Pukul 09.10. Di ruangan dokter Ines, salah satu dokter yang melakukan rangkaian pemeriksaan padaku sejak tiga pekan lalu. Kami bertiga duduk saling berhadapan. Aku dan mas Fian, menghadap pada dokter Ines yang memegang hasil pemeriksaan ku. Dokter yang usianya sudah memasuki kepala lima namun berpenampilan lebih muda dari usianya itu terlihat menimbang-nimbang. Mungkin ia tahu, Kasihan padaku yang seorang yatim piatu ini. Tetapi aku masih tegar, siap dengan segala kemungkinan. Meski tak punya keluarga, tapi aku masih punya mas Fian. Kamu sudah berjanji akan menikah tahun depan.
"Bagaimana dok? Tolong katakan semuanya secara jelas." Pintaku, yang sudah tak sabar dengan hasilnya.
"Positif. Harus segera dilakukan operasi sebelum stadiumnya bertambah." kata dokter Ines, menatapku dengan tatapan iba. Pelan, ia menunjukkan beberapa kertas hasil pemeriksaan sambil menerangkan dengan sangat detail.
"Bagaimana dengan biayanya, dok?" tanyaku. Ini adalah salah satu hal yang paling membuat bingung. Sebagai seorang gadis yatim piatu, aku mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup. Saat ini ia hanya bekerja sebagai buruh kontrak di pabrik obat.
"Untuk masalah itu, silakan tanyakan pada bagian administrasi." dokter Ines menutup pembicaraan dengan senyuman agar aku tetap bersemangat.
Aku dan mas Fian berjalan keluar ruangan. Duniaku sebenarnya runtuh mengetahui kenyataan ini. Di usia sembilan belas tahun mengidap kanker otak stadium tiga. Padahal sebelumnya aku merasa baik-baik saja. Sehat, tak kurang satu apapun. Makanya aku bisa bekerja begitu keras siang dan malam.
Aku yang sedang melamun tiba-tiba tersadar ketika mas Fian tak lagi berjalan di sisiku. Ia menghentikan langkahnya hingga tertinggal dariku.
"Kenapa? Kok mas berhenti?" tanyaku. Netraku menatap Fian.
"Ris, maafin aku. Tapi sepertinya hubungan kita harus berakhir sampai di sini." ucap mas Fian. Meski pelan namun terdengar seperti suara petir yang menggelegar di telinga.
"Hah, kenapa?" Aku sampai kembali agar tak berjarak dengannya. Dalam keadaan seperti ini, aku tak mau bercanda sebab kondisi hatiku sedang tidak baik-baik saja. Ia adalah satu-satunya penyemangat dalam hidupku.
"Aku nggak bisa lagi menemani kamu. Semoga semua urusan kamu lancar ya Ris." Mas Fian berbalik arah.
"Tunggu dulu mas!" Aku mengejar langkah Fian. "Kenapa tiba-tiba bilang putus seperti ini? Apa karena aku sakit? Kan dokter sudah bilang, masih ada kemungkinan sembuh kalau aku dioperasi."
"Operasi? Kamu sadar tidak, biaya operasi itu tidak murah. Bisa ratusan juta. Padahal gaji kamu hanya dua jutaan sebulan, belum lagi harus dipotong biaya hidup. Bagaimana bisa kamu berharap untuk dioperasi? Siapa yang akan menanggung semuanya, Ris?" Ia sedikit berteriak hingga menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di koridor rumah sakit l.
"Astagfirullah ...." Aku benar-benar merasa tertampar oleh perkataan mas Fian. Rasanya tak menyangka, lelaki yang menyatakan cinta padaku lima tahun lalu bisa setega ini. Padahal dulu ia lah yang mengejar-ngejar, bahkan mengatakan sanggup melakukan apapun untukku. Tapi baru mendengarnya sakit seperti ini, mas Fian sudah menyerah, bahkan ia belum melakukan apapun untukku.
