Apalah arti sebuah raga? Ketika raga ini telah ternoda. Bagaikan bumi tanpa siang. Hidupku hanyalah menjadi wanita malam. Hingga kehadiranmu mengubah hidupku.
Rintihan hati yang merindu tak luput dari tatapan mata sekilas pada insan tampan yang selalu mengalirkan desiran hangat di dalam tubuh. Suaranya terdengar mengalun merdu bak nada simfoni.
"Ameera, kapan kamu mau membuka hati? Sudah kesekian kalinya aku mohon. Berhentilah dari pekerjaanmu dan menikahlah denganku." Ryan memeluk Ameera dengan kasih sayang.
Tangan yang melingkar di perut, dilepaskan secara kasar. "Stop. Ryan, sudah ku bilang. Aku tidak pantas untukmu. Tak ada lagi yang tersisa bagimu. Aku ini wanita malam, apa yang kamu harapkan? Lihatlah, banyak pria mengantri di belakang mu."
"Ameera, untuk apa selama setahun ini aku terus mem boking setiap malam mu? Aku ingin kamu hanya menjadi milikku. Aku siap membayar berapapun pada mami, selama kamu terlepas dari tempat ini." Ryan duduk di kursi sembari menatap Ameera yang memilih menyibukkan merias diri.
Wanita itu melihat tatapan Ryan dari pantulan cermin. "Baiklah. Mari kita menikah, tapi selesaikan masalah dengan mami dulu!"
"Love you, Ameera. Tunggulah disini dan aku akan menemui mami." Ryan berjalan menghampiri Ameera, lalu memberikan kecupan pipi sebelum meninggalkan kamar wanita pujaannya itu.
Dengan cemas Ameera menunggu Ryan kembali, namun hatinya terasa tak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi? Sudah lebih dari satu jam dan Ryan masih belum kembali. Bergegaslah ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ke ruangan dimana mami berada. Matanya langsung terbuka lebar, ketika melihat Ryan dalam keadaan babak belur.
"Hentikan! Apa yang mami lakukan? Mas, kamu kenapa bisa seperti ini?" Ameera berlari dan memeluk tubuh Ryan dengan tetesan air mata.
Ia tak menyangka, jika persetujuannya berubah menjadi luka fisik yang harus diterima Ryan. Selama ini ia hanya menurut pada pemilik rumah remang yang menjadikan sebagai seorang kupu-kupu malam. Akan tetapi apa yang terjadi pada pria itu, tidak bisa dibenarkan. Sekarang ia paham bahwa cinta Ryan untuknya bukan sekedar omong kosong belaka.
Ryan tersenyum. "It's okay, Sayang. Semua untukmu."
"Aku tidak terima dengan tindakan mu, Mam! Jika kalian menyentuh calon suami ku lagi, akan kupastikan rumah ini runtuh sama rata dengan tanah. Mami yang membuat aku nekad. Apakah mami ingat apa yang ku punya?" tukas Ameera mengancam seraya membantu Ryan agar kembali berdiri.
"Mam?" tanya seorang anak buah yang siap menangkap Ameera, si wanita kesayangan para pelanggan.
Tangan mami memberikan isyarat jangan, wajah yang biasanya senang mendadak pucat pasi. "Biarkan mereka berdua pergi!"
"Ayo mas, Tidak ada yang menghalangi kita, masih kuat 'kan?" tanya Ameera dengan lembut.
Ryan menganggukkan kepala. "Terimakasih"
"Anggaplah ini balas budi ku. Jangan fikirkan lagi." jawab Ameera, kemudian kedua pasangan itu berjalan meninggalkan rumah remang.
Setiap insan yang bernapas tak luput dari ujian kehidupan yang berliku-liku. Akan tetapi, bagaimana rasanya ketika harapan baru saja dirajut, tiba-tiba tanpa permisi dihempaskan begitu saja hingga menjadi badai prahara cinta. Rasa sesak di dada hanya pelipur rasa yang nyata.
Kedipan mata anggun nan menggoda dengan iringan musik yang menggelora memenuhi ruangan temaram yang harum memabukkan. Pertunjukan singkat yang selalu menjadi pengikat para pelanggan kelas konglomerat. Siapa yang menolaknya?
Setiap pria yang datang selalu mendapatkan kepuasan tanpa bisa diragukan. Ia primadona di antara para bintang yang berpijar. Semua orang memanggilnya dengan nama Senja. Indah, cantik, mengagumkan dengan cahayanya yang meneduhkan. Sentuhan bak aliran listrik dengan senyuman manis nan menawan berselimut kerapuhan.
