("Hey Letta!”) teriak seseorang di seberang telepon.
“Iya, Bi,” Jawab Aletta sambil mengecilkan volume ponselnya, karena dia tak enakan dengan rekan yang lain, yang saat ini tengah menyiapkan berbagai persiapan untuk acara pameran besok.
“Ya, Bi, aku mengerti. Aku akan pulang dan maaf selalu merepotkanmu,” ucap Aletta dengan intonasi melemah menjawab si penelpon yang mencecarnya panjang lebar.
Kini wajah jelita itu terihat gusar. Setumpuk pekerjaaan masih menunggu diselesaikan, sementara sang kakak kini tengah mengamuk di luar kamar kontrakannya membuat pikirannya bercabang.
“Kenapa lagi dengan kakakmu itu?” tanya Sintia dengan sinis.
“Bu, kakak saya mengamuk lagi dan sekarang warga menungguku pulang. Aku janji akan datang lebih pagi di acara pameran untuk mengganti jam kerjaku,” ucap Aletta dengan wajah penuh kecemasan mengatakannya.
Dia tahu siapa Sintia. Manajer SPG yang satu itu sudah sangat banyak kesal dengan masalahnya. Sedikit keberuntungan Aletta adalah karena diantara sekian banyak SPG, dia menjadi idola pelanggan dan nyaris selalu menjadi andalan mereka untuk menggoda para calon pembeli dengan kecantikan alami dan bodygoalnya yang perfect itu.
“Ahh! Aku akan memotong bonusmu besok suka atau tidak!” sungut Sintia menunjukkan izinnya kepada Aletta.
“Baik Bu, terima kasih.” jawab Aletta. Gadis cantik itu pun sangat senang sekali dan dia bergegas untuk mengambil kunci motornya yang dia simpan di dalam tas kecilnya.
Aletta adalah seorang gadis istimewa. Dia dapat melakukan segala hal yang belum tentu semua wanita dapat melakukannya. Belum lagi kondisi kakaknya yang mengalami PTSD atau Post Trauma Stress Disorder.
Setahun yang lalu, kakaknya sama seperti seorang kakak laki-laki pada umumnya. Normal dan senang bergaul. Kegemarannya pada kendaraan roda dua membawa Arsen terlibat dengan sebuah geng motor.
Entah apa yang terjadi, pada suatu hari Aletta di datangi oleh beberapa orang polisi yang mengatakan kalau kakaknya mengalami kecelakaan dan saat itu berada di ruang gawat darurat rumah sakit.
Sejak saat itu, Aletta tidak pernah lagi melihat Arsen tersenyum dan menatap kedua matanya sambil bercerita seru tentang geng motornya. Sejak saat itu pula, Arsen menjadi lebih sensitif dan akan berteriak-teriak jika kenangan traumatis itu kembali.
Tak hanya itu saja, Aletta kini harus menghidupi dirinya sendiri bersama dengan kakaknya. Sebelum kejadian itu terjadi, Arsen bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang pegawai dan pendapatan yang dia hasilkan dapat dikatakan lumayan untuk menghidupi mereka berdua.
Namun sekarang, semuanya di tanggung oleh Aletta. Gadis berparas cantik dan bertubuh indah itu, masih berharap apa yang menimpa kakaknya hanyalah mimpi.
Malam itu, Aletta yang sedang bekerja ditelepon oleh salah satu tetangganya yang mengatakan kalau Arsen berteriak-teriak sudah setengah jam dan mengganggu warga di sekitar mereka.
Aletta pun terpaksa izin pulang cepat dan saat ini, dia sudah duduk manis di atas motor bebeknya yang berwarna merah muda dan melajukan kecepatan motornya dengan cukup tinggi.
Di dalam pikirannya, hanya ada Arsen. Tidak ada yang lain. Beberapa kali, dia berusaha menukik dan menghindari beberapa kendaraan lain hanya untuk mendahului mereka.
Setelah beberapa menit berada di jalan besar, Aletta membelokkan mesin roda duanya ke sebuah pertigaan dan tepat saat dia hendak berbelok, sebuah mobil jeep besar memotong jalannya.