Lalu bagaimana dengan rencana yang akan menikah tahun depan? Apakah itu semua juga harus dibatalkan? Aku benar-benar lemas. Keputusan sepihak mas Fian untuk putus ini jauh lebih menyakitkan daripada pemberitahuan dokter bahwa aku sakit.
"Ris, aku tak mau munafik. Hidupku juga belum kokoh betul. Kamu tahu, kuliahku masih terbengkalai. Kerjaku juga serabutan. Jadi jangan berharap padaku!" ucap mas Fian. "Lagipula aku laki-laki biasa, bagaimana bisa hidup dengan perempuan penyakitan seperti kamu. Meskipun aku mencintai kamu, tapi juga harus logis. Aku juga ingin punya anak keturunan, Ris. Ingin juga istriku membantu perekonomianku nantinya, melayani aku dan keluargaku. Bukan hanya sekedar menumpang hidup padaku. Lagian kamu tahu, saat kamu sehat saja ibu sulit untuk memberi restu, apalagi kalau tahu kamu saling seperti sekarang. Kamu akan lebih merepotkan nantinya. Restu ibu tak akan pernah kamu dapatkan. Jadi, akhiri saja semua ini."
Kata-kata mas Fian lagi-lagi menamparku. Mulut ini rasanya terkunci, meski ada banyak kata yang ingin di lontarkan.
"Silakan lanjutkan kehidupanmu yang tak lama itu, Ris. Kamu bisa kembali ke panti atau rumah singgah. Semoga kamu bahagia!" ia kembali melangkah.
"Mas ... tunggu dulu!" Panggilku. "Maksudku, Fian Laksono. Baiklah, kita putus. Aku bersyukur akhirnya kamu mau berkata jujur, dari pada ogah-ogahan menemaniku. Terimakasih atas doa baikmu. Aku akan melanjutkan hidupku, menikmati setiap detik yang aku miliki dengan sangat baik.
Tapi kukatakan padamu. Mulai sekarang, jangan berpikir untuk kembali padaku lagi sebab aku tak akan menerima lelaki perhitungan yang tak punya hati sepertimu.
Menyesal aku tak mendengarkan kata-kata teman dan ibu panti yang mengatakan kamu tak tulus, hanya memanfaatkan aku saja.
Ingat, aku sudah membuktikan bahwa aku bisa bertahan sendiri tanpa bantuan mu. Kau tak lupa kan, justru selama lima tahun ini akulah yang selalu mensupport biaya hidup, kuliah, hingga keluargamu. Bahkan aku juga yang membantumu kredit motor.
Aku benar-benar menyesal berpacaran denganmu. Ahhh harusnya kudengar kata-kata ibu panti bahwa pacaran itu hanya membawa efek buruk saja dan kau adalah efek buruk bagiku. Mungkin karena itu aku sakit, sebab terlalu bekerja keras untuk kamu dan keluargamu. Tapi kamu tak menghargai itu. Sekarang, silakan pergi dan jangan pernah mengemis minta kembali lagi. Aku tak akan Sudi!" Aku memekik, sehingga membuat orang-orang yang lalu-lalang di rumah sakit memandang ke arah kami. Tapi meski mengundang perhatian aku tak peduli.
"Dasar perempuan sakit!" Fian cepat-cepat berlalu sebab ia malu jadi bahan tontonan orang-orang.
"Aghhhh, kenapa aku bisa terpancing seperti itu!" Aku menepuk pelan dadaku. Kenapa rasanya amat sesak. Benar yang dikatakan mas Fian, aku adalah seorang penyakitan yang tak lama lagi akan menemui ajalnya.
Aku benar-benar ingin menangis. Tapi tak ada seorangpun yang akan mendengarkan keluh kesahku. Sakit sekali rasanya menjadi seorang sebatang kara. Aku fikir mas Fian bisa jadi pengganti Keluarga, namun cintanya hanya sebatas itu.
