Namaku Sakura, aku kuliah di universitas ternama di Jepang. Tolong jangan tanyakan tentang hubungan asmaraku, karena sampai sekarang aku masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan laki-laki. Berbagai macam judul buku hingga beragam link website yang membahas cara berkomunikasi dengan laki-laki sudah kubaca, tapi tetap saja tak membuahkan hasil.
Aku? Aku sama seperti para wanita di luar sana, punya bentuk tubuh yang di bawah rata-rata, punya bentuk wajah yang juga di bawah rata-rata, hanya kepintaranku saja yang sedikit di atas rata-rata.
Setiap hari sepulang kuliah aku tak langsung pulang melainkan mencari uang terlebih dahulu dengan menjadi kasir di salah satu minimarket yang tidak terlalu jauh dari rumah. Kuliahku sendiri tidak mengeluarkan uang, aku mendapatkan beasiswa tapi tetap saja aku harus mendapatkan uang untuk menyambung hidup.
_______
“Angkat tangan, diam dan jangan berteriak!” bentak seorang laki-laki yang wajahnya ditutupi masker berwarna hitam dengan mengacungkan sebuah pistol ke arahku.
Kuangkat kedua tanganku ke atas, tampak perampok itu berusaha mengambil uang yang ada di mesin kasir. Tak perlu waktu lama untuk perampok itu mengosongkan mesin kasir, beberapa lembar uang sudah berpindah ke saku sweater-nya yang berwarna hitam. Diambilnya juga beberapa kotak rokok yang tersusun rapi di belakang meja kasir, aku masih diam tak bergerak, pistol yang berada di tangannya masih setia mengarah pada tubuhku.
“Maaf, kalau ada saksi mata. Aku akan susah," ucapnya yang langsung mengarahkan dua tembakan ke arah dadaku.
Maaf apanya sialan! Perampok sialan! Aku masih muda untuk mati. Aku masih belum menikah, pacaran pun belum pernah, aku masih ingin mengetahui sambungan dari anime yang biasa aku tonton, update terbaru dari manga yang biasa aku tunggu tiap minggunya.
Tak butuh waktu lama untuk aku tersungkur ke lantai, telapak tanganku telah berubah merah saat sebelumnya aku menekan dadaku menggunakan telapak tanganku itu.
Sakit sekali, dadaku seakan terbakar, tubuhku mati rasa, rasa dingin dan beku di kedua ujung kakiku menjalar naik keatas. Pandanganku semakin lama semakin mengabur.
Ah, jadi seperti ini rasanya sekarat.
_______
Kubuka kedua mataku, kutatap langit-langit berhias ukiran-ukiran indah berlapis emas menghiasi pandanganku. Tubuhku terasa sangat berat, kucoba untuk beranjak tapi tak membuahkan hasil.
Apa aku sudah berada di akhirat? Aku benar-benar sudah mati kah?
“Oooeee! (tolong!)”
Eh apa-apaan ini? Aku tadi coba berteriak tapi kenapa yang keluar malah suara tangisan bayi.
“Oooeee ... ooooeee! (tolong ... tolong!)” teriakku sekali lagi, kali ini lebih keras.
Eehh, seriusan? Ini suaraku, kah? Apa ini mimpi?
Kupejamkan dan kubuka kembali kedua mataku untuk memastikan, keadaan di sekitar masih tetap sama, ini berarti aku tidak bermimpi. Coba kuangkat kedua tanganku ke udara, terdiam aku melihat dua buah telapak tangan kecil di depan mataku.
Tunggu, tunggu, tunggu, sejak kapan tanganku jadi sekecil ini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?"
“Putri Sachi, kau sudah bangun?” Aku terhentak, saat suara laki-laki mengetuk telinga.
Lama, aku menjatuhkan pandangan ke seorang pria berusia sekitar ... Dua puluh tahunan yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Tubuhku semakin kaku, membeku ketika dia mengangkatku lalu menggendongku ke pelukannya.
Aku tidak pernah dipeluk laki-laki sebelumnya dan terlebih lagi dia tampan sekali. Tenanglah Sakura, tenanglah.
Laki-laki tampan itu membawaku ke sebuah cermin besar berukuran sama persis seperti tinggi badannya, diletakkannya aku duduk di hadapan cermin besar itu. Mataku berkedip beberapa kali, menatap bayangan seorang bayi perempuan bermata hijau, berambut cokelat tipis yang duduk di hadapanku.
