NovelToon NovelToon

Bad Boy : Hitam Putih Ketua Geng Motor

Dewi Penolong

"Buang dia ke kubangan itu! Lempar aja!" perintah seorang pria dengan tampang sangar. Menatap jijik ke arah tubuh Mika yang sudah pingsan.

"Tapi... kubangan itu, ada di dekat jurang, kalau dia jatuh pasti mati," jawab pria yang itu ketakutan. Bagaimana pun mereka hanya geng motor, bukan pembunuh, atau pun begal yang meresahkan warga.

Hanya geng motor elit, beranggotakan anak-anak orang kaya pada umumnya, yang mencari pelampiasan dengan berteman dengan sesama anak buangan.

Malam ini terjadi lagi pertempuran antar kedua geng motor yang sejak dulu menjadi musuh bebuyutan. Anak SMA Bhineka dan Anak SMA Taruna.

Namun, malam ini pertempuran tidak seimbang. Kalau biasanya pertarungan itu dimenangkan oleh geng motor Bhinneka yang diketuai Mika, kali ini angin tampaknya berhembus dari arah berbeda. Anggota geng motor Bima Sakti menggiring Mika menjauh dari gerombolannya yang saat ini sedang bertarung melawan mereka, hingga sampai ke batas kota. Kini Mika hanya sendiri sementara yang geng motor musuh lebih dari 10 orang termasuk ketua geng.

Begitu mendapatkan kesempatan segera menyerang nikah hingga pria itu jatuh dari motor lalu rame-ramai mereka memukul mereka masih sempat melakukan perlawanan tapi jumlah lawan tidak seimbang hingga membuat dia roboh jatuh ke tanah pada saat itulah kesepuluh orang itu membabi buta memukulnya dengan berbagai benda baik tumpu maupun tajam.

Mika tidak sadarkan diri dan kesempatan itu membuat mereka memutuskan untuk menyingkirkan jejak mungkin saat ini menikah hanya pingsan namun jika tidak ditemukan selama 2 hari dan dilempar ke bawah jurang mungkin pria itu akan mati dan semua persoalan akan selesai dan mereka tidak akan dituduhkan atas kejahatan apapun.

"Lo mau membantah? Gue bilang, lempar bajingan itu!" umpat Ciko penuh amarah.

Keempatnya anak buahnya segera melakukan perintah Ciko, tanpa hati melempar Mika, lalu setelahnya segera pergi dari sana.

***

Andira merentangkan kedua tangannya, tubuh nya terasa lelah, tapi dia harus tetap bertahan menjalani rutinitas. Di saat orang lain menikmati hari liburnya, dia justru bekerja paruh waktu membantu penjual bakso di simpang gang rumahnya.

Kadang dia iri pada Lily yang masih punya orang tua dan begitu dimanjakan. Ketika dia ingin berlibur selama libur sekolah ini, dengan senang hati orang tuanya membawanya ke luar kota, meninggalkan dirinya di rumah, dengan segala pekerjaan dan juga pekerjaan tambahan.

"Kau harus semangat Dira! Bersuka cita lah!" serunya setengah berteriak. Tepat saat melewati kubangan menuju rumahnya, samar dia mendengar suara rintihan seseorang yang tampak kesakitan.

Awalnya Dira mencoba mengabaikan suara itu karena terkadang terdengar, kadang hilang. Namun, setelah melanjutkan perjalanannya dia mendengar kembali suara itu semakin jelas, dan dia yakin itu bukan suara setan seperti dugaan Dira sebelumnya. suara permintaan tolong seseorang.

"To...Long... To... Long!"

Dengan sisa keberanian, Dira mendekat ke tepian jurang tempat orang-orang di sekitar membuang sampah.

"Apa kau manusia? Atau setan?" tanya Dira memastikan.

"To... Long... Tolong..." kembali suara itu memohon dan semakin jelas.

Sosok yang terluka itu berusaha untuk memanjat naik, tapi belum sampai ke bibir jurang, dia sudah kehabisan napas dan tenaganya juga sudah habis.