Aletta menekan stang motor untuk mengerem, dia hilang keseimbangan, dan terjatuh nyaris tertimpa motornya. Beruntunglah, dia berhasil menahan motornya untuk tidak jatuh ke atas tubuhnya.
Dengan susah payah, Aletta bangkit berdiri sambil menopang motor merah mudanya. Dia memeriksa kedua sikunya yang terasa pedih. "Yah, berdarah,"
Selagi, Aletta membersihkan pasir dan debu yang berada di sekeliling lukanya yang cukup dalam. Seorang pria berwajah tampan dan bertubuh kekar keluar dari mobil Jeep besar itu dan memeriksa kaca spionnya yang nyaris saja patah.
Alih-alih menanyakan kondisi Aletta, dia menunduk dan mengusap kaca spionnya. Lalu, dia menatap tajam Aletta. Kedua mata pria itu tampak sayu dan merah. Ya, dia sedang dalam kondisi somnolen, atau setengah sadar. "Hei, Wanita!"
Aletta terkejut bukan main saat pria itu mengeluarkan suaranya yang kencang dan menggelegar. Dia mendekati pria itu. "S-, saya baik-baik saja kok, Tuan,"
Pria itu jalan terseok-seok menghampiri Aletta dan mendekatkan wajahnya pada gadis itu. Setelah puas, dia memandangi Aletta dari ujung rambut hingga ujung kaki gadis itu, kemudian dia tersenyum seolah puas dengan pemandangan yang ada dihadapannya. "Hehei! Wanita cantik rupanya, huh!"
Dari mulut pria itu tercium bau alkohol dan vape. Aletta mengernyitkan hidungnya dan sedikit menjauh. Namun, tangan pria itu lebih cepat. Dia menarik Aletta dan menyandarkan tubuh indah gadis itu di depan pintu samping mobil.
"Kau lihat? Karena ulahmu, mobil mewahku tergores! Ganti!" tukas pria itu, kedua netranya tak lepas dari wajah Aletta yang memang cantik dan tidak membuat siapapun yang memandangnya bosan.
Aletta melihat ke kaca spion mobil Jeep berwarna merah itu. Hatinya mencelos saat melihat sebuah goresan yang cukup dalam pada frame kaca spionnya ditambah lagi, posisi kaca spion itu sedikit bengkok ke arah luar. "Akan saya ganti. Sebutkan saja nominalnya,"
"Mahal! Sangat mahal!" pria itu menarik tanda pengenal yang tersemat di blazer abu-abu milik Aletta dan membaca namanya keras-keras. "Aletta Prisia Putri Darmawan! Nama yang cantik, secantik orangnya,"
Aletta ketakutan. Keringat dinginnya mulai bercucuran membasahi dahinya. Pria itu mencium rasa takut dari Aletta dan dengan jari-jarinya yang lembut, dia membelai wajah putih nan cantik yang menggodanya. "Tanyakan padaku, berapa harga yang harus kau bayar!" bisik pria itu di telinga Aletta.
"B-, berapa yang harus aku bayar?" tanya Aletta dengan suara bergetar.
Pria itu tidak segera menjawab. Dia semakin menekan tubuhnya pada tubuh indah Aletta dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh gadis itu. "Kau mau tau atau mau tau sekali?"
"A-, aku ingin tahu berapa yang harus kubayar?" tanya Aletta lagi.
Lagi-lagi pria itu mendekatkan wajahnya pada wajah Aletta dan bahkan jarak di antara mereka sudah sangat tipis sekali. "Aku tidak ingin uangmu, Nona Aletta. Aku ingin tubuhmu yang indah ini. Bayarlah dengan itu!"
Pria itu berusaha mengambil alih bibir Aletta, tetapi Aletta menekuk lututnya dan membenturkannya dengan keras ke arah paha bagian dalam pria itu.
Hantaman lutut Aletta tepat mengenai sasaran. Pria itu meringkuk kesakitan memegangi benda pusakanya. "Sialan! Sini kau, Gadis Brengsek!"
Aletta memakai kesempatan itu untuk menjauh. Namun sayangnya, hantaman lutut gadis itu membuat si pria yang sedang mabuk itu sadar. Dia menarik tangan Aletta, menggotong tubuh gadis itu seperti membawa sekarung beras, dan memasukannya ke dalam mobil Jeep mewahnya.
