"Darimana saja kamu? jadi istri bukannya di rumah nunggu suami pulang, malah klayapan nggak jelas," sindir seorang wanita paruh baya yang masih sangat terlihat bugar di usianya yang sudah menginjak setengah abad, baju dan perhiasan yang melekat pada tubuh wanita itu turut mendukung penampilannya terlihat muda.
Seorang wanita muda yang baru saja pulang berkumpul dengan teman-temannya, menyalami wanita itu walaupun enggan, dan sangat malas rasanya. Pun sama seperti yang dirasakan oleh wanita paruh baya itu, dia hanya memutar mata jengah saat wanita muda itu mencium punggung tangannya.
"Mama udah lama?" tanya Alin basa-basi pada sang mertua. Ia tak berniat sama sekali untuk menjawab pertanyaan yang Sofia lontarkan padanya.
"Lumayan, kamu belum menjawab pertanyaanku Marlina, dari mana kamu?" ulang Sofia kali ini dengan lebih ketus.
Alin alias Marlina itu tersenyum kaku, dia sangat tidak suka orang lain memanggilnya dengan nama yang menurutnya kampungan itu. Namun, Alin tak ingin bertengkar dengan Sofia hari ini.
"Dari rumah temen Ma, Alin bosen di rumah. Mama mau minum apa? Biar Alin buatkan." Alin beranjak ke dapur tanpa menunggu sang ibu mertua menjawab, setidaknya itulah alasan yang Alin gunakan untuk menghindari wanita itu.
"Kenapa wanita itu terus datang kemari, kurang kerjaan banget sih. Bikin bete aja," Alin menggerutu membuka lemari pendingin lalu mengambil sebotol air mineral untuk mendinginkan otaknya yang hampir mendidih.
Hubungan Alin dengan Sofia sebenarnya bisa di bilang baik. Sofia bukan tipe ibu mertua yang suka ikut campur urusan anak-anaknya, hanya saja belakangan ini dia sangat cerewet. Dia terus saja meminta cucu dari Tian, suami Alin.
"Nyonya mau makan sekarang?" Tanya siti, asisten rumah tangga di rumah besar itu.
"Nggak, nanti aja. Hilang selera makanku lihat Mak lampir itu, sejak kapan dia datang?" Tanya Alin pada wanita paruh baya yang mengunakan daster sederhana itu.
"Jam sembilan pagi Nyonya Sofia datang, Nyonya," jawab Siti dengan sopan.
"Sepagi itu, gila. Bener- bener kurang kerjaan. Ya sudah layani dia, aku mau istirahat capek. nanti kalau Tian pulang bilang saja aku istirahat di kamar."
"Baik Nyonya."
Alin meletakkan botol kosong di meja dan segera beranjak pergi ke kamarnya. Dia benar-benar merasa malas jika harus duduk berdua dengan sang mertua, bisa di pastikan wanita itu akan menceramahi dia sampai gumoh.
Angin malam berhembus kencang, membelai kasar dahan pohon yang berjajar sepanjang jalan aspal, Menimbulkan bunyi gemerisik yang cukup keras. Seorang laki-laki tampan berusia tiga puluh delapan tahun mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Malam ini jalanan tidak begitu ramai, Tian bisa dengan leluasa melajukan mobil mewah yang ia kendarai. Pria itu ingin segera samai di rumah, ia bahkan meninggalkan beberapa berkas yang belum ia tanda tangani agar bisa pulang lebih cepat
Dia merasa cemas jika terjadi sesuatu di rumahnya, sang istri terus saja mengirim pesan agar Tian segera pulang. Tian paham dengan apa yang di rasakan sang istri saat ini, tetapi dia juga tak bisa berbuat banyak untuk hal itu.
Tian menginjak pedal gas, agar mobilnya melaju lebih cepat. Butuh setengah jam perjalanan dari kantor ke rumahnya. Gerbang di buka saat penjaga melihat mobil mewah sang majika, TIan segera masuk dan memarkirkan mobilnya didepan rumah.
Pria berwajah oriental dengan tinggi seratus delapan puluh centi meter itu seger turun dan melangkah lebar, masuk. Dia tersenyum saat melihat sang IBu duduk di ruang tamu seolah menunggu kedatangannya.
"Ma," panggil Tian seraya menghampiri sang Ibu, ia meraih tangan yang putih pucat itu menciumnya dengan takzim dan memeluk Sofia dengan hangat.
