NovelToon NovelToon

Andjani

Arion

"Ma, hari ini aku pulang terlambat, karena ada kegiatan menyambut guru baru dari luar negeri yang akan datang siang ini" Andjani memakai sepatunya dengan terburu-buru, karena rupanya dia sudah terlambat. Tadi malam dia bergadang mengerjakan tugas yang seharusnya menjadi tugas kelompok. Tapi harus dia kerjakan sendiri, karena semua temannya mangkir dari tugas.

Qaynaya menggelengkan kepalanya melihat kearah anak gadisnya yang bahkan tidak sempat sarapan.

"Makan ini di mobil" Qaynaya menyerahkan kotak makan pada Andjani yang sudah membuka pintu mobil. Andjani mengambilnya, lalu tidak lupa mencium pipi mamanya sebagai tanda pamit, setelah tentunya mencium yang mama tercintanya.

"Punya ku mana ma?" Arion mendekati mamanya dan mengulurkan kedua tangannya.

"Ada didalam tas mu, tapi itu untuk makan siang. Kamu kan tadi sudah banyak sarapan. Untuk kakak Andjani juga ada di dalam tas ya, untuk makan siang. Yang kamu pegang itu jangan lupa makan di mobil, sebelum sampai ke sekolahan" Qaynaya juga mendapatkan ciuman di pipinya dari Arion, selagi dia sibuk berbicara dengan kedua anaknya itu.

Djani dengan wajah masamnya keluar dari rumah dan sengaja mengendurkan dasinya. Sepertinya dia mau bermanja-manja juga dengan sang istri, dengan meminta Qaynaya untuk membenarkan dasinya.

Djani memperhatikan istrinya yang tengah serius merapikan dasi yang tadi sengaja dia kendurkan, dan tiba-tiba, cup. Djani mengecup kening Qaynaya sembari mengucapkan terima kasih, karena selalu menjadi ibu siaga. Dan juga menjadi istri yang sangat perhatian padanya.

"Ayyyaahhh, jangan mulai deh. Aku sudah telat" Andjani manyun melihat kelakuan ayahnya, karena kalau ayahnya sudah bermanja-manja seperti itu, pasti akan membutuhkan waktu yang lama.

"Kamu ini ganggu saja" Djani pura-pura kesal, lalu segera masuk kedalam mobil dan duduk di kursi kemudi, setelah memberikan kecupan manis pada istrinya.

Qaynaya melambaikan tangannya melihat kedua anaknya, serta suaminya sudah semakin menjauh dari garasi rumah mereka. Rini yang merupakan ibu mertua dari Qaynaya lari tergopoh-gopoh membawa sebuah botol minum.

"Sepertinya kamu lupa tidak membawakan minuman untuk Anna, apa mereka sudah berangkat" Rini terlihat kecewa melihat cucunya sudah berangkat.

Qaynaya sebenarnya tidak lupa membawakan botol minum untuk Andjani, hanya untuk sarapan, dia sengaja tidak membawakannya, karena dalam kotak sarapan yang tadi dia berikan pada Andjani, didalamnya sudah terdapat susu kotak.

Dengan tersenyum manis melihat mama mertuanya, Qaynaya mengambil botol minum yang dipegang oleh Rini, lalu mengatakan kenapa dia tidak membawakan botol minum untuk Andjani. Rini lega mendengarnya, lalu segera menggandeng tangan Qaynaya.

"Sekarang gantian mama yang membutuhkan dirimu" Rini sudah menganggap bahwa Qaynaya adalah sahabatnya.

"Ada apa ma?" tanya Qaynaya, setelah mereka berdua duduk di meja makan. Qaynaya tadi belum sempat sarapan.

"Sasha menghubungi mama, katanya siang ini dia akan kemari, saat ini dia sudah ada di hotel tidak jauh dari bandara. Tadi malam penerbangannya mengalami keterlambatan, jadi dia tidak langsung kemari, karena takut mengganggu kita semua" Rini menjelaskan sambil melihat kearah Qaynaya.

Rini tau betul kalau dia tidak menyukai kedatangan Sasha kali ini, tapi mau bagaimana lagi, Sasha sangat berusaha keras supaya bisa bertemu kembali dengan Qaynaya.

"Kalian sudah berpisah cukup lama. Apa kamu tidak merindukannya?"

