Rendra menatap ibunya dengan tatapan yang penuh dengan sejuta tanda tanya, ia tidak habis pikir dengan apa yang direncanakan ibunya, karena menurut Rendra keputusan menjual rumah bukanlah keputusan yang tepat.
"Kita bisa mengontrak atau mungkin bisa membeli rumah kecil, karena yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Ayah, Nak."
Ibu Rina meyakinkan Rendra dengan semua alasan dan pertimbangannya, karena saat ini ia harus menjalankan tugas sebagai kepala keluarga juga.
Sementara Rendra, ia terus mencerna dan menimbang-nimbang, agar keputusan yang diambil oleh ibunya tidak salah.
Rendra tidak ingin menyesal dikemudian hari, karena jika komitmen telah dibuat maka ia dan keluarganya harus bisa menerima segala bentuk konsekuensi yang mungkin saja akan terjadi dikemudian hari.
"Nak, Ibu berencana ingin membawa Ayah ke Ibukota agar beliau mendapatkan perawatan yang terbaik."
Ibu Rina menggenggam tangan Rendra, ia menatap mata putranya itu dengan keyakinan penuh, berusaha meyakinkan Rendra kalau keputusan yang ia ambil adalah keputusan terbaik saat ini.
"Baiklah, Bu, jika itu telah menjadi keputusan Ibu. Setelah ini Rendra akan bekerja keras untuk mencari pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga kita."
Ya, Rendra akhirnya percaya kalau rencana ibunya adalah rencana terbaik untuk keluarganya saat ini.
Rendra bertekat untuk berusaha dan bekerja keras demi kedua orang tuanya, dan saat ini hidupnya akan ia berikan untuk berbakti dan membahagiakan hati belahan jiwanya.
"Tapi, Bu, kepada siapa kita akan menjual rumah ini?"
"Ada seseorang dari kota menawar rumah tangga kita dengan harga fantastis, dia ingin menjadikan rumah ini sebagai sebuah villa karena lingkungannya yang asri dengan pemandangan alam pedesaan."
"Siapakah beliau, Bu?"
"Ibu juga tidak mengenalnya, tapi ia memberikan kartu nama."
Ibu Rina memberikan sebuah kartu nama kepada putranya, dan dengan segera Rendra langsung menghubungi nomor itu.
[Selamat siang, benarkah ini Bapak Santoso?]
[Benar, saya berbicara dengan siapa?]
[Saya Rendra, pura Ibu Rina yang punya rumah di batas Kota Bandung]
[Oh ya, bagaimana dengan penawaran saya?]
[Pak, kami bersedia menjual rumah kami tapi apakah Bapak bisa membayar uang muka di awal?]
[Tentu saja, silahkan kirim nomor rekening anda dan tulis berapa nominal yang anda butuhkan, saya akan segera mentransfer]
[Baik, Pak, Terima kasih]
Ya, akhirnya rumah terjual dengan harga tinggi karena sang pembeli sangat menyukai pemandangan alam pedesaan. Setelah uang di transfer, Rendra langsung membayar hutang keluarganya kepada rentenir.
Dengan tekat bulat, Rendra bersama keluarganya berangkat ke Ibukota Jakarta untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik.
Rendra tidak ingin ada lagi orang yang menyakiti hati dan perasaan orang tuanya dan Rendra berjanji kepada dirinya sendiri untuk memberikan kehidupan terbaik kepada kedua orang tuanya. Bagi Rendra, tidak masalah hidupnya susah, asalkan kedua orang tuanya bisa menikmati hari tua yang bahagia tanpa memikirkan uang.
***
"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa memulai hari baru yang lebih baik di kontrakan sederhana ini. "
Senyum semeringah tergambar jelas di wajah ibu Rina, beliau terlihat lega karena telah terbebas dari hutang dan gangguan rentenir.
"Ibu, kita akan membawa Ayah ke rumah sakit terbaik di Jakarta. Jadi, Ibu tidak usah memikirkan masalah biaya karena Rendra akan bekerja keras mencari uang untuk keluarga kita," jelas Rendra.
