NovelToon NovelToon

Istri Tak Ternilai

BAB 01 - Berbeda

"Ra ... kamu sudah bangun?"

Bak terbangun dari mimpi buruk, Lengkara dibuat terkejut kala dia kembali menatap dunia. Orang-orang di sekelilingnya tampak menghela napas lega, entah sudah berapa lama dia di sini. Yang jelas, Lengkara merasakan tubuhnya benar-benar lemah.

"Mas Yudha gimana?"

Hanya itu yang dia ucapkan, padahal saat ini papanya tengah menangis sembari mengecup kening Lengkara berkali-kali. Bukti bahwa memang Yudha telah tertanam dalam di lubuk hatinya, Lengkara seolah tidak peduli dengan keadaannya.

"Pa ...." Suara Lengkara terdengar lirih, sekilas memori malam itu berputar di otak Lengkara.

Malam dimana Yudha mengajaknya ke Semarang dan mengatakan akan menemui seseorang. Entah siapa, yang jelas malam itu Yudha terlihat bahagia dan perjalanan menuju ke sana terasa begitu hangat.

Hingga, dentuman keras yang kemudian beradu dengan rasa sakit menghantam tubuhnya seketika membuat Lengkara memejamkan mata. Hanya sebatas itu, dia tidak ingat lagi apa yang terjadi malam itu.

"Kak Zean, mas Yudha dimana?" lirih Lengkara beralih pada Zean lantaran tidak mendapat jawaban dari sang papa, dan dia tidak sesabar itu menunggu jawaban papanya.

"Yudha baik-baik saja ... suamimu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."

Hah? Suami? Jawaban Zean berhasil membuat mata Lengkara membulat sempurna. Jantungnya berdegub dua kali lebih cepat, kenapa memori tentang pernikahan tidak ada dalam benaknya sama sekali.

Apa mungkin dia yang lupa atau mungkin amnesia seperti korban kecelakaan lainnya. Lengkara mencoba menelaah apa yang sedang terjadi, tapi jawabannya tetap bingung juga.

"Su-suami? Maksud kakak aku sudah menikah?"

Zean mengangguk pelan, senyum tipis terlukis di wajah tampannya. Seperti yang sudah mereka duga, Lengkara mendadak salah tingkah bahwan senyam-senyum sendiri usai mendapat jawaban dari Zean.

"Kakak tidak berbohong, 'kan, Pa?" Dia belum puas sebelum mendengar jawaban dari papanya, pemegang tahta tertinggi perihal restu dalam hubungan mereka.

"Tidak ... putri Papa yang satu ini memang sudah menikah."

Jangan ditanya bagaimana perasaan Lengkara, jelas bahagianya luar biasa. Bahkan dia ingin loncat seketika begitu sadar jika statusnya sudah berubah. Bukan sebatas kekasih seperti yang dia jalani selama ini, tapi istri dari Prayuda Bagas Tami.

Susah payah dia cari perkara, bahkan nekat masuk ke kamar Yudha dengan harapan akan segera dipersatukan segera, kini tanpa perlu dia merengek agar Yudha menikahinya lebih cepat, Tuhan justru mengabulkan permintaan Lengkara dengan cara yang berbeda.

"Mas Yudha sudah sampai mana, Kak? Apa masih lama?" tanya Lengkara tidak bisa lagi bersabar lebih lama, dada Lengkara seakan sesak menahan kerinduan sebenarnya.

"Tidak, Ra ... tunggu saja."

Jantung Lengkara berdebar kian cepat, dia menjilat bibirnya berkali-kali dengan harapan tidak akan terlalu pucat dan Yudha menemuinya dalam keadaan cantik.

Sepuluh menit pertama wanita itu masih sabar, tapi setelahnya dia mulai gusar dan berpikir jika Zean tengah berbohong. Dia marah, matanya membasah karena Yudha tak jua datang.

Hingga, baru saja hendak memaksakan diri untuk beranjak, pintu terbuka dan seorang pria yang dia nantikan dengan jas dan celana senada berdiri gagah di sana. Tampan, bahkan semakin tampan dan Lengkara sempat bingung sebenarnya dia tidak sadarkan diri berapa lama.