"Bukan seperti itu ma. Aku hanya belum siap menghadapinya, karena dia pasti akan membicarakan tentang anak-anak. Lalu untuk apa aku pergi jauh selama ini, kalau pada akhirnya akan tetap kembali seperti dahulu lagi"

"Mereka sudah semakin besar Qay, sudah sewajarnya mereka merasakan cinta pertama, atau mungkin cinta monyet disebutnya"

"Tidak ma, mungkin mama salah mengerti dengan apa yang aku pikirkan dan maksudkan. Aku tidak pernah melarang Andjani untuk tumbuh sesuai dengan umurnya, dan aku tau kalau saat ini Andjani sedang berada di umur yang biasanya mengalami perasaan cinta pertama. Tapi aku tidak mau kalau sampai perasaan itu melukainya" Qaynaya menerawang jauh, mengingat saat mereka pindah lagi ke negara asal mereka, setelah bertahun-tahun tinggal di negara yang jauh dari kampung halaman.

💙🌹 Flashback 🌹💙

Djani dan Qaynaya, serta Arion yang merupakan adiknya Andjani, masih berada di sebuah ruangan di sekolah. Mereka masih berusaha untuk menyelesaikan masalah bullying yang dialami oleh Arion.

Axel dan teman-temannya yang selama ini sangat gemar melakukan bully terhadap teman mereka sendiri yang mereka anggap tidak layak berada di sekolah. Arion sendiri yang awalnya diketahui hanyalah anak dari seorang pegawai cafe, selalu dihina dan di cemooh. Tapi karena kesadaran Arion yang tidak ingin mendapatkan masalah, dia tidak pernah membalasnya, atau bahkan mengadukannya kepada guru atau orang tuanya.

Kasus bullying di sekolah itu sebenarnya sudah bukan hal yang baru, karena anak-anak yang merasa terlahir sebagai kalangan atas, sudah sangat sering melakukannya, tapi bahkan para guru hingga kepala sekolah, dan kepala yayasan disekolah itu juga tidak sanggup melakukan apapun, kalau yang melakukan bullying adalah anak dari donatur besar di yayasan sekolah.

Sudah beberapa aduan dari murid yang mengalami bullying, tapi pada akhirnya, selalu saja jalan damai yang ditempuh, karena keluarga pembully memberikan banyak uang untuk tutup mulut. Tapi berbeda dengan kasus kali ini, karena Djani Sudrajat yang merupakan ayah dari Arion, tidak mungkin akan tergiur dengan uang yang di tawarkan oleh pihak pembully anaknya.

Djani dengan rapi bisa menyembunyikan identitasnya di negara ini, dan sesuai dengan keinginan sang istri, dia hanya membuka sebuah cafe kecil di pinggir kota, untuk menghidupi mereka selama ini. Padahal harta kekayaannya yang terkumpul dari perusahaan yang menjamur di beberapa negara tersimpan rapi, dan terus bertambah setiap detiknya.

Arion dan Andjani, tidak mengetahui hal tersebut, yang mereka tau, kalau ayah mereka hanya memiliki sebuah cafe kecil saja. Itulah kenapa selama ini mereka tidak pernah membalas apapun hinaan dan cemoohan yang mereka terima, karena mereka sadar diri dengan kondisi mereka.

Bagi Arion, tidak masalah dia dihina sebagai anak pegawai cafe, karena pada kenyataannya, memang yang dia ketahui adalah ayahnya hanya memiliki sebuah cafe. Jadi kalau dia marah karena hal itu, tentang saja sama saja dengan dia tidak menerima kondisi ayahnya. Memang ayahnya bukan pegawai cafe biasa, karena ayahnya pemilik dari cafe tersebut, tapi tidak ada bedanya, karena ayah dan mamanya, memang sering melayani pelanggan yang datang ke cafe mereka.

Lagipula walaupun Arion sekeluarga hanya hidup mengandalkan sebuah cafe kecil, tapi mereka tidak kekurangan suatu apapun.

"Tarik semua saham yang ada di sekolah ini" Djani dengan tegas mengatakannya. Hingga membuat kepala yayasan terkaget dan langsung memohon pada Djani.

"Tuan, maafkan kami, sungguh kami tidak tau kalau tuan adalah pemegang saham terbesar di yayasan ini"

"Lalu karena tidak tau siapa diriku, dengan teganya membiarkan Arion anakku, mendapatkan pembullyan?"

