Happy Reading🍓🍓🍓🍎🍎🍎
Khaisan, Terraputra Khaisan, pria tampan berusia 33 tahun yang berbadan besar dan gagah itu sedang duduk di sebuah ruang tamu sangat luas dan lengang. Berhadapan dengan pasangan suami istri pemilik rumah yang berusaha menawar tarif sewa dirinya dengan harga lebih rendah.
"Putrimu dan kekayaannya sangatlah bermakna bagi Anda. Kenapa sangat berkira dengan harga pembayaran sewa?" tanya Khaisan dengan nada datar namun terdengar tegas.
"Sebenarnya pekerjaan ini tidaklah rumit. Kurasa tidak ada penjahat yang akan begitu tega mencelakai putriku dengan sengaja. Tugasmu hanya mendampingi putriku jika perampok itu sewaktu-waktu datang dan mendekati area usaha kami kembali. Juga sudah ada beberapa security yang berjaga di luar," sahut lelaki tua itu menjelaskan.
"Apakah Anda tidak pernah mendengar jika malang tidak bisa ditolak, dan musibah pun tidak maampu disangka? Bukankah lebih baik bersedia payung sebelum hujan, daripada anda merasa bersalah kemudian? Dengan begitu, Anda tidak akan menyesal lagi untuk kedua kalinya. Anggap saja pada perampokan pertama di rumah putri anda kemarin itu adalah sekedar percobaan, " ucap Khaisan dengan penuh penekanan. Lelaki tua itu memandang lekat Khaisan dan lalu mengangguk satu kali dengan ekspresi yang ngeri.
"Baiklah, pengawal Khaisan. Bagaimana jika langsung kubayarkan selama setengah semester? Namun dengan harga yang kuinginkan?" tanya tuan rumah lelaki yang juga cukup alot pada penawarannya.
"Aku tidak paham kenapa kepala agencyku memintaku datang ke sini. Jika tahu Anda sangat perhitungan, aku tidak akan repot untuk datang. Aku sangat tidak pandai tawar- menawar. Jadi, bagaimanapun harga kawalanku tetap sama, dengan harga lebih dua ratus dolar dari yang Anda tawar per bulannya. Jangan mencoba menghilangkan dua ratus dolar itu," tegas Khaisan yang tidak berniat menurunkan satu sen pun tarif sewa kawalannya.
"Sayang sekali putriku sedang keluar. Jika kamu tahu putriku, kamu tidak akan jual mahal. Putriku sangat kooperatif dan tidak suka menimbulkan masalah. Hanya putriku mungkin sedikit pendiam," keluh tuan rumah lelaki pada Khaisan.
Tuan rumah duduk tegak tanpa menyandar. Memandang lekat calon bodyguard dengan ekspresi berharap. Sang istri hanya diam dengan terus menyimak tanpa ingin andil berbicara. Pasrah pada sang suami yang akan dihormati hingga sepanjang masanya.
"Kalian pikir aku akan menjatuhkan tarif sewaku hanya dengan melihat betapa menariknya putrimu?" tanya Khaisan dengan datar namun terkesan meremehkan.
Kedua pasangan suami istri itu saling berpandangan. Mereka kemudian sama-sama menggeleng pada Khaisan.
"Bukan seperti itu maksudku, pengawal Khaisan. Maksudku adalah, putriku sangat pendiam. Dia tidak akan suka mengomentari urusanmu, asalkan kerjamu sesuai dengan aturan yang akan kalian sepakati barsama nantinya. Jika kamu melakukan pelanggaran pun, dia tidak akan memberi sangsi yang berarti padamu. Bekerja dengan putriku, tidak akan memberimu tekanan sedikit pun. Kamu bisa pertimbangkan hal ini, pengawal Khaisan."
Lelaki tua itu masih berusaha menggandeng Khaisan dengan harga sewa yang diinginkannya.
"Ha...Ha.. Justru itu yang membosankan, pak. Aku disiapkan untuk bersiaga. Kurasa akan sangat membosankan bekerja dengan putrimu yang Anda gambarkan sebagai barbie yang sangat manis itu," ucap Khaisan dengan senyumnya yang masam.