Dira bisa melihat dengan jelas sosok pria yang terluka itu, memekik kaget lalu membantu menarik Mika ke bibir jurang.

"Kau terluka? Astaga, lukamu banyak sekali," pekiknya memeriksa tubuh Mika.

"Tolongin gue...," lirih Mika lagi. Sekuat tenaga Dira memapah Mika, membawa pria itu ke rumahnya yang berada tidak jauh dari tempat itu.

"Maaf, aku membawamu ke rumah ini, klinik begitu jauh dari sini, dan tubuhmu begitu berat. Aku akan memanggil pak RT, agar membantu membawamu ke sana," ucap Dira setelah membaringkan Mika di kamarnya.

Tidak ada pilihan lain selain membaringkan di ranjangnya. Di rumah itu hanya ada tiga kamar. Paling luas kamar om dan tante nya, lalu ada kamar Lily, dan yang terakhir dan paling kecil adalah kamarnya, jauh di belakang di dekat dapur.

"Gak perlu. Jangan sampai ada yang tahu gue ada di sini, para bajingan itu akan datang kembali. Lo yang harus merawat gue!" ucap pria itu yang lebih pada perintah sebelum kembali jatuh pingsan.

Dira tidak punya pilihan lain selain melakukan apa yang dikatakan pria itu. Dengan kemampuannya dan juga pengetahuan yang minim, dia merawat Mika, membuatkan bubur untuk pria itu dan membersihkan lukanya.

Selama dua hari di rumah Dira, Mika hanya bisa berbaring di tempat tidur karena belum kuat untuk berjalan. Kakinya terasa patah, dia ingat bahwa 4 kali anggota Chiko sudah memukul kakinya, mungkin mereka bermaksud untuk membuatnya lumpuh.

Pada hari ketiga Mika sudah bisa sadar, dia sudah bisa duduk di ranjang dan memperhatikan sekelilingnya. Di atas meja dekat ranjang sudah terhidang bubur dan juga termos kecil berisi air jahe.

Mika yang merasa kelaparan, mendekati makana yang dia yakin disiapkan untuknya. Rasanya justru ingin muntah melihat bubur itu, sama sekali tidak menarik, tapi karena tuntutan perutnya yang sangat lapar, Mika segera menghabiskan bubur itu. Bola matanya membulat, tidak menyangka kalau rasanya ternyata sangat enak. Tampilan boleh sederhana, tapi rasa bubur itu sangat enak.

Dia mencoba mencari keberadaan orang yang sudah menolongnya. Kepalanya masih sakit, bisa saja dia mengalami gegar otak karena merasakan pukulan dan benturan yang dilakukan anggota Chiko.

Dira terpaksa meninggalkan Mika di rumah karena harus bekerja di warung bakso Bu Risma. Dua hari sudah dia tidak masuk kerja karena harus merawat Mika. Dira tidak punya pilihan selain meninggalkan Mika sendiri di rumah, kalau tidak dia akan dipecat oleh Bu Risma.

Gaji dari membantu Bu Risma sangat berarti bagi Dira. Untuk keperluan sekolah, dia memang sudah tidak membutuhkan uang lagi karena memang semua keperluannya sudah ditanggung oleh yayasan sekolah SMA Bhineka, tapi dia ingin menabung, siapa tahu bisa melanjutkan kuliah nantinya.

Dira yang pintar mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di tempat elit, hal itu pula yang membuat Lily benci padanya karena dia tidak bisa bersekolah di sana.

Merlin, tantenya sudah mengatur agar Lily yang bisa masuk ke sekolah itu, tapi program itu hanya untuk siswa yang memang pintar karena tidak sembarang orang bisa mendapatkan beasiswa untuk masuk dan bersekolah di SMA Bhinneka.

Jalur beasiswa untuk anak-anak miskin hanya memiliki kuota sebanyak 10 orang dan salah satunya Dira yang mendapatkannya. Gadis itu mau bersekolah di sana, menahankan perundungan dan juga hinaan dari teman-teman sekolahnya hanya karena agar bisa bersekolah dengan gratis.