Sofia tersenyum, ia pun memeluk erat tubuh tegap Tian. Sofia sangat menyayangi putranya itu, begitu pula Tian. Dia sangat menghormati dan menyayangi kedua orang tuanya.
"Mama datang sendiri? Papa mana Ma?" tanya Tian setelah melepaskan pelukan mereka. Ia kemudian duduk di samping Sofia sambil melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya.
Rasa lelah jelas tercetak jelas di wajah Tian, Sofia menatap lekat wajah sang putra yang sudah lebih dari lima tahun berumah tangga itu.
"Papamu ke Singapura, dia pulang lusa. Mama kesepian di rumah, jadi Mama mau nginep di sini, nggak apa-apa kan?"
Tian diam sejenak, bukan dia tidak ingin Ibunya untuk bermalam di rumah besarnya itu. Akan tetapi jelas itu akan membuat sang istri tidak senang. Sofia tersenyum miring melihat raut wajah Tian yang terlihat bimbang.
"Kenapa Tian? Kamu nggak suka ya Mama nginep di sini? Takut Marlina marah?" Sofia bangkit dari duduknya, wanita paruh baya itu melangkah menuju meja makan.
Tian segera menyusul langkah sang Ibu. Tian segera menarik kursi untuk Sosia duduk.
"Cepat bersihkan dirimu dan ajak istrimu untuk makan malam," titah Sofia.
"Iya Ma."
Pri itu pun bergegas ke kamar. Dia tersenyum saat melihat sang istri menyambutnya dengan baju seksi yang membalut tubuh padatnya.
"Mas, baru pulang?" Alin langsung berhambur memeluk tubuh Tian yang masih berdiri diambang pintu.
"Hem, aku tadi duduk sebentar sama Mama di bawah," jawab Tian sambil mengendus Aroma mawar dari ceruk leher sang istri.
Alin melepaskan tangan yang melingkar di leher Tian, ia merasa tidak suka saat suaminya itu menyebut ibu mertua menyebalkan itu.
"Aku mandi dulu ya, setelah itu kita makan malam." Tian mengecup kening Alin sebelum berlalu ke kamar mandi.
Alin hanya memanyunkan bibirnya kesal tanpa menjawab. Tak butuh lama untuk Tian membersihkan diri, dengan sedikit terpaksa Alin mau untuk makan malam bersama.
Alin mengerutkan keningnya saat melihat menu makanan yang tersaji di meja makan. Dalam hati wanita itu mengumpat kesal, dia hanya mendelik tajam pada sang mertua yang sedang tersenyum manis menyambut anaknya.
"Mama masak sendiri lho ini khusus buat kalian, makan yang banyak ya," ujar Sofia bersemangat, ia bangkit mengambil piring untuk putranya.
Tian menghentikan tangan Sofia saat wanita itu hendak mengambilkan nasi dan lauk untuknya.
"Mama duduk saja, biar aku ambil sendiri. Seharusnya aku yang melayani Mama, bukan sebaliknya." Sofia pun kembali duduk, ia merasa sangat senang dengan perhatian Tian yang tak pernah berubah padanya, sementara Alin hanya bisa menatap dongkol pada kehangatan Ibu dan ana yang menurutnya terlalu lebay.
"Kenapa Lin? Apa makanannya tidak enak? Ibu masak khusus lho, ini baik untuk progam hamil kalian," ujar Sofia dengan sengaja.
Alin yang sedari tadi sudah menahan kesal membuang sendoknya dengan kasar, Tian yang melihat itu segera mengusap punggung sang istri seolah memintanya untuk sabar. Alin menoleh pada sang suami yang menatapnya , wanita itu membuang mukanya sabil berdecih.
"Ma, aku mohon jangan bahas ini lagi," Tian berkata dengan nada selembut mungkin pada Sofia.
"Membahas apa Nak? Promil? Apa Mama salah, Mama hanya ingin kalian cepat punya anak, apa aku tidak ingin punya keturunan Tian? Sudah lima tahun kalian menikah, dokter juga sudah menyatakan kalau kalian sehat dan subur, kenapa kalian terus menundanya? Mau sampai kapan kalian seperti ini?"
"Mama sudah punya cucu dari Kak Devi kan? untuk apa terus mendesak aku untuk hamil!" pekik Alin yang sudah mulai emosi, dia marasa jengah karena mertuanya itu terus meminta cucu darinya.