"Assalamu'alaikum!" sapa renyah dari suara perempuan yang halus.
"Wa'alaikumsalam!" balas sapa salam dari kedua orang tua yang duduk di depan Khaisan dengan cepat.
Khaisan beserta kedua pasangan suami istri itu bersamaan menoleh ke arah asal suara di pintu. Nampak berjalan tergesa seorang gadis jelita dengan rambut sepunggung yang lembut dan berkilat. Melempar senyum hangat pada kedua orang tua yang duduk di depan Khaisan. Lalu duduk bergabung di sofa kosong yang terdekat.
"Cut, ini pengawal yang sudah papa pesan dari agensi pengawalan di Masjid Besar. Papa sedang menawar harga tarifnya. Kamu berminat menawar?" tanya orang tua lelaki pada gadis yang baru datang dengan nama Cut.
Gadis jelita bernama panjang Cut Kemalasari Hanah, berusia 29 tahun dan masih lajang itu memiliki panggilan sayang Cut dari kedua orang tuanya. Yang orang-orang terdekat di keluarganya pun memilih ikut-ikutan memanggil Cut pada gadis berkulit putih dengan tubuh yang tinggi semampai, langsing, dan padat berisi bak model.
"Papa tolong rundingkan saja untukku, please.. Aku tahu papa melakukan yang terbaik demiku. Jika sudah deal, papa bilang saja nanti padaku. Jadi aku tinggal membicarakan masalah pembayaran dan kerjaannya pada yang bersangkutan."
Cut berbicara lembut pada ayahnya sambil melirik sekilas pada calon bodyguard yang berbadan kekar dengan jambang dan kumisnya yang tumbuh serasi. Serta berambut hitam cukup tebal agak panjang namun bukan gondrong. Wajahnya cukup berwibawa dan juga berkharisma.
"Papa masih menegonya, Cut Ha," ujar lelaki tua yang merupakan ayahnya. Lebih suka untuk memanggil sang putri dengan panggilan sayangnya, Cut Ha.
"Jagan terlalu menawar, pa. Biarlah dia bekerja dengan ikhlas. Jika papa menawarnya terlalu tipis, aku takut jika dia terpaksa dan justru bekerja main-main. Aku tidak ingin dia bekerja hanya sebab alasan yang terpaksa menerima," tutur Cut dengan anggun pada sang ayah.
Khaisan yang sedari tadi menyimak percakapan antara ayah dan anak gadis itu nampak terkejut dengan sikap Cut yang cukup bijak dan tepat di matanya. Bagi Khaisan, ini cukup menakjubkan di tengah gemerlap dan bengisnya kota Batam. Juga sangat berlawanan dengan sang orang tua yang sangat perhitungan.
Yang membuat Khaisan kian tidak habis pikir diam-diam, adalah Cut Ha yang mengingatkannya pada tragedi pribadinya lima tahun yang lalu. Benarkah Cut Ha adalah gadis lima tahun lalu yang membuat Khaisan sempat mendendam dalam diam?
🕸🕸🕸
Ruang keluarga yang nyaman dan lapang itu terasa hening meski ada beberapa orang yang sedang duduk di sofa untuk berdiskusi.
Khaisan tampak tidak sabar dan terbit ekspresi gerah di wajah tampannya. Lalu berdiri tiba-tiba sambil memandang orang tua lelaki dari Cut Ha.
"Sebelum pergi dari rumahmu, kuberi peluang untuk kalian satu kali saja, pak Latif." Khaisan sambil bergeser menjauhi kursi dan memilih benar-benar berdiri bebas di ruangan. Bersikap seolah siaga sebagaimana profesinya yang seorang bodyguard berkelas.
"Peluang?" sambut ayah Cut Ha yang asli berdarah Aceh dengan nama Jodi Latif.
"Benar. Anda bisa membayarku untuk setengah semester sekalian dengan kukurangi seratus dollar tiap bulan dari tarif dasarku," jelas Khaisan dengan raut enggan yang jelas terlihat di wajahnya.
