Akan tetapi biarkanlah ada ruang di dalam kebersamaan yang kamu miliki dan biarkan angin dari surga menari di antara kalian. Cintailah satu sama lain dengan rasa saling memiliki.
Ada ruang di dalam kebersamaan di antara dua sejoli yang tengah menjalin cinta. Sayangnya, yang berada hadapi bukan hanya yang indah-indah saja. Melainkan ada, kenyataan pahit yang harus mereka hadapi bersama.
"Jadi, bagaimana, Dik ... mau enggak membangun rumah tangga denganku?" seorang pemuda berkulit sawo matang dengan wajahnya yang tampan khas Jawa dengan netra sepekat malam, hidungnya memang tak begitu mancung, alis mata yang tegas, dan rambutnya yang legam pula.
Di hadapannya sang pujaan hati dengan kulitannya yang kuning langsat, wajahnya pun ayu, dan rambutnya yang panjang sepinggang. Gadis itu tersenyum perlahan.
"Kalau Mas Satria memang benar-benar serius denganku, silakan datang ke rumah. Ada Ayah dan Bunda yang akan memberikan jawaban," balas Indi.
Bagi Indira atau yang biasa dipanggil Indi itu menjawab demikian. Baginya, tidak perlu banyak bercakap, jika memang serius dan memiliki keberanian pria bernama Satria itu bisa langsung datang ke rumahnya, menemui Ayah dan Bundanya.
"Ya, kamu mau dulu enggak, Dik?" tanya Satria lagi.
"Kalau Ayah dan Bunda setuju, maka aku pun mau," balas Indi.
Mendengar jawaban dari Indi, Satri tersenyum. Pria itu menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Lega. Baginya itu adalah sebuah petunjuk nyata kalau Indi tidak menolaknya.
"Ayahku bilang, kalau bawa cowok ke rumah itu tandanya serius dan sungguh-sungguh. Jadi, Mas Satria mau ikut ke rumah?" tanya Indi.
Sebenarnya Satria mau-mau saja. Namun, mengingat asal-usul keluarganya yang trah ningrat dan berdarah biru. Satria pun diminta untuk berhati-hati dalam bertindak, berlaku, dan bertutur kata. Segala sesuatu ada perhitungannya.
"Nanti kalau sudah ada hari baik dan saatnya tepat, aku akan singgah ke rumahmu," balas Satria.
Indi tak merasa kecewa. Itu tandanya justru Satria adalah pria yang berhati-hati. Memang di dalam hatinya, Indi berharap menemukan sosok suami yang seperti Ayahnya. Sosok yang tenang, penuh perhitungan, bijaksana, dan family man.
Indi selalu ingat dengan petuah dari orang tuanya bahwa jodoh itu memang dari Tuhan, tapi manusia berusaha juga. Namun, tak jarang jodoh itu sudah ada di depan mata. Sebab, itulah yang dialami Indi. Satria bukan sosok yang asing untuknya. Mereka dipertemukan kala MAKRAB (Malam Keakraban) Mahasiswa Baru di universitas negeri di Jogjakarta.
Dari sana persahabatan perlahan berubah menjadi cinta. Sampai keduanya lulus Strata Satu dari Universitas. Namun, ada strata dan kasta yang membentang di antara keduanya.
Indi hanyalah gadis biasa. Di darahnya tidak mengalir trah ningrat berdarah biru. Sementara Satri adalah sosok putra ningrat dan masih memiliki hubungan dengan kerajaan Mataram Islam. Walau tidak dekat dengan pihak keraton, tapi keluarga Satria sangat menjunjung tinggi budaya Jawa.
Nguri-nguri Budaya Jawi, atau yang diartikan terus menjaga kelangsungan dan kelestarian budaya Jawa. Pitungan (hitungan dalam bahasa Indonesia), hari baik, bahkan semua tradisi seolah masih dijaga dan dilestarikan oleh keluarga Negara sebagai pemilik Pabrik Jamu di Solo.