Aku terlahir yatim piatu. Hingga usia tujuh belas tahun hidup di panti asuhan. Lalu melanjutkan hidup di kosan yang berada di kawasan Jakarta Selatan, tak jauh dari pabrik obat tempatku bekerja. Di sana aku hanya ada satu teman yaitu Tari, orang yang menentang hubungan ku dengan Fian sebab Tari selalu curiga pada Fian dan sekarang kecurigaan Tari terbukti. Sahabatku itu pasti akan membodoh-bodohi aku sebab kekeras kepalanya selama ini.
Sekarang, aku benar-benar merasa tak punya harapan lagi. Semua telah berakhir. Harapan untuk bahagia itu hanyalah fatamorgana. Tak benar-benar ada. Toh selama ini Tari juga selalu mengatakan bahwa Mas Fian tak benar-benar ingin menjadikan aku keluarga sebab ia saja selalu pamrih. Aku saja yang terlalu bodoh, percaya dengan mulut manisnya.
Aku yang semula ingin menangis segera bangkit. Berjalan menuju lift. Aku tahu, dibagian paling puncak gedung rumah sakit ini ada rooftop. Karena rumah sakit ini memang satu bagian dengan pabrik obat tempatku bekerja. Ada di lantai sepuluh. Di sanalah aku akan mendapatkan akhir dari cerita hidupnya.
Pintu lift terbuka. Aku segera memencet lantai sepuluh. Lantai paling atas rumah sakit. Setelah ini, mas Fian akan menyesalinya, sebab lelaki itu beberapa kali pernah mengatakan tak bisa hidup tanpa diriku.
"Kau akan menyesal mas Fian sebab sudah meninggalkan aku!" pintu Lift terbuka. Aku melanjutkan perjalanan, menaiki anak tangga hingga sampai di tempat yang ditujunya.
***
Angin bertiup agak kencang. Membuatku menggigil kedinginan. Makanya aku harus mendekap diri sendiri untuk menekan rasa dingin itu. Berdiri di pinggir. Menatap ke bawah. Tampak parkiran mobil hampir terisi penuh karena ini bertepatan dengan jam besuk. Lalu rasa gamang membuat merinding.
Sebulan lalu, aku merasa hidupnya benar-benar sempurna ketika akhirnya mas Fian melamar. Lelaki itu menghadiahkan cincin silver putih sebagai tanda bahwa kami sudah bertunangan. Aku yang yatim piatu benar-benar bersuka cita, bahkan kala itu aku sampai melonjak bahagia seperti mendapatkan hadiah berlian. Padahal hanya cincin silver biasa yang harganya bahkan tak sampai seratus ribu. Tapi kala itu, bahkan sampai sekarang pun aku gak peduli dengan harganya, yang membuatku bahagia akhirnya aku akan memiliki keluarga juga seperti orang-orang lain.
Tetapi semuanya sirna, sebab sakit yang diderita. Kanker di kepala ini sudah masuk stadium tiga. Mungkin bagi orang-orang masih ada harapan, itu juga yang ada dipikiran ku awalnya, tapi hilang setelah mas Fian bicara.
Pada siapa lagi aku dapat bergantung? Jika kondisinya benar-benar down nantinya, aku berharap mas Fian yang akan merawat sebab kami saling mencintai, tapi sebelum melakukannya, mas Fian sudah menolak mentah-mentah.
Sebenarnya yang membuatku semakin sedih adalah sikapnya yang tiba-tiba bertolak belakang dari biasanya yang selalu manis padaku. Mas Fian benar-bemar tega. Selama ini aku ikut berjuang untuknya tapi sekarang ia malah begini. Lagipula aku juga tahu diri, tak akan diam berpangku tangan selamanya, setelah sehat nantinya aku juga akan kembali bekerja karena memang dasarnya aku selalu berjuang sendiri untuk diriku. Menjadi anak yatim piatu membuatku harus kuat sejak dini.
