NovelToon NovelToon

Mochi Milik Tuan Min

Karyawan baru

"Monika!!" pekik seorang wanita bertubuh gempal berbalut baju kantor berwarna biru navy, ia membenarkan kaca mata yang dengan bingkai berwarna emas.

Perempuan bernama Elsa itu melihat sekali lagi data diri karyawan yang ia panggil, tidak salah nama yang tertera di sana Monika susi s. Elsa mendengus kesal, karena yang ia panggil tak kunjung menyahut.

"Panggilan terakhir MONIKA!" teriaknya dengan lantang, suara wanita itu menggelegar hingga membuat beberapa orang yang sedang menunggu panggilan kerja menutup telinga.

Seorang wanita berlari kencang mendengar namanya dipanggil.

"Sa-saya Bu," ujarnya dengan nafas tersengal.

Gadis itu menunduk, tangannya bertumpu pada kedua lutut, terlihat punggung yang terbalut blouse warna putih itu naik turun seiring tarikan nafasnya. Jarak dari tempat parkir keruang HRD lumayan jauh dan menguras tenaga, entah siapa yang mengatur seperti itu, seharusnya kan di buat dekat biar gampang sampai. seperti itu kira-kira isi hati monika.

"Kemana aja kamu? dari tadi dipanggil nggak denger apa?" ketus Elsa kesal.

"Kalau bukan titipan Ridwan, nggak bakal aku terima kamu," gumam Elsa lirih.

"Apa Bu?" tanya Monika, yang merasa Wanita gempal itu mengucapkan sesuatu, tapi Monika tidak mendengar karena masih lelah.

"Nggak ada cepat masuk, dan untuk yang lain. Silakan pulang dan menunggu kabar selanjutnya!" ujar Elsa dengan sedikit berteriak.

Mereka yang awalnya duduk pun satu-persatu mulai bangkit, mereka beranjak pergi walau pun dengan berat hati. Mereka tentu sangat ingin berkerja di perusahaan besar ini.

"Ayo masuk, kenapa malah bengong di situ?" ketus Elsa sembari menoleh, dia yang awalnya akan masuk ke kantor kembali menoleh saat sadar gadis bernama Monika itu tidak mengikuti.

"Eh .. iya Bu, maaf." Monika tersenyum kaku saat mendapati Elsa yang menatap tajam padanya.

Sebenarnya Monika bingung dengan apa yang terjadi, dia baru datang dan langsung dipanggil masuk sedangkan yang lain malah disuruh pulang. Ia oun tak ingin ambil pusing, mungkin ini memang hoki dia jadi langsung dapat kerja. Monika memang anak yang paling beruntung, begitu kata emaknya dulu.

setelah mengambil berkas di meja, Monika diminta untuk mengikuti langka cepat Elsa. Mereka melewati beberapa lorong kubikel, mereka mengunakan lift untuk naik ke lantai paling atas.

"Jangan pernah telat, kamu mulai kerja jam tujuh kurang lima belas menit dan pulang jam tujuh malam, pastikan semua beres sebelum pulang. Tapi jam kerja kamu bisa berubah tergantung keinginan Tuan, jangan membantah, Tuan tidak suka. Tuan Min suka orang yang rapi." Elsa menatap Monika intens dari atas ke bawah, kemudian membenarkan kacamatanya.

"Lumayan untuk hari pertama kerja," Elsa kembali menoleh menatap lurus ke depan.

"Terima kasih Bu," ujar Monika malu-malu, setelah dipuji.

Gadis itu mengenakan blouse putih lengan panjang dengan rampel di bagian dada dipadu dengan celana kain berwarna hitam. Monika sangat berterima kasih pada Linda yang sudah meminjamkan ini semua.

"Ini baca dengan baik, semua rincian pekerjaan kamu ada di sana." Elsa memberikan dia setumpuk map yang harus ia pelajari.

Pupil mata Monika bergerak-gerak membaca isi map biru yang baru saja ia buka, dahi gadis itu berkerut seiring matanya yang melebar. Dalam hati Monika merasa bimbang kalau itu adalah pekerjaan yang normal ada di kantor, tapi sudahlah dia sangat membutuhkan pekerjaan untuk membayar kos yang sudah telat dua bulan.

Waktu menunjukan tepat pukul tujuh pagi, Monika bisa melihat itu dari jam besar yang terpajang di tembok. Posisi jam itu langsung menghadap lift dimana mereka berhenti.