Dia tidak peduli pada Aletta yang terus berteriak-teriak dan memberontak. "Lepaskan aku! Lepas! Laki-laki Gila! Turunkan aku!"
Bak kesetanan, pria itu mulai melucuti kancing kemejanya dan menyeringai lebar. "Berteriaklah lebih kencang. Semakin kau bergerak, semakin membuatku bergairah! Malam ini dan malam-malam seterusnya, tubuhmu menjadi milikku sampai aku sanggup mengganti kaca spionku!"
"Tidak! Tidak!" dengan sekuat tenaga Aletta memberontak dan menjauhkan wajah pria itu menggunakan kedua tangannya yang bebas. Akan tetapi, tenaga pria itu jauh lebih besar dan Aletta tak berdaya melawannya.
***
Bab 2
Aletta masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria mengerikan itu. Dia berhasil melepaskan kedua tangannya dan mendorong wajah pria itu dengan kedua tangannya.
Gadis itu menggunakan kuku-kuku panjangnya untuk mencakar dan melakukan perlawanan. "Uughh! Sudah kubilang, lepaskan aku, Brengsek!"
"Aarrgghh! Wanita Sialan!" pria itu merobek pakaian Aletta.
Aletta pun berteriak histeris. "Kyaaaaa! Tolong! Tol-, ... Hmmpphh! Leph, ...! Hmmpphh!"
Ciuman kasar dari pria itu pun akhirnya mendarat di bibir merah Aletta. Tak ingin kalah, Aletta menggigit bibir pria itu dengan keras, sehingga bibir pria itu mengeluarkan darah. "Wanita Sialan! Kau benar-benar, ...."
Aletta berusaha melepaskan kakinya dan menendang perut pria itu dengan kencang. Kemudian, dia membuka paksa pintu Jeep besar itu. Beruntunglah dia, karena pintu mobilnya tidak terkunci. Aletta segera turun dari mobil itu, memutar kunci motornya, dan melaju dengan kecepatan tinggi.
Di sepanjang jalan, Aletta menangis. Gadis itu mensyukuri keberuntungannya. Walaupun, dia nyaris saja celaka, akan tetapi dia berhasil keluar dari musibah yang mengerikan tersebut.
Setibanya di rumah kontrakan, Aletta segera menemui kakaknya, Arsen. "Kak, kenapa teriak-teriak?"
"Itu! Itu! Aaarrggghhhh!" jawab Arsen tak jelas. Dia menunjuk-nunjuk televisi yang menyala. Tampaklah, Arsen sedang melihat acara MotoGP dan stressornya tiba-tiba muncul.
*Stressor : pencetus stress/trauma
Aletta pangkalan napasnya dan segera mematikan televisi itu. "Makanya, ngga usah nonton yang aneh-aneh. Kakak sudah makan, belum?"
Arsen mulai tenang dan dia menggelengkan kepalanya lemah. Tak lama, dia memiringkan kepalanya dan menyadari kalau blazer adiknya terkoyak. "Aletta kenapa?"
"Ngga apa-apa, tadi jatuh. Maaf, tadi ngga sempat beli makanan. Aku buatkan sup saja yah yang cepat," Aletta mencuci tangannya dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sup serta memasak nasi.
Setelah kakaknya makan, Aletta memberikan obat kepada pria berwajah tak kalah tampan itu. "Tidur, jangan begadang. Nanti ditangkap Bibi atau satpam di taro di rumah sakit. Mau?"
Arsen menggelengkan kepalanya setelah mendengar ancaman dari Aletta. "Ngga. Arsen tidur, Aletta juga tidur, yah?"
"Iya, aku mau mandi dulu," ucap Aletta sabar.
Dia menunggu hingga kakaknya tertidur. Dengan penuh kasih sayang, Aletta menyelimuti tubuh kakaknya dan mengecup kening Arsen sambil mendaraskan doa dalam hati supaya kakaknya itu cepat sehat kembali.
Setelah kakaknya tertidur, alita segera membersihkan dirinya dan kemudian dia menemui Bibi yang berada di rumah sebelah. Dengan sopan, Aletta mengetuk pintu itu, dan kemudian dari dalam, keluarlah seorang wanita bertubuh gempal dan rambut diikat satu ke atas.