Bosan menunggu, akhirnya Mika memutuskan untuk turun dari ranjang. Beberapa menit dia berkeliling di dalam rumah mencari pemiliknya namun, tidak ditemukan.

Dia bermaksud kembali pulang, tidak ingin merepotkan Dira terlalu lama. Ketika menuju pintu depan, langkahnya terhenti di tengah ruangan mengamati bingkai foto yang terpajang di dinding.

"Jadi, seperti itu wajah Dewi penolongku," gemanya mengulum senyum. "Terima kasih untuk bantuanmu, aku akan datang mencarimu dan memberikan imbalan untuk pertolonganmu," ucapnya terus mengamati foto itu, lalu setelahnya menyusup keluar dari rumah itu tanpa terlihat oleh para tetangga.

Harianja, Bintang Sekolah

Dua Minggu sejak kejadian itu, Dira tidak lagi mengkhawatirkan Mika. Lagi punya dia memilik banyak hal yang harus dipikirkan.

Libur sudah usai. Dira harus masuk kembali ke sekolah. Tempat yang paling dia benci, tapi pada kenyataannya dia tidak bisa menghindar dari kewajibannya pergi ke sekolah.

Dia harus mendapatkan ijazah agar bisa bekerja untuk mengumpulkan uang agar dia bisa melanjutkan pendidikannya nanti.

Seperti biasa sebelum berangkat sekolah, pukul 05.00 pagi dia sudah bangun dan mempersiapkan segala keperluan semua orang yang ada di rumah itu, mulai dari sarapan, membersihkan rumah, menyiapkan pakaian kerja om Burhan dan juga seragam sekolah yang akan dikenakan oleh Lily yang seharusnya, melihat umur gadis itu sudah bisa menanggung jawabi dirinya sendiri. Toh, mereka seumuran, lantas mengapa hanya dia yang dibebankan untuk melakukan pekerjaan rumah?

Jawabannya sederhana, karena Lili adalah putri dari pemilik rumah itu, sementara dia hanyalah seorang yang dianggap sebagai pelayan.

"Kau sudah akan pergi?" hardik Tante Merlin yang baru saja bangun, menguap selebar-lebarnya hingga puluhan lalat mungkin bisa bersemayam di dalamnya.

"Iya, Tante. Semua sudah aku siapkan," jawab Dira menyandangkan tali tasnya.

"Kau mau pamer atau bagaimana? Gak usah berlagak sok hebat karena sudah memberesi rumah ini, itu sudah kewajiban mu! Anggap upahmu karena sudah dikasih tempat tinggal dan makan di rumah ini!" sambar Lily yang baru keluar dari kamar, menuju meja makan.

Dira hanya bisa diam, tidak bisa membantah apapun ucapan Lily. Dia memang dianggap pembantu di rumah ini, bedanya dengan pembantu lainnya, kalau mereka dia gaji, sementara Dira hanya diberi makan.

Padahal kenyataannya, uang orang tuanya lah yang mereka pakai untuk membeli rumah ini. Setelah kematian ibunya, Dira diasuh oleh Tante Merlin, adik tiri ibunya. Wanita itu mau menerima Dira karena memang punya niat terselubung, ingin menguasai harta peninggalan ibu Dira, salah satunya rumah mereka.

Rumah itu dijual oleh Tante Merlin untuk membeli rumah mereka yang sekarang. Jadi, seharusnya, Dira lah pemilik rumah itu. Sisa tabungan ibunya yang dia simpan untuk biaya sekolah Dira pun diambil oleh Tante Merlin dengan bujukan Burhan.

Namun, Dira sudah pasrah. Dia menjalani takdirnya. Hanya tinggal menunggu satu tahun lagi, maka dia akan tamat sekolah dan bisa meninggalkan rumah itu, mengejar cita-citanya.

"Bisa tidak kalian jangan ribut, kepalaku mau pecah!" hardik Tante Merlin menatap Dira dan Lily bergantian.