"Kau sudah mengingat semua dengan baik?" tanya Elsa tanpa menoleh.

"Sudah Bu," jawab Monika walaupun dia belum membaca yang tertulis di map sepenuhnya, waktu mereka tidak cukup.

"Bagus, jangan kecewakan aku. Disini kau akan berkerja, Tuan Min akan datang sebentar lagi," ujar Elsa saat mereka berhenti di depan pintu besar.

Monika hanya bisa mengangguk, dalam hati ia merasa ada yang tidak beres. namun, wanita itu memilih diam, mungkin memang seperti ini pekerjaan yang di maksud Via, Via adalah teman satu kos Monika yang memberitahu jika di kantor ini sedang membuka lowongan kerja, Monika yang baru saja mengundurkan diri dari restoran tempat dia bekerja tentu saja langsung mengirimkan lamaran ke mari beberapa hari yang lalu.

"Tuan Min?"

"SStt ... Dia datang." Monika yang akan bertanya pun terhenti karena wanita bertubuh gempal itu menyenggolnya.

Derap langkah terdengar dari arah berlawanan, suara sepatu yang beradu dengan lantai marmer sangat nyaring di telinga, bukan hanya satu tapi beberapa. Monika bisa menebak jika tak hanya orang yang disebut Tuan MIN itu yang, tapi masih ada yang lain.

Benar dugaan Monika, seorang pria tampang dengan kulit seputih salju berjalan paling depan, monika sampai tak berkedip melihat kulit pria itu yang seolah habis mandi bedak bayi. Pria itu berjalan dengan dua orang pria di belakangnya.

"Selamat pagi Tuan, " sambut Elsa sembari menunduk sembilan puluh derajat, Monika langsung ikut mengikuti apa yang Elsa lakukan.

"Hem, siapa dia?" tanya pria berkulit putih itu.

"Dia Monika, sekertaris Anda," jawab Elsa setelah dia menegakkan tubuhnya kembali.

'Whaaaaat, sekertaris!' pekik Monika dalam batin, dia tidak berani bicara karena tatapan pria itu begitu tajam menatapnya.

"Kau boleh pergi." Elsa mengangguk, dia menunduk hormat sebelum ia pergi. Begitu pula dua orang yang tadi berjalan dibelakang orang itu, mereka pamit untuk pergi ke ruangan masing-masing.

Tinggal Monika dengan manusia salju berwajah tampan saling berhadapan.

"Siapa namamu tadi?" tanya pria itu.

"Monika Tuan," jawan gadis itu dengan senyum ramah mengembang.

"Ok, Mochi. ini mejamu.Dan jangan banyak tanya saat kau berkerja, aku tidak suka wanita cerewet!" tegas pria itu.s Sambil menunjuk meja kerja yang ada di belakang gadis itu.

"Tapi nama saya Moni,_"

"Mochi kan aku tau."

"Moni,-"

"Diamlah, kenapa kau cerewet sekali. cepat berkerja atau tinggalkan tempat ini jika kau hanya mau ceramah di sini!" pria pria itu langsung masuk ke ruangannya Meninggalkan Monika yang kebingungan sekaligus kesal.

Telepon di meja kerja Monika berdering keras, gadis itu terkejut dan langsung mengangkatnya.

"Halo?" sapa Monika dengan gugup.

"Halo kepalamu! Dimana kopiku? apa kau mau dipecat di menit pertamamu!" teriak orang yang baru saja masuk ke kantornya.

"Tidak Tuan, saya akan segera buatkan!" Monika ikut berteriak karena kaget, dia juga menutup telepon dengan kasar.

"Haduh kopi? buatnya dimana? bodoh aku juga lupa nanya dia mau kopi apa?" Monika masih berdiri di meja kerjanya sambil mengigit kuku karena cemas.

Terdengar langkah kaki mendekat dan itu membuat Monika semakin gugup.

"Hei, kenapa melamun?" tanya seorang pria yang memakai jas berwarna biru.

Monika terjingkat kaget membuat laki-laki itu tertawa. "Apa Hyeon Seok menyuruhmu melakukan sesuatu?"

"He- Hion sok?" Ulang Monika dengan terbata, dia tidak terbiasa dengan mengucapkan nama seperti itu. Pria itu kembali tergelak.

"Maksud ku Tuan Min? Orang yang ada di dalam sana," ucapnya sambil menunjuk pintu besar ubah tertutup.

Monika mengangguk. "Dia minta kopi. "

"Kopi?" Monika mengangguk mengiyakan.