"Maaf menganggu, Bi. Saya hanya ingin mengucapkan maaf karena sudah mengganggu Bibi dan warga lainnya. Saya akan pastikan, ke depannya tidak akan terulang lagi kejadian seperti tadi," ucap Aletta. Gadis itu menundukkan kepalanya karena dia merasa tidak enak dan merasa bersalah kepada wanita yang berada di hadapannya itu.
Bibi menghela napasnya, seolah-olah Dia mengerti apa yang menimpa kedua anak muda yang menjadi tetangganya itu. "Kalau saya sudah pasti mengerti, tapi yang lain belum tentu sebaik saya,"
"Saya minta maaf, Bi," ucap Aletta lagi.
"Begini saja, saya kasih kalian waktu selama 1 bulan untuk mencari tempat tinggal yang baru. Karena jujur saja, sudah ada beberapa kepala keluarga yang melayangkan protesnya ke saya karena ulah kakak kamu. Daripada saya kehilangan 5 sampai 6 kepala keluarga lebih baik saya satu kehilangan satu, 'kan?" ujar Bibi.
Aletta terdiam, dia tidak bisa menyalahkan siapapun dalam hal ini. "Baik, Bi. Terima kasih," dengan langkah gontai, Aletta kembali ke kontrakan kecilnya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Air mata gadis itu tumpah begitu saja saat dia merasakan dingin dan hening yang menggelayutinya.
Keesokan paginya, Aletta berpesan kepada Arsen untuk menuruti semua perintah Bibi. "Kak, aku titipin obat di Bibi. Di minum terus inget, jangan teriak-teriak. Oke?"
"Iya, nanti di bawa ke rumah sakit kalo teriak-teriak," ucap Arsen dengan mimik muka serius.
Aletta mengangguk. "Iya bener. Kalo di rasa mau marah atau nangis, pencet ini aja. Kemarin aku udah beliin mainan untuk Kakak, 'kan? Yang ayam-ayaman warna kuning," kedua mata Aletta menjelajah sisi ruangan kontrakan yang sempit itu. Kemudian, dia menemukan sebuah benda berwarna kuning yang berbentuk seekor ayam. Jika benda itu ditekan, maka akan mengeluarkan bunyi seperti ayam berkokok. "Nah ini. Inget yah, apa tadi?"
"Ngga boleh marah, ngga boleh teriak, minum obat," jawab Arsen lancar.
Aletta memeluk kakaknya. Ada rasa pedih dan sakit di hati gadis itu saat dia melihat kondisi kakaknya yang belum juga membaik. "Ya sudah, aku kerja dulu, yah. Dadah, Kakak,"
"Aletta, hati-hati," kata Arsen sambil melambaikan tangan dengan gembira.
Sementara itu di sebuah rumah mewah, seorang pria berjalan bolak-balik dengan geram sambil membawa tanda pengenal berwarna hitam dengan pinggiran berwarna emas.
"Aletta Prisia Putri, apalah itu! Sial! Dia lincah sekali seperti belut! Bisa-bisanya dia lepas dari genggamanku? Aargghh!" tukasnya bermonolog.
Pria itu terus membaca ulang nama yang tertera di tanda pengenal itu. "Arrggh! Sial!"
Merasa lelah, pria itu duduk di kursi kerjanya. Sambil terus memandangi tanda pengenal itu. Kemudian, dia memincingkan matanya untuk dapat melihat lebih jelas. "Hmmm, Furniture Company. Aku kenal dengan nama perusahaan ini. I found you, Aletta,"
Pria itu kemudian menghubungi seseorang dan memintanya untuk menemui dirinya saat itu juga. Tak lama, seorang pria lain datang ke ruangan itu.
"Tuan Dionelle, apa yang bisa saya kerjakan untuk Anda, Tuan?" tanya si tamu pria.
Pria tampan dan bertubuh atletis itu memberikan tanda pengenal Aletta kepada pelayan prianya. "Cari dia sampai ketemu dan bawa ke sini! Jangan sampai tergores 1 mm pun, atau kalian yang akan mati di tanganku! Aku tunggu hingga pukul 5 sore ini! Ngga susah, 'kan?"
"Tidak, Tuan," jawab si pelayan.