"Ambil saja, Pa. Nanti papa tidak akan direspon baik lagi oleh agency pengawal di Masjid Besar. Papa akan lambat mendapat pelayanan kawalan jika sewaktu-waktu terdesak perlu," sela Cut Ha dengan cepat sambil berdiri. Wanita itu berlalu melewati Khaisan dengan pandangan lurus bersama langkah kakinya yang cepat. Tanpa melirikkan mata sedikit pun pada sang bodyguard, calon pengawal dirinya yang sedang siaga berdiri.
"Pengawal Khaisan, baiklah. Aku setuju dengan tawaranmu. Apa semua tranksaksi bisa langsung denganmu atau melalui agensi di Majid Besar?" tanya pak Latif yang juga sudah ikut berdiri di depan Khaisan.
"Urus saja dengan agensiku. Aku akan kembali ke sini dua jam lagi. Uruslah dulu hingga selesai dengan agensi di Masjid Besar. Akan kuperiksa berkas kerjasamanya kemudian. Jangan mencoba curang, pak Latif," tegas Khaisan mengingatkan sebelum pergi berbalik dan berjalan keluar rumah.
"Jangan khawatir, pengawal Khaisan!" sahut pak Latif berseru. Khaisan telah berlalu meninggalkan tampakan punggungnya yang lebar dan menenangkan.
"Kamu ikut denganku, mah?" tanya pak Latif kepada sang istri.
"Iya, pah. Aku ikut." Sang istri menyambut dengan berdiri dan kini melangkah beriringan dengan pelan.
Mereka tidak pergi ke masjid besar. Namun, pergi ke luar rumah dan berjalan menyusur ke depan menuju arah toko. Mencari sopir keluarga agar mengantar Cut Ha mengurus pasal pengawal di agensi Masjid Besar. Sopir yang jika tidak sedang memegang kemudi akan menjadi pegawai toko itu memang sungguh serba guna.
Meski toko elektronik milik mereka cukup lengkap, tapi tidak sebesar dan selancar toko elektronik baru yang dirintis oleh Cut Ha. Toko elektronik yang Cut Ha buka di kota Nagoya pinggiran itu ternyata sangat diminati dan berkembang menjadi besar dan sukses. Sang Putri begitu lihai melakukan pemasaran sekaligus promosi dengan gencar dan tepat sasaran.
🕸
Khaisan baru datang ke markas agensi di Masjid Besar Muka Kuning, saat Cut Ha juga baru selesai dengan urusan sewa pengawalan dirinya. Mereka bertemu di depan pintu dan hampir saling bertabrakan.
Khaisan yang akan melempar senyum pada sang calon boss, urung saat melihat sorot dingin dari pandangan Cut Ha. Raut gadis itu jauh beda saat berda di tengah orang tuanya dalam rumah di Nagoya. Mata berbinar dan senyum cerahnya seperti beku saat di luaran.
Khaisan tidak ambil pusing dan mereka saling melewati tanpa sapa. Tidak tampak kesan jika diantara mereka sudah saling terikat dalam kontrak perjanjian kerja sama.
Seorang pria tua berambut putih dan berpeci menyambut salam Khaisan dengan lirih dari dalam ruang kantor di agensi. Menunjuk kursi agar Khaisan duduk di depannya.
"Khaisan, apa kamu masih tidak berniat mengambil hasil jerihmu kali ini?" tanya pria itu sambil memandang Khaisan dengan tatapan yang teduh.
"Tidak, Romo Yusuf. Saya hanya ingin melihat bunyi lembar kerjasamanya," sahut Khaisan dengan sopan.
Lelaki tua berambut putih seluruhnya dan sangat kurus itu mengulur sebuah file pada Khaisan. Yang disambut dengan sikap sopan oleh Khaisan.
"Semoga segala lelahmu saat bertugas menjadi lillah, pengawal San," ucap pak Yusuf saat Khaisan sedang membaca dengan fokus lembar demi lembar itu.
"Aamiin. Terimakasih doa agungnya, Romo," sahut Khaisan di sela membaca yang belum usai.
Pak Yusuf pun mengangguk sambil tetap menatap Khaisan yang fokus di bacaannya. Lelaki itu terus memandang hingga Khaisan mengembalikan lembar perjanjian itu padanya.