***

Dira selalu datang tepat waktu, bahkan kadang lebih cepat dari teman-temannya yang lain. Selain karena dia harus menghemat uang dengan hanya sekali naik angkot dan sisanya dia jalan hingga sampai ke sekolah, dia juga tidak ingin berlama-lama di rumah.

Tidak hanya tidak nyaman dengan sikap Tante Merlin dan juga Lily, tekanan mental juga dia dapat dari Burhan, pria pemalas dan tidak tahu diri itu selalu mencoba bersikap tidak senonoh padanya saat di belakang Tante Merlin. Sebisa mungkin Dira selalu menghindar untuk berada di rumah itu jika Burhan ada di sana.

Di koridor menuju kelasnya, dia melihat Harianja, mantan ketua OSIS yang sangat dikagumi semua makhluk bernama perempuan di sekolah itu.

Siswa tampan, pintar, bersahaja dan juga kaya raya. Bintang di langit Dira yang hanya bisa dipandang tanpa bisa diraih. Langkah kaki Dira melemah, tubuhnya bergetar hanya dengan melihat wajah Anja. Dira ingin berbelok, tapi tidak mungkin, pria itu sudah melihatnya.

"Pagi, Dira," sapa Anja setelah mereka berdua berpapasan.

"Pagi, juga Ja. Kamu datang kepagian juga?" jawab Dira tersenyum semanis mungkin walau kenyataannya terlihat kaku.

"Senyum mu kaku, jadi jelek. Padahal aku sering melihatmu tersenyum, bahkan tertawa lepas, dan kau sangat cantik kalau tersenyum," jawab Anja yang membuat Dira hampir pingsan. Berarti pria itu sering mengamatinya. Bolehlah perasaan dia melambung, dia sama sekali tidak menyangka kalau sekelas Anja memperhatikannya. Dia memang pernah beberapa kali ikut lomba olimpiade sains bersama Anja mewakili sekolah mereka.

Keduanya asyik ngobrol di taman belakang sekolah, jauh dari pandangan siswa lain. "Udah lama aku ingin mengajak mu bicara, tapi takut kau menolak," ucap Anja tersenyum. Tampak pria itu gugup, tapi berusaha untuk menutupinya.

Dira kembali melambung. Mimpi apa dia semalam hingga dia bisa mendapat keajaiban pagi ini. Atau, kebaikan apa yang sudah dia lakukan sebelumnya, hingga Anja benar-benar mengajaknya bicara dan bersikap sangat manis.

Tiba-tiba dia ingat dengan dengan pria yang sudah dia tolong dua Minggu lalu. Apa mungkin karena dia menolong pria itu? Tapi ngomong-ngomong soal pria itu, dia sedikit kesal. Pria itu tidak beradab, sudah ditolong, malah pergi diam-diam.

Pikiran Dira melayang jauh pada sosok pria yang dia tolong. Perawakannya begitu familiar, tapi semakin lama dia mencoba mengingat, dia tidak mendapatkan gambarannya.

"Hey, aku masih di sini dan kau sudah memikirkan pria lain," goda Anja yang menarik Dira ke alam nyata. Gadis itu tersenyum malu atas sikapnya yang tidak sopan karena sudah mengabaikan Anja. Keduanya kembali melanjutkan cerita mereka, tampak terawat bersama dan senyum malu-malu.

Tanpa disadari keduanya, sepasang mata setajam elang sedang menatap tajam ke arah mereka. Penuh kebencian dan rasa jijik, terlebih pada sosok Anja.

"Jadi, itu gebetan baru Lo. Oke, tampaknya sekarang gue punya mainan baru setelah kembali dari cuti selama ini!"

Target

Sejak perbincangan tempo hari, Dira dan Anja semakin dekat. Bahkan beberapa kali, Anja mengajaknya untuk makan di kantin pada jam istirahat. Meski banyak cibiran dan juga penolakan dari banyak siswi yang merasa Dira tidak pantas berada di dekat Anja, kenyataan gadis itu tidak peduli. Dia menikmati kebersamaannya dengan Anja.