"Oke, jalan sekarang!" titah Dionelle.
Dionelle mengambil ponselnya dan menggugah foto sebuah boneka dan memberikan keterangan pada foto itu, "Aku menemukan mainan baru,"
Di tempat pameran Furniture Company, Aleta yang saat itu memakai blazer dan rok ketat berwarna merah marun tampak mempesona di antara rekan-rekan yang lainnya.
Gadis itu berjalan ke sana kemari untuk menawarkan beberapa produk yang telah dikeluarkan oleh perusahaannya. Tampak sekali beberapa pria datang menghampiri Aletta dan bertanya tentang produk yang dia tawarkan. Tak hanya itu, beberapa pria datang hanya untuk menanyakan nomor ponsel Aletta.
Aletta memainkan perannya dengan sangat baik, dia menolak dengan sopan dan halus saat beberapa customer mengajaknya berkencan atau sekedar berkenalan dengannya. Namun, dia akan menanggapi secara profesional kepada siapa saja yang bertanya tentang produknya dengan serius.
"Seperti biasa, kau tak pernah mengecewakanku, Aletta dan aku akan menarik kembali ucapanku tentang pemotongan bonusmu. Kau layak mendapatkannya," ucap Sintia sambil memberikan beberapa lembar voucher bernilai tinggi kepada Aletta. "Sisanya akan kutransfer," bisik Sintia lagi menambahkan.
Aletta tersenyum. "Thank you,"
Setelah pameran selesai, Aletta membantu beberapa karyawan untuk merapikan ruang pameran. Selagi di asik bekerja, beberapa orang pria bertubuh tegap dan berkemeja hitam serta berkacamata hitam masuk ke dalam ruang pameran.
Tiba-tiba saja mereka membekap mulut Aletta menggunakan selembar sapu tangan yang sudah diberikan obat tidur dan kemudian menggotong Aletta dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobil tanpa perlawanan.
Merasa kepalanya sangat berat dan pusing, Aletta memegangi kepalanya. "Auch, di mana aku?"
Dia memperhatikan sekelilingnya. Ini bukan di ruang pameran! Aletta mulai panik, karena dia berada di atas ranjang dan tubuhnya hanya ditutupi oleh selembar selimut putih. "Apa yang terjadi?"
Napas gadis itu memburu dan baru saja dia hendak beranjak dari ranjangnya, seorang pria masuk ke dalam sambil membawa dua gelas wine. Pria itu tersenyum ke arahnya dan tidak mengenakan apa pun selain handuk kecil yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
"Selamat datang, Nona Aletta," ucap pria itu tersenyum puas.
Bab 3
Aletta mengambil selimut dan menutupi tubuhnya sampai ke atas dagu. Seketika itu juga, wajahnya menjadi pucat pasi. "A-, apa yang telah kau lakukan kepadaku?"
"Panggil aku Dion. Tidak adil rasanya, jika aku mengenalmu tapi kau tidak mengenalku," ucap Dionelle sambil berjalan mendekati Aletta dan duduk di sisi ranjang gadis yang sedang bergetar karena ketakutan itu. Dionelle menyibak poni panjang Aletta dan membelai wajahnya. "Kau takut padaku? Harusnya aku yang takut padamu. Kau lihat apa yang telah kau lakukan padaku, hmmm? Lihat wajahku yang tampan ini, kau melukainya dengan kukumu, tapi tenang saja, aku sudah memotong kuku-kuku jarimu. Supaya aman, hehehe,"
Suara tawa Dionelle terdengar dingin di telinga Aletta. Dingin dan kejam, kata itulah yang tepat untuk menggambarkan seorang Dionelle. Mendengar ucapan pria berjanggut itu, Aletta segera memeriksa kuku-kukunya dan benar apa kata Dionelle, kuku-kuku jari Aletta sudah pendek dan tidak tajam. Namun, tampak rapi dan cantik. Bukan sembarang orang yang memotong kuku-kuku tersebut.
"Tenang saja, aku belum melakukan apa-apa kepadamu. Hanya sedang mengagumi tubuh indahmu. Kau benar-benar cantik, Sayang. Hmmm, enaknya bagaimana, ya?" tanya Dionelle, pura-pura berpikir.
