"Kaos kakiku di mana, Bu?"
Teriakan seorang gadis berpakaian seragam putih biru menggema di seluruh penjuru rumah, membuat semua orang terpaksa menutup telinga mereka yang berdengung sakit.
"Sebentar!"
Seorang wanita tampak berjalan dengan tergesa-gesa untuk menuruni anak tangga, tidak lupa sambil membawa kaos kaki yang menjadi alasan untuk keributan pagi ini.
"Kau sudah besar, Adel. Kenapa semua-semua masih harus Ibu yang menyiapkannya sih?"
Gadis bernama Adel itu langsung menyambar kaos kaki yang ada ditangan sang ibu tanpa mendengarkan apa yang ibunya katakan.
"Duuh, aku udah kesiangan ini."
Adel menyambar tasnya yang tergeletak di atas lantai membuat ibunya menggelengkan kepala, dia lalu bersiap untuk berangkat ke sekolah.
"Sarapan dulu, Del,"
"Aku sarapan di sekolah aja. Dah Ibu."
Adel berlari keluar dari rumah sambil melambaikan tangannya, dia segera masuk ke dalam mobil yang biasa mengantar jemputnya ke sekolah.
Wanita itu menatap putrinya sambil menghela napas frustasi, entah berapa kali dia harus mengingatkan Adel jika sarapan itu sangat penting.
"Bu. Apa Ibu melihat kaca mataku?"
Wanita itu tersentak kaget saat mendengar teriakan putrnya dan langsung membalikkan tubuh. "Ada di atas meja belajarmu, Ezra."
"Enggak ada, Bu."
Wanita itu berdecak sambil berjalan cepat untuk menemui putranya, tidak berselang lama terdengarlah suara dari sang suami.
"Kau menyimpan berkas semalam di mana, Ayun?"
Wanita itu semakin mempercepat langkahnya saat mendengar suara-suara mereka, tentu saja dia harus segera memberikan apa yang mereka inginkan atau mereka akan terus berteriak.
Keadaan di pagi hari benar-benar seperti medan perang untuk wanita bernama Ayundya Nadira. Bukan hanya menyiapkan sarapan untuk semua orang, tetapi dia juga akan disibukkan dengan semua teriakan dari mereka.
Semua itu terus terulang setiap harinya, tetapi tidak ada masalah dengan itu karena Ayun sudah terbiasa selama bertahun-tahun.
Setelah selesai menyiapkan segala keperluan untuk semua orang, Ayun segera kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Terlihat dia sudah membuatkan 2 cangkir kopi untuk suami dan ayah mertua, secangkir teh untuk ibu mertua, juga segelas jus untuk putra sulungnya.
Semua orang bergegas ke meja makan untuk menikmati sarapan bersama, begitu juga dengan Ayun yang duduk tepat di sebelah sang suami.
"Ke mana Adel? Apa dia sudah pergi ke sekolah?" tanya Evan, dia adalah suami Ayun.
Ayun menganggukkan kepalanya sambil memberikan sepiring nasi yang sudah terisi lauk pauk untuk sang suami.
"Dia baru aja pergi, katanya ada yang harus dikerjakan."
Evan menatap Ayun dengan tidak suka. "Sudah berapa kali ku katakan kalau dia harus sarapan dulu baru ke sekolah, Ayun. Bagaimana kalau perutnya sakit nanti?" Dia menatap tajam membuat Ayun menghela napas kasar.
"Putrimu itu yang bandel, Evan. Sudah berulang kali Ayun mengingatkannya, tapi dia tetap tidak mau dengar," ucap Mery, dia adalah mertuanya Ayun.
"Tapi tetap saja, Bu. Kita harus memaksanya biar dia mau sarapan."
Evan tetap keukeh untuk memaksa Adel sarapan membuat Ayun dan sang mertua hanya bisa mengangguk sambil menikmati sarapan yang sudah tersaji di hadapan masing-masing.
"Oh iya, nanti malam aku tidak pulang ke rumah."
Semua orang langsung menatap ke arah Ezra saat mendengar ucapannya, terutama Ayun yang duduk tepat di hadapan sang putra.
"Kau mau ke mana, Ezra?" tanya Evan dengan tajam.
"Kami ada acara festival di kampus, Yah. Jadi semua orang harus berada di sana sampai acara selesai,"
"Memang selesainya jam berapa? Pak Agus 'kan, bisa menjemputmu nanti," ucap Ayun sambil memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya.