“Dabuu? (siapa kau?)” ucapku, sambil mengarahkan tanganku padanya, tampak bayi perempuan itu juga melakukan hal yang sama padaku.
Tunggu, tunggu, tunggu. Bukankah ada yang salah di sini?
“Putri Sachi, bagaimana menurutmu gaun hitam ini?” ucap pemuda tadi yang telah berdiri di belakangku dengan menunjukkan sebuah gaun hitam lengkap dengan topi rajutan yang berwarna hitam.
Tunggu dulu, dia berdiri di belakangku, bukan? Dan dia memanggilku Sachi? Jangan bilang kalau bayi itu adalah aku?
Aku Putri Sachi? Tapi aku yakin kalau sebelumnya aku sudah mati di tangan perampok sialan itu. Ahh, jangan bilang kalau aku bereinkarnasi? Aku terlahir kembali?
Tapi kalau benar begitu, bukankah ini “jackpot” besar dari surga untukku. Keluarga kerajaan pasti punya paras di atas rata-rata, tinggal di istana mewah, lihat saja! Ruangan ini saja sudah banyak yang dilapisi emas.
Tidak perlu memikirkan biaya hidup, menikahi pangeran impian, terlebih lagi punya pelayan pribadi dengan senyum mematikan. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Sakura. Terima kasih Tuhan, akhirnya kau mengabulkan khayalan egois di kehidupan lamaku."
Pemuda itu, memakaikan gaun hitam yang dipilihnya tadi sambil memejamkan matanya, sebelum akhirnya diamenggendongku menyusuri Istana.
Aneh, aku sama sekali tak menemukan sesosok perempuan pun di istana ini, semua yang kulihat hanya laki-laki, apakah ini sebuah istana Harem yang tercipta untukku? Maafkan aku Tuhan, aku telah menjelma menjadi Bayi yang mesum.
Pemuda itu menoleh, membalas tatapanku padanya, "sebentar lagi kita sampai, Putri," ucapnya sambil tersenyum menatapku.
Kami pun sampai di suatu lapangan luas di luar istana, tampak sebuah alat eksekusi pancung berdiri kokoh siap menebas leher siapa pun yang berani mendekatinya. Satu hal yang pasti, semua yang ada di sana memakai pakaian berwarna hitam. Dan sekali lagi, mereka semua didominasi laki-laki, hanya sekitar tujuh atau delapan perempuan saja yang ada di sana termasuk aku.
“Sebentar lagi kita akan menyaksikan eksekusi kakakmu, Putri,” ucapnya diiringi senyum dingin yang menusuk ke arahku.
“Laki-laki yang duduk di sana itu ayahmu Putri, Raja Takaoka Kudou. Yang duduk di sebelah kanannya itu kakak laki-laki tertuamu Putri, Pangeran Takaoka Haruki. Yang duduk di sebelah kiri Raja itu adalah kakakmu juga Putri, Pangeran Takaoka Izumi. Ini pertama kalinya kau melihat mereka Putri, dan yang akan dieksekusi kali ini ialah kakak perempuan tertuamu, Putri Takaoka Mari."
Seorang perempuan cantik berjalan dengan posisi tangan terikat, dengan seorang laki-laki berbadan besar berjalan di depannya sambil menarik tali yang mengikat perempuan tadi.
Pakaiannya yang putih tampak sudah berubah warna mengusam. Mata merah dan tubuhnya yang gemetar tampak jelas memberitahu kalau ia sangat ketakutan. Di belakangnya juga tampak seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan yang berjalan dengan noda darah di sekujur tubuhnya.
Tubuhku gemetar melihat kepala laki-laki tadi jatuh menggelinding ke tanah, darah segar mengucur deras keluar dari lehernya. Perutku terasa sangat mual melihatnya, aku tidak pernah melihat hukuman seperti ini sebelumnya di kehidupan lamaku. Aku hanya sering melihatnya di anime atau manga yang aku baca ... Tapi, melihatnya secara langsung seperti ini sangat mengerikan.
“Kau tahu, Putri? Dunia ini kejam untuk perempuan seperti kalian. Ketika kau nanti berusia empat tahun, kau akan dijodohkan. Dan tepat saat usiamu menginjak tujuh belas, jika calon suamimu tidak ingin menikahimu, kau akan berakhir seperti kakakmu yang ada di sana. Dan aku sendiri akan berakhir seperti pelayannya yang kepalanya menggelinding tadi."