Sebulan? Setahun atau berapa sebenarnya? Yudha terlalu tampan di matanya, tidak ada tanda dia terluka atau pernah menjadi korban kecelakaan. Namun yang membuat Lengkara semakin bingung, Yudha tidak menyapa seperti biasa, sapaan alay kalau kata orang di sekelilingnya.

"Kau dari mana saja?"

"Maaf, Pa ... tadi macet."

Terserah, Lengkara tidak peduli. Mungkin Yudha terlalu lelah dan pria itu memang paling tidak suka terjebak macet di saat terdesak. Tatapan keduanya bertemu, Lengkara tersenyum manis dengan bibirnya yang tetap saja pucat.

Semakin pria itu mendekat, semakin Lengkara salah tingkah. Andai saja dia tidak sedang dalam keadaan lemah begini, mungkin wanita itu sudah menghambur ke pelukan pria yang tidak lain adalah suaminya.

"Hai ... maaf, aku terlambat, Lengkara."

Tidak ada pelukan, apa mungkin karena masih malu, pikir Lengkara menatap lekat pria di hadapannya dengan bibir yang masih begitu pucat. Tidak masalah, lagi pula sejak pacaran Yudha bukan pria yang mengungkapkan perasaan dengan sentuhan.

"Mas, kamu tidak merindukanku?"

"Tentu saja, aku menunggumu cukup lama, mana mungkin tidak merindukanmu."

"Tapi kenapa mas tidak memelukku? Apa aku bau?" tanya Lengkara dengan suara lelahnya, seketika Zean menghela napas panjang dan memilih berlalu dari ruangan itu.

"Ah iya, aku lupa kau suka dipeluk rupanya."

Bagaimana bisa Yudha melupakan hal yang dia suka? Lagi pula, Lengkara tidak pernah mengatakan jika dia suka dipeluk. Yang baru saja tidak sadarkan diri siapa sebenarnya? Kenapa justru Yudha yang terlihat linglung, pikir Lengkara yang kini terdiam dalam pelukan pria itu.

.

.

- To Be Continued -

BAB 02 - Seperti Bukan Dia

Beberapa hari di rumah sakit kesehatan Lengkara semakin membaik. Mungkin karena dukungan sang suami di sisinya, meski jujur saja Lengkara merasa suaminya benar-benar berubah. Seolah bukan dirinya, tapi dia cukup perhatian, tepatnya bertanggung jawab.

Hingga ketika kembali ke rumah, Lengkara semakin merasa janggal. Pria itu tidak membawanya ke rumah yang dahulu sudah direncanakan akan mereka tinggali pasca menikah, tapi ke rumah yang lebih pantas disebut istana.

Ya, Lengkara tidak salah lihat. Sempat berpikir bahwa Yudha tengah memberikannya kejutan, tapi ketika tiba juga tidak ada kalimat manis yang mengatakan bahwa rumah ini adalah hadiah pernikahan mereka.

Ditambah lagi, tidak ada ibunya di sana. Padahal, sejak awal Yudha sudah mengatakan andai benar-benar menikah, maka mereka akan tinggal bersama ibunya. Kini, mata Lengkara menangkap kekosongan di rumah itu, hanya ada pembantu dan dua penjaga di depan.

"Mas ... ibu dimana?"

Sejak tadi keduanya diam dan Lengkara terjebak dalam kebimbangan, kini berani mengungkapkan kegundahan juga pada akhirnya.

"Ibu di kampung ... aku minta beliau menjalani pengobatan tradisional, jadi untuk sementara kita berdua dulu," jelasnya tanpa menatap Lengkara sama sekali, mata pria itu hanya fokus dengan ponselnya.

"Hem begitu."

Lengkara turut menghempaskan tubuhnya di sisi sang suami, sekalipun tidak diminta wanita itu menyadarkan kepala di pundaknya. Sudah dalam keadaan begitu, sang suami masih saja diam membisu.

Sejak kapan Yudha jadi kanebo kering begini? Tidak hanya kaku, tapi juga menyebalkan. Padahal, sejak dahulu Yudha ketahui bahwa Lengkara pantang diabaikan, bisa-bisanya kini justru fokus dengan email dan pesan singkat lainnya.