"Kalau begitu cepat buatkan, moodnya akan buruk sebelum dia minum Americano paginya. Ayo ikut aku, " Ujar laki-laki itu sambil melangkah pergi, Monika pun langsung mengejar. Dia tidak ingin ketinggalan langkah lebar pria itu menuju pantry.

Meskipun sekertaris bukanlah jabatan yang menjadi incarannya, dia akan melakukan pekerjaan ini dengan baik untuk hari ini. Khusus hari ini saja, besok dia akan bicara dengan pihak HRD.

Resiko

Monika mulai melakukan pekerjaannya dengan dibantu pria tampan yang tadi pengantar dia ke pantry. Dengan cepat Monika mengerti apa yang di ajarkan laki-laki bernama Fredrick itu, di sangat ceria dan suka sekali tertawa.

"Apa kau sudah mengerti?"

"Apa seperti itu?" Tanya Monika sambil memperlihatkan apa yang baru saja ia kerjakan.

Fredrick mengangguk." Bagus, kalau seperti ini kau tidak akan kena semprot naga api itu."

"Hehehehe ... " Monika cengengesan sambil menggaruk ujung hidung dengan telunjuk.

Tidak sia-si dulu ia membantu pekerjaan munawaroh, sekertaris desa di desa emak Monika. Meskipun Monika hanya lulusan SMA tetapi otak gadis itu sangat encer. Sedari dulu dia sering membaca buku dan suka belajar dengan Alfan, kakak sepupunya yang kuliah. Monika sendiri tidak bisa kuliah karena ekonomi keluarganya yang memang kurang mampu.

Seorang wanita paruh baya, bertubuh langsing bak model papan atas berjalan cepat, tangannya mengandeng seorang gadis yang kalah cantik dengan baju yang cukup terbuka hingga menampilkan melon yang telah ranum di bagian dada. Mereka berdua berjalan dan berhenti di depan meja kerja Monika.

Fredrick tampak tersenyum meskipun seperti terpaksa. Wanita paruh baya itu tampak angkuh, mengangkat dagunya ke atas dengan bangga. Sementara wanita cantik dan seksi yang ada di sampingnya menatap Monika dengan tidak suka, tetapi wajahnya berubah ramah saat melihat Fredrick.

"Selamat siang Bibi? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Fredrick dengan sangat ramah dan sopan.

"Sudah berapa kali aku bilang, panggil aku Nyonya. Aku bukan bibi mu," ketus wanita yang Monika tidak tahu siapa. Fredrik hanya tersenyum menanggapi wanita itu, dia seperti sudah terbiasa.

"Dimana Yoonji?"

"Dia ada di dalam."

Mulut Fredrick bahkan belum tertutup, wanita muda yang memakai pakaian seksi itu langsung berlari dan membuka pintu kantor sang CEO dengan paksa. Wanita yang lebih tua itu pun berjalan mengikuti wanita itu. Tak ada kata terima kasih atau senyuman ramah, sungguh tidak sopan.

"Siapa mereka Tuan?" tanya Monika setelah kedua tamu itu hilang dibalik pintu besar.

"Mereka itu,-"

Jawaban Fredrick terhenti saat mendengar suara gaduh dari dalam kantor Yoonji seperti sesuatu yang jatuh atau sengaja dibanting. Teriakan kedua wanita itu saling bersahutan, tetapi tak ada suara pria pemilik perusahaan itu. Fokus Fredrick dan Monika tertuju pada ruangan besar yang tertutup rapat, keduanya hanya diam dan mencoba menerka apa yang terjadi didalam sana.

Brak.

Pintu besar itu dibuka dengan kasar dari dalam, pria berkulit seputih salju itu berjalan cepat kearah Monika dengan tatapan yang membuat wanita itu bergidik ngeri. Resiko pekerjaan, kalau ada masalah seperti ini bawahan pasti ikut kena imbas.

Tangan Yoonji menyingkirkan Fredrick yang menghalangi jalannya, tanpa kata tangan itu melingkar di pinggang Monika. Dua wanita yang mengikuti Yoonji, melotot melihat

Yoonji melakukan itu. Begitu pun Monika yang terkejut, tapi tak bisa melakukan apa-apa tubuhnya seolah kaku saking terkejutnya.

"Dia kekasihku, kami akan menikah minggu depan," ujar pria itu yang langsung membuat jantung Monika berhenti berdetak, matanya melebar sampai ukuran maksimal.