“Yang mulia, mohon ampuni nyawaku!" teriak perempuan tadi dengan menangis keras memohon ampunan.
“Ayahanda, selamatkan-” Perkataannya terhenti, darah segar mengucur keluar dari lehernya yang terpotong. Kepala perempuan tadi menggelinding diikuti dengan jejak darah yang keluar darinya, wajahnya tampak mengarah padaku, mata dan mulutnya terbuka lebar. Aku terhentak, diam tak berkutik seakan nyawaku lepas dari tubuh, air mataku mengalir keluar tanpa sadar.
“Putri, aku akan menjadikanmu perempuan paling bersinar di kerajaan ini. Kau akan membantuku, bukan? Atau kita akan berakhir seperti mereka," sambungnya kembali seraya menatap tajam pada dua kepala yang tergeletak di tanah.
"Putri Sachi, kau baik-baik saja?" tanya pelayan itu seraya menepuk-nepuk pelan pipiku.
Pikiranku kosong, otakku seakan tak berjalan saat ini.
Peraturan kerajaan macam apa itu? Itu tidak masuk akal, dunia ini tidak masuk akal. Kehidupanku yang berharga berada di tangan seorang baajingan tak dikenal yang akan menjadi calon suamiku?
Haruskah kulenyapkan calon suamiku terlebih dahulu untuk bertahan hidup? Aku kurang beruntung di kehidupan lamaku, kenapa juga ketidakberuntungan itu mengikutiku di kehidupanku yang sekarang?
'Sachi' itu berarti kebahagiaan, bukan? Tapi hidupku jauh dari kata bahagia. Aku berharap, aku terlahir sebagai laki-laki.
"Tunggu di sini sebentar, Putri. Aku akan segera membawakan susu untukmu," ucapnya seraya membaringkan tubuhku ke kasur.
Tsubaru, kah? Aku tidak sengaja mendengar namanya ketika pelayan kakakku berbicara dengannya. Dia juga berada di posisi sulit sama sepertiku, baiklah Tsubaru kau akan jadi target pertamaku. Bersiap-siaplah Tsubaru, aku akan mendapatkan hatimu.
“Putri, waktunya makan," ucapnya kembali muncul, dia menggendongku menuju sofa kulit berwarna cokelat. Sambil menyuapiku, sesendok demi sesendok susu dari dalam mangkuk yang ia pegang.
Di zaman ini, dot bayi masih belum tercipta. Bukankah ini bagus? Dengan kepintaranku, aku akan menciptakan berbagai macam benda lalu menjualnya dengan harga yang mahal, dengan begitu aku bisa melarikan diri dari kerajaan ini tanpa takut kelaparan.
Kau pandai sekali Sakura, dengan begitu hidupmu akan terselamatkan.
“Putri, kau terlihat bahagia sekali hari ini. Tapi berhenti tertawa, ini sudah waktunya untukmu tidur."
Tsubaru berdiri menggendongku, ditepuk-tepuknya punggungku pelan. Ikut terdengar sebuah lagu tidur keluar dari bibirnya. Aku tidak tahu kalau menjadi seorang bayi akan senikmat ini, pelukannya pun terasa hangat sekali.
Tsubaru, aku berjanji akan melindungimu.
______
“Putri, waktunya bangun,” suara Tsubaru terus menerus mengetuk telingaku.
“Lima menit lagi Tsubaru, bangunkan aku lima menit lagi," ucapku sambil tetap memejamkan mata.
“Lima menit?” tanyanya heran.
“Hitung sampai tiga ratus, baru aku akan bangun," jawabku malas menimpali perkataannya.
“Hari ini ulang tahunmu yang ketiga, Putri Sachi. Sesuai tradisi, kau harus pergi makan malam bersama dengan Raja dan para Pangeran. Ini kali pertama kau akan bertemu dengan mereka, kau tidak akan membuat mereka menunggu, bukan? Atau, kepala kita berdua yang jadi taruhannya."
Dingin, dalam sekejap udara hangat di dalam kamar menurun drastis. Tsubaru menjadi menyeramkan sekali kalau sudah dalam tahap ini. Tiga tahun sudah aku berusaha mengambil hatinya tapi belum membuahkan hasil, empat belas tahun lagi dan kami akan kehilangan kepala kami.