"Terima kasih banyak, Nak, doa Ibu akan selalu menyertaimu."
Ibu Rina memeluk putra kesayangannya, memanjatkan doa dan harapan agar putra kesayangannya bisa sukses dan berhasil mengangkat derajat keluarga lagi.
"Kamu akan menjadi sukses, Ibu yakin!"
Ya, Kata-kata motivasi yang keluar dari lisan ibunya menjadi sebuah jimat penyemangat untuk Rendra, ia ingin bangkit meraih impiannya.
Setiap hari, Rendra selalu bersemangat untuk mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke perusahaan manapun yang membuka lowongan. Selain itu Rendra juga melakukan pekerjaan serabutan apa saja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Rendra berharap ia harus bisa mendapatkan pekerjaan tetap sebelum uang tabungan ibunya habis.
"Ya Tuhan, kemana lagi aku akan mencari pekerjaan?" ucap Rendra sembari menengadahkan wajahnya menatap langit biru.
Peluh dan keringat telah membasahi wajah Rendra karena hari ini ia bekerja sebagai buruh bangunan.
Wajah Rendra yang putih bersih sekarang berubah menjadi kecoklatan dengan tangan yang mulai kasar. Namun, tidak masalah bagi Rendra, baginya yang terpenting adalah uang, uang dan uang.
Kring ..., Kring ..., Kring ....
Telepon genggam Rendra tiba-tiba saja berbunyi.
Tentu saja lelaki tampan itu langsung mengangkat ponselnya, karena mungkin saja itu adalah panggilan dari perusahaan.
Tapi, harapan Rendra harus pupus ternyata yang menelpon adalah ibunya.
[Ren, kondisi Ayah memburuk, apa yang harus kita lalukan sekarang?]
Isak tangis ibu Rina membuat hati Rendra teriris-iris.
Rendra merasa separuh jiwanya runtuh karena orang yang ia sayang menangis dan merintih.
[Ibu, kita bawa Ayah segera ke rumah Sakit. Rendra akan segera pulang!]
Dengan bergegas Rendra langsung meninggalkan pekerjaannya, ia tidak peduli kalau hari ini tidak mendapatkan uang sama sekali atau mungkin ia akan diberhentikan dari pekerjaan butuh bangunan, yang ada dalam otaknya saat ini adalah cepat sampai di rumah dan bertemu dengan kedua orang tuanya.
Rendra berlari kencang tanpa menggunakan alat kaki di aspal panas yang tidak lagi ia pedulikan.
Melepuh!
Aspal panas itu membuat kaki Rendra melepus, namun rasa sakit fisik itu sudah tidak lagi berarti apa-apa bagi Rendra karena segala macam rasa sakit yang ia rasakan membuat ia kebal dengan mental sekuat baja.
Selangkah demi selangkah, kaki Rendra melangkah maju.
Andai ia bisa terbang, ingin sekali Rendra mengepakkan sayapnya agar ia bisa cepat sampai bertemu dengan kedua orang tuanya.
Pip ..., Pip ..., Pip ...!
Klason mobil berbunyi hingga membuat Rendra terkejut. Rendra tidak sadar ia hampir saja membuat tubuhnya ditabrak mobil.
Bruk ...!
Rendra terjatuh sembari menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
'Tuhan, jangan ambil nyawaku!' ucap Rendra di dalam hati.
Rendra menggigil dan sangat ketakutan sekali, ia takut mati karena ia adalah harapan satu-satunya orang tuanya, dan ia belum bisa memberikan apapun kepada orang tuanya, ia belum bisa membahagiakan hati orang tuanya, jadi ia belum ikhlas jika Tuhan mengambil nyawanya.
"Woi, kalau menyebrang hati-hati!"
Suara keras dan lantang seorang perempuan terdengar di telinga Rendra. Ya, suara yang terdengar seperti petir yang akan menyambar Rendra.
'Apakah itu malaikat yang akan mencabut nyawaku?' ucap Rendra di dalam hati dengan sekujur tubuh merasa menggigil dan kedinginan.
Rendra ketakutan!
"Woi, tunggu disitu!"
