, malaikat sudah mengabarkan itu kepada ibu Arum. Namun ibu Arum yang hanya terbatas dalam firasat, tak mungkin melarang Azzura melanjutkan langkah menuju pernikahan bersama Cikho. Walau yang ada, Azzura benar-benar merasa dijebak.

“Jika memang Rere sepenting itu. Jika memang Rere sesempurna itu untuk Mas. Kenapa Mas masih menginginkan aku? Kenapa Mas tetap menarikku menjadi bagian dari kalian?” tegas Azzura. “Maaf ....” Azzura menggeleng lemah di tengah tatapan tajamnya yang mengawasi Cikho maupun Rere, silih berganti.

“Maaf aku enggak senaif itu. Karena ketika orang dewasa memutuskan untuk menjalani sebuah pernikahan, juga sebuah hubungan poligami boleh dilakukan ... semua itu sungguh harus memiliki alasan yang benar-benar kuat. Sementara yang Mas lakukan, ... Mas sengaja menjebakku, dan Mas malah berusaha membandingkan aku dengan istri pertama Mas.”

“Tentu kami beda karena prinsip dan lingkungan kami tumbuh saja berbeda. Biarpun aku orang kampung, biar pun aku hanya seorang bidan dan bagi teman-teman kalian kita tidak selevel, ... aku enggak se*ren*dah kalian!”

3 : Mundur

Angin kencang mendadak berembus, membuat pintu kamar hotel menuju balkon orang tua Azzura menginap dan awalnya terbuka sempurna, sampai menutup dengan terbanting.

Ibu Arum yang sudah memakai piama lengan panjang warna kuning langsung tersentak. Ia yang tak lagi menutup kepalanya menggunakan jilbab, refleks menjatuhkan gelas berisi air putih dan sudah menempel di bibirnya. Detik itu juga tatapannya mengedar, menahan banyak kekhawatiran di tengah jantungnya yang sudah langsung berdentam kencang. Namun dari semua hal, yang langsung menguasai pikirannya hanya Azzura. Alasan yang juga membuatnya malah menginjak pecahan gelas ketika sang suami menegur. Teguran yang dilayangkan sang suami membuatnya terlalu terkejut, selain ibu Arum yang juga lupa, ada pecahan gelas di sebelah kaki kanannya.

“S-sayang kakimu ....” Pak Kalandra langsung lari menghampiri sang istri saking paniknya.

Di telapak kanan ibu Arum, pecahan gelas masih menancap, tapi wanita itu justru tidak peduli. Ibu Arum malah sibuk mencoba menelepon Azzura.

“Pah, ini kok mbak Azzura enggak angkat-angkat teleponnya!” Ibu Arum teramat khawatir dan sampai mengg*i*git kuat bibir bawahnya.

“Kaki kanan Mamah terluka, Mah. Tenang, duduk biar Papah urus! Itu juga bibir jangan gitu nanti terluka juga!” tegur pak Kalandra yang sudah sampai jongkok menuntun ibu Arum untuk duduk di pinggir tempat tidur mereka.

“Tapi Mbak Azzura enggak angkat telepon Mamah juga, Pah.”

“Mamah ... putri kita baru saja menikah. Dan ini menjadi malam pertamanya. Wajar kalau suaminya membuat mbak Azzura hanya fokus ke hubungan mereka.” Pak Kalandra masih berusaha meyakinkan dan baru saja berhasil membuat sang istri duduk.

Ibu Arum sibuk menggeleng, menepis anggapan pak Kalandra. Ia terlalu yakin, memang ada yang tidak beres hingga ia begitu khawatir. Ia teramat dekat dengan anak-anaknya, hingga hatinya tidak bisa dibongongi. “Seumur-umur, Mbak Azzura enggak pernah gitu, Pah. Dini hari saja dia tetap mengabari kita, sesibuk apa pun. Terus hujan di luar juga seram banget. Kenapa mendadak hujan angin sama petir!”

Ibu Arum benar-benar kacau di tengah air matanya yang sibuk berlinang. Bukan luka di kakinya yang membuatnya merasa kesakitan, tetapi kekhawatirannya kepada sang putri yang makin lama makin tak terbendung. “Coba minta mas Aidan buat cek ke rumah Cikho ....”

Sementara itu, di tempat berbeda. Di hadapan Cikho, Azzura tengah meratapi layar ponselnya yang menyala akibat telepon masuk dari sang mamah dan berulang kali ia abaikan. “Maaf, Mah. Aku benar-benar minta maaf. Maaf karena aku sudah bikin mamah bahkan keluarga kita kecewa. Namun, andai aku tahu dari awak, tentu lebih baik pernikahan ini tidak pernah terjadi!” batin Azzura.

Dari semua yang Azzura rasa, memang perasaan orang tuanya yang paling ia khawatirkan. Selama ini, ia dan juga saudaranya selalu berusaha menjaga perasaan orang tuanya. Mereka selalu menjadi anak berbakti yang sebisa mungkin menjunjung tinggi derajat orang tua.

“Andai dari awal kamu jujur, Mas. Pasti semua ini enggak akan terjadi. Pasti keluarga kita apalagi orang tuaku, enggak akan sangat kecewa. Karena jika dari awal Mas jujur, aku juga akan mengerti. Mas paham tanpa harus aku jelaskan karena Mas tahu, aku seperti apa!” tegas Azzura dingin bertepatan dengan Cikho yang mendekapnya sangat erat.