Pria itu mendekati wajah Aletta dan perlahan mengecup kening gadis cantik itu. Sontak saja Aletta mengerut ketakutan. "J-, jangan!"
"Tapi kau tidak mendorongku seperti kemarin. Wah, aku jadi suka kepadamu. Bagaimana ini?" tanya Dionelle lagi tersenyum.
"Jangan bicara macam-macam! Biarkan aku pulang!" pinta Aletta.
Dionelle tertawa dan meletakkan tangannya di atas kepala Aletta. "Bagaimana, ...." dia naik ke atas ranjang dan menindih Aletta. Tak hanya itu saja yang dilakukannya, pria bertubuh seksi itu mempertipis jarak di antara dirinya dengan Aletta dan mendekati wajah gadis cantik itu. Dia menggigit kecil cuping telinga Aletta dan berbisik kepadanya, "Bagaimana, kalau aku tidak mengizinkanmu untuk pergi?"
Aletta menelan salivanya. Dia takut, tetapi di waktu yang bersamaan, bisikan Dionelle membuat sesuatu di dalam dirinya terbangun dan bergejolak.
Sialnya, Dionelle mengetahui isi hati Aletta. Pria itu tersenyum kembali. "Kau menyukai sentuhanku rupanya,. Aku merasa terhormat Nona Aletta,"
"Bu-, bukan begitu! Aku tidak menyukai apa pun tentangmu! Kumohon, biarkan aku pulang," ujar Aletta lagi memohon. Hatinya mencelos saat sisi lain dalam dirinya berteriak mengatakan kalau dia bohong. Sisi gelapnya itu, ingin tetap berada di sana, merasakan hangatnya tubuh pria seksi yang sedang berada di atasnya itu dan memandangi wajahnya yang tampan.
Namun, Aletta membuang pikiran itu jauh-jauh. "Bisakah kau menjauh dariku?"
Aletta menyesal saat Dionelle mengangkat tubuhnya dan kembali duduk di tepi ranjang. "Kenapa kau ingin pulang? Bagaimana kau bisa membayar hutangmu padaku?"
"Sebentar lagi, aku akan menerima gaji. Aku akan mentransfer seluruh hutangku padamu," jawab Aletta. Kemudian, dia teringat permintaan Bibi yang menyuruhnya pindah dari sana. Belum lagi, obat Arsen yang hampir habis. Aletta mengepalkan kedua tangannya dan berpikir dengan cepat.
Dia bisa memohon kepada Bibi untuk diberi waktu satu bulan lagi untuk mencari tempat baru dan dia akan memakai jatah kasbon-nya untuk membeli obat-obatan Arsen. Ya, begitu saja! Yang terpenting saat ini adalah, dia harus lepas dari kungkungan pria mesum ini.
Akan tetapi, segala bayangan dan rencana Aletta itu musnah saat dia merasakan ada sesuatu yang hangat dan basah menempel di bibirnya.
Dionelle telah mengambil ciuman pertamanya. Entah mengapa, kali ini Aletta pasrah dan membiarkan Dionelle menjelajah seisi mulutnya. Bahkan, gadis itu membiarkan dirinya terjatuh di atas ranjang sekaligus jatuh dalam gelora kenikmatan yang diciptakan oleh Dionelle.
"Aku tidak membutuhkan uangmu, Aletta. Aku butuh tubuhmu, aku butuh pelayanan darimu," bisik Dionelle di sela-sela ciumannya.
Seperti tersiram air yang sangat dingin, Aletta tersadar. Dia mendorong tubuh Dionelle yang mulai hangat untuk menjauh. "Hmmph, lepaskan aku!"
Dionelle melepaskan ciumannya dan mengusap bibir Aletta dengan ibu jarinya. Dia menyeringai lebar dan wajahnya dipenuhi dengan senyuman kemenangan. "Kau nikmat sekali, Sayang,"
"Kau gila! Pria mesum gila! Aku akan membayarmu, apa pun yang terjadi, setelah itu, menjauhlah dari hidupku! Jangan pernah kau cari aku lagi!" ucap Aletta dengan napas tersengal-sengal seolah-olah baru selesai menyelesaikan lari maraton.