Sejak menginjakkan kaki di rumah remang. Namanya acap kali menjadi perbincangan para pelanggan. Dari satu bibir ke bibir lain hingga banyak yang berniat menghabiskan satu malam hangat bersama sang primadona. Sayangnya mami yang menjadi pemilik rumah remang hanya menargetkan para pelanggan kelas atas untuk mendapatkan service gelora.
Pada suatu malam tak berbintang di balik sinar rembulan yang temaram. Tatapan mata dua insan saling bertautan tak mampu terpisahkan. Keduanya saling mengagumi satu sama lain hingga tanpa sadar sepanjang malam hanya duduk diam saling memandang. Tidak ada kata selain deru napas ketenangan.
Pertemuan pertama yang selalu menjadi kenangan terindah di antara keduanya. Sejak malam itu, Senja tak tersentuh oleh pria lain. Sang primadona hanya menjadi pelayan satu pelanggan saja. Sehingga tak jarang membuat para pelanggan lain murka, meski tak mampu berbuat apapun karena mami telah menerima semua bayaran di muka.
Usapan lembut kembali menyadarkan Ameera dari lamunannya. Apalagi tatapan meneduhkan masih enggan berpaling menatap intens ke arahnya. Wajah dengan garis keturunan Arab yang begitu dominan menjadi keindahan ciptaan Allah tiada duanya.
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Masih memikirkan masa itu?" tanya Ryan begitu tepat sasaran, membuat sang istri tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala.
Tangan hangat yang masih mengusap pipi dibiarkannya, "Mas, apa kita akan tinggal di tempat terpencil seperti ini untuk selamanya? Apa kamu tidak rindu keluarga?"
Mendadak senyuman yang selama sebulan ini tak pernah luntur, tiba-tiba menghilang. Untuk pertama kalinya ia melihat Ryan kehilangan semangat dan harapan untuk bahagia. Apa yang pria itu sembunyikan darinya? Kenapa juga mereka langsung terbang ke pulau pribadi setelah menikah di kua.
Pertanyaan demi pertanyaan yang selama beberapa waktu terpendam kian mencuat mempertanyakan sebuah kebenaran. Meski ia percaya bahwa suaminya orang baik dan tidak ada keraguan di hati yang bisa menggoyahkan keyakinannya. Hanya saja, seorang istri berhak mengetahui kehidupan dari si suami 'kan?
"Ameera, Aku hidup sebatang kara. Jikapun ada yang mengaku sebagai keluarga ku, maka mereka hanya ingin menguasai harta warisan dari kakek. Lupakan soal itu, bagaimana dengan keinginanmu? Bukankah waktu itu, kamu bilang akan meminta mahar setelah satu bulan menikah.
"Sebaiknya kita bahas itu saja karena selama napas ini masih bersamaku. Aku ingin memenuhi semua keinginanmu, istriku sayang." sambung Ryan tanpa ragu merengkuh tubuh Ameera hingga masuk ke dalam dekapan hangatnya.
Topik pembicaraan dialihkan Ryan dengan sengaja, membuat Ameera menghela napas panjang. Tak mungkin memaksakan diri untuk mengetahui sisi lain kehidupan sang suami. Apa dayanya? Mungkin suatu hari nanti akan ada waktu untuk saling berbagi cerita, sedangkan saat ini hanya ada pemahaman tanpa penjelasan.
"Mas, Aku tidak ingin apapun selain pernikahan kita menjadi ibadah hingga terbentuk keluarga sakinah, mawaddah, warohmah." Ameera melonggarkan kedua tangan Ryan dari pinggangnya, lalu mendongak menatap manik mata yang tampak menyimpan banyak luka.
Ia sadar sesuatu tengah menguasai hati dan pikiran suaminya tetapi entah kenapa kejujuran harus dilakukan sebelum terlambat. Bagaimanapun pria itu harus tahu tentang apa yang kini menjadi dilema hati seorang istri. Apakah semua akan baik-baik saja? Ia pun tak tahu.
"Mas, sebenarnya ...,"
Keraguan di mata Ameera membuat Ryan mengubah posisinya. Tatapan mata enggan berpaling tetapi dekapan hangat dilepaskan berganti rengkuhan wajah dalam kedekatan. Sadar akan ketidak sanggupan sang istri untuk mengutarakan isi hati.
"Katakan saja, Sayang. Apa yang menjadi kegundahan hatimu. Apa masih meragukan cintaku atau kamu khawatir akan masa depan kita?" tanya Ryan begitu lembut menyadarkan Ameera dari lamunan sesaat.