Mendengar perkataan Djani, kepala yayasan tidak lagi bisa membela diri. Setelah Djani menyelesaikan bullying yang dialami oleh Arion di sekolah nya, Djani memutuskan menarik semua sahamnya yang ada di yayasan sekolah itu.

Bullying dan Cinta Segitiga

"Apa yang membuat kamu tidak pernah mengatakan pada mama, kalau kamu mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari teman-teman mu?" Qaynaya meremas surat pindah sekolah Arion, yang baru saja dia dapatkan.

Arion menjelaskan alasan kenapa dia tidak mengatakan pada kedua orang tuanya tentang kejadian pembullyan yang dialaminya, itu semua lakukan, karena dirinya merasa kalau dia tidak pernah dibully.

Qaynaya dan Djani heran mendengar jawaban dari anaknya. dan meminta dijelaskan lebih lanjut.

"Bukankah kita memang hanya hidup dari sebuah cafe saja? bukankah memang benar kalau ayah juga sering melayani pelanggan di cafe kita?. Lagipula aku merasa kalau itu tidak memalukan, bukankah kita tidak melakukan kejahatan dengan hal itu. Jadi aku tidak mempunyai alasan untuk marah karena hinaan dari Axel, karena aku merasa kalau yang dia katakan adalah kebenaran. Dan juga aku tidak mau menambah masalah" Arion menerawang jauh melihat keluar mobil, karena saat ini mereka masih dalam perjalanan pulang.

Qaynaya merasa bersalah karena selama ini membiarkan mereka hidup dalam kesederhanaan, mungkinkah keputusannya untuk menyembunyikan bahwa sebenarnya Djani adalah seorang konglomerat adalah hal yang sangat salah. Tapi Qaynaya tidak mau kalau sampai anaknya hidup seperti Axel yang selama ini melakukan kejahatan dengan membully teman lain yang dia anggap lebih lemah.

Banyak alasan Qaynaya saat memutuskan untuk memilih hidup sederhana. Salah satunya dia tidak mau anaknya menjadi besar kepala karenanya, hingga bisa saja melakukan bullying, terutama faktor psikologis yang dialami anak di masa remaja atau di rentang usia 10 sampai 19 tahun, yaitu masa remaja awal hingga masa remaja akhir.

Alasan bullying sering terjadi di kalangan remaja, karena Masa remaja merupakan fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa, di fase ini, anak-anak mengalami banyak perubahan dalam diri mereka mulai dari fisik, mental hingga perilakunya. Kurangnya kemampuan dalam mengontrol perilaku, ketidakmampuan mengelola emosi hingga akhirnya memicu hasrat untuk balas dendam demi bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, atau karena merasa dia lebih hebat dari yang lainnya.

"Maafkan mama, ini semua karena mama, seharusnya mama tidak menyembunyikan siapa ayahmu sebenarnya. Tapi sungguh mama melakukan itu demi kebaikan kalian" Qaynaya merasa menyesal.

"Tidak sayang, kamu sama sekali tidak bersalah" Djani menenangkan istrinya sambil terus focus menyetir, dan hanya melihat sekilas istrinya, yang berada di jok mobil belakang, bersama dengan Arion.

"Bagaimana dengan dirimu? bukankah kamu melakukan kekerasan pada ayahnya Axel?" Qaynaya sekarang merasa sangat khawatir pada nasib suaminya, yang ditakutkan nya akan berurusan dengan hukum.

"Tadi ayah Axel tidak mengatakan apapun, dia terlihat linglung, bahkan sangat berbanding terbalik dengan sikapnya saat membawa banyak uang untuk melakukan perdamaian denganku. Untuk saat ini aku hanya harus menunggu terlebih dahulu" Djani memarkirkan mobilnya dengan mulus di garasi mereka yang kecil.

Andjani dan Rini sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, mereka berdua langsung menyerbu kedatangan Qaynaya.

"Nanti akan ada pengumuman dariku, untuk saat ini, biarkan kami beristirahat dahulu. Oh iya Anna, apa kamu merasa lebih baik?" Djani mendekati anak gadisnya, dan memeriksa lukanya.

Andjani juga mengalami kekerasan dari kakak kelasnya. Tapi kali ini masalahnya bukan karena kondisi finansial mereka, tapi karena masalah hati dan perasaan. Andjani sengaja dilukai oleh kakak kelasnya yang menyukai seorang pria bernama Ardi.