"Kenapa bilangan rupiah itu kali ini lebih sedikit, Khaisan?" tanya pak Yusuf dengan pelan.
Khaisan langsung mendongak wajah dan memandang lelaki tua itu dengan segan. Lalu mengangggukkan kepalanya.
"Maaf jika kali ini saya terpaksa mengurangi hak anak-anak itu, Romo. Maafkan saya yang kali ini tidak konsisten," sahut Khaisan dengan menyiratkan rasa bersalahnya.
"Ini bukan kesalahan Khaisan. Aku hanya ingin bertanya. Padahal ini semua adalah hak kamu seluruhnya. Kami sangat berterimakasih denganmu, Khaisan," ucap Pak Yusuf lembut tanpa ingin mendesak lagi kenapa Khaisan menerima tarif yang berbeda dari biasanya.
"Kamu akan datang ke Nagoya dua jam kemudian?" tanya pak Yusuf dengan lembut pada Khaisan. Memecah hening di ruangan.
"Nggih, Romo," sahut Khaisan dengan khidmat dan mengangguk. Lelaki itu tampak sangat nenghormati pak Yusuf.
Pak Yusuf memang telah begitu lama mengabdi di managerial Masjid Besar. Lelaki Jawa tulen, berasal dari Blitar itu cukup memegang peranan penting dalam lingkungan di masjid. Seorang berkaromah yang mengetuai agensi pengawalan untuk melayani seluruh area di pulau Batam.
Selain itu, pak Yusuf adalah penjagal alias Juliha atau juru sembelih halal hewan qurban di masjid. Hanya di tangannyalah puluhan hewan qurban tiap tahun di Masjid Besar itu dipercayakan. Beliau adalah salah satu cikal bakal sekaligus tetua yang bersejarah di masjid.
Juga satu-satunya sepuh yang sangat telaten dan bijak dalam menuntun insan yang bertaubat dan datang di Masjid. Pak Yusuf mampu membuat nyaman para pemuda mantan pendosa sekaligus memiliki masa lalu yang kelam, seperti halnya Khaisan.
🕸🕸🕸
Dengan mobil sedan warna biru dan berlogo kuning bertulis TAXI yang menempel di atapnya, Khaisan sampai di sebuah pagar yang nyaris tidak nampak sebab di buka lebar seluruhnya. Itu adalah area toko besar berlantai tiga yang khusus menjual barang-barang elektronik.
Barang dan peralatan elektronik yang dijual sangat beragam, dari segi harga, kualitas dan level. Dengan customer yang berasal dari semua kalangan.
Namun, pemilik usaha ini sedang gencar mensupport kebutuhan barang elektronik mewah dan canggih. Yang tentu saja menyasar pada user kalangan atas di beberapa mega proyek properti dan ini sangatlah menggiurkan. Cut Ha tengah panen besar di bidikannya kali ini. Usaha kerasnya benar-benar menuai hasil gemilang mengejutkan.
Khaisan sedang berdiri lagi di sebuah pagar dari rumah kecil yang indah berlantai satu. Berada di balik bangunan toko berlantai tiga di depannya.
Security yang berjaga di pojok belakang bangunan toko melihat Khaisan. Segera tanggap untuk menghubungi sang tuan rumah melalui jaringan telepon paralel yang terpasang di pos jaga. Mengabarkan adanya tamu yang sedang berdiri di pagar.
Seorang perempuan berkulit gelap, yang bisa berdarah Papua, atau juga Nusa Tenggara Timur, nampak membuka pintu dan keluar. Berjalan cepat menuju pagar dan membuka segelnya.
"Mari masuk dulu di dalam, Anda!" tutur gadis berkulit gelap dengan rambut keriting pendeknya. Logatnya sangat cepat dan mungkin membingungkan.
Khaisan mengangguk dan berjalan mengikutinya di belakang. Gadis itu berbadan mungil dan pendek yang mungkin tingginya hanya setengah bahu Khaisan.
"Silahkan mari duduk dulu, Anda. Masih pergi sembahyang, nona saya," ucap gadis berwajah khas dan unik itu dengan ramah.
"Terimakasih," ucap Khaisan sambil menghempas diri di sofa yang lembut dan empuk.