Wanita itu menghela napas pelan seraya melepaskan tangan suaminya. Lalu beranjak dari tempat ternyamannya. Tatapan mata memandang deburan ombak yang terlihat begitu indah tetapi tak menenangkan. Apakah kejujuran bisa menjadi jawaban?
"Mas, sebenarnya aku memiliki keluarga yang harus selalu ku temui sebulan sekali. Maaf tapi bisakah kita kembali ke kota." ucapnya dengan perasaan berdebar.
Ia merasa pemberitahuan itu terlalu mendadak. Bagaimana jika Ryan tahu keluarga yang dimaksud adalah seorang anak yang tinggal di asrama. Apakah masih berpikir positif atau justru negatif. Kenyataan memang pahit karena meski sudah menikah, mereka tidak mengetahui dunia kehidupan masing-masing.
Ryan berjalan menghampiri Ameera tetapi tak memeluk istrinya. Ia hanya berdiri di sebelah kanan sang istri, "Aku tahu, dan sekretarisku selalu memantau perkembangan Zoya. Jadi apa kamu ingin tetap kembali ke kota?"
Zoya Claudia. Seorang gadis yang menginjak usia lima belas tahun dan selalu tinggal di asrama karena Ameera tidak bisa membiarkan adiknya tinggal di rumah seorang diri. Baginya kehidupan gadis itu harus lebih baik, maka ia menerima pekerjaan sebagai wanita malam.
Tak peduli sebanyak apa pria yang harus dilayaninya. Satu yang selalu memenuhi pikiran, membiayai semua kebutuhan Zoya. Gadis itu adalah sumber dari semangatnya dan tak semua orang tau karena ia sengaja menggunakan perantara ketika ingin melakukan pertemuan.
Hidup sebagai wanita malam tak selalu baik. Apalagi dikelilingi para pria yang bisa saja bertemu di jalanan. Tentu harus menjaga diri agar tidak salah jalan meski ia jatuh pada perasaan cinta yang kini mengubah kehidupannya secara drastis. Hanya saja Zoya masih menjadi tanggung jawab utamanya.
Pengakuan sekaligus pertanyaan Ryan seketika memudarkan rasa khawatirnya, "Aku mau kemana ke kota dan bisa membawa Zoya tinggal bersama kita. Apakah diizinkan, Mas?"
"Kenapa tidak tapi malam ini kita tetap disini dan besok pagi akan ada penjemputan. Ayo, kita balik ke villa." Ryan mengulurkan tangannya yang disambung hangat Ameera.
Pasutri itu tampak saling mencintai seolah dunia milik mereka berdua. Tak ada yang menyadari ketika semilir angin membawa perubahan. Sang waktu begitu cepat berpindah membawa harapan yang tersisa menjadi kenyataan masa depan. Seperti yang di janjikan sang suami. Keduanya kembali ke kota dengan penerbangan pribadi menggunakan heli pukul enam pagi.
Keramaian kota terlihat dari atas membuat Ameera menatap angkasa. Bagaimana rasanya terbang? Lihatlah burung di luar sana yang begitu bahagia mengepakkan sayap tanpa ada tali kekang. Bukan bermaksud tidak bersyukur hanya saja mengingat kehidupan lalu, ternyata masih membekas di hati serta ingatan.
Perjalanan udara selama satu jam setengah akhirnya berakhir ketika heli mulai melakukan pendaratan di atas sebuah gedung pencakar langit. Gedung yang dijaga begitu banyak pria kekar berseragam hitam. Apa ada tamu penting atau semua itu karena Ryan?
"Mereka pengawal pribadi saat berada di luar. Jangan canggung dan mulailah terbiasa." bisik Ryan memberitahu Ameera seraya mengusap punggung wanita itu agar merasa lebih tenang.
Seumur hidup baru kali ini melihat penjagaan seketat itu. Sebenarnya siapa Ryan? Kenapa seperti orang paling penting di negara tempat mereka tinggal. Meski dari villa tempat tinggal sebelumnya sudah menunjukkan kekayaan sang suami tapi jujur saja masih banyak tanya tanda yang tidak bisa dicerna akal.
Begitu heli mendarat, Ryan keluar terlebih dahulu. Lalu mengulurkan tangan membantu Ameera turun secara perlahan. Kedatangan pasutri itu mendapatkan sambutan hangat dari semua penjaga yang memberikan hormat. Tanpa basa-basi mereka berjalan menuju lift khusus yang sudah diamankan.
Lift kaca yang hanya menampung enam orang karena Ryan tak suka berdesak-desakan. Sehingga hanya membiarkan pengawal inti empat orang yang bisa masuk bersama. Lift terhenti di lantai dasar gedung, lalu berganti kendaraan darat yaitu sebuah mobil sport berwarna hitam yang terlihat begitu mulus.