"Yang lain juga menginap di kampus, Bu. Masak cuma aku yang pulang?"
Ezra membuang muka sebal. Dia kan sudah berumur 18 tahun dan bisa dikatakan dewasa, tetapi tetap saja tidak diperbolehkan ini dan itu.
"Tapi-"
"Ya sudah. Kau boleh menginap, tapi ingat untuk tetap menjaga diri dan tingkah lakumu."
Ayun langsung menatap suaminya dengan tidak percaya. Kenapa sang suami mengizinkan Ezra menginap? Padahal selama ini suaminya yang melarang anak-anak mereka tidur di luar rumah.
"Kenapa kau mengizinkannya, Mas?" tanya Ayun.
"Tidak apa-apa lah, lagi pula semua itu juga penting untuk pergaulannya, kan?"
Ezra langsung menganggukkan kepalanya. "Iya betul. Ibu saja yang enggak tau pergaulan."
Ayun terdiam saat mendengar ucapan sang suami, dia lalu mengumpulkan piring-piring bekas makan mereka dan membawanya ke westafel.
Selesai makan, Ezra dan Evan segera berangkat menuju tempat masing-masing. Ezra menunggangi kuda besinya menuju kampus, sementara sang ayah mengendarai mobilnya menuju kantor.
Melihat putra dan suaminya sudah pergi, Ayun bisa sedikit bersantai. Dia meluruskan kakinya di atas karpet yang ada di depan televisi, tidak lupa sambil memberikan sedikit pijatan pada kakinya yang terasa kaku.
"Hari ini kau jadi pergi bersama Naila, Yun?"
Ayun mendongakkan kepalanya saat mendengar suara sang mertua. "Jadi, Bu. Aku akan berangkat jam 11."
"Ya sudah, sekarang kau siap-siap saja. Biar ibu yang mencuci piring dan menyapu rumah."
Ayun langsung menggelengkan kepala, tidak mungkin dia membiarkan ibu mertuanya yang sudah tua mengerjakan rumah.
"Tidak usah, Bu." Ayun beranjak berdiri. "Kata Dokter Ibu harus banyak istirahat, jadi jangan melakukan pekerjaan apapun."
"Tapi badan ibu makin pegal semua jika tidak bergerak," ucap Mery sambil berjalan ke arah westafel. "Biar ibu cuci piring, ini bukan pekerjaan yang berat."
Ayun hanya bisa tersenyum saat mendengar ucapan sang mertua, bersyukur dia punya mertua yang baik seperti Mery. Dia lalu bergegas untuk membersihkan rumah, setelah itu harus bersiap karena akan pergi bersama temannya ke suatu acara.
Tepat pukul 10 lewat 30 menit, Ayun sudah tampak rapi dengan gaun dan hijab berwarna biru senada. Dia pergi bersama dengan Naila ke tempat salah satu teman mereka yang sedang mengadakan hajatan.
Ayun dan Naila asik bercerita sepanjang perjalanan, sampai tiba-tiba Naila terpaksa menginjak rem secara mendadak saat ada seorang anak kecil berlari di depan mobil mereka.
"Astaghfirullah!"
•
•
•
Tbc.
Ayun memekik kaget saat Naila menginjak rem secara mendadak, dia bahkan membulatkan matanya ketika melihat ada seorang anak kecil yang tergeletak di depan mobil mereka.
"Ya Allah, kita menabraknya Nai."
Ayun bergegas keluar dari mobil dengan diikuti oleh Naila, terlihat seorang wanita paruh baya berlari menghampiri ajak kecil tersebut.
"Ya Allah, Suci. Kau enggak papa, Nak?"
Ayun dan Naila segera menghampiri mereka dan ikut berjongkok di tempat itu. "Ya Allah, apa kau tidak apa-apa Sayang?" Ayun menatap anak kecil itu dengan sendu.
Gadis kecil itu terisak ketakutan dengan siku dan lutut berdarah, dengan cepat Naila mengajak mereka untuk segera ke rumah sakit agar bisa mendapat pertolongan dari Dokter.
Akhirnya mereka semua pergi ke rumah sakit terdekat yang ada di tempat itu, tampak Ayun sedang menenangkan gadis kecil itu agar tidak terus menangis.