Di dunia ini, perempuan sama sekali tak dihargai bahkan lebih buruk dari budak. Jika kau terlahir di keluarga bangsawan maka kau akan sedikit beruntung karena terhindar dari penindasan saat kau masih belum menginjak umur tujuh belas tahun.
Setiap tahun banyak perempuan yang dieksekusi, para laki-laki seakan-akan tak membutuhkan perempuan hidup di dunia ini. Mereka sama sekali tak berpikir panjang, bukankah tanpa perempuan mereka akan musnah, memangnya mereka bisa melahirkan anak?
Raja sendiri tidak mempunyai seorang Ratu, semua ibu kami berasal dari wanita-wanita penghibur yang akan dieksekusi saat tugasnya melahirkan kami selesai. Ya, kalian benar, aku dan kakak-kakakku berbeda ibu. Bahkan Tsubaru, membiarkan calon istrinya dieksekusi karena ia ingin mengabdikan dirinya pada kerajaan. Dan aku sendiri, terjebak pada pria-pria berdarah dingin di sini.
Sejauh mata memandang, kau tidak akan menemukan perempuan di istana ini. Semua tugas dilakukan oleh laki-laki, entah itu memasak, beres-beres dan lain sebagainya.
Aku memang seorang putri, tapi hanya sebatas gelar. Semua orang di istana tidak akan mendengarkan perkataanku, mereka hanya mendengarkan perintah Raja dan para pangeran. Beruntung Tsubaru punya kedudukan yang cukup tinggi, setidaknya kehidupanku sebagai seorang anak kecil terpenuhi.
“Putri, air mandinya sudah siap," ucapnya sembari berjalan ke arahku.
“Tunggu Tsubaru! Aku bisa mandi sendiri," ucapku seraya menggerakkan kedua tanganku ke depan.
“Aku sudah besar kau tahu, Putri Sachi-mu ini sudah dewasa."
“Benarkah?”
“Aku serius."
Tsubaru menghela napasnya, “baiklah, perkataanmu adalah perintah mutlak untukku, Putri," ucapnya diiringi senyum dingin menusuk yang mengarah padaku.
Aku masuk ke dalam kamar mandi, kurebahkan tubuhku ke dalam bak mandi yang sudah terisi penuh air. Air hangat memenuhi tubuhku, wangi bunga mawar yang ditebar di dalam bak mandi, benar-benar memanjakan hidung.
Aku ingin sekali keramas, haruskah aku membuat shampo terlebih dahulu? Tapi aku belum menemukan bahan-bahannya di istana. Keramas di zaman ini hanya berfungsi menghilangkan bau apek pada rambut tapi tidak melembutkan, menghaluskan, dan mengkilapkan rambut. Aahh, aku rindu rambut di kehidupan lamaku.
_____________
Gaun berwarna biru muda lengkap dengan pita rambut yang senada menempel di tubuhku, Tsubaru lah yang bertugas mendandaniku. Tak ada yang tidak bisa dilakukannya-
Pelayan pribadiku menakjubkan, bukan?
Kami berjalan menyusuri lorong istana, dengan pelan Tsubaru menuntunku, langkah kakinya tampak seirama dengan langkah kakiku. Langkah kaki kami berhenti di sebuah pintu besar dengan dua pengawal yang berdiri di depannya, didorongnya pintu itu oleh kedua pengawal tersebut. Tampak di dalamnya terlihat seorang laki-laki paruh baya dan dua orang anak kecil laki-laki yang duduk lengkap dengan para pelayan berdiri di samping mereka.
Aku tahu, aku tidak akan mengecewakanmu Tsubaru, aku masih tidak ingin berpisah dengan kepalaku.
Tubuhku gemetar, kutarik napas dalam-dalam, saat Tsubaru kembali tersenyum ke arahku. Aku berjalan dengan pasti ke arah mereka, kuangkat sedikit gaunku lalu membungkukkan badan seraya memberikan hormat.
“Salam, Yang Mulia,” ucapku memberi hormat pada mereka.
“Duduklah!" perintahnya tanpa ekspresi sedikit pun di wajahnya.
"Ya Tuhan aku takut sekali, aku tidak bisa melihat apa-apa dari wajahnya, aku tidak bisa memutuskan dia akan membunuhku atau tidak sekarang," bisikku pelan seraya menahan keringat dingin di telapak tanganku
Pangeran Haruki, kakak tertuaku, dari luar seperti seseorang yang tidak ada semangat hidup tapi otaknya sangat cerdas, soal bertarung dengan pedang bahkan Tsubaru pun tak bisa mengalahkannya.