Anja juga tidak segan-segan untuk mengantarkan Dira pulang walau tidak sampai ke depan rumahnya, hanya sebatas gang besar. Alasannya hanya satu, dia tidak ingin mendatangkan masalah di rumah itu.

"Ini buat kamu," ucap Anja meletakkan beberapa butir baksonya di dalam mangkok Dira yang sontak membuat wajah gadis itu menengadah menatap Anja.

"Loh, kok dikasih sama aku semua. Kamu makan apa?" tanya Dira. Selama bersama Anja, Dira tidak perlu takut kelaparan lagi selama jam sekolah. Anja selalu mentraktirnya makan di kantin, atau membawakannya jajanan yang banyak.

Anja begitu baik dan perhatian padanya. Dia juga begitu sopan dan juga selalu bersikap lembut padanya, dan yang paling membuat Dira semakin salut pada Anja, dia mau berteman dengan Dira yang gadis paling miskin mungkin di sekolah itu.

Semua orang di sekolah juga tahu kalau Dira masuk ke sekolah itu juga karena jalur beasiswa jenis Charity. Yang khusus diperuntukkan oleh siswa yang berprestasi di beberapa sekolah undangan, lalu dites kembali agar bisa diterima di sekolah Bhinneka. Tes yang diberikan juga bukannya gampang, melebihi tes CPNS. Hanya tersedia bangku untuk lima orang, dan Dira ada diperingkat pertama saat itu.

"Aku udah kenyang lihat kamu makan. Lagi pula nanti biar kamu kuat kerjanya," jawab Anja tersenyum.

Duh, lihat deh, pria itu begitu tampan. Kadang Dira berpikir, apa mungkin Anja ini adalah reinkarnasi dewa Yunani yang digambarkan begitu tampan pada hikayat nya.

"Anja, kenapa sih kamu baik banget sama aku?" Akhirnya pertanyaan itu begitu saja terlontar dari bibir Dira. Dia tidak mau menjadi gadis naif, dia menyukai Anja, tapi dia cukup tahu diri, kalau Anja bintang, yang tidak mungkin dia gapai. Dira gak mau salah mengartikan maksud baik Anja.

Dia gadis normal yang terlebih belum pernah pacaran di usianya yang sudah 18 tahun itu, wajar kalau dia baperan dengan sikap baik Anja.

"Aku suka sama kamu, Dira. Aku mau kamu jadi pacarku," ucap Anja dengan tegas.

Dua siswa lainnya yang duduk tidak jauh dari meja mereka bisa mendengar dengan jelas perkataan Anja, sontak menoleh pada keduanya, dan lagi-lagi tatapan keberatan mereka berikan pada Dira.

Santer berita itu merebak di sekolah. Baik siswa dan guru mendengar kabar itu. Sudah bisa dipastikan banyak gadis-gadis di barisan sakit hati.

Perjuangan mereka demi mengambil perhatian dan juga hati Anja, kini harus kandas ditikung Dira, si gadis beasiswa!

Dira berulang kali memastikan kalau perkataan Anja itu bukan main-main. Pria itu sedang tidak lagi mengerjainya. Dan berulang kali juga, Anja akan menjawab kalau dia serius.

Semua seperti mimpi bagi Dira, kini statusnya meningkat drastis menjadi kekasih pria yang paling diminati di sekolah Bhinneka. Sang pangeran yang berkuda besi.

Keduanya semakin menempel. Kemana selalu bersama. Anja bahkan menjemput Dira di simpang rumahnya setiap pagi agar mereka bisa pergi ke seolah bersama.

Coba tebak, hal manis apa yang dilakukan Anja? Pria itu memberikan helm Winnie the Pooh untuk Dira. Walau tokoh kartun yang disukai gadis itu Doraemon, tapi tidak mengapa, apapun pemberian Anja, Dira suka.

Cintanya pada pria itu semakin besar, dan niatnya untuk bisa kuliah bersama Anja membuatnya semakin giat bekerja part time.

"Tapi kamu juga harus jaga kesehatan mu," ucap Anja membelai rambut Dira saat mengantar gadis itu ke tempat kerjanya. Perhatian dan tutur kata yang lembut dari Anja membuat Dira benar-benar terbuai.