Keduanya datang dari strata sosial yang berbeda. Ya, Satria adalah sosok yang dilahirkan dengan DNA darah biru yang sudah dia dimiliki sejak dia dilahirkan dan akan tetap dia miliki sepanjang hidup mereka.
Berbeda dengan Indi, yang hanya rakyat biasa. Tidak memiliki DNA darah biru, konglomerat pun tidak. Akan tetapi, perasaan cinta justru hadir dengan sendirinya. Menyapa dua jiwa dengan caranya sendiri, seolah membangun jembatan yang bisa diseberangi oleh dua hati.
"Ya, sudah ... begini saja, Dik Indira. Nanti aku akan datang ke rumahmu. Sowan (mengunjungi) kepada Ayah dan Bunda. Aku akan menyampaikan niat hatiku untuk mempersunting putrinya. Namun, aku perlu berbicara kepada Ramaku (Rama, adalah panggilan untuk Bapak, biasanya untuk kaum ningrat berdarah biru dalam tradisi Jawa) dan Ibu dulu yah. Semoga saja ada respons yang baik," ucap Satria.
"Ya, Mas Satria. Semoga niat baik Mas Satria direspons baik oleh kedua orang tuanya," balas Indi.
"Iya, Dik ...."
Usai pertemuan itu, Indi dan Satria pun berpisah. Indi kembali pulang ke rumahnya yang ada di Jogjakarta, sementara Satria kembali ke Solo atau Surakarta. Namun, hati keduanya berharap bahwa yang baik dari Allah yang akan terjadi atasnya.
"Mau aku anter pulang?" tawar Satria.
Dengan cepat Indi menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, aku dijemput Ayahku sebentar lagi. Sekaligus, kami akan melihat pameran interior desain," jawabnya.
Ya, Indi yang sudah berusia 24 tahun sekarang berhasil mewujudkan impian masa kecilnya untuk menjadi Desainer Interior sama seperti Ayahnya. Siapa saja, cita-cita sewaktu kecil berhasil menjadi nyata.
Sementara Satria meneruskan bisnis keluarga dengan Pabrik Jamu miliknya. Terlebih background Satria dari Ilmu Ekonomi dan Bisnis kala duduk dibangku kuliah sangat bermanfaat baginya untuk belajar dan mengembangkan diri. Terus melestarikan bisnis jamu tradisional yang dikemas instans, dan didistribusikan sampai ke Mancanegara.
"Ya sudah, aku temenin sampai kamu dijemput. Di lain waktu, kalau aku singgah ke Jogjakarta, kita kembali bersua yah," kata Satria.
"Iya, Mas," balas Indi.
"Sebab, jika ke Jogjakarta tanpa bertemu kamu, rasanya tidak istimewa," balas Satria.
Pemuda itu sebenarnya sekadar bercanda. Dia mengingat semboyan kota Jogjakarta bahwa Jogja Istimewa. Bagi Satria, keistimewaan itu baru terasa ketika dia bersua dengan Indira.
"Nanti hati-hati nyetirnya ya, Mas Satria," ucap Indi kepada Satria.
"Iya, Dik. Mas tentu akan hati-hati."
Selang belasan menit kemudian keduanya benar-benar berpisah. Indi yang dijemput Ayahnya, dan Satria yang akan kembali ke kota asalnya, Surakarta.
Ya, inilah warita (cerita) antara Indira dan Satria. Dua anak manusia yang merasakan indahnya cinta. Walau ke depannya cinta dalam balutan strata dan kasta akan membingkai warita mereka. Mampukah cinta dan kesungguhan hati mereka bisa menyatukan dua hati dalam satu muara? Mampukah strata sosial yang mengikat keduanya mampu dipatahkan? Terlebih ketika latar belakang Indira yang sebenarnya terungkap, Mampukah Satria menerima Indira dengan segera kekurangannya?
Keesokan harinya, di rumah dengan model Joglo, rumah adat khas Jawa yang didominasi dengan penggunaan material kayu jati dan juga aroma Jamu atau minuman tradisional khas Jawa yang tercium harum, pagi itu keluarga Bima Negara berkumpul bersama untuk menikmati sarapan.