"Sayang duduklah, kita bicarakan baik-baik," bujuk Tian pada istrinya yang sudah berdiri dengan tangan mengepal di meja.
"Sayang duduklah, kita bicarakan baik-baik," bujuk Tian pada istrinya yang sudah berdiri dengan tangan mengepal di meja.
Alin melirik tajam pada sang suami yang seolah lebih membela ibunya, Tian menggeleng pelan. Dia tidak ingin perdebatan itu semakin memanas.
"kenapa kau membahas Devi dia bahkan tidak ada di sini. Anak-anak Devi akan menjadi pewaris Wiguna, dia memantu tunggal di sana, sedangkan anak-anak Tian akan menjadi pewaris Bagaskara. Apa masalah semudah itu aku masih harus mengajarimu?"
"Lagi pula pernikahan, kalian sudah lebih dari lima tahun. Kau seharusnya tidak terus menunda kewajiban kamu sebagai seorang istri dan menantu, apa kau pikir aku merestui Tian untuk menikah denganmu hanya agar kau bisa menghabiskan harta anakku Mar?" Mata Sofia bahkan tak menatap sang menantu saat mengucapkan itu semua, sebenarnya dia juga sudah mulai malas membahas masalah yang sma terus menerus. Namu, Marlina terus mengelak dari kewajiban dia sebagai seorang menantu membuat Sofia geram.
"Suruh saja anak perempuan mu itu untuk melahirkan seorang putra lagi dan jadikan dia pewaris Bagaskara! Jangan terus mendesak aku hamil, aku belum siap!" Alin melenggos setelah menepis tangan sang suami yang masih memegangi lengannya.
"Sayang jangan kasar seperti itu," Tian masih berusaha berkata lembut pada Alin, meskipun dia tidak suka cara Alin bicara pada sang Ibu.
Sofia tersenyum sinis, dia menoleh menoleh menatap sang menantu dari atas sampai bawah. Semua yang melekat di tubuh wanita itu begitu mahal, jauh berbeda dengan apa yang dulu Marlina kenakan.
"Lalu kapan siapmu? sepuluh tahun ? lima belas tahun? Kapan?"
"Apa kau sengaja membuat Tian tidak punya keturunan? katakan saja jika kau memang tidak ingin punya anak dari anakku," ketus Sofia penuh penekanan.
Marlina sedikit tercengang, kenapa mertuanya itu seolah bisa membaca keinginannya. Dari dulu dia memang tidak mau repot masalah anak, tapi tidak mungkin dia bicara jujur pada Tian, Marlina hanya bisa mengulur dan terus mengulur.
"Kenapa Mama tega bicara seperti itu? tetu saja aku ingin punya anak dari Tian, dia suamiku. Aku hanya belum siap Ma, tolong mengertilah," kali ini Marlina melembut, air mata sudah mulai menetes membasahi pipi yang baru tiga hari yang lalu melakukan perawatan rutin di dokter kecantikan ternama.
Tian berdiri, dirangkulnya bahu Marlina yang mulai berguncang. Ia mengajak sang istri kembali duduk daan menenangkannya. sofia hanya bisa tersenyum melihat sandiwara menantunya yang semakin baik.
"Mama bukan tidak memberi kalian waktu, lima tahun bukan waktu yang singkat Marlina. Aku rasa itu cukup untuk kau bersenang- senang, sudah saatnya kau memenuhi kewajibanmu sebagai seorang menantu keluarga Bagaskara. Jika rahimmu bermasalah atau kau mengidap penyakit tertentu yang membuatmu tidak bisa hamil mungkin aku akan maklum. Tapi kalian berdua sehat dan sangat memungkinkan untuk memiliki keturunan, kalian sendiri yang terus menunda dan mengulur waktu."
"Ma, Tian mohon sudahi perdebatan ini," laki-laki berkulit putih itu menatap Ibunya dengan memohon. Namun Sofia seolah tak mendengar, kali ini tidak ingin mengalah dengan ego menantunya yang sudah kelewat batas.
Wanita paruh baya itu tak menghiraukan ucapan Sebastian.