Seorang gadis cantik keluar dari mobil sedang berwarna putih. Wajah cantik itu terlihat emosi dan marah kepada Rendra dengan tatapan mata memerah.
"Eh, lo punya mata tidak?"
Amarah memuncak tergambar jelas di wajahnya, hingga lisannya tidak bisa mengontrol kata-katanya yang setajam pisau. Akan tetapi Rendra tidak mempedulikannya. Ia segera bangkit dan ingin segera sampai di rumah sakit untuk bertemu dengan ayahnya.
"Maaf, Mbak, saya harus pergi!"
Rendra berlari sekencang yang ia bisa agar ia bisa sampai di rumah.
"Woi ...., bajingan!" teriak sang gadis yang terdengar sangat kesal, namun tidak Rendra pedulikan sama sekali. Ia terus berjalan, melangkah dengan segenap tenaganya agar bisa sampai di rumah sakit.
Ya, dengan langkah kaki tertatih-tatih akhirnya Rendra sampai di rumah sakit dalam keadaan tidak lagi bertenaga.
"Ibu, bagaimana keadaan Ayah?"
"Ayah sedang diperiksa Dokter, beliau tidak sadarkan diri."
Sakit!
Rasanya setiap kata yang keluar dari lisan ibu Rina seperti sebuah pisau tajam yang menusuk hati Rendra. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan pahit yang dihadapi oleh ayahnya.
Rendra tidak kuasa menahan rasa sakit yang teramat sangat, karena ia memang belum siap untuk kehilangan ayahnya, apalagi ia belum berhasil menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuanya.
"Nak, apakah belum perusahaan yang memanggilmu bekerja?"
Dengan penuh pengharapan ibu Rina menatap wajah putranya dengan mata berkaca-kaca, harapan ada pekerjaan layak yang Rendra dapatkan karena mereka memang membutuhkan banyak uang untuk pengobatan Bapak Winata.
Rendra menggeleng dengan sejuta kesedihan yang ia bawa bersamanya. Rasanya ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya lagi, tapi saat ini memang seperti itulah keadaannya.
Selang beberapa detik kemudian, dokter keluar dari ruang inap pak Winata. Ibu Rina dan Rendra langsung berlari menghampiri sang dokter.
"Dokter, bagaimana keadaan suami saya?" ucap ibu Rina dengan kegelisahan yang terlihat jelas di wajahnya.
"Maaf, Ibu, tapi dengan berat hati saya katakan kalau Bapak sedang tidak baik-bakk saja saat ini, jadi sebagai Dokter saya hanya bisa menyarankan supaya Bapak dirawat di rumah sakit saja, ta-pi," balas sang dokter yang seketika menjeda ucapannya
Rendra paham kalau yang dimaksudkan oleh dokter adalah uang. Ya, lagi dan lagi uang adalah segalanya, semuanya butuh uang, kertas segi empat yang sangat jauh sekali dari Rendra untuk saat ini.
"Lakukan yang terbaik untuk Ayah saya, Dokter!"
Tanpa pikir panjang, Rendra meminta dokter merawat ayahnya dengan perawatan terbaik. Walaupun ia tidak tahu akan mendapatkan bongkahan uang dari mana, tapi ia yakin kalau Tuhan tidak mungkin memberikan ia cobaan diluar batas kemampuannya.
"Baiklah! Tapi tolong selesaikan administrasinya hari ini juga."
Dokter berjalan meninggalkan Rendra dan ibunya.
"Nak, bukankah rawat inap membutuhkan biaya yang sangat besar? Kita hanya punya uang untuk cuci darah bukan untuk rawat inap."
Ada kegelisahan di hati ibu Rina, ia sangat tahu bagaimana keadaan keuangan keluarga mereka saat ini, tapi ia juga sangat paham kalau suaminya membutuhkan perawatan maksimal untuk kesehatannya.
"Tenang saja, Bu, Rendra akan segera kembali," ucap Rendra sembari mengambil langkah pergi. Namun, tidak lupa ia mencium tangan ibunya untuk mendapatkan restu dari malaikatnya itu.
"Kamu kemana, Nak?"