"Aku pasti baik-baik aja. Makasih ya, Ja udah ngantar aku," ucap Dira sebelumnya masuk ke dalam toko Roti.

Semua kegiatan mereka tentu saja diperhatikan oleh seseorang. Dia perlu memastikan kalau korban yang akan dia bidik tidak salah. Dan setelah melihat semua yang dipertontonkan keduanya, Mika Angelo, musuh bebuyutan Harianja, bisa memastikan kalau sarapannya sudah tidak salah lagi.

Setelah memasuki Anja pergi, Mika dengan langkah gontai masuk ke dalam cafe sekaligus toko roti tempat Dira bekerja.

"Selamat datang," sapanya menyambut tamu pertama cafe itu. Ini terlalu dini untuk menerima kedatangan tamu, tapi namanya rejeki, mana mungkin ditolak. Lagi pula bosnya akan memberikan bonus besar pada karyawan yang omzet penjualan besar, melewati range yang ditentukan.

Dira terkejut, ketika berdiri tepat di depan Mika. Dia sangat ingat pria itu. Wajah yang selama dua Minggu lebih ini dia khawatirkan. Bagaimana pria itu bisa berada di sana? Apa dia ingin mengucapkan terima kasih dan kata maaf karena sudah pergi dari rumahnya tanpa mengatakan terima kasih?

"Ka-u... Kau di sini?" tanya Dira gagap. Namun, gadis itu segera bisa menguasai diri.

Wajah datar Mika hanya diam mengamati Dira. "Lo pelayan di sini? Buatin gue satu capuccino!" ucapnya tidak bersahabat, lalu memilih duduk di salah satu kursi kosong.

Dira masih berdiri di tempatnya. Memandangi wajah Mika. Dira gak salah mengenali orang, benar itu pria yang sudah dia tolong. Tapi yang membuat dahi Dira masih berkerut, mengapa pria itu tidak mengenalinya?

"Sampai berapa jam lagi lo akan berdiri di sana? Begini pelayanan cafe ini? Panggil bos Lo!" hardik Mika kejam. Seketika wajah bingung Dira berganti dengan mimik wajah kesal.

Dia benci lihat gaya Mika yang sombong dan merendahkannya sebagai pelayan cafe ini. Dira tidak ingin terkena masalah oleh bosnya, segera memutar tubuh masuk ke dalam, tidak berapa lama lagi segera keluar membawa segelas kopi yang dipesan Mika.

"Kau tidak mengenali ku?" tanya Dira memeluk nampan setelah meletakkan gelas Mika. Dia masih penasaran terhadap Mika yang lupa pada dirinya. Dia bukan ingin mencari nama karena sudah membantu, bukan sama sekali! Tapi setidaknya, Mika harusnya mengucapkan terima kasih. Bukankah begitu etika dalam hidup?

"Apa hebatnya Lo harus gue kenali? Gue tahu siapa Lo! Anak miskin yang dapat beasiswa di sekolah elite?" cemooh nya dengan santai. Dira bahkan bisa melihat sudut bibir Mika tersenyum mengejeknya.

Dira akhirnya menyadari kalau Mika tidak mengenalinya. Tapi kenapa itu bisa tahu kalau dirinya adalah siswa di sekolah elite itu?

"Kau juga bersekolah di sana?" tanya Dira memastikan kalau Mika juga siswa sekolah elite itu, kalau tidak berarti dia penguntit.

Mika merasa tersinggung karena Dira tidak mengenalinya sebagai siswa di SMA Bhinneka. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenalinya. Biang kerok, murid buangan, penjahat sekolah, dan anggota mafia. Semua julukan ditujukan pada Mika, belum lagi sebagai ketua geng motor Black Davil .

Mika tidak menjawab, meletakkan selembar uang merah dia atas meja, lalu berdiri dari duduknya.

"Ini kembaliannya," ucap Dira berlari ke belakang meja kasir.

"Ambil buat Lo. Infaq buat Lo!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!