“Karena aku paham kamu seperti apa, ... aku terpaksa melakukan ini. Aku enggak mau kehilangan kamu, apa pun yang terjadi karena aku sangat mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu, Ra! Sumpah!” yakin Cikho yang sampai membingkai erat wajah Azzura menggunakan kedua tangannya. Ia menatap saksama kedua mata Azzura, masih berusaha meyakinkannya.

“Apa yang aku lakukan diperbolehkan oleh agama kita. Karena dari awal pun, pihak Rere setuju aku tetap menikah dengan kamu asal aku menikahi Rere yang hamil anakku!”

“Jangan menyamakan aku dan pihak Rere karena kami jelas berbeda!” sergah Azzura lirih.

“Aku enggak mungkin menceraikan Rere karena dia hamil anakku, Ra!” tegas Cikho dengan nada suara yang menjadi naik.

Sementara yang terjadi pada Rere, diamnya wanita itu juga dibarengi dengan emosi yang tidak stabil.

“Aku enggak akan pernah meminta itu karena akulah yang akan mundur! Bahkan tadi aku sudah menegaskan, andai Mas jujur dari awal, aku akan jauh lebih memahami keadaan kalian. Sementara mengenai poligami dan agama kita, dari awal aku sudah mengatakannya kepada Mas. Aku tidak akan pernah menjalaninya karena di dunia ini tidak ada yang pernah bisa benar-benar adil, atau sekadar merasa adil. Karena jangankan kepada orang lain termasuk itu istri, ke diri sendiri saja, kita belum bisa adil!” Azzura bertutur lirih sekaligus cepat. Sepanjang itu juga, Cikho yang menatapnya penuh keseriusan, sibuk menggeleng. Cikho terlihat jelas tidak bisa menerima keputusan Azzura.

“Sekarang juga, selesaikan hubungan kita di hadapan orang tua kita. Bukan talak, tapi PEMBATALAN PERNIKAHAN!” lanjut Azzura.

Detik itu juga Rere menghela napas dalam bersama senyum yang seketika terbit dari kedua sudut bibirnya. Senyum kelegaan yang juga terlihat mengibarkan kemenangan.

Lain dengan Rere, apa yang Azzura tuntutkan justru membuat air mata Cikho kian sibuk berlinang. Menggeleng tegas, pria itu memeluk erat Azzura menggunakan kedua tangannya.

“Mulai sekarang, tolong jaga jarak, Mas. Karena aku bukan wanita gam*pa*ngan yang akan membiarkan tubuhku disentuh sembarang oleh lawan jenis yang bukan mahramku. Sedekat apa pun hubungan kita bahkan walau orang tua kita sudah seperti keluarga. Apalagi sekarang Mas sudah jadi suami orang dan sebentar lagi, Mas akan menjadi seorang ayah! Sementara mengenai pernikahan kita, ... sampai kapan pun pernikahan kita tidak pernah ada karena Mas melakukannya dengan kebohongan!” tegas Azzura.

Di depan mereka, Rere merasa sangat tersindir dengan penolakan yang Azzura lakukan dan itu membahas ‘wanita gam*pa*ngan’.

“Aku tidak akan pernah melepaskanmu!” yakin Cikho.

“Jika itu yang terjadi, Mas sama saja enggak menghargai aku dan aku tidak segan menggugat Mas. Karena daripada bertahan dengan Mas yang jelas tidak pernah menghargaiku, perasaan sekaligus nama baik keluargaku jauh lebih penting!” balas Azzura.

Cikho berangsur menyudahi dekapannya, tapi ia tak lantas melepaskan Azzura begitu saja. Kedua tangannya menahan kedua lengan Azzura, walau dengan cepat, Azzura mundur dan membuat tahanan yang Cikho lakukan berakhir. Iya, berakhir. Seperti nasib hubungan mereka dan itu benar-benar sudah ada di depan mata.

“Beri aku kesempatan, ... sekali saja!” lirih Cikho, benar-benar memohon. Namun karena Azzura malah menepis tatapannya dan memalingkan wajah, ia rela berlutut memohon kesempatan kepada wanita yang teramat ia cintai itu.

Di tengah air matanya yang masih berlinang, Azzura melirik Cikho. “Urus istri dan rumah tangga kalian saja. Kalian sudah seniat ini. Kalian sudah sejauh ini. Terima kasih banyak untuk luka yang begitu terencana, tapi maaf ... aku terlalu berharga untuk kalian lukai dan aku berhak bahagia tanpa kalian!”

Yang langsung Azzura tuntutkan kepada Cikho adalah kesiapan pria itu menyelesaikan hubungan mereka. Namun, Cikho terus saja diam dan terlihat jelas tidak bisa menjawab.

“Masuk ke kamarmu. Kita bahas ini besok,” ucap Cikho walau ia masih menunduk.

“Aku enggak mau apalagi ini memang bukan tempatku!” tegas Azzura yang diam-diam menatap layar ponselnya. Di sana, sambungan telepon dengan kontak bernama mas Aidan masih berlangsung. Sambungan yang berlangsung sejak ia mengabaikan setiap telepon dari ibu Arum.

“Azzura benar-benar keras kepala. Sangat bahaya andai dia buka mulut sebelum Cikho yang melakukannya. Bisa-bisa bukannya dinikahi secara resmi, yang ada aku malah diceraikan!” batin Rere benar-benar panik. “Aku benar-benar harus melakukan sesuatu. Mungkin semacam menyewa pemb-bunuh bayaran untuk menghabisinya agar hubunganku dan Cikho, aman!” batinnya lagi mantap dengan keputusannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!