"Mencari pekerjaan, Bu!" ujar Rendra sembari berlari meninggalkan ibunya.
Rendra datang ke perusahaan Maju Sejahtera milik pak Santoso, orang yang membeli rumahnya.
Ya, Rendra masih menyimpan kartu nama milik pak Santoso, ia pernah ditawarkan sebagai supir pribadi pak Santoso, akan tetapi Rendra menolak padahal ia ditawarkan gaji yang sangat besar.
Dengan langkah kaki tertatih akhirnya sampailah Rendra di perusahaan milik pak Santoso.
"Mbak, apa Pak Santoso ada?" tanya Rendra pada karyawan di resepsionis.
"Mas siapa? Apa sudah buat janji?"
"Belum tapi saya kenal Pak Santoso."
"Maaf, Tuan sedang rapat dan tidak bisa diganggu!"
"Tapi saya ingin bertemu dengan beliau sebentar saja."
"Maaf, tidak bisa, silahkan kembali di lain waktu!"
"Ta-tapi, Mbak!"
"Satpam, segera usir pria ini dari sini!"
Petugas datang menghampiri Rendra untuk di usir karena Rendra telah membuat keributan di perusahaan ini. Namun, nasip baik sedang menghampiri Rendra hari ini.
"Tunggu!"
Seseorang datang menghampiri Rendra, dengan wibawa dan pesona seorang bintang.
"Pak Santoso, ini saya Rendra, apakah Bapak mengingat saya?"
Rendra mendekati pak Santoso, dengan harapan bercampur rasa putus asa yang ia bawa. Sungguh, Rendra berharap lelaki itu mengenalnya.
"Apa yang membawamu kemari?"
"Apakah tawaran untuk menjadi supir pribadi Bapak masih berlaku?" ucap Rendra dengan nada suara penuh dengan pengharapan.
"Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah waktu itu kamu menolak menjadi supir karena takut mengecewakan kedua orang tuamu. Bukankah orang tuamu ingin anaknya kerja kantoran bukan menjadi supir?"
"Saya butuh uang untuk berobat Ayah saya dan saya rela melakukan pekerjaan apa saja asalkan menghasilkan banyak uang."
"Termasuk pekerjaan kotor?"
"Tidak, saya akan mengobati Ayah saya dengan uang halal hasil dari keringat saya sendiri."
Ya, jawaban yang keluar dari lisan Rendra membuat pak Santoso takjub dengan semangat dan kebaikan hatinya. Rendra akhirnya diangkat menjadi supir pribadi pak Santoso dan dalam enak bulan berhasil menjadi sekretaris pribadi dan orang kepercayaan pak Santoso karena kerja keras, kegigihan dan loyalitas yang ia tunjukkan.
***
"Rendra, saya ingin kamu mewakili saya nanti untuk menemui seorang klien karena saya ada urusan bisnis ke luar negeri. Jadi semua urusan perusahaan saya serahkan kepadamu!"
"Tapi, Pak, sa-,"
"Kamu bisa, Rendra," potong Pak Santoso dengan senyum meyakinkan.
Pak Santoso menepuk pundak Rendra tiga kali dengan lembut, untuk memberikan semangat kepada pria tampan itu, sebelum ia pergi meninggalkan ruang kerjanya.
Rendra menarik nafas panjang, kemudian tersenyum kepada Pak Santoso. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri kalau ia tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan pak Santoso. Namun, sejak sukses dan sibuk bekerja, Rendra jadi jarang mengunjungi orang tuanya. Hari-harinya ia habiskan di kantor dan mengurus bisnis perusahaan.
"Pak Rendra, kita mau kemana sekarang?" tanya supir pribadi yang khusus menemani Rendra mengurus perusahaan.
"Antarkan saya ke restoran makanan khas daerah terbaik karena salah satu klien kita sangat suka sekali dengan masakan Padang."
"Baik, Pak."
Mobil melaju dengan cepat, namun tanpa sadar mobil yang Rendra tumpangi ditabrak dari depan oleh sebuah mobil yang terlihat hilang kendali.
"Apa yang terjadi, Pak?"