Fredrick berdecak keheranan tapi dengan cepat laki-laki itu bersikap tenang. Sementara kedua wanita itu, mereka menjerit tidak terima.

"Siapa dia Yoonji?!" tanya wanita dengan baju minim itu dengan berteriak, wajahnya memerah karena marah.

"Apa kau tuli, dia kekasihku!" tegas Yoonji dengan sorot mata tajam, Monika tan bisa berbuat apa-apa tangan laki-laki itu mencengkram pinggangnya dengan kuat.

Tentu saja Monika mengerti jika dia harus ikut sandiwara ini atau sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

"Yura." wanita paruh baya yang tadi terlihat kesal menepuk pelan pundak wanita cantik itu, seketika wanita itu menoleh dan memeluk wanita itu.

"Yoon jahat Bi," ujar wanita itu sambil menangis tersedu-sedu.

Wanita paruh baya itu menatap Yoonji dengan tajam, tangannya tak henti mengusap punggung gadis bernama Yura itu. "Aku harap kau tidak salah pilih dan menyesal pada akhirnya!"

Yoo Joon hanya tersenyum miring dengan tatapan dingin. Kedua wanita itu pergi tanpa pamit, lebih tepatnya gadis bernama Yura itu dipaksa pulang oleh wanita yang lebih tua. Yura sangat tidak rela, pergi dari kantor Yoonji.

"Kalian berdua masuk!" Yoonji melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang Monika, berjalan mendahului mereka.

Monika meringis merasakan nyeri yang teramat di pinggang sebelah kanan. Fredrick dan Monika mengikuti langkah Yoo Joon masuk ke ruangannya. Mulut Monika ternganga melihat kantor Yoonji yang berantakan.

"Awas kakimu!" Yoonji berkata tanpa menoleh, Fredrick dan Monik langsung melihat kaki mereka, pecahan vas kaca dimana-mana.

Sepatu karet Monika bisa saja langsung sobek jika terkena pecahan vas mahal itu.

"Duduk dimana kalian bisa," ujar Yoonji sembari duduk di kursi kebesarannya.

Fredrick duduk di kursi yang ad di depan meja kerja Yoonji, sementara Monika duduk di sofa karena kursi yang ada disebelah Fredrick basah, entah air apa yang membasahinya.

Wajah Yoonji sangat tenang, tetapi terlihat dingin dan datar tanpa ekspresi. Ia menatap tajam Monika, membuat gadis itu salah tingkah.

"Kau akan jadi pacar kontrakku," ujarnya dingin, Monika langsing melongo begitu juga Fredrick.

"Tapi Tuan,-"

Yoonji mengangkat telunjuknya, mengisyaratkan wanita itu untuk diam.

"Kau atur semuanya, " ujar nya sambil menatap Fredrick dengan serius.

"kau yakin dengan ini Yoo?" tanya Fredrick dengan serius.

"Mau ku patahkan lehermu!" ujar Yoonji dengan dingin.

Frederick mengangkat tangan tanda menyerah. Pria itu memang tidak bisa di bantah.

"Boleh saya bicara?" tanya Monika sambil mengangkat tangannya. Kedua laki-laki itu menoleh.

"Apa?" tanya dua pria beda warna mata itu.

Monika nyengir sebelum bicara."Apa tidak ada yang bertanya pendapat saya gitu, yang mau nikah kontrak itu saya lho. Bisa bicara lho, masih idup seger buger di sini."

"Yang bilang kamu mayat hidup siapa?" tanya Yoonji balik.

"Kamu tidak ada hak bicara, mau atau tidak kamu akan menerima pernikahan kontrak ini selama satu tahun, gaji kamu tiap bulan 10 juta dengan kompensasi 1 milyar jika kontrak berakhir, paham!"

Monika tak dapat lagi berkata-kata, angka-angka itu berlari dengan riang mengelilingi kepala. Yoonji tersenyum miring, melihat ekspresi gadis itu yang terkejut sekaligus bahagia. "Semua wanita sama saja, kalau dengar uang langsung ijo."

Fredrick tertawa melihat wajah Monika yang menurutnya sangat lucu.

"Ingat tidak ada yang boleh tahu tentang ini, jika sampai semua ini sampai bocor keluar aku pastikan oksigen oksigen di ruangan ini mengucapkan selamat tinggal pada kedua lubang hidung kalian!"

Monika meneguk salivanya kasar, sementara Fredrick terlihat biasa walau wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa takut.