Ardi menyukai Andjani, jadi kakak kelas mereka yang bernama Cheril, sangat membenci Andjani, hingga saat ada pertandingan basket, dimana Andjani dan Cheril menjadi pemainnya, Cheril dengan sengaja mendorong dan menginjak lengan Andjani. Sehingga lengan Andjani mengalami memar parah.

"Sudah lebih baik ayah" jawab Andjani, yang tidak lama kemudian, focusnya teralihkan pada adiknya yang ikut pulang.

"Arion, kenapa kamu sudah kembali? bukankah ini belum waktunya pulang sekolah?" Andjani mendekati Arion, dia pasti bisa merasakan ada yang tidak beres dari adiknya itu, karena biasanya Arion sangat rajin.

"Nanti akan diceritakan oleh ayah, sekaligus menjelaskan semuanya" Arion juga memeriksa kondisi lengan Andjani, sembari menjawab pertanyaan dari kakaknya yang terlihat sangat mencemaskan dirinya itu. Mereka semua lalu masuk kedalam kamar masing-masing.

"Apa aku begitu sangat salah?" Qaynaya kembali merasa bersalah, dengan apa yang menimpa Arion.

"Tidak, apa yang kamu lakukan sudah sangat benar. Coba kamu bayangkan. Kita pasti akan merasa lebih terpukul kalau sampai Arion yang melakukan kekerasan dan melakukan intimidasi pada temannya, karena merasa dia berkuasa dengan harta ayahnya. Kali ini aku sangat berterima kasih padamu, karena mengambil keputusan dengan meminta padaku, supaya kita hidup sederhana" Djani memeluk erat tubuh Qaynaya.

Djani merasa ada banyak sekali manfaat dari hidup sederhana yang selama ini mereka jalani, walau mereka sebenarnya sangatlah bergelimang harta.

"Tapi aku sangat takut. Aku takut Arion akan mendapatkan masalah kedepannya, karena dia mengalami hal ini. Karena bisa saja dia diam, tapi sebenarnya hatinya pasti sangat terluka" Qaynaya begitu takut, membayangkan apa yang bisa saja terjadi pada Arion.

"Jangan terlalu berfikiran buruk. Yang paling penting, untuk saat ini, Arion sudah aman. Aku masih tidak mengerti, bagaimana bisa seorang remaja melakukan kekerasan terhadap temannya sendiri. Apa mungkin kekayaan orang tuanya menjadi hal yang sangat dia banggakan, sehingga dia merasa bisa melakukan apapun?" Djani membelai lembut punggung Qaynaya, mencoba untuk menenangkan istrinya itu. Djani juga sembari mengatakan, ketidak mengerti dirinya akan tindakan yang dilakukan oleh Axel.

"Remaja pada umumnya cenderung memiliki hasrat untuk memegang kendali atau memiliki kekuasaan. Hal tersebut dapat dipicu oleh anggapan mereka yang tidak dapat merasakan kekuatan apapun dalam dirinya, sehingga muncul keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dari interaksi sosial yang dianggap lebih menarik. Terlebih jika ada hal-hal yang tidak berjalan sesuai keinginan mereka, maka keterlibatan mereka dalam tindakan agresi relasional cenderung lebih tinggi. Sepertinya itu yang terjadi pada Axel, hingga dia melakukan hal ini pada Arion. Ditambah dirinya yang merasa berkuasa, karena ayahnya adalah orang yang berpengaruh di sekolah" jawaban Qaynaya membuat Djani mengerti sepenuhnya.

"Bagaimana dengan Anna? apa kita juga perlu untuk memindahkan sekolahnya sesegera mungkin?" tanya Djani.

Qaynaya terdiam, karena dia mengetahui bahwa anak gadisnya itu tidak mau untuk pindah sekolah. Tidak mungkin dirinya melakukan pemaksaan untuk hal itu. Walau mungkin itu bisa saja terjadi, tapi sebisa mungkin Qaynaya akan membujuk anaknya dengan baik-baik terlebih dahulu.

"Apa Anna juga tidak mau pindah sekolah? walau dia sudah mengalami hal itu?" Djani merasa heran dengan anak-anaknya yang tidak mau pindah sekolah, padahal di sekolah, mereka mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari teman-teman mereka.

"Mungkin dia merasa berat meninggalkan Ardi" ujar Qaynaya, tatapan nya terlihat kosong karena melamun.

Andjani

"Kamu yakin alasannya karena itu?"