Apa mungkin karena dia kerap mengejek kakak iparnya? Tapi kenapa karma yang datang sejahat ini. Lengkara mendadak berpikir dimana letak salahnya, bibirnya memang kurang ajar, tapi tidak lebih kurang ajar dari saudaranya.

Wanita itu menatap sang suami melalui ekor matanya. Seketika kekesalan akibat diabaikan muncul seketika, Lengkara mencubit pinggang sang suami tanpa aba-aba. Namun, hasilnya justru di luar dugaan Lengkara.

Tidak ada jerit histeris seperti biasanya, apa mungkin kecelakaan bisa menghilangkan kebiasaan seseorang? Lengkara mengatupkan bibir seketika kala sorot tajam pria itu tertuju ke arahnya.

"Hihi, ayamnya mana, Mas?"

"Ayam?" tanyanya seraya mengerutkan dahi, dia tidak mengerti apa maksud Lengkara sebenarnya.

"Atau mas tidak latah lagi?" tambah Lengkara kemudian masih berani menatap mata sang suami.

Tatapannya menyeramkan, lebih menakutkan dari tatapan kakaknya saat marah. Sedatar itu, dan dia mengerjap pelan kemudian hingga Lengkara mengusap pelan pinggang sang suami yang mungkin saja membiru.

"Latah?"

"Iya, biasanya mas latah ... kalau sudah sembuh syukurlah, kata teman kuliahku sebisa mungkin latah itu harus disembuhkan."

Lengkara mengarang cerita demi membuat suasana tidak secanggung itu. Sejak dahulu memang Lengkara memintanya melangkah untuk hidup yang lebih serius, tapi bukan berarti ekspresi wajahnya juga sekaku itu.

"Gerak-gerikmu terlihat dari sana."

Pria itu menunjuk ke arah cermin yang terpajang di depan sana, Lengkara mengerjap pelan dan tidak sadar jika mereka memang terlihat begitu jelas. Namun, Lengkara menepis fakta itu, sejak tadi dia ketahui Yudha hanya fokus dengan ponselnya.

"Untuk apa cermin selebar itu? Ah atau mas sengaja siapkan cermin itu untuk melihat kita saat bercinta?" selidik Lengkara yang seketika membuat mata suaminya membola.

"Uhuk."

Pertanyaan macam apa itu, dia yang tadi terlihat mengabaikan kini memerah akibat tersedak ludah. Bukan hanya batuk biasa, tapi batuk sungguhan hingga harus lari mencari air mineral demi melegakan tenggorokannya.

Meski tidak diajak, Lengkara mengiring di belakangnya. Memerhatikan Yudha yang tergesa demi menyelamatkan dirinya. Sudah menikah, tapi Yudha masih gugup membahas urusan ranjang? Aneh juga, Lengkara bertanya dalam batinnya.

"Are you okay?"

"Hm, jangan khawatirkan aku," ucapnya menghela napas lega, padahal jika diingat-ingat, pembicaraan semacam itu adalah hal yang wajar-wajar saja untuk pasangan yang sudah menikah.

"Aku salah bicara ya, Mas?"

Pria itu menggeleng cepat, Lengkara tidak salah. Apa yang dia ucapkan sama sekali tidak salah dan sudah sewajarnya seorang istri bercanda pada suami, dia saja yang berlebihan menunjukkan reaksi semacam ini.

Sama-sama bak baru bertemu beberapa hari lalu. Saat ini justru pria itu yang berusaha mengalihkan pandangan lantaran Lengkara selalu menatapnya selekat itu. Bahkan, hingga diajak ke kamar dan diminta tidur siang Lengkara masih saja memandanginya.

"Kamu kenapa selalu menatapku begitu?"

"Ganteng, mas minum apa selama aku tidak sadarkan diri?" tanya Lengkara sendu dan menciptakan senyum tipis di wajah sang suami.

Siallan, dia tersenyum dan itu semakin tampan. Sejak dulu sudah tampan, tapi saat ini bertambah dua kali lipat. "Minum darah," jawabnya asal dan mengalihkan pandangan, salah tingkah hingga selalu bereaksi sama.