Dan Pangeran Izumi, kakak keduaku, terlihat seperti baajingan nakal, tapi ia kuat bahkan diakui oleh para Kesatria di istana. Belum lagi dengan para pelayan mereka masing-masing, para pelayan yang melayani anggota kerajaan mempunyai kekuatan bertarung di atas Kesatria lain. Aku dan Tsubaru sudah pasti akan mati dalam sekejap kalau aku membuat kesalahan sekecil apa pun.
“Kau tidak ingin memakannya?” tanya Pangeran Haruki dengan tatapan mata mencekik.
“Aku akan memakannya,” jawabku dengan tangan gemetar meraih sendok.
“Oi Tupai, lalu apa hadiah yang kau inginkan dariku?”
Aku mengangkat kepala, menatapi Pangeran Izumi yabg tiba-tiba bersuara, “Tupai? hadiah?” tanyaku bingung menimpali perkataannya.
“Sesuai tradisi, saat anak perempuan menginjak usia tiga tahun, dia akan mendapatkan hadiah yang diinginkannya dari ayah dan saudara laki-lakinya,” ucap Raja menjawab pertanyaanku.
“Kalau begitu, bisakah aku tinggal di istana ini Yang Mulia? Istana Bunga tempatku tinggal terlalu jauh dari sini. Aku hanya ingin berada di dekat ayah dan kedua kakakku sebelum aku menikah nanti."
“Aku sering mendengar kehebatan kalian dari para pelayan, kesatria, dan para penghuni di istana. Rasanya menyakitkan, mengagumi kalian tapi tidak bisa melihat kalian secara langsung. Maka dari itu Yang Mulia, jika kau berkenan-"
“Baiklah, aku akan mengabulkannya." Dia memotong perkataanku sambil tetap mempertahankan wajah datarnya.
“Terima kasih, Yang Mulia," jawabku dengan tersenyum lebar padanya.
“Lalu, hadiah apa yang kau inginkan dariku Tupai?”
Berandalan kecil, seenaknya saja dia memanggilku Tupai.
“Bertemu dan melihatmu seperti ini adalah hadiah terbesar yang kau berikan padaku, Pangeran Izumi.”
“Benarkah?” sahutnya dengan wajah memerah.
Aku menganggukkan kepala sambil berusaha tersenyum palsu menatapnya, "terima kasih, kakak," ungkapku dengan kembali tersenyum padanya.
"Terima kasihmu kuterima,” timpalnya, kali ini dengan wajah lebih merah diiringi suara tawa yang keras keluar darinya.
__________________
Tsubaru menggendongku kembali ke istana kecil tempat kami tinggal, tubuhku masih gemetar kala mengingat kejadian tadi.
Tinggal di Istana inti adalah kesempatan yang besar, untung saja Raja mengabulkan permintaanku. Kalau aku berada jauh dari istana inti, kemungkinan untukku merebut hati mereka akan nihil. Bagaimana pun juga, aku dan Tsubaru harus bertahan hidup selama mungkin.
“Tsubaru!”
“Ada apa, Putri?” ucapnya menjawab perkataanku.
“Kau masih belum memberikanku hadiah?”
“Hadiah?”
“Kau adalah keluargaku, bagaimana pun Tsubaru adalah keluargaku. Jadi, aku juga menginginkan hadiah dari Tsubaru,” ucapku yang dibalas dengan tatapan matanya yang terlihat tampak terkejut.
“Hadiah apa yang kau inginkan dari Pelayan rendah sepertiku, Putri?”
“Tetaplah bersamaku, Tsubaru. Kau dilarang meninggalkanku tanpa izin dariku," ucapku seraya memejamkan mata yang sudah lelah menahan kantuk.
“Perkataanmu adalah perintah mutlak untukku, Putri Sachi," balasnya berbisik dengan sangat pelan di telingaku.
Semua gaunku telah berpindah tempat ke kamar baruku di istana, tampak Tsubaru sibuk mengatur kamarku ditemani pelayan istana yang lain. Aku duduk di taman istana dengan sebuah buku tebal di pangkuan, buku berisi sejarah kerajaan ini yang aku pinjam sembunyi-sembunyi dari Perpustakaan saat aku mencoba mencari Tsubaru.