Meja kayu dilapisi dengan sarung meja dari batik. Makanan yang disajikan oleh adalah masakan rumahan khas Jawa. Ada pasangan jelang usia paruh baya yang menunggu kedatangan putra-putrinya bergabung di meja makan.
"Sugeng enjing Rama dan Ibu," sapa Satria mengucapkan selamat pagi kepada kedua orang tuanya.
"Pagi, Sat ... kemarin pulang dari Jogja agak malam to?" tanya Ramanya.
"Iya, Rama. Jalanan kemarin ramai lancar. Agak macet di beberapa titik saja, Rama," balas Satria.
Tampak sang Rama menganggukkan kepalanya. Lantas, ada adiknya Satria yang kala itu mengenakan seragam Putih Abu-Abu pun turut bergabung di meja makan.
"Pagi Rama dan Ibu," sapanya.
Gadis manis dengan rambut sebahu itu tampak semangat ketika hendak berangkat sekolah. Dia masih duduk di bangku kelas 2 SMA Negeri favorit yang ada di Kota Solo.
"Pagi, Sitha ... gak terlambat kan hari ini?" tanya Ibunya.
"Tidak, Bu. Bisa sarapan roti sedikit, habis ini berangkat ke sekolah," balasnya.
Satria melirik ke adiknya itu. "Bangunnya lebih pagi, Tha. Jangan lelet," sahutnya.
"Ish, apaan sih Mas Satria. Masih pagi juga kok. Mana sih calon Mbak Iparnya Sitha?" tanya Sitha tiba-tiba.
Mendengar ucapan calon kakak ipar, atensi Rama dan Ibunya pun teralihkan kepada Satria. Apakah benar selama ini sudah ada gadis yang disukai oleh Satria. Akan tetapi, kenapa putranya itu tidak pernah menceritakan apa-apa.
"Ada yang kamu suka, Sat?" tanya Bu Galuh yang tak lain adalah ibunya Satria.
"Rama pikir kamu masih single, masih sendiri. Rama kepikiran malahan mau menjodohkan kamu sama putrinya Pak Panggih, Juragan Beras dari Delanggu," balas Rama.
Lantaran sudah kepalang tanggung, Satria pun memberanikan diri untuk berbicara yang sesungguhnya dengan kedua orang tuanya. Selama ini memang keduanya seolah Backstreet, tapi bukan berarti tak serius. Justru, keduanya memilih sama-sama serius ketika sudah lulus dan juga siap menikah.
"Rama dan Ibu ... sebenarnya sudah ada gadis yang Satria suka sejak lama. Teman satu kampus Satria dulu waktu di Jogjakarta. Mengingat kami sudah lulus dan sama-sama sudah bekerja, saatnya meniti ke jenjang yang lebih serius. Bolehkah kalau Satria berniat meminang gadis pilihan hati Satria?" tanyanya.
Dengan sopan dan hati-hati, Satria mengatakan niat hatinya kepada Rama dan Ibunya. Disaksikan adiknya, Sitha sendiri. Sitha senyam-senyum melihat kakaknya yang berbicara serius.
"Kamu sudah pastikan bibit, bebet, dan bobotnya?" tanya sang Rama.
Rupanya sang Rama masih berpatokan dengan bibit, bebet, dan bobot. Bibit adalah garis keturunan, bebet adalah status ekonomi, dan bobot adalah status pendidikan. Untuk orang Jawa sendiri, ketiganya menjadi kriteria turun-temurun untuk memilih pasangan hidup.
"Setahu Satria, gadis itu dari keluarga baik-baik. Eyangnya adalah juragan batik, Ayah dan Bundanya juga baik, lantas dia sendiri adalah Desainer Interior di kantor milik Ayahnya sendiri," balas Satria.
Tentu Satria hanya mengatakan apa yang dia tahu saja. Walau sebenarnya juga tidak begitu tahu hal yang mendalam dan sangat detail mengenai gadis yang dia cintai itu.