"Maafkan tante ya, Sayang. Tante bersalah karena sudah menabrak Suci," ucap Ayun berusaha menenangkan gadis kecil itu, dia tahu jika saat ini Suci menangis karena takut.
Suci menatap Ayun dengan takut-takut, tetapi Ayun segera menggenggam tangannya dengan memberikan senyum tulus.
"Tante akan membawa Suci ke rumah sakit, jadi nanti tangan dan kaki Suci bisa di obati."
Wanita paruh baya yang bersama gadis kecil itu tersenyum melihat apa yang Ayun lakukan. "Itu cuma luka kecil saja kok, Buk. Lagi pula memang cucu saya yang salah, dan saya tidak menjaganya dengan baik."
"Semua itu biasa terjadi, Bu. Tapi kita harus tetap memeriksakan keadaan Suci, yah semoga dia baik-baik saja."
Wanita paruh baya itu mengangguk, dia lalu segera mengambil ponselnya untuk menghubungi sang putri, dan harus memberi kabar tentang apa yang terjadi pada Suci.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di rumah sakit. Ayun segera memanggil Dokter untuk memeriksa keadaan Suci, dan gadis kecil itu di bawa ke dalam ruang perawatan.
Dokter segera melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, terutama pada alat-alat vital gadis kecil itu.
"Tidak ada luka lain selain luka di siku dan juga kakinya, semua baik-baik saja dan juga normal."
Semua orang bernapas lega saat mendengar ucapan Dokter, kemudian Dokter itu segera mengobati luka yang ada di tangan dan kaki Suci.
Brak.
Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka secara kasar oleh seorang wanita, membuat Ayun dan semua orang yang berada di tempat itu terlonjak kaget.
"Suci, anakku."
Wanita itu langsung memeluk tubuh sang putri dengan erat, serta air mata yang membasahi wajah. Dia sangat khawatir saat mendengar kabar tentang putrinya dari sang ibu, dan bergegas menyusul ke rumah sakit.
Ayun memperhatikan wanita yang ada di hadapannya dengan tajam, dia lalu membongkar memori yang ada di dalam kepalanya untuk mengingat siapa wanita itu karena merasa tidak asing dengan wajahnya.
"Benar. Dia kan, temannya mas Evan?"
Ayun maju selangkah untuk menyapa wanita itu, tetapi belum sempat dia mengeluarkan suara. Tiba-tiba masuklah seorang laki-laki ke dalam ruangan itu.
"Bagaimana keadaan putri kita, Sherly?"
Deg.
Tubuh Ayun langsung membeku saat melihat siapa laki-laki yang saat ini sedang berdiri di hadapannya, apalagi saat mendengar perkataan dari laki-laki tersebut.
"Syukurlah dia baik-baik saja, Sayang. Aku benar-benar sangat khawatir," jawab Sherly sambil melerai pelukannya, sementara laki-laki itu ikut bernapas lega saat mengetahui putrinya baik-baik saja.
Naila yang ada di samping Ayun langsung menggenggam tangan wanita itu saat melihat apa yang terjadi di hadapannya saat ini, sementara Ayun sendiri terus melihat lurus ke depan dengan air mata yang meluncur bebas di wajahnya.
"Ma-mas, Mas Evan?"
Deg.
Evan langsung membalikkan tubuhnya saat mendengar suara seseorang yang sangat dia kenali, begitu juga dengan Sherly yang sangat terkejut saat melihat keberadaan Ayun.
"A-Ayun?"
Evan tercengang dengan tubuh kaku ketika melihat sang istri ada di hadapannya, mata mereka saling bersitatap dengan dada yang berdegup kencang.
"Ka-kau, dia-"
Ayun benar-benar tidak bisa mengeluarkan suaranya, bahkan tidak sanggup untuk berkata apa-apa. Hatinya benar-benar sakit saat melihat dan mendengar apa yang baru saja terjadi, apakah yang dia lihat saat ini adalah nyata?
Evan segera menyadarkan diri dari keterkejutannya, dengan cepat dia mendekati Ayun yang terus menatapnya dengan pilu.
"I-ini, ini tidak seperti yang kau lihat, Ayun. Aku, aku dan dia-"
"Dia, dia anakmu?" tanya Ayun dengan lirih. Kedua tangannya mencengkram erat gaun yang ada di sisi kanan dan kiri sampai menjadi kusut.