"Ada mobil yang menabrak mobil kita, Pak Rendra," ujar sang supir.
Rendra keluar dari mobil dan melihat keadaan. Alangkah kagetnya ia melihat seorang gadis yang beberapa bulan lalu menabraknya juga keluar dari mobil sedang putih yang sama dengan beberapa bulan yang lalu.
Gadis itu menghampiri Rendra dengan rasa bersalah yang ia bawa bersamanya.
"Mas, tidak apa-apa?"
Tangan lembut sang gadis memegang pundak Rendra, hingga lelaki tampan itu akhirnya secara perlahan mengangkat wajahnya.
"Maaf, maafkan saya, saya tidak melihat-lihat sekitar karena saya ingin segera sampai di rumah," ucap sang gadis dengan wajah pucat dan ketakutan yang ia bawa bersamanya.
Rendra terdiam dan terus memperhatikan gadis itu.
'Sepertinya wanita manja ini tidak mengenalku,' ucap Rendra di dalam hati.
"Sekali lagi saya minta maaf karena saya ngebut saat menyetir," ujar gadis cantik dengan rambut hitam yang terurai panjang.
"Saya harus pergi?"
Rendra membalikkan badannya, ia tidak suka dengan sikap berbeda gadis itu. Ya, gadis itu pernah menghardiknya kerena saat itu ia mengenakan pakaian lusuh dengan tubuh dekil dan kotor. Namun, semua berubah dan berbeda ketika ia mengenakan mobil sedan mahal dengan pakaian bermerek. Bahkan, gadis itu terlihat sangat rakjub dan melongo menatap wajah Rendra yang terbilang tampan layaknya artis Korea. Ya, Rendra terlihat seperti Kim Tan, seorang pewaris dalam drama Korea The Heirs.
"Mas, tunggu!"
Gadis itu menghentikan langkah Rendra dan berdiri tepat di depan Rendra saat ini.
"Maaf!"
Gadis itu mengulurkan tangannya sebagai bentuk permintaan maafnya kepada Rendra.
Rendra dengan sombongnya berjalan melewati sang gadis tanpa menatapnya sedikitpun.
Rendra memasuki mobilnya dan melanjutkan perjalanan menuju restoran untuk bertemu dengan kliennya.
"Pak, jalan!" ujar Rendra.
Mobil melaju dengan kencang, meninggalkan jejak yang tidak Rendra pedulikan. Rendra tahu sikapnya berlebihan karena membalas wanita itu dengan perlakuan tidak sopan, tapi wanita itu tetap salah, sikapnya berbeda ketika melihat Rendra berpenampilan berbeda dari sebelumnya.
"Pak, Pak, kita sudah sampai."
Lamunan Rendra dibubarkan oleh sang supir, hingga membuat Rendra terkejut.
"Ma-maaf, Pak, saya melamun," ujar Rendra terbata-bata.
"Apa yang Bapak pikirkan?"
"Saya tidak yakin bisa meyakinkan klien untuk berinvestasi di perusahaan kita, saya takut mengecewakan Pak Santoso, saya gugup!"
Rendra mengeluarkan semua unek-uneknya, betapa saat ini iya gugup dan grogi.
"Saya percaya Bapak bisa, bukankah doa orang tua selalu menyertai Bapak?"
Huft ....
Lagi dan lagi, Rendra menarik nafas panjang, berusaha menguatkan dirinya kalau ia mampu dan ia bisa, tapi sebenarnya apa yang dikatakan oleh pak Santoso benar adanya, ia punya jimat yang sangat luar biasa yaitu restu dari ayah dan ibunya.
Rendra menatap wajahnya di kaca spion, ia ingin memastikan penampilannya terlihat rapi dan berwibawa agar memberikan kesan terbaik untuk kliennya. Ya, dari mata turun ke hati. Penampilan menarik seseorang akan menghipnotis orang lain untuk tertarik.
Kring ..., kring ..., kring .....
Ponsel Rendra berdering, dan ia langsung bergegas mengangkatnya.