"Aku tidak yakin, tapi sepertinya seperti itu. Andjani memang tidak, atau mungkin belum menyadari perasaannya sendiri pada Ardi, lagipula mereka masih sangatlah muda. Seharusnya hal ini tidak menjadi topik pembicaraan yang serius. Hanya saja sebagai orang tua, kita harus selalu mendampingi di setiap perkembangannya. Jangan sampai mereka terjerumus dengan perasaan asing yang baru mereka rasakan, yaitu perasaan cinta pada seseorang. Untuk saat ini, sepertinya Andjani hanya merasa berat berpisah dengan para teman dan sahabatnya, terutama pada Ardi, yang memang sedari kecil, mereka selalu bersama" Qaynaya menjelaskan pada suaminya.

"Kalau benar mereka mempunyai perasaan itu, atau lebih tepatnya, bagaimana kalau Anna kita juga menyukai Ardi? seperti yang kita ketahui, Ardi sudah dengan terus terang menyukai Anna. Bahkan dia tidak malu untuk menunjukkan perasaannya pada kita semua"

"Aku tidak akan mengizinkan. Sebisa mungkin, aku akan menjauhkan mereka" Qaynaya mantap menjawab pertanyaan dari suaminya.

Andjani anak dari Qaynaya dan Djani, yang biasa di panggil Anna oleh ayahnya, dan di panggil Aan oleh Ardi. Adalah gadis yang sangat manis dan cantik, sangat mirip dengan mamanya. Itu membuat sahabatnya yang selalu bersama sedari kecil menyukainya. Sahabatnya itu bernama Ardi, mereka sudah berteman dan bersahabat dari batita, karena orang tua mereka juga bersahabat.

Andjani tumbuh bersama dengan Ardi, benih cinta sudah tumbuh di hati Ardi sejak lama, umur mereka berbeda satu tahun, jadi mereka juga tidak satu kelas di sekolah, tapi mereka tetap selalu bersekolah di tempat yang sama.

Para pria lain, atau teman-teman pria disekolah mereka, sebenarnya banyak juga yang menyukai Andjani, tapi mereka tidak berani untuk mendekati Andjani, karena Ardi selalu ada disamping Andjani, seolah-olah Ardi adalah penjaga Andjani.

"Ardi sepertinya sangat serius dengan perasaannya, dia bahkan sudah mengatakannya padaku" Djani lalu tiduran di pangkuan istrinya.

"Apa?!" Qaynaya kaget, dia terlihat begitu terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya.

"Iya. Tapi aku menolaknya, dan meminta untuk mengubur perasaannya pada Anna"

"Apa dia setuju?" tanya Qaynaya penuh harap.

"Aku tidak yakin" jawab Djani, lalu memasukkan kepalanya ke dalam blouse istrinya.

Qaynaya merasakan geli dengan tingkah suaminya yang selalu saja seperti ini.

"Sayang, ini hampir siang. Aku harus menyiapkan makan siang dahulu" Qaynaya menahan wajah suaminya yang semakin merangkak naik mencari bukit kembarnya.

Tapi Djani tidak perduli dan tetap melanjutkan keinginannya. Untuk masalah yang satu ini, dia tidak mungkin bisa dibantah. Qaynaya juga akhirnya hanya bisa pasrah. Umur mereka sudah tidak lagi muda, bahkan hampir memasuki kepala empat, tapi untuk urusan seperti ini, Djani tidak pernah berubah sedari dulu, dan untungnya Qaynaya masih selalu bisa mengimbanginya, walaupun kadang tetap kewalahan juga.

"Djani sudahi sekarang juga" Qaynaya merintih dan memeluk erat tubuh suaminya yang terus berolahraga di atas tubuhnya.

"Tidak mau. Aku suka saat mendengar dirimu memanggil namaku dengan suara serakmu" bisik Djani.

"Aku mencintaimu, selalu seperti itu sejak dulu. Cintaku tidak pernah berkurang, bahkan semakin bertambah. Aku juga begitu menyukai namamu, Djani sayang" Qaynaya membisikkan kata-kata cintanya, yang dengan hal itu, bisa dipastikan kalau Djani akan sangat senang.

Djani tersenyum bahagia mendengarnya, tapi kali ini dia bertahan, dan tidak segera menyelesaikan kegiatannya.

"Djani sayang, ampuni aku. Aku tidak kuat lagi" Qaynaya menggelengkan kepalanya, saat Djani terus bergerak perlahan menghujani tubuhnya dengan kenikmatan yang tiada henti.