"Aku ingin tahu, siapa pencipta peraturan dan adat-istiadat bodoh di kerajaan ini," ungkapku pelan seraya kubolak-balik halaman buku yang ada di pangkuanku.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Sebuah suara dari arah belakang mengagetkanku.
Ya Tuhan, aku kenal betul suara ini. Kenapa pria wajah datar bisa berada di sini, haruskah aku menoleh? Tapi leherku tak bisa digerakkan. Tsubaru sialan kemana kau? Aku merindukan senyum dinginmu sekarang, muncullah kumohon muncullah.
“Takaoka Sachi, aku bertanya padamu," ucap suara itu terdengar sekali lagi.
Aku menarik napas dengan beranjak turun dari bangku lalu berbalik menatapnya, "salam Yang Mulia, itu ... Aku sedang menunggu Tsubaru membereskan kamarku di sini. Lebih tepatnya, aku sedang membaca buku di sini," jawabku terbata-bata sembari memberikan hormat padanya.
“Kau bisa membaca? Usiamu baru tiga-"
“Aku bisa," ucapku yang dibalas dengan tatapan matanya yang sedikit terkejut.
Gawat, gawat, apa dia marah? Apa aku akan dieksekusi sekarang? Aarrgghh, wajahnya susah sekali ditebak, ketampananmu terbuang sia-sia Raja. Sudahlah aku tak peduli, akan aku keluarkan senjata andalanku. Mode imut 'aktifkan.'
“Terima kasih padamu Yang Mulia. Yang Mulia sangat pandai, menjadi anakmu membuatku cepat mempelajari apa pun. Sachi beruntung sekali, punya Ayah sepertimu Yang Mulia," ucapku tersenyum palsu padanya.
“Ikut aku!" perintahnya sambil berjalan mendahuluiku dengan seorang pelayan berjalan di belakangnya.
“Eehh?"
Apa senjata andalanku tak berhasil, dia ingin mengajakku ke mana? Apa hari ini, hari terakhirku? Ya Tuhan, beri aku tissue, aku benar-benar ingin menangis sekarang. Tsubaru, kita belum mengucapkan perpisahan satu sama lain. Oh Tuhan, kakiku mati rasa, aku sama sekali tak bisa menggerakkan kedua kakiku.
“Apa yang kau lakukan? Kau tidak ingin mengikutiku,” ucapnya yang tiba-tiba saja sudah menggendongku.
Sejak kapan? Sejak kapan dia menggendongku, aku sama sekali tak menyadarinya.
Tubuhku terasa membeku di gendongannya, ia tetap lanjut berjalan tanpa satu kali pun melihat padaku.
"Panggil Tsubaru dan Haruki menemuiku sekarang!" tukasnya memerintahkan pelayan pribadinya.
Maafkan aku Tsubaru, hidupmu akan berakhir karena kecerobohan dariku. Tiga tahun hidupku yang singkat, maaf aku tidak bisa mempertahankanmu. Maaf Tsubaru, aku tidak bisa melindungimu.
Ketakutanku tak kunjung hilang, untuk membuka mata pun sekarang terasa mustahil bagiku.
"Apa kau lelah?" tanyanya seraya menurunkanku dari gendongannya.
Aku berusaha untuk tersenyum membalas tatapannya, "tidak Yang Mulia, aku baik-baik saja," ucapku dengan sesekali mengarahkan pandangan ke seluruh ruangan seperti halnya ruang kerja.
Raja duduk di kursi penuh ukiran yang ada di sampingku, keringat dingin mengucur deras tak berhenti keluar dari tubuhku. Jantungku tak berhenti berdetak cepat, dengan telapak tanganku basah dipenuhi keringat.
"Ya Tuhan, atmosfer ini benar-benar membunuhku," bisikku pelan sambil mengelap telapak tanganku yang basah ke gaun yang aku kenakan.
Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar, dengan suara Pangeran Haruki yang ikut mengiringi ketukan pintu tersebut. Pintu kayu besar itu terbuka, diikuti Pangeran Haruki yang masuk diiringi tiga orang pelayan, dengan Tsubaru menjadi salah satu di antaranya.
"Salam, Yang Mulia," ucap mereka berempat memberikan hormat.
"Tsubaru, ada yang ingin aku tanyakan padamu?" tukas Raja sembari memperlihatkan buku yang aku baca sebelumnya pada Tsubaru.
'Degh' jantungku seakan berhenti berdetak, semakin kuat kugenggam gaunku dengan kepala tertunduk.