"Masuklah!" titahnya membukakan pintu untuk Ameera, membuat istrinya kebingungan tetapi masih menurut. "Kalian amankan jalan!"
"Siap, Bos." jawab sang ketua pengawal dengan sigap.
Pawai jalanan itu membuat orang-orang penasaran. Deretan mobil mewah membuat kehebohan suasana kota pagi ini, bahkan berita di televisi langsung menyiarkan secara live. Para penonton terkagum melihat pemandangan langka tetapi tidak dengannya yang mengepalkan tangan melihat tontonan dari si benda pipih di atas meja.
"Rupanya kamu berani membawa gadis murahan itu memasuki kediaman kita. Baiklah, mari kita lihat. Dia atau aku yang akan menjadi ratu di rumah ini." ucapnya santai seraya melambaikan tangan membuat para pelayan datang mendekatinya.
Seulas senyum manis tersungging menghiasi wajah cantiknya, "Persiapkan kamar bulan madu dan hidangkan makanan sepesial untuk tamu rumah ini, pergilah!"
Satu isyarat saja sudah cukup menggerakkan semua manusia yang bekerja di mansionnya. Kini kehidupannya akan lebih berwarna. Semua itu karena sang tuan rumah dalam perjalanan pulang. Tak ingin berlama-lama, ia harus mempersiapkan diri menyambut tamu sebaik mungkin sebagai bentuk toleransinya.
Sementara Ameera yang sibuk menatap keluar jendela tiba-tiba merasa tidak enak hati. Entah kenapa ada perasaan takut di dalam hatinya. Apakah semua akan baik-baik saja? Setelah melihat kemewahan milik Ryan, ia tak berani berekspektasi sederhana dengan kehidupan normal.
Usapan lembut di kepala mengalihkan perhatiannya bersambut senyuman hangat yang selalu menjadi pelipur lara. "Mas, siapa saja yang tinggal dirumahmu?"
"Jangan sekarang, nanti kamu tahu dan akan kuperkenalkan satu per satu jika perlu. Tidurlah! Semalam pasti lelah." pintanya tak ingin memberi tekanan pada wanita yang masih berusaha adaptasi dengan kehidupan keduanya.
Ingin sekali terlelap menenggelamkan diri ke alam mimpi hanya saja mata enggan menurut dan terus saja mencari kedamaian di luar sana. "Apa perasaanku saja atau sesuatu akan terjadi?" gumamnya begitu lirih tetapi Ryan masih bisa mendengar.
Tak ada niat untuk menjawab atau menenangkan. Seulas senyum tipis dengan tatapan mata fokus terpatri pada jalanan. Biarlah waktu memberikan kepastian tanpa harus menjelaskan. Sekarang kehidupannya telah kembali dan tak seorangpun bisa menentang keinginannya.
Cinta itu indah hingga kenyataan bisa berubah menjadi bayangan semu. Aku melakukan semua ini demi dirimu, Sayang. Semoga kamu mau memaafkan keputusan sepihak dariku. You are mine, only mine.~ucap hati Ryan menambah laju kecepatan mobil karena tidak sabar ingin segera kembali pulang ke rumahnya.
Terkadang perasaan tak tenang yang datang menyapa menjadi bentuk alarm diri akan apa yang akan terjadi. Ameera semakin merasa gelisah begitu mobil memasuki pagar megah yang terlihat angkuh menantang siapapun yang menatapnya. Was-was hingga berpikir ingin kembali kembali ke villa tanpa tetangga.
Mobil berhenti terparkir di belakang mobil van yang menjadi pengawal perjalanan, lalu Ryan membuka pintu seraya menoleh ke arah Ameera yang tampak enggan untuk turun. "Sayang, ayo! Kita sudah sampai rumah keluargaku."
"Mas, apa kita tidak salah rumah?" tanya Ameera dengan polos tetapi lebih mengharapkan jawaban tidak dari suaminya.
Keraguan dimata wanita itu membuat Ryan menutup pintu mobilnya lagi. Tatapan mata saling terpaut mencoba memberi ketenangan dengan mata teduhnya. Tanpa kata semakin mendekatkan diri menyapu bibir kelu menikmati pagutan manja.
Tangannya menahan dada bidang yang semakin menginginkan kekuasaan, "Mas, kita di mobil." Ingatnya seketika menghentikan Ryan yang mulai tertahan menatap dengan tatapan mata berkabut.