"Jangan bersandiwara, itu malah membuat membuat mama muak, marlina. Ingat siapa dirimu sebelum Tian menjadikanmu Nyonya Bagaskara, aku setuju anakku menikah denganmu untuk menjadikan istri dan ibu dari anak-anaknya bukan sekedar untuk melayani dia! Jika hanya sekedar masalah ranjang, aku bisa membeli perawan tiap kali Tian mau melakukannya!"
"Ma!'' pekik Tian tertahan, dia merasa Sofia sudah sangat keterlaluan.
Marlina mendorong kursinya dengan kasar, wanita itu pergi berlari ke kamar dengan mata yang sudah berlinang air mata. Melihat hal itu, Tian segera menyusul langkah sang istri. Namun, Sofia mencegahnya dengan berkata. "Biarkan istrimu waktu untuk berpikir Tian."
Sebastian yang tadinya akan berlari menyusul Marlina pun kembali duduk. Lelah, itu yang sangat ia rasakan sekarang, Rasa penat yang ia bawa pulang dari kantor belum sepenuhnya hilang, sekarang dia harus menghadapi pertikaian Sofia dan Marlina sang istri yang seolah tak ada habisnya.
Sofia bangkit, ia berjalan mendekat pada sang putra yang terlihat frustasi. Sebenarnya, tak sedikitpun niat di hati Sofia untuk melakukan hal yang membuat Sebastian sedih. Wanita itu sangat menyayangi Sebastian, dia melakukan semua ini untuk satu alasan yang sangat kuat, sebuah alasan yang ia sembunyikan dengan begitu rapih.
Tangan Sofia terulur mengusap rambut Sebastian yang hitam dan tebal seperti sang ayah. Pria itu pun mendesah pasrah, dia tidak bisa marah pada sang ibu, tetapi dia juga tidak tega jika Marlina terus disudutkan Sofia seperti ini.
"Ma, Tian mohon. Jangan terus mendesak Alin, Tian akan bicara baik-baik padanya," ujar Sebastian sambil menunduk menyentuhkan keningnya di meja marmer.
Sofia mengambil nafas dalam sebelum mulai bicara."Kapan kau akan bicara? dan jika kau bicara pada Marlina, apa dia akan mendengarkan mu, Nak?"
Sebastian terdiam, dia memang tidak bisa menjamin Marlina kan setuju untuk progam hamil tahun ini. Sebenarnya Sebastian juga tidak yakin dengan alasan Marlina yang terus menyatakan belum siap untuk memiliki bayi. Padahal mereka sudah akan memasuki tahun ke enam pernikahan mereka.
"Mama melakukan ini untukmu Tian, umurmu semakin bertambah, kau dan istrimu itu tidak akan muda selamanya. Semakin bertambahnya umur seorang wanita, semakin besar pula resiko yang akan ia tanggung saat hamil. Apa kau ingin punya anak saat rambutmu sudah dua warna," ujar Sofia dengan lembut.
Sofia adalah sosok ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Tetapi di sisi lain dia juga wanita yang sangat mandiri dan cerdas.
"Tapi bukan begini caranya Ma, Mama nggak usah mengungkit masa lalu dia," ujar Sebastian dengan lesu.
"Sesekali, biar dia tahu ingat dari mana dia berasal!" tegas Sofia.
Sebastian tak ingin lagi membantah ucapan sang Ibu, ia lebih memilih diam daripada berdebat. Sekarang dia lebih memikirkan keadaan Marlina, wanita itu pasti sedang menangis dalam kamar.
Pria itupun pamit kembali ke kamar, Sofia pun mengangguk paham. Sofia tahu betapa Sebastian sangat mencintai istrinya, tidak ada yang salah dengan itu. Namun, terkadang Sofia ragu dengan hati Marlina, bukan dia ragu karena marlina berasal dari keluarga biasa. Dia ragu karena tak melihat cinta yang tulus di mata wanita itu.
"Semoga wanita itu benar-benar mencintaimu Nak," gumam Sofia menatap nanar punggung Sebastian yang menaiki tangga.
"Sayang sudah jangan menangis, Kau tahukan Mama hanya asal bicara saja. dia tidak bermaksud menyakitimu," Ujar Sebastian dengan lembut sambil mengusap rambut sang istri yang berwarna coklat terang.
"Hiks ... Aku tahu kalau Mama tidak suka sama aku, aku sadar kalau aku nggak sebanding sama kamu," Marlina bersandar di dada Sebastian yang berbalut kaos berwarna putih.