Rendra mendapati sang klien mengubah jadwal pertemuan sesuai dengan keinginannya yaitu di perusahaan tempat ia bekerja karena beliau ingin Rendra melakukan persentasi pertamanya.
Gugup!
Tentu saja saat ini perasaan Rendra menjadi tidak karuan, tapi ia mencoba bersikap tenang dan meyakinkan dirinya kalau ia mampu dan ia bisa.
Rendra berbalik ke perusahaan dengan kecepatan maksimal, agar ia bisa sampai di perusahaan sebelum sang klien datang.
Dalam waktu 10 menit akhirnya Rendra sampai di perusahaan, yang biasanya ditempuh orang lain dalam waktu 20 menit jika mengemudi dalam kecepatan normal.
Rendra berlari menuju aula untuk mempersiapkan dan mengecek segala sesuatu yang berkaitan dengan bahan persentasi.
Ya, Rendra juga ingin memberikan kesan pertama yang baik di hari persentasi pertamanya. Ia juga ingin mendapatkan pujian dari atasannya kalau ia adalah staf terpercaya yang sangat bisa diandalkan.
"Selamat siang, Bapak Rendra," sapa salah seorang yang datang menghampiri Rendra ke aula pertemuan.
Rendra membalikkan badannya, memasang wajah terbaik dan senyum terindahnya.
Walaupun lelah, Rendra tidak pernah sedikitpun memperlihatkan rasa capeknya kepada orang lain. Bagi Rendra, kesempurnaan penampilan dan senyum menawan adah kunci dari kesuksesan hidupnya.
"Selamat siang, Pak Herman," sapa Rendra ramah dan terlihat berkharisma.
Rendra menjabat tangan pak Herman dengan senyum menawan yang terpancar jelas di wajahnya. Jas berwarna hitam dengan dasi berwarna biru muda yang ia kenakan membuat penampilan Rendra terlihat sempurna dengan wajah tampan di atas rata-rata yang dimilikinya.
"Apakah rapat dan persentasi hari ini bisa kita mulai?" tanya pak Herman yang tidak lain adalah salah satu investor yang akan menanamkan modalnya di perusahaan tempat Rendra bekerja.
"Tentu, Pak, silahkan masuk!"
Kesan pertama dan sambutan yang sopan membuat urusan Rendra menjadi mudah. Tanpa ragu investor menanamkan modalnya di perusahaan tempat Rendra bekerja.
Rendra memberikan pelayanan terbaik dan maksimal untuk pak Herman, namun ada satu kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan sebelum ia melakukan sesuatu, ia membutuhkan semangat dan dukungan dari Ibunya.
Rendra kemudian mengeluarkan ponsel dari saku jas yang ia kenakan, ia menghidupkan kembali ponsel yang baru saja dimatikannya.
Ia membuka WhatsApp dan melihat banyak sekali tumpukan pesan kekhawatiran dan cerewetan dari sang ibu yang sengaja tidak ia baca. Ya, alasan klise karena Rendra terlalu sibuk dan tidak sempat memberikan kabar. Namun, Rendra memilih untuk tidak membaca pesan itu. Ia langsung menghubungi ibunya lewat panggilan Video Call.
[Selamat pagi, Ibu]
Sapa Rendra dengan senyum indah yang sumringah.
[Pagi]
Jawaban singkat sebagai bentuk ungkapan kekesalan yang ibu Rina sampaikan kepada Rendra.
Rendra paham kalau ibunya marah dan kesal kepadanya.
[Ibu, hari ini Rendra akan melakukan persentasi pertama bersama investor. Rendra berharap Ibu jangan marah lagi dan doakanlah anak Ibu ini, semoga persentasi hari ini sukses.]
Kata yang keluar dari lisan Rendra membuat ibunya tidak lagi bisa berkutik. Ia luluh dan tentu saja tidak bisa marah kepada Rendra, putra kesayangannya.
[Nak, semoga persentasi hari ini sukses, doa Ibu selalu menyertaimu.]
Ucapan dan kata-kata penyemangat yang keluar dari mulut ibu Rina membuat Rendra tersenyum bahagia. Ia bersemangat dan percaya diri untuk melakukan yang terbaik hari ini karena ada orang tua yang selalu mendoakan dan mendukungnya.