Akhirnya pasutri itu turun bersama karena tak ingin khilaf. Para pelayan sudah berkumpul di depan rumah menyambut kedatangan mereka berdua. Lagi-lagi Ameera tertegun dengan apa yang dilihatnya. Semua seperti mimpi ketika hidup para raja tersaji di depan mata.
Tangan yang melingkar di pinggang semakin terasa erat. Ia tahu Ryan berusaha memberi dukungan agar bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang ada. Tanpa berlama-lama pria itu memperkenalkan sang istri kepada semua pelayan dengan nada suara bariton yang menyentak kesadaran Ameera.
"Salam kenal, semuanya." sapa Ameera kepada semua pelayan dan penjaga yang menganggukkan kepala tetapi cepat-cepat menundukkan pandangan lagi. "Mas, bisa pelankan suaramu? Aku merasa tidak nyaman mendengar itu."
"Hmm, ayo masuk!" Permintaan sederhana sang istri diabaikan karena itu tidak berlaku di dalam rumahnya.
Mansion dengan luas yang bisa dijadikan bandara, maka tidak ada salahnya jika ia bersikap lebih keras agar semua penghuni mansion bisa memahami tanpa harus mengulang perkataan. Baginya kehidupan di luar gerbang milik dunia tapi di dalam gerbang hanya miliknya seorang.
Tanpa mengharap apapun, pria itu menjelaskan beberapa bagian ruangan yang bisa disambangi Ameera di saat merasa bosan. Selain itu, ia juga menjelaskan beberapa peraturan agar tidak terjadi pelanggaran. Setiap detail dari apa yang tidak boleh dilakukan membuat wanitanya semakin gelisah.
"Mas, kenapa kamu berubah?" Ameera menatap Ryan dengan tatapan sendu. Jujur saja ia menyesal karena meminta pindah kembali ke kota. Baru beberapa menit saja, peraturan sudah menjadi belenggu di dalam sangkar emas.
Pertanyaan sang istri menyudahi penjelasannya tentang peraturan yang ada. "Jika kita hidup di dunia bebas, maka kebebasan yang didapat tapi disini. Semua memiliki tujuannya masing-masing. Percayalah kamu akan cepat mempelajari semuanya."
"Maksudnya mas apa?" Ia semakin dibuat bingung karena perubahan tak bisa dihindari.
Bukannya menjawab. Ryan justru merengkuh tubuhnya ke dalam gendongan. Langkah kaki menaiki anak tangga menuju entah kemana. Tatapan mata yang teduh masih menjadi miliknya tetapi kenapa hati semakin tak karuan? Sungguh pikiran pun kian bergelut tanpa arah yang pasti.
Kamar utama yang menggunakan password suara untuk terbuka berhasil mengalihkan perhatian. Ryan masuk tanpa menurunkannya, "Selamat datang di kamar kita. Kuharap istri tersayangbku bahagia dengan hadiah pertama pernikahan kita."
Kamar seluas rumahnya diisi dengan furniture lengkap dan pasti serba mahal bahkan ranjang dihiasi bunga segar berbentuk love seperti sengaja di dekor untuk menyambut kedatangan mereka berdua. Tanpa sadar tubuhnya terlepas dari dekapan sang suami.
"Semua pengaturan ini, apakah kamu yang buat Mas?" tanyanya tanpa memperhatikan kesibukan Ryan yang berdiri di belakangnya karena ia sendiri mencoba menghapal setiap sudut ruangan. "Mas Ryan!"
Niat hati ingin berbalik tetapi dekapan hangat mengejutkannya. Sentuhan tangan kekar bersambut embusan napas hangat menyusup merengkuh kenikmatan. Dibiarkannya sang suami memulai perjalanan panjang agar dapat melepaskan beban.
Pergulatan panas yang mulai terjadi tak luput dari perhatian seseorang. Tatapan mata tak berkedip melihat setiap adegan yang terpampang jelas di layar pipih yang terpajang di dinding depan ranjangnya. Sakit hati kian menyesakkan dada tetapi harus tetap bersabar. Semua demi kebaikan bersama.
Diambilnya remote yang ada di samping tempat duduk sebelah kanan, "Nikmatilah siang mu dengan rasa haus kasih sayang karena malamnya hanya menjadi milikku seorang." Tak ingin meneruskan tontonan, ia memilih merebahkan tubuh dengan mata terpejam.
"Cinta itu hanya tentang pengorbanan. Aku tidak berharap di cintai tanpa kegilaan. Percayalah kamu harus mendapatkan hukuman setimpal meski semua kau lakukan hanya demi kita." ujarnya dalam kesendirian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!