Dipecat

Hari yang melelahkan, hari pertama kerja Monika yang sungguh luar biasa. Gaji yang besar dengan lebel janda muda yang pasti akan dia sandang tahun depan. Wanita itu menghela nafas sebelum membuka kamar kosnya.

Sebuah tepukan di tangan menepuk pundaknya, membuat Monika kaget.

"Astaga Via, bisa biasa aja nggak sih kalau mau anu, kalau copot jantungku mau diganti apa!" cerocos Monika sambil mengelus dadanya.

Bukannya minta maaf, gadis bernama Via itu malah tersenyum memamerkan giginya yang gingsul.

"Gimana kerjanya? anak pantry baik semua kok di sana, kamu pasti betahkan, betah dong masa nggak betah."

"Ssst ... aku iket tuh bibir baru tau rasa kau, nyerocos aja kayak kenek bis. Besok aja ceritanya yak, aku capek banget," ujar Monika dengan wajah memelas, hari ini memang sangat sepesial baginya.

Monika lebih baik menggembala kambing di kampus dari pada harus berkerja lagi dengan Tuan sedingin es kutub itu, belum lagi kata-kata sadis yang keluar dari mulutnya, untung saja dia tampan. Tetapi apalah daya, gaji sebagai gembala kambing tak sampai 10 juta, jadi dengan berat hati yang sudah diringankan uang, Monika memutuskan untuk bertahan.

Via yang melihat teman satu kosnya berwajah kusut seperti kain pel yang tidak di cuci lima hari pun mengangguk. Walau sebenarnya jiwa ke kepoan gadis berambut pendek itu meronta.

"Besok janji cerita lho ya, klau nggak besok nggak ada nasi pecel gratis lagi," ancam Via yang langsung membuat Monika mengangguk paham, bagaimana dia bisa melepaskan nasi pecel gratis, meski Monika juga bingung apa yang mau di ceritakan.

Setelah ancaman yang mengerikan dompet Monika, Via kembali ke kamarnya. Kamar via berjarak dua pintu dari kamar Monika, di antara mereka ada dua wanita paruh baya yang juga tinggal di kos itu lebih lama dari Via dan Monika. Tetapi mereka jarang sekali kelihatan, Monika pun tak ambil pusing yang penting dia bisa tinggal dengan damai, sembari mengais rupiah di ibukota ini.

Monika merebahkan tubuhnya di kasur lantai tipis yang ia gunakan sebagai alas. Kamar berukuran 2X2 meter dengan kamar mandi dalam ini sudah ia tempati sejak pertma kali menginjakkan kaki di kota ini. Via lah orang yang menolongnya, mereka satu kampung, satu sekolah tapi beda nasib.

Tanpa membersihkan diri Monika terlelap saking capeknya. Untung saja dia sudah mengunci pintu kamarnya.

Alarm ponsel Monika bergetar, dengan mata yang masih berat Monika memaksakan diri untuk bangun. Setelah menggeliat, menyegarkan otot-otot yang kaku. Gadis berusia 22 tahun itu segera mandi, tak perlu berlama-lama di kamar mansi, dia takut telat sampai kantor.

Setelah rapi dan mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak berwarna coklat dengan celana kain, dan rambut yang ia ikat tinggi, Monika melangkah keluar. Agak jadul memang, karena warna kemeja yang sedikit pudar, tetapi ya sudahlah yang penting rapi, tidak mungkin dia pake baju Via kemarin.

"Via .. Via.. nasi pecelnya mana?!" Monika sedikit berteriak, karena gadis gingsul itu tak kunjung membuka pintu.

"Nganggu orang lagi dandan aja deh kamu tuh," keluh Via setelah membuka pintu, tampak gadis itu baru melukis alisnya sebelah.

"Lah salah sendiri kamu nggak buka pintu, aku laper udah mepet jug waktunya." Monika nyelonong masuk, bahkan sebelum Via mempersilahkannya.

Mata Monika berbinar melihat dia bungkus nasi yang tergeletak di meja."Cepetan makan, aku mau selesaikan alisku dulu." Via duduk di lantai setelah menutup pintu, kembali pada kegiatan yang belum terselesaikan, sementara Monika sudah membuka satu bungus nasi dan memakannya dengan lahap.

Kemari saking capeknya Monika sampai lupa isi perut, lebih tepatnya malas. Dia sempat terbangun tengah malam karena lapar, mau masak mie dapur bersama ada di luar, mau beli makan dia tidak punya motor. Akhirnya dia hanya mengganjal perut dengan air putih dan kembali tidur.