Evan terdiam karena bingung harus berkata apa, lalu tiba-tiba Suci melompat turun dari ranjang dan segera menghampirinya.
"Papa, lihat. Tanganku berdarah."
Deg.
Dada Ayun seperti sedang ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum secara bersamaan, hingga rasa sakitnya membuat napas menjadi sesak seakan tercekat di tenggorokan.
Semua orang yang ada di tempat itu terdiam, sementara Ayun menatap mereka semua dengan nanar. Sungguh dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jangankan untuk bereaksi, dia bahkan tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini.
Naila terus menggenggam tangan Ayun, sumpah demi apapun juga dia ikut merasakan sakit yang saat ini sedang sahabatnya rasakan. Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Apakah anak kecil itu benar-benar anak Evan? Lalu, siapa wanita itu?
Tidak tahan terus berada di ruangan itu, Ayun langsung pergi sambil memegangi dadanya yang terasa sangat sakit membuat Naila juga ikut beranjak keluar.
"Ayun, tunggu!" Evan yang akan mengejar langkah Ayun tidak bisa menggerakkan tubuhnya saat tangannya di pegang oleh Suci.
"Ya Allah Yun. Istighfar Yun, istighfar." Naila memekik kaget saat melihat apa yang Ayun lakukan.
Ayun memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak, bahkan air mata turun dengan deras tanpa bisa dia cegah.
"Dia memanggil suamiku papa, Nai. Dia, dia- huhuhu."
•
•
•
Tbc.
Ayun terisak pilu dalam pelukan Naila, saat ini mereka sudah berada di dalam mobil setelah susah payah menahan rasa sakit yang menghantam jiwa.
"Huhuhu. Dia, dia memanggilnya Papa, Nai."
Hati istri mana yang tidak terluka saat mendengar dan menyaksikan kejadian beberapa waktu lalu? Jelas saja jiwa Ayun sangat terguncang. Dia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Percakapan antara suaminya masih teringat jelas dalam ingatan Ayun, bahkan kata-kata itu terasa beputar-putar dalam kepalanya. Kenapa, kenapa semua itu terjadi? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa suaminya bisa bersama dengan wanita itu?
Beribu pertanyaan ingin terlontar keluar dari mulut Ayun, tetapi dia tidak sanggup untuk mengeluarkannya. Apalagi dengan rasa sakit yang terus menyiksa jiwa dan raga.
Ayun hanya bisa menangis dalam dekapan sang sahabat. Dia harus segera menghentikan semua ini, tetapi dia sendiri bahkan tidak bisa mengendalikan diri.
"Istighfar, Yun."
Naila mengusap punggung Ayun dengan lembut. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan wanita itu saat ini, tetapi sudah cukup Ayun mengeluarkan air matanya.
"Apa, apa yang sebenarnya terjadi, Nai? Kenapa, kenapa mas Evan bersama dengan wanita itu?" ucap Ayun sesenggukan membuat Naila menatap sendu.
"Bicarakan semuanya secara baik-baik dengan suamimu, Yun. Tanyakan apa yang sedang terjadi, dan tanyakan apa maksud dari ucapan mereka tadi."
Ayun mengangguk lemah sambil menahan air mata yang masih saja ingin keluar. Mereka lalu memutuskan untuk kembali dan tidak jadi pergi ke tempat tujuan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di depan rumah Ayun. Dia segera keluar dari mobil dan mengajak Naila untuk mampir barang sebentar.
"Maaf Yun, aku tidak bisa mampir karena harus menjemput Riki di rumah neneknya." Naila merasa tidak enak hati. Di saat seperti ini, sahabatnya itu pasti butuh teman yang menemani.
"Tidak apa-apa, Nai. Terima kasih untuk tumpangannya, jangan lupa kabarin aku kalau sudah sampai." Ayun mengulas senyum tipis sambil melambaikan tangannya.
Hati Naila ikut terluka dengan apa yang terjadi, apalagi saat melihat senyum yang ada di wajah Ayun benar-benar terasa sangat menyedihkan.
Setelah melihat Naila pergi, Ayun segera berjalan masuk ke dalam rumah. "Assalamu-" Dia tidak dapat melanjutkan ucapannya saat melihat sang suami berdiri tepat di samping pintu.
Ayun berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan diri, apalagi saat ini ada kedua mertuanya yang sedang asik menonton televisi.
"Kau sudah pulang, Yun?"