Pria yang berhati lembut itu sungguh tidak tega melihat wajah sedih Marlina pun segera mendekapnya. Diusap dan dikecup dengan penuh kasih sayang ujung rambut Marlina.
"Sst... udah ya jangan nangis. Nanti hilang lho cantiknya," goda Sebastian yang langsung di tanggapi serius oleh Marlina.
"Iya aku emang tidak cantik kok, terus aja ngejeknya."
Marlina melepaskan diri dari pelukan sang suami dengan, Sebastian bisa saj menahan Marlina dalam pelukannya. Tetapi pria itu tak ingin istrinya semakin marah, ia puk melonggarkan tangan saat Marlina mendorongnya.
"Nggak kok Sayang, kamu cantik apa adanya," ujar Sebastian.
"Mana ada wanita yang cantik apa adanya Mas, semua butuh modal, butuh perawatan." Marlina beranjak dari ranjang, ia melangkah ke meja riangnya untuk melihat wajah yang baru beberapa hari yang lalu melakukan perawatan di dokter kulit terkenal.
Marlina dua tahun lebih tua dari Sebastian, wanita itu selalu merasa insecure dengan wajah dan tubuhnya. Marlina selalu melakukan perawatan rutin di dokter kecantikan yang paling ia percaya.
"Kenapa aku harus bohong, istriku memang cantik." Sebastian memeluk erat tubuh ramping Marlina dari belakang, perlahan ia menyibakkan rambut lurus berwarna coklat terang itu agar bisa mencium wangi tubuh sang istri.
Marlina tersenyum, ia tahu apa yang di inginkan Sebastian sekarang. "Mas aku lagi nggak mood buat itu, aku masih sedih lho karena ucapan Mama tadi."
"Hem ... tapi aku pengen Sayang, kamu sudah selesaikan datang bulannya?" tanya sebastian yang sudah berkabut, sebagai laki-laki normal tentu saja hasrat Sebastian sudah di ubun-ubun setelah tujuh hari berpuasa.
"Boleh minta Tas nggak?"
Marlina meraih tangan suaminya, mengarahkan jemari kekar itu untuk mengusap bongkahan kembar miliknya dengan lembut. Marlina mengerang saat ujung jari Sebastian bermain di sana, walaupun masih tertutup pengaman. Marlina bisa merasakan tangan Sebastian yang dengan kuat meremasnya.
"Beli saja, kenapa harus bertanya?"
"Hem ..."
Pasangan itu pun melakukan ritual malam yang begitu panas, Sebastian sangat menyukai permainan Marlina yang sangat lihai di rajang..
.
.
.
.
Keesokan paginya, rumah itu masih begitu tegang. Sofia masih tak mau mengalah dengan keinginannya untuk memiliki cucu dari Sebastian. Hingga perang dingin pun terjadi, Marlina memilih menghindari mertuanya itu dengan pergi berbelanja dan berkumpul bersama teman-teman sosialita.
Dia tak perduli dengan tatapan Soria yang begitu tajam saat melihat Marlina mengenakan pakaian kurang bahan untuk pergi.
"Udah malem nih, nggak pulang Lu?" tanya seorang laki-laki tampan berambut sebahu yang duduk bersama Marlina.
Wanita itu menggeleng kemudian menyesap minuman yang ada di tangannya.
"Ngapain pulang, suami gue aja nggak ada di rumah," jawabannya setelah menenggak hampir separuh minumannya.
"Pergi kemana lagi Tian?" Tanya pemuda itu lagi sambil menggerakkan kepalanya mengikuti dentuman musik Dj yang menggema di tempat itu.
"Biasalah, keluar kota. Proyek sana, proyek sini. Paling juga dua hari baru pulang. Males di rumah ada mertua. "
"Ssshh... Aaaah.... Lagi dong!" Marlina mengangkat gelas kosong, mengisyaratkan pada bartender untuk menyajikan lagi segelas double shot.
"Udah, nanti kamu mabok gimana pulangnya? Jangan bikin repot gue Lin, gue nggak mau berurusan sama mertua Lo," tukas Hendra.
"Nggak setia kawan banget sih Lo Hen, gue nggak mau pulang hari ini!" Tegas Marlina, ia sungguh malas jika harus berduaan dengan ibu mertua yang sangat menyebalkan dan terus menuntut anak padanya.