Cukup banyak Lengkara bahas, sebagai suami dia bertugas menjadi pendengar dan tempatnya mengadu sebagaimana janji yang sudah dia ucapkan. Hingga, di detik terakhir sebelum beranjak dari tempat tidur, kecupan singkat mendarat di kening Lengkara tanpa dia sepengetahuannya.

"Aku pergi sebentar, tidur yang nyenyak," ucapnya lembut kemudian berlalu keluar, ada banyak hal yang tidak dia ketahui dan berakhir membuatnya persis orang bodoh.

"Hei, kenapa kau tidak bilang Yudha latah?"

"Apa itu penting?"

"Tidak juga, tapi untuk saat ini penting sekali!! Istriku bingung dan barusan dia mencurigakan, seperti memastikan sesuatu tentangku."

Sedikit gusar, dia bahkan mencari tempat yang lebih aman agar bicara secara leluasa. Pria itu menggigit ujung jemarinya seolah tengah menyalahkan pihak lain atas apa yang dia alami hari ini.

"Pertanyaannya, jika kau tahu dia latah apa kau juga akan menjadi seperti dia ketika bicara?"

"Tidak, 'kan?!"

"Benar, aku tidak akan melakukannya," jawab pria itu kemudian menggigit bibirnya sebelum menutup telepon secara sepihak.

.

.

- To Be Continued -

BAB 03 - Apa Salahku?

Tidur siang namanya, tapi Lengkara bangun tepat jam delapan malam. Sendirian, tidak ada Yudha di sisinya dan bayangan bahwa menikah membuat mereka kian dekat hanya angan saja. Lengkara berdecak kesal seraya mengutuk pria itu, setelah menikah nyatanya masih sibuk juga.

"Mas Yudha."

"Nona, makan malam sudah siap ... tuan muda meminta saya memastikan anda makan malam ini."

"Hah? Tu-tuan apa?"

Nyawa Lengkara masih belum terkumpul semua. Dia merasa tengah berada di alam mimpi mendengar suara lembut wanita paruh baya itu. Seperti konglomerat saja, apa dia kini ikut-ikutan Yudha yang kerap berkhayal menjadi tuan muda yang terbuang? Saking cintanya sampai khayalan juga sama.

"Silahkan, Nona."

Bukan khayalan, dia benar-benar dipersilahkan menikmati makan malamnya dalam kesendirian. Mewah sekali, tapi dia sendiri dan dihadapkan makanan sebanyak ini. Semua makanan yang dia sukai seolah bertemu dalam satu meja, apa mungkin mamanya yang memberitahukan soal ini?

Namun, mau sebanyak apapun menunya jika sendirian percuma. Lengkara tidak sebahagia itu tentu saja, terbiasa dengan keluarga yang begitu hangat dan kini bak anak sebatang kara jelas naffsu makan Lengkara hilang begitu saja.

Makan sambil meneteskan air mata bukanlah hal yang menyenangkan. Lengkara benar-benar tidak mengerti kenapa Yudha sesibuk itu sampai untuk menemaninya di rumah saja tidak punya waktu.

Padahal, ini adalah hari pertama dia pulang ke rumah. Jika tahu akan begini, lebih baik dia tetap ke rumah orang tuanya saja tadi siang. Hanya sesuap, perut Lengkara benar-benar menolak dipertemukan dengan nasi malam ini.

"Dia kemana ya? Apa lembur lagi?"

Hanya itu kemungkinan yang paling benar, Yudha lembur dan hal itu mungkin saja dia lakukan demi kehidupan mereka ke depannya. Terlebih lagi melihat kehidupan Yudha saat ini, sebisa mungkin Lengkara berpikir positif tentang Yudha.

Lagi pula sejak dahulu dia pahami Yudha sesibuk apa. Waktu mereka bertemu juga sulit, sekalipun bertemu sedikit. Seperti yang Yudha katakan, cinta dan pekerjaan tidak dapat dipisahkan. Jadi, hal-hal semacam ini anggap saja resiko menikahi pria gila kerja.

Lengkara mencoba untuk tidak memusingkan hal itu, wanita itu memilih untuk melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Mandi tentu saja, dia merasa tubuhnya sudah bau jin, amis dan entah apa yang jelas tidak sedap.