"Juragan batik apa?" tanya sang Rama.
"Batik halus khas Jogja. Namanya Batik Hadinata," balas Satria.
Mendengar nama Hadinata, itu bukan hal yang asing untuk pengrajin batik. Bahkan memiliki garis keturunan yang sudah mengrajin batik sejak era Mataraman. Namun, bagi Rama Bima yang memang harus melihat bibit, bebet, dan bobot gadis yang disukai Satria. Agaknya dia harus melihat sendiri, seperti apa keluarga Hadinata itu.
"Sudah berapa lama pacaran?" tanya Rama Bima lagi.
"Sejak kuliah, Rama ... sekitaran tiga tahun," balas Satria.
Mendengar pengakuan Satria, maka memang sudah lama putranya itu diam-diam pacaran dengan gadis dari Jogjakarta. Sang Putra Solo berdarah biru rupanya sudah mencintai gadis lain. Tentu membuat sang Rama yang terbilang keras dan hitung-hitungan mengenai bakal calon pendamping Satria harus serius. Tidak boleh salah pilih. Wanita yang cocok untuk putranya tak hanya cantik, tapi juga berkepribadian baik, dan jelas asal-usulnya. Tidak boleh sembarangan gadis yang mendampingi Satria, karena darah biru yang nantinya akan diteruskan Satria.
"Jadi, bagaimana Rama?" tanya Satria.
"Cantik kok, Rama," sahut Sitha tiba-tiba.
Di sana sang Rama sudah melirik Sitha. Baginya ini adalah pembicaraan yang serius. Yang harus dipikirkan matang-matang.
"Sebentar, Rama berdiskusi dengan Eyangmu dulu. Kenapa harus orang Jogjakarta, Sat?" tanya sang Rama.
Di sana Ibu Galuh yang diam sejak tadi akhirnya menundukkan kepalanya. Seolah ucapan suaminya itu ditujukan untuknya. Jika Sitha tidak peka, Satria menatap ke Ibunya. Perlahan, Satria menaruh satu tangannya dan menggenggam tangan Ibunya. Dia usap perlahan punggung tangan Ibunya itu. Seolah supaya Ibunya tak perlu khawatir ada Satria di sisinya.
"Mungkin sudah dikehendaki Allah, Rama," balas Satria.
Rama itu diam. Dia meminum Jamu Beras Kencur yang sudah tersaji di meja, setelahnya dia menatap Satria.
"Rama dengarkan niat hatimu ini. Namun, jangan gegabah. Rama akan diskusikan dulu. Jangan ke rumahnya, jika memang tidak berniat menikahinya. Ajaran yang baik harus terus digunakan," ucap sang Rama.
"Nggih, Rama," balas Satria.
Sekadar mengatakan niat hatinya saja, butuh keberanian untuk Satria. Walau Rama nya keras, belum tentu niatnya salah. Justru Satria akan berusaha. Dia ingin meminang gadis yang benar-benar dia cintai, bukan sekadar gadis yang nantinya akan dipilihkan orang tuanya untuknya.
Selang sepekan berlalu, akhirnya barulah Rama Bima mengatakan kepada Satria untuk main ke Jogjakarta. Tujuannya adalah melihat terlebih dahulu, gadis yang disukai oleh Satria. Bagi Rama Bima sendiri, ini bukanlah hal yang mudah. Sebab, dia harus berdiskusi dengan Rama dan Biyungnya yang sekarang sudah sepuh (tua - dalam bahasa Indonesia).
"Rama dan Biyung (Ibu - dalam bahasa Indonesia, keluarga priyayi masih ada yang memanggil Ibunya Biyung), Satria itu berkata kalau dia menyukai seorang gadis. Tinggal di Jogjakarta, sebaiknya bagaimana yah? Padahal, Bima ingin menjodohkannya dengan anak juragan beras dari Delanggu," cerita Rama Bima kepada kedua orang tuanya.
"Lah kamu sudah tahu, siapa gadis yang disukai Satria itu?" tanyanya.