Tanpa Marlina tahu, Tian dalam perjalanan pulang malam itu. Dia sengaja membawa hadiah untuk anniversary hari pertama mereka bertemu pertama kali. Mungkin terdengar berlebihan bagi sebagian orang, tetapi itulah Sebastian seorang pria yang hangat dan selalu menghargai setiap kenangan yang berarti baginya.
Namun kadang cintanya yang begitu tulus, membuat dia dengan mudah di manfaatkan oleh Marlina.
"Pulang aja Lo, gue mau ada party lain abis ini," kilah Hendra, bukan dia tidak memperbolehkan Marlina menginap di apartemennya, tetapi bagaimanapun Marlin adalah istri dari orang lain.
"Ck nggak asik banget sih Lo."
Mobil yang membawa Sebastian akhirnya sampai di rumah besar yang selama ini ia tempati bersama Marlina. Dengan senyuman mengembang, Pria berambut hitam itu turun dari mobil dan seger melangkah masuk ke rumah.
"Mama belum tidur?" tanya Sebastian saat mendapati sang Ibu masih duduk di ruang tamu sambil membaca buku.
Sofia menutup buku yang ia baca, Wanita itu bangkit dari duduknya. Sebastian segera mendekat, kemudian mencium takzim tangan Sofia.
"Belum ngantuk, kamu kok pulang? Bukannya kamu ada proyek di medan?" tanya Sofia sekedar basa- basi, dia sudah bisa menebak jika putranya itu ingin memberikan kejut pda istri tercinta yang sayangnya tidak ada di rumah.
Sebastian menggaruk tengkuknya, Pria berusia tiga puluh tahun itu merasa kikuk di depan ibunya. Paper Bag yang berisikan tas mahal yang ia siapkan untuk Marlina sedikit ia sembunyikan di balik tubuhnya.
"Nggak jadi Ma, lusa baru aku mau berangkat," ujar Sebastian.
"Hem, nggak usah malu-malu gitu, bilang aja kamu mau kasih istri kamu itu surprise kan?" Sofia melipat tangannya di dada, menatap tajam pada Sebastian yang malah menyengir tanpa dosa.
Sofia menggeleng pelan, setelah mengambil nafas dalam wanita itu kembali duduk di sofa. Sebastian tersenyum kemudian duduk tepat di samping sang Ibu.
"Emh ... Mama nggak marah?"
"Untuk apa aku marah, aku juga pernah muda Tian. Dan Mama rasa itu juga bukan urusan Mama," jawab Sofia yang seolah acuh.
"Syukurlah, Tian kira Mama bakalan marah dan mengatakan kalau aku terlalu memanjakan Alin, terima kasih Ma, terima kasih sudah mengerti."
"Hem, udah cepet mandi sana."
Sebastian mengangguk, ia pun ingin segera menemui Marlina yang ia yakin sedang tertidur di kamar. Dia tidak sabar melihat reaksi mengemaskan sang istri saat melihat hadiah yang bawa.
Sofia menutup kembali buku yang baru saja ia buka secara acak, wanita paruh baya itu menatap nanar punggung Sebastian yang sedang menaiki tangga dengan bersemangat.
"Semoga kau cepat sadar dari cinta yang membutakan mu Nak," ucap Sofia penuh harap.
Sofia berharap intuisinya selama ini salah. dia benar-benar mengharapkan itu. tetapi setelah dia melihat sendiri malam ini, Sofia bertambah yakin dengan yang ia pikirkan selama ini adalah benar.
"Alin...Sayang," panggil Sebastian dengan mesra saat memasuki kamarnya yang gelap.
Biasanya lampu kamar Sebastian tidak akan pernah mati jika ada Marlina, istrinya itu lebih suka lampu menyala walaupun saat tidur. Namun, Sebastian yang berhati lembut itu tak ingin berpikiran buruk, dia hanya berpikir jika Marlina lupa menyalakan lampu kamar.
"Ali, aku pulang. Apa kau tidak ingin menyambut suamimu?" tanya Sebastian pada udara kosong yang ada di ruangan itu.
Tangan besar Sebastian meraba dinding ang ada di sebelah pintu.
Tack!
Lampu menyala, menunjukan keheningan di sana, ranjang masih sangat rapi dan kosong seolah belum ada tangan yang menjamah. Padahal sebelum Sebastian pulang, dia sempat bertanya tentang keberadaan sang istri dan Marlina memberi tahu kalau dia akan bersiap tidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!