"Tapi kau menyukaiku, Sayang. Aku tidak membutuhkan uangmu, aku sudah mengatakannya padamu. Kalau kau tetap membayarku dengan uang, aku akan mengembalikannya kepadamu sepuluh kali lipat! Bukannya sombong, tapi uangku sudah terlalu banyak sampai aku muak melihat uang," sahut Dionelle berkacak pinggang.
Pria seksi itu memang seorang miliarder terkenal yang memiliki perusahaan ternama dengan anak cabang yang tersebar di seluruh kota. Belum lagi, bisnisnya yang lain di bidang otomotif. Wajar saja, jika dia menyombongkan dirinya sendiri di hadapan Aletta.
Entah mengapa, Dionelle tertarik dengan Aletta. Banyak wanita memiliki wajah dan tubuh yang jauh lebih cantik dari Aletta. Namun, Dionelle seperti sudah menemukan pilihannya pada seorang Aletta.
"Oh, itu lebih baik. Aku sedang membutuhkan banyak uang saat ini, hahaha! Aku mau pulang, mana pakaianku?" tanya Aletta.
Gadis berparas cantik itu mencari tas dan ponselnya. Dia menyibakkan selimut dan memeriksa ke seluruh sisi ranjang. Namun tas dan ponselnya tidak dapat dia temukan di manapun.
"Mana tas dan ponselku?" tanya Aletta lagi. Dia sudah melupakan kalau dia tidak memakai selembar benang pun di tubuhnya dan dia berjalan ke sana kemari hanya untuk mencari ponselnya.
Dionelle memandang Aletta sambil menggigit bibir bawahnya. "Kau benar-benar menarik, Aletta,"
Kemudian, dia menarik tangan Aletta dan mendekap tubuh Aletta dengan erat. "Kenapa kau terburu-buru sekali, Sayang? Apa yang kau kejar?"
"Lepaskan aku! Apa pun yang kulakukan tidak ada hubungannya denganmu! Lepas!" Aletta mendorong tubuhnya ke belakang untuk melepaskan diri dari dekapan Dionelle.
Pria yang sudah terlanjur gemas pada Aletta itu mengambil alih bibirnya dan memagut bibir itu dengan dalam dan panas. "Tetaplah di sini, aku akan memenuhi kebutuhanmu dan memberikanmu segala yang kau inginkan,"
Aletta mulai lemah dengan bujuk rayu Dionelle. Sekali lagi, logikanya berhasil mengambil alih dirinya. "Tidak! Aku harus pulang! Aku akan tetap membayarmu!"
Namun, Dionelle tidak melepaskan gadis itu dengan mudah. Dia tetap menginginkan Aletta, bagaimana pun caranya. "Katakan padaku, apa yang kau inginkan dan apa yang kau butuhkan?"
Ciuman Dionelle kini beralih ke pundak Aletta. Seperti seekor ulat bulu, dia tidak melewatkan ciumannya satu inci pun di tubuh Aletta.
Aletta mulai menikmati permainan Dionelle. Gadis itu menahan diri supaya tidak mengeluarkan suara erangan kenikmatan atau apa pun yang membuat Dionelle senang. "Aku ingin pulang!"
Pada akhirnya, Dionelle melepaskan pelukannya. "Ayo, kita buat sebuah perjanjian!"
Aletta menutupi kembali tubuhnya dengan selimut dan dia melihat warna merah di pundaknya, hasil karya Dionelle yang tidak dia sadari. "Perjanjian apa?"
"Lepas pekerjaanmu dan bekerjalah denganku," jawab Dionelle.
"Apa pekerjaanmu? Bisa saja semua ini fasilitas yang diberikan oleh kedua orang tuamu," sindir Aletta mencemooh.
Dionelle mendengus. "Aku tidak perlu membuktikannya kepadamu, 'kan? Bagaimana, kau terima tawaranku? Kau cukup datang ke sini dan kau boleh pulang setelah pekerjaanmu selesai. Seperti biasa kau bekerja,"
Kedua alis mata Aletta saling bertautan. "Apa yang harus kukerjakan?"
Lagi-lagi, Dionelle menarik tubuh Aletta ke dalam pelukannya dan dia melepaskan selimut yang menutupi tubuh indah gadis itu. "Hanya menemaniku dan katakan, berapa bayaran yang kau inginkan. Bagaimana?"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!