"Kamu belum dapat seragam Mon?" tanya Via setelah melirik sekilas penampilan Monika.

Biasanya para OB akan langsung mendapatkan seragam berwarna biru muda dari kantor. Tetapi Monika malah memakai kemeja. Monika meletakkan kemabli sendok yang hendak masuk ke mulutnya.

"Aku nggak jadi Cleaning service Vi," jawab Monika tanpa melhat temennya.

"Lalu?" tanya Via dengan alis menyatu, pasalnya dia diberi tahu juka ada lowongan OB di perusahaan tempat di berkerja itu.Via berkerja sebagai staf bagian marketing. Memang tidak tahu Monika di terima sebagai apa di sana.

"Aku jadi sekertaris Tuan MIn," jawab Monika dengan senyum khas iklan pasta gigi.

Via melongo kaget, kaca yang ia pegang hampir jatuh, untung saja dia cepat sadar. Tetapi masih kaget, bagaimana bisa Monika yang hanya lulusan SMA dan hanya berpengalaman sebagai pramusaji di restoran bisa mendapatkan posisi sebagus itu, sementara dia yang sudah mengabdi selama dua tahun di sana tidak ada kemajuan sama sekali.

"Kamu yakin? Gimana caranya?kok bisa? kamu nggak lagi bohongin aku kan Mon?" cerca Via yang masih tidak percaya.

Monika mengangkat bahunya. "Aku juga nggak ngerti Vi, nama aku di panggil terus di ajak Bu Elsa ke lantai atas dan dia bilang aku jadi sekertaris Tuan Min."

"Woah, kamu tuh memang beruntung banget lho. Enakkan bisa menikmati ketampanan CEO kita setiap hari, aku aja yang udah dua tahun di sana baru ketemu Tuan Min tida kali, itupun cuma dari jauh. jantung kamu sehat kan Mon, aku khawatir kamu kena serangan jantung karena tiap detik bisa lihat wajah tampan itu tiap hari," ujarnya panjang lebar dengan raut wajah penuh rasa iri.

"Ganteng sih, kulitnya putih kayak kapur tulis. Tetapi apa kalian karyawannya nggak takut, dia kalau ngomong kan sadis gitu?" tanya Monika sampai begidik ngeri mengingat saat kemarin.

Monika di suruh untuk membersihkan ruangan Yoonji yang berantakan sendiri, karena dia tidak suka orang lain masuk ke ruangannya. Alhasil Monika lah yang membersihkan kantor Yoonji sendirian.

"Ya emang sih agak galak, tapi ganteng banget."

Monika hanya bisa menggeleng melihat tingkah Via. Setelah menyelesaikan sarapan, Monika berangkat lebih dulu mengunakan ojek, karena dia harus datang lebih pagi.

Namun, sesampainya di kantor ia di kejutkan dengan seorang wanita yang duduk di meja kerjanya. Wanita cantik yang memakai pakaian yang melekat sempurna tubuhnya, wajah dengan make up lengkap. Terlalu tebak untuk di kantor.

"Mbak siapa?" Tanya Monika menatap heran wanita itu.

Wanita yang tadinya duduk langsung bangkit, menetap Monika dengan senyum meremehkan.

"Aku Monica, pake C nggak pake K, " Jawab Wanita itu ketus.

Monika semakin mengerutkan kening, nama mereka sama hanya beda huruf saja. Apa mungkin mereka tertukar kemarin? Seperti judul sinetron putri yang tertukar, tapi ini hanya pekerjaan.

"Kamu! Beraninya kamu datang kemari! Mau nipu saya lagi. Hah!" Monika langsung menoleh saat mendengar teriakan seorang wanita dari arah belakang, dia adalah Elsa. Wanita bertubuh gempal itu menatap nyalang pada Monika.

"Kamu saya pecat!" Ujar Elsa dengan telunjuk yang menegang mengarah ke wajah Monika.

"Apa maksud Anda? di pecat, apa saya melakukan kesalahan?" tanya Monik pake K, tokoh utama kita.

Elsa melotot, kedua bola matanya hampir keluar sagat mengerikan, belum lagi dua tangan penuh cincin berbatu besar nangkring di pinggang yang bertumpuk lemak. "Kamu sudah tidak dibutuhkan di sini! pergi sebelum aku menyuruh satpam menyeretmu!"

"Saya tidak akan pergi kemanapun sebelum bertemu dengan Tuan Min, dan Anda tidak berhak memecat saya Nyonya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!