"Satria hanya cerita, gadis itu berprofesi sebagai Desainer Interior di kantor Ayahnya. Sementara, Eyangnya adalah juragan Batik Hadinata. Salah satu batik yang tersohor di Jogja sejak Keraton Mataram," balas Rama Bima.
Jika menilik dari trah Hadinata yang mengusahakan dan menjadi pengrajin batik secara terus-menerus, maka keluarga mereka cukup terpandang. Memang bukan dari kalangan darah biru, tapi nama Hadinata sudah dikenal baik dari seni kreasi batiknya. Selain itu, batik Hadinata sudah merambah pasar nasional dan internasional sehingga memang sudah moncer hingga ke mancanegara.
"Kalau melihat dari latar belakang keluarganya, agaknya dia dari keluarga baik-baik kan, Bim. Coba, kenalan dulu. Dilihat dulu, kalau memang bibit, bebet, dan bobotnya jelas ya sudah. Sekarang, mengharapkan jodoh dari kaum bangsawan juga susah," balas Eyang Kakung Sastra Negara.
Mendengar nasihat yang diberikan Ramanya, Rama Bima pun menganggukkan kepalanya. Benar, di hari seperti ini akan susah untuk mendapatkan jodoh dari sesama kaum berdarah biru. Kendati demikian, mereka tidak boleh menurunkan kriteria untuk menerima menantu yang nantinya akan tetap menjaga budaya dan juga usaha jamu keluarga yang sudah turun-temurun.
Setelah mendengar nasihat dari orang tuanya, barulah Rama Bima akan memberitahukan kepada Satria. Sekadar menyampaikan kabar bahwa mereka akan datang dan juga akan bersilaturahmi.
...🍀🍀🍀...
Sementara itu di Jogjakarta ....
Usai menerima telepon dari Satria, Indi menyampaikan kepada Ayah dan Bundanya bahwa ada keluarga temannya yang hendak datang ke rumah. Ervita, sebagai seorang Ibu tentu tahu bahwa putrinya itu sedang dekat dengan seseorang, tapi tidak menyangka ada keluarga dari Solo yang datang dan hendak bersilaturahmi.
"Yayah dan Nda ... keluarga dari temannya Indi dari Solo akan datang ke rumah kita," ucapnya dengan duduk di hadapan Ayah dan Bundanya.
"Teman atau teman, Mbak?" tanya Yayah Pandu.
"Teman kok, Yayah. Teman baik. Katanya hanya bersilaturahmi saja," balas Indi.
"Mau kapan?" tanya Bunda Ervita.
"Lusa, Nda. Jadi, boleh kan?" tanya Indi.
Di sana Bunda Ervita dan Yayah Pandu sama-sama menganggukkan kepalanya. "Ya, boleh tow yow ... kalau hanya bersilaturahmi juga dipersilakan," balas Bunda Ervita.
"Iya, silakan saja datang. Inilah keluarga kita, keluarga Hadinata. Semua yang datang ke rumah juga pasti akan kita terima dengan tangan terbuka," balas Ayah Pandu.
Usai menyampaikan kepada Ayah dan Bundanya, Indi memilih untuk kembali naik ke kamar. Jujur saja, Indi merasa deg-degan. Dulu, dia bercanda dengan Satria kalau serius silakan datang ke rumah dan juga meminta baik-baik kepada Ayahnya. Sekarang, rupanya Satria mengatakan bahwa orang tuanya akan ke Jogjakarta.
Sementara di bawah, Pandu berbicara kepada istrinya itu. "Dinda, dulu aku meminang Putri Solo. Siapa sangka sekarang seorang Putra Solo akan datang ke rumah kita," kata Pandu.
Walau sudah menikah berpuluh-puluh tahun. Pandu selalu memanggil istrinya itu dengan panggilan sayang, Dinda. Sementara Ervita terkadang masih memanggil suaminya dengan panggilan Mas, walau sekarang panggilan itu berubah juga menjadi Ayah atau Yayah, menyamakan dengan kedua putrinya yaitu Indi dan Irene.