"Selamat tinggal dunia. Aku akan menuju keabadian. Aku akan bertemu ayah dan ibu yang sudah lama aku rindukan di surga nanti. Setelah itu aku akan bahagia. Tak akan ada lagi rasa sakit, lelah dan juga ditinggalkan. Hidupku akan bahagia untuk selamanya." hembusan angin kembali membuatku kedinginan. "Bismillahirrahmanirrahim!"
"Hei, apa yang kau lakukan!" suara seseorang dari balik tembok.
Aku cepat-cepat mundur. kaget mendapati seseorang sedang berjalan ke arahku. Lelaki memakai jas dokter.
S. Pratama. Begitulah nama yang tertera di papan namanya.
"Si ... siapa kamu?" Tanyaku, takut-takut. Khawatir ia tahu niatanku dan akan menjadi masalah untukku. Padahal hanya ingin mati saja, kenapa harus ketahuan seperti ini.
"Harusnya aku yang bertanya. Siapa kamu?" lelaki itu balik bertanya.
"Rissa. Aku Rissa."
"Kamu mau bunuh diri? Kamu itu mikir nggak, kalau kamu mati bunuh diri di atas sini, maka tempat ini akan jadi salah satu tempat angker. Pertama-tama, akan banyak polisi, wartawan dan orang-orang kepo ke sini untuk memeriksakan atau sekedar ingin tahu lokasi rooftop ini.
Kalau apes, akan ada banyak orang yang mengikuti kangkahnu. Bunuh diri dari sini. Kau tahu ujungnya. Orang-orang yang mengaku bisa melihat makhluk halus akan membuat konten-konten di sini. Lagi-lagi semakin banyak yang keluar masuk seenaknya.
Tau apa artinya? Tempat ini tak akan senyaman ini lagi. Akan jadi bising oleh orang-orang yang entah pikirannya seperti apa, tapi yang jelas bising dan mengganggu untukku. Aku tak akan bisa lagi istirahat atau sekedar tidur siang di sini padahal kau tahu, aku benar-benar lelah!"
"I ... iya. Aku paham. Maaf,"
"Lagian, apa kamu bilang tadi. Bunuh diri terus masuk surga? Hahaha." lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal. Membuatku kesal. Seolah diejek meski yang ia katakan benar. Mana ada orang mati bunuh diri langsung masuk surga! "Kamu nggak belajar agama? Pantas pikirannya pendek. Ada masalah sedikit mau bunuh diri. Ckckckck. Tak adakah yang memberimu nasihat kalau bunuh diri itu adalah salah satu dosa besar!"
"Masalah sedikit? Hei, apa menurutmu, kanker hanya sebuah masalah kecil? Apalagi pengidapnya adalah seorang miskin yang terlahir yatim piatu. Apesnya lagi dia nggak punya siapa-siapa untuk bertahan hidup selain dirinya sendiri." tukasku. "Oh ya, satu lagi, ia baru diputusin pacarnya. Paham!"
"Ckckck, aku baru saja mau bersimpati. Tapi tak jadi. Kau memang kurang iman. Tidak punya pegangan agama."
"Apa maksudmu bicara seperti itu?"
"Orang yang tahu agama, seberat apapun masalahnya, nggak akan berpikiran untuk bunuh diri. Itu bukan solusi terbaik. Apalagi berpikir akan berkumpul kembali di surga? Kamu bercanda? Mana ada orang yang mati bunuh diri masuk surga? Ngawur! Di tambah satu lagi, pacaran! Oh no! Kamu mau mati bunuh diri hanya gara-gara ditinggal pacar? Sempit sekali jalan pikirannya. Laki-laki bukan hanya dia saja. Harusnya kamu bangkit, buktikan bahwa kamu berharga. Kalau dia bisa mencampakkan kamu apalagi karena alasan kamu sakit