Apa karena aku mencurinya diam-diam? Aku dihukum karena itukah? Kalau tahu begitu, seharusnya aku bilang saja tadi menemukannya di lorong istana, bodoh, kau bodoh sekali Sakura.
"Anak ini berkata kalau ia bisa membaca buku ini."
"Ehh, Putri?" timpal Tsubaru yang juga ikut melihat ke arahku lengkap dengan ekspresi kebingungan di wajahnya.
"Aku bisa membacanya," jawabku dengan menundukkan kembali kepala ketakutan.
Jika aku mengelak setelah memberi tahunya kalau aku bisa membaca buku itu, tentu saja kepalaku sudah terbang melayang.
"Coba baca bagian ini!" perintah Raja sambil menunjuk pada satu paragraf yang ada di buku.
Aku hanya ingin mengetahui sejarah kerajaan, apa itu termasuk kejahatan?
Kutatap bagian yang ditunjuknya itu seraya kubaca dengan suara bergetar. "Haruki!" sambung Raja sembari memberikan buku yang dipegangnya pada Pangeran Haruki.
"Baik, Yang Mulia," ucap Pangeran Haruki berjalan ke arah Raja lalu mengambil buku yang ada di tangannya.
"Semuanya benar, tepat seperti yang tertulis di buku," sambung laki-laki yang kuperkirakan berusia sepuluh tahun itu.
Tampak semua orang di sana memperlihatkan ekspresi yang sama, terlebih lagi Tsubaru, ia tampak sangat terkejut mengetahui aku bisa membacanya. Tsubaru menatapku dari tempatnya berdiri, aku pun balas menatapnya dengan mata yang hampir memerah, sebelum akhirnya dia tersenyum membalas tatapanku itu.
Apa itu senyum terakhir yang akan aku lihat Tsubaru?
"Kau tahu, tidak semua orang bisa membaca dan melafalkan bahasa ini dengan jelas," ucap Raja kembali melihat ke arahku.
Tapi itu hanya bahasa Inggris biasa, mana mungkin aku tidak bisa membacanya.
"Buku ini berisi sejarah kerajaan dan ditulis dengan bahasa kuno yang hampir punah. Di dunia ini, hanya segelintir orang yang bisa membacanya, kakakmu, Haruki salah satunya," sambung Raja lagi padaku.
"Kau harus merahasiakannya. Jika tidak, perempuan sepertimu akan berakhir mengenaskan," ucap Pangeran Haruki yang juga ikut menatapku.
"Siapa yang mengajarimu?" tanya Raja kembali.
"Tidak ada yang mengajariku Yang Mulia, aku hanya membacanya saja," ucapku seraya mereemas-remas kuat jariku.
"Mustahil, aku saja butuh waktu lima tahun untuk mempelajarinya. Dan sekarang pun aku masih mempelajarinya," timpal Pangeran Haruki seakan tak percaya.
"Tsubaru, kau tahu tugasmu bukan? Bawa ia kembali ke kamarnya dan kalian semua bersikaplah seperti pertemuan ini tidak pernah terjadi!"
"Baik, Yang Mulia."
_________________
Tsubaru menggendongku ke kamar, ia masih diam tak bersuara. Tapi setidaknya aku lega, karena tidak ada hukuman. Setidaknya juga, nyawa kami masih bisa terselamatkan.
"Tsubaru!" ucapku setelah kami sampai di kamar.
"Ada apa, Putri?" jawabnya sembari menurunkanku dari gendongannya.
"Apa itu buruk? Maksudku, apa bisa menggunakan bahasa itu adalah hal yang buruk?"
"Kau tahu, Putri? Banyak petunjuk lokasi harta karun berharga yang tersebar di seluruh dunia menggunakan bahasa kuno itu. Jika ada yang mengetahui kau bisa membacanya dengan fasih dan lancar seperti itu, akan ada banyak orang tak bertanggung jawab yang mengincarmu, terlebih lagi kau Perempuan, Putri."
"Bahkan aku pun baru tahu, kalau Pangeran Haruki bisa membacanya. Kau mengerti maksudku, kan, Putri?" sambung Tsubaru dengan wajah serius yang baru kali pertama ini aku melihatnya.
"Tsubaru akan melindungiku, kan?" tukasku sambil meraih lalu menggenggam tangannya.
"Tentu saja, aku sudah disumpah darah untuk selalu setia di sampingmu, Putri."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!