"Apa, Anda ingin? Teh, kopi, susu atau moka, anda ingin?" tanya gadis ramah itu dengan senyum. Khaisan menduga jika gadis yang kemungkinan adalah asisten di rumah Cut Ha itu sedang tidak banyak pekerjaan.
"Moka," sahut Khaisan yang berfikir tidak ada salahnya menerima kebaikan si gadis asisten rumah.
"Tunggu dulu, Anda,," pamit gadis mungil itu sambil berundur dan berjalan ke arah di belakang. Mungkin dapur rumah yang sedang dituju gadis itu.
"Namanya, Mariah." Tiba-tiba di samping Khaisan telah berdiri wanita cantik dan baru saja berbicara yang tak lain adalah Cut Ha. Khaisan segera berdiri siaga dengan cepat. Menyimak Cut Ha yang datar memandangnya.
"Jika perlu apa-apa yang ingin dimakan, minta saja padanya. Kamarku di sana. Kamarmu pilih saja sendiri. Kamar Mariah dekat dengan dapur," sambung Cut Ha menjelaskan.
"Aku tinggal di rumahku sendiri, jadi akan kuanggap kamu tidak ada. Tapi lakukanlah tugas kamu sebagaimana kamu biasa bekerja menjaga orang." Cut Ha terus berbicara tanpa perlu balasan bicara dari Khaisan.
"Satu lagi, jika aku keluar, bawakan mobilku," ucap wanita berparas jelita itu untuk yang terakhir kalinya. Sebab telah berlalu pergi dan menyelinap di salah satu kamar dengan pintu bercat putih bersih dan mengkilat. Mungkin dari kamar itu jugalah Cut Ha tadi berasal.
Pakaian wanita itu tertutup dan sopan. Hampir menyerupai gamis namun berkain lembut yang menempel di badan. Berbeda dari bajunya yang dipakai saat bertemu pertama kali dengan Khaisan di rumah orang tuanya. Bercelana kain membentuk lekuk tubuh serta blouse atasan yang menggantung di pinggang.
Baik baju gamis atau celana dan blouse, keduanya sangat cocok dipakai oleh Cut Ha. Hanya yang membuat ragu Khaisan jika Cut Ha adalah wanita kasar dan menyakitkan yang diyakininya lima tahun lalu adalah, kerudung dikepalanya belum sekalipun terlihat. Cut Ha hanya mengikat rambutnya dengan rapi serta memakai masker mulut transparant saat menemui kepala agensi pengawal di masjid.
Khaisan bergegas menghampiri kamar yang berada tepat di seberang kamar Cut Ha. Memilih sebagai tempat paling tepat untuk singgah sementara yang digunakan saat mandi, shalat dan sebentar istirahat. Khaisan sadar jika dirinya adalah manusia lemah yang perlu istirahat barang satu jam, dua jam demi menjaga kesehatan dan metabolis tubuhnya.
🕸
Cut Ha sedang merendam diri dalam kamar mandi yang beraroma terapi sangat segar menenangkan. Mariah sangat mengerti dan paham dengan kebutuhan yang paling tepat untuknya. Merasa tidak sia-sia telah memilih gadis khas pribumi itu dari agensi asisten rumah sebab merasa iba pada Mariah.
Mariah, gadis malang yatim piatu berusia 19 tahun itu dibawa oleh agensi daerahnya berlayar jauh hingga ke Pulau Batam. Yang kemudian sekedar dijual atau hanya dilempar tangan kepada agensi penampungan pekerja di pulau Batam.
Hingga sebelas bulan berada di agensi, belum ada seorangpun hartawan yang berminat mengambil Mariah sebagai pekerjanya. Gadis berkulit kelewat eksotis dan berbadan sangat kurus itu sangat bahagia saat Cut Ha meminang dan membawanya hingga berlinangan air dari kedua mata cekung Mariah.
Gadis yang membuatnya merasa senang sebab aroma kamar mandinya jadi menenangkan, baru saja berlalu setelah mengatakan jika makan siang sudah siap. Kini Cut Ha dengan baju bagus lainnya sedang keluar dengan berjalan pelan menuju ruang makan.
🕸🕸🕸
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!