Ya, benar saja, kedua orang tuanya seperti malaikat yang menjadi jimat dalam kehidupan Rendra. Semangat yang ditularkan ibunya membawa Rendra pada prestasi luar biasa hari ini. Rendra berhasil menggaet inveator dengan kemampuan dan semangat yang dimilikinya.
Rendra menjadi bulan-bulanan di kantor karena prestasinya, prestasi yang Rendra miliki menjadikannya salah satu idola baru di kantornya.
Atasan?
Jangan ditanya lagi bagaimana atasan memperlakukan Rendra, ia menjadi kesayangan atasannya yang selalu dipuji dan dibangga-banggakan.
Ya, karena prestasi itu akhirnya Rendra diangkat menjadi salah satu orang kepercayaan yang menjadi kaki tangan apk Santoso untuk anak perusahaannya dan untuk pertama kalinya Rendra diminta oleh atasan menangani proyek besar karena sang investor mengatakan akan berinvestasi jika Rendra ikut terlibat langsung menangani proyeknya.
Kerja keras dan kegigihannya selama beberapa bulan terakhir ini membuktikan kalau usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Bersyukur!
Tentu saja Rendra merasa sangat bersyukur sekali karena perlahan impian dan angan-angannya menjadi kenyataan.
'Ibu, Ayah, aku harus segera menemui orang-orang yang ku sayang,' ucap Rendra di dalam hati.
Apapun kesuksesan pekerjaan yang Rendra dapatkan, kedua orang tuanya adalah orang pertama yang akan ia cari. Ia tidak akan pernah melupakan malaikatnya itu, karena ia tidak akan berarti apa-apa tanpa doa dan semangat dari kedua orang tuanya.
Dengan segenap tenaga yang ia miliki, Rendra mengendarai motor matic yang ia beli dari hasil keringat sendiri untuk menemui orang tuanya yang saat ini masih setia tinggal di rumah sakit, yang lokasinya sekitar 20 menit dari kantor Rendra jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor kecepatan standar. Namun, hari ini Rendra ingin segera sampai disana karena Ia sudah tidak sabar menemui malaikatnya itu, hingga ia harus ngebut. Namun, lagi dan lagi takdir mempertemukan Rendra lagi dengan gadis cantik yang beberapa kali bertabrakan dengannya di jalan.
Bruk!
Rendra terjatuh dari sepeda motornya karena berusaha menghindari mobil yang ada di depannya.
Rendra kemudian mencoba bangkit dan berdiri untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit, namun kaki Rendra terasa sangat sakit karena lututnya terluka dan berdarah, motornya juga terlihat rusak.
Pupus!
Harapan Rendra untuk segera sampai di rumah sakit dengan segera tidak bisa diwujudkan, karena matanya berkunang-kunang dan sepertinya ia kehabisan tenaga.
"Mas tidak apa-apa?"
Rendra jatuh kepelukan gadis cantik itu dalam keadaan lunglai dan lemah.
Rendra sepertinya syok sehingga kehabisan tenaga karena sehari ini sibuk bekerja.
"Saya tidak apa-apa, sekali lagi maaf!"
Rendra mengaitkan kedua tangannya sebagai bentuk permintaan maaf yang sangat tulus kepada wanita cantik yang ada di depannya itu.
"Mas mau kemana? Bolehkah saya mengantarkan?"
Gadis cantik yang awalnya suka berteriak-teriak itu berubah menjadi seorang yang berbeda, lembut dan berhati mulia layaknya malaikat yang menawarkan bantuan kepada Rendra.
Awalnya Rendra menolak karena tidak ingin merepotkan orang yang tidak dikenal, namun lagi dan lagi wajah ibu dan ayahnya tergiang-ngiang di benak Rendra.
"Mas mau kemana?" tanya sang gadis sekali lagi.
Rendra akhirnya menggunakan kesempatan itu untuk meminta bantuan dari sang gadis cantik yang ada di depannya.
"Bisa tolong antarkan saya ke rumah sakit?" ujar Rendra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!