Ayun tersentak kaget saat mendengar suara ibu mertuanya. Dengan cepat dia berjalan masuk ke dalam rumah, dan menghampiri wanita paruh baya itu.
"Iya, Bu. Apa Ibu mau aku bikinkan teh?"
Mery menggelengkan kepalanya. "Tidak, ibu cuma mau bilang kalau Evan mencarimu." Dia tidak sadar jika putranya sedang berada di tempat itu.
Ayun hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar. Tidak sedikit pun dia melihat ke arah sang suami, karena tidak sanggup untuk menahan air matanya.
Evan yang sejak tadi menatap Ayun menghela napas berat. Dengan cepat dia mengikuti langkah sang istri untuk menuju kamar.
Ayun mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Sekuat tenaga dia menahan gejolak amarah yang mulai merasuki, sampai matanya melirik ke arah pintu saat Evan masuk ke dalam.
Evan lalu duduk di samping Ayun dengan jarak yang lumayan dekat. "Ada yang mau mas katakan, Yun. Ini tentang masalah tadi."
Ayun terdiam dengan tangan mencengkram sprei. Dadanya terasa sangat sesak, dengan kepala yang teras mulai berputar-putar.
"Apa, apa yang kau lihat tadi tidak benar, Yun. Dia, dia bukan anakku."
Ayun menatap Evan dengan tajam. "Bukan? Lalu kenapa dia bisa memanggilmu seperti itu, Mas?" Bibirnya bergetar saat mengeluarkan suara.
Evan diam sejenak untuk mencari alasan agar istrinya percaya. "Itu, itu karena aku berteman dengan Sherly, Yun. Jadi anaknya memanggilku seperti itu."
Ayun menatap Evan dengan mata bekaca-kaca. "Aku sudah mendengar semuanya, Mas. Aku bahkan mendengar saat kau bertanya tentang keadaan anak kalian pada wanita itu."
Evan membeku. Tidak, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya pada sang istri.
"Tidak, Ayun. Mungkin kau yang-"
"Bisakah kau berkata jujur, Mas?"
Ayun menatap suaminya dengan nanar. Apakah yang dikatakan laki-laki itu masuk akal, setelah dia mendengar semuanya? Tidak, jawabannya adalah tidak.
"Aku sudah berkata jujur, Yun. Untuk apa aku membohongimu?"
Ayun menggelengkan kepalanya. Andai tadi dia sempat merekam apa yang terjadi, pasti laki-laki itu tidak akan berkelit.
"Kenapa kau melakukan semua ini, Mas? Aku hanya butuh penjelasan, dan bukannya bantahan dari apa yang sudah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri."
Ayun mengusap wajahnya dengan kasar membuat Evan terkesiap, dengan cepat dia menarik tangan wanita itu dan menggenggamnya.
"Maaf, Yun. Aku, aku-"
"Ayah!"
Ayun dan juga Evan tersentak kaget saat tiba-tiba Adel masuk ke dalam kamar. Dengan cepat Ayun beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
"Ayah, lihat ini."
Evan yang melihat sang putri tampak tersenyum canggung. Dia lalu memperhatikan apa yang baru saja Adel berikan padanya.
"Ini ... apa, Del?" tanya Evan dengan bingung.
Adel menggelengkan kepalanya sambil berdecak saat melihat sang ayah tidak tahu. "Ini undangan untuk acara wisata. Jadi semua orang tua harus hadir ke sekolah untuk menemani anak mereka, sekaligus menyisihkan sedikit waktu untuk bersama dengan keluarga."
Evan terdiam saat mendengar penjelasan dari Adel. Tiba-tiba dia teringat dengan hal penting yang harus dilakukan pada tanggal yang sama dengan acara sekolah putrinya itu.
"Si*al. Kenapa acaranya bersamaan seperti ini sih?"
Evan menjadi bingung sendiri, tetapi dia tidak bisa mengingkari janji yang sudah dibuat pada orang lain.
"Maaf, Sayang. Sepertinya ayah tidak bisa mengadiri acara itu karena ada acara lain, jadi kau pergi bersama ibu saja ya."
Adel langsung menekuk wajahnya saat mendengar ucapan sang ayah, sementara Ayun yang sudah keluar dari kamar mandi terpaku di depan pintu saat mendengar ucapan suaminya.
"Acara lain?"
•
•
•
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!