"Bagaimana bisa aku begitu tergila-gila padamu, dan aku tidak mengerti, kenapa rasamu selalu sama, bahkan selalu lebih nikmat. Kamu bahkan sudah melahirkan dua anak kita" bisik Djani, yang kali ini sepertinya dia juga sudah tidak kuat lagi.

Qaynaya tidak sanggup menjawab perkataan Djani, karena rasa nikmat terus menjalar di seluruh tubuhnya, apalagi saat suaminya mencapai puncak pelepasannya. Mereka masih saling berpelukan setelah beberapa saat. Qaynaya terpejam karena kelelahan, Djani tersenyum melihatnya, dan dengan gemas menciumi pipi istrinya.

Djani meminta pada Qaynaya untuk beristirahat sebentar, dan meminta pada istrinya itu untuk tidak memikirkan tentang makan siang, karena dia sudah menyuruh karyawan cafe mereka, untuk mengantarkan makanan ke rumah.

Walau mereka memiliki cafe, yang selain menyediakan menu makanan ringan dan minuman, ada juga makanan berat. Tapi tidak membuat Qaynaya serta merta selalu memberikan makanan pada keluarga nya dari cafe mereka. Hanya sesekali saja saat ada kegiatan yang membuat Qaynaya tidak bisa memasak, seperti salah satu contohnya sekarang ini.

Djani menyelimuti tubuh polos istrinya, lalu segera membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum keluar dari dalam kamar, untuk melihat apakah makanan pesanannya sudah datang.

"Mama mana?" tanya Andjani pada Djani, begitu melihat ayahnya itu keluar dari dalam kamar.

Sudah menjadi hal umum di keluarga itu, kalau tidak ada yang berani mengetuk pintu kamar Djani dan Qaynaya, selama mereka ada di dalam kamar. Itu adalah ajaran dari Rini yang merupakan ibu dari Djani. Karena Rini tahu betul bagaimana Djani yang begitu tergila-gila pada Qaynaya.

Djani menjawab kalau Qaynaya sedang istirahat dan tidur siang. Andjani mengangguk mengerti, dan meletakkan kembali kotak berisi makanan yang dia pegang.

"Apa makanan dari cafe sudah datang?" tanya Djani pada anak gadisnya, yang lalu dijawab anggukan kepala oleh Andjani. Djani lalu duduk di salah satu kursi, dan meminta Arion juga untuk ikut duduk.

"Kita semua akan segera pindah ke negara, dimana ayah dan mama dilahirkan. Ini tidak bisa dibantah lagi, mama kalian mungkin akan melakukan ini dengan perlahan, dengan membujuk kalian secara pelan-pelan sampai kalian mau. Tapi menurut ayah, kita tidak punya banyak waktu lagi. Arion sudah pindah sekolah, jadi secepatnya harus mendapatkan sekolah baru" Djani berbicara serius sambil melihat kearah kedua anaknya.

Arion tidak berkata apapun, karena dia tidak mungkin bisa membantah lagi, tapi tidak dengan Andjani yang tentu saja langsung menolak.

"Ini terlalu cepat ayah, aku tidak bisa melakukan secepat ini" Andjani menolak dan menghentikan aktivitas makan siangnya.

"Apa alasannya?"

"Aku punya banyak teman yah, aku harus berpamitan pada mereka. Jadi tidak mungkin aku pergi begitu saja, lagipula ayah tidak menjelaskan alasan apa yang membuat ayah melakukan hal ini" Andjani menuntut penjelasan dari ayahnya.

"Ini semua karena aku kak, maafkan aku" Arion berbicara, sebelum Djani menjelaskan. Dengan perlahan, Arion menjelaskan apa yang dialaminya.

"Apa?!, kamu dibully sampai dipukul sama temanmu?! Kenapa selama ini tidak pernah cerita padaku?" Andjani menangis setelah mengetahui bahwa adiknya mendapatkan intimidasi dari temannya. Arion menenangkan kakaknya, dan mengatakan kalau semuanya sudah selesai.

Andjani memeriksa adiknya, dia bahkan tidak memperdulikan kondisi lengannya yang masih sakit.

"Baiklah, aku mau pindah secepatnya!" Andjani berbicara dengan mantap, dia mengira masalah mereka yang akan pindah ini, karena masalah Arion saja.

💙🌹 Flashback End 🌹💙

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!