Bukankah dia sudah belajar banyak hal tentang cara menyenangkan suami? Ya, sejak pacaran Lengkara sudah menyiapkan banyak hal untuk menjadi istri yang sempurna. Selesai makan dia membersihkan diri cukup lama, bukan hanya karena ingin wangi, tapi memang ada beberapa luka dan rasa sakit yang membuatnya harus ekstra hati-hati.

"Berlebihan tidak ya?"

Lengkara mengulum senyum kala menatap lingerie yang dia simpan sejak masih melajang. Beruntung saja Ameera menuruti kemauannya untuk memasukkan benda itu ke dalam koper kemarin, malam ini dia akan membuat Yudha benar-benar tidak bisa berpaling darinya.

Tidak peduli tubuhnya masih merasakan sakit di beberapa titik, yang jelas tujuan Lengkara hanya untuk menyenangkan hati Yudha. Wanita itu berhias senatural mungkin, sejak lama dia menunggu dan jelas tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.

Lengkara beranjak segera kala mendengar pintu kamar dibuka dari luar. Sengaja berdiri di depan pintu demi bisa menyambutnya dengan sempurna. Namun, lagi-lagi Lengkara menelan kekecewaan mendapati reaksi sang suami.

"Cantik, kamu tidak dingin pakai baju begitu?"

Sebenarnya bukan terlalu dingin ataupun angkuh, hanya saja tidak sehangat sewaktu pacaran. Padahal, bisa dipastikan ini adalah kali pertama Lengkara berpenampilan seseksi ini. Anehnya, pria itu hanya memuji singkat dan melewatinya begitu saja.

Dia tidak tertarik padaku? Apa mungkin ada cacat yang tidak kuketahui? Lengkara terpejam dengan mengepalkan tangannya. Berulang kali Lengkara sudah pastikan, dia merasa cantik dan tentunya sudah wangi.

"Mas."

"Hm? Apa?" jawabnya menoleh ke arah Lengkara, pria itu baru saja selesai membuka jas dan juga dasinya.

"Ada yang kamu sembunyikan dariku?"

Singkat, tapi pertanyaan itu berhasil membuatnya diam seribu bahasa. Ditambah lagi, tatapan tajam Lengkara menghunus bak ribuan anak panah. Perlahan tapi pasti Lengkara berjalan mendekat ke arahnya.

"Kenapa pertanyaanmu begitu?"

"Aku tidak memintamu balik bertanya, jawab saja sejujurnya ... Mas kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi selama aku tidak sadarkan diri? Bisa kamu jelaskan?"

"Sudah makan?"

Ditanya justru balik bertanya, dada Lengkara mendadak panas dengan respon semacam itu. Sebenarnya ingin sekali dia berteriak, kemana Yudha yang sepanik itu jika dia sudah cemberut? Sungguh menyebalkan.

"Mas punya wanita lain? Atau impoten?" selidik Lengkara menatap curiga, sontak hal itu membuat sang suami mendelik ke arahnya.

"Tubuhmu masih sakit semua, benturan malam itu terlalu keras ... kamu mau patah tulang, Lengkara? Jangan mencoba menggoda, aku tidak suk_"

"Oh iya? Bukankah mas selalu bilang kalau sudah menikah aku bebas menggodamu dan mas akan suka?"

Semakin dilarang, Lengkara semakin menentang. Tanpa pikir panjang wanita itu mengalungkan tangan di leher sang suami yang kini terperanga dengan tingkahnya.

"Sepertinya benar aku pernah bilang begitu ... tapi malam ini aku terlalu lelah, Zean memintaku melakukan banyak sekali pekerjaan. Lain kali saja ya," tuturnya perlahan meminta Lengkara melepaskan pelukannya.

Dia ditolak, mentah-mentah untuk kedua kali malam ini. Mata Lengkara mengembun, tidak peduli selembut apapun pria itu berucap dan memintanya menjauh, tapi cara Yudha barusan membuatnya seolah tidak terlihat.

"Apa salahku, Mas?" gumam Lengkara menatap punggung sang suami yang kini menghilang di balik pintu kamar mandi.

.

.

- To Be Continued -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!