"Kan baru silaturahmi, Yah. Ya, kita lihat dan terima dulu. Background keluarganya apa ya, Yah. Semoga saja bisa menerima Indi apa adanya," balas Ervita.
Jujur saja mereka belum tahu dengan latar belakang keluarga Satria yang datang dari Solo. Yang Bunda Ervita khawatirkan adalah keluarga dari pria bisa menerima Indi apa adanya. Tentu semuanya itu berkaitan dengan masa lalu dan asal-usul Indi.
...🍀🍀🍀...
Lusa Kemudian ....
Sekarang keluarga Pandu bersiap untuk menerima kedatangan keluarga dari Solo yang akan datang ke rumahnya. Pendopo di depan rumah sudah ditata sedemikian rupa, karena pikirnya menerima tamu di pendopo juga tidak menjadi masalah.
Tepat kurang lebih jam 17.00 sore, sebuah mobil Alphard berhenti di depan rumah mereka. Rupanya itu adalah tamu yang mereka tunggu. Dari mobil itu keluarlah pasangan Rama Bima dan Ibu Galuh yang sama-sama mengenakan batik sogan khas Solo yang didominasi warna cokelat. Ada Satria juga yang tampil rapi mengenakan batik, celana panjang hitam, bahkan mengenakan sepatu hitam juga. Lantas Sitha, adiknya Satria juga turut hadir.
"Kulo Nuwun, assalamualaikum," ucap Rama Bima yang mengatakan permisi dalam bahasa Jawa.
"Mangga pinarak (mari silakan masuk - dalam bahasa Indonesia)," balas Ayah Pandu.
Akhirnya Ayah Pandu dan Bunda Ervita bersalaman. Awalnya juga kikuk, karena sebelumnya mereka tidak pernah bertemu. Di pendopo itu juga Rama Bima dan Ibu Galuh memperhatikan rumah keluarga Hadinata yang asri dan terkesan sangat Jawa.
"Perkenalkan, kami adalah keluarga Bima Negara dari Surakarta. Tujuan kami datang ke Jogjakarta adalah untuk. bersilaturahmi dengan keluarga Hadinata. Jadi, putra kami ini Satria, temannya putrinya Bapak yaitu Indira," ucap Rama Bima.
"Benar begitu, biar kami panggilkan Indira juga," balas Ayah Pandu.
Akhirnya Bunda Ervita yang masuk ke dalam rumah dan memanggil putrinya itu. Terlihat Indira yang terlihat gugup. Hingga sang Bunda menepuki bahu putrinya.
"Sudah, dihadapi saja kan baru kenalan," balas Bundanya.
"Indi sudah tapi belum ya, Nda? Malu kalau sampai tidak rapi," balasnya.
Kala itu, Indi mengenakan dress batik dan rambutnya yang terurai rambut ditata sendiri. Kendati begitu, masih terlihat uraian rambutnya yang panjang. Wajah Indi pun natural, kecantikan khas orang Jawa. Tanpa banyak make up pun, Indi sudah ayu.
"Rapi kok, udah yuk," ajak Bunda Ervita.
Sampai akhirnya Indi dan Bundanya sudah berada di Pendopo. Rama Bima dan Ibu Galuh kali pertama melihat Indi juga mengakui bahwa Indi adalah sosok yang cantik. Pilihan putranya itu, jika hanya sekadar melihat parasnya memang ayu.
"Ayu tenan, Mas," bisik Sitha kepada Kakaknya. Di mata Sitha pun, Indira atau calon kakak iparnya itu begitu cantik.
"Pilihannya Mas," balas Satria yang juga berbisik-bisik.
"Sugeng sonten Bapak dan Ibu," sapa Indi dengan memberikan salam kepada Rama Bima dan Ibu Galuh.
"Oh, ini ... temannya Satria," balas Bu Galuh.
Jika memang menilik keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan paras Indi rasanya memang sepadan dengan Satria yang seorang putra Ningrat dan berdarah biru. Ke depannya, apakah mungkin keluarga ningrat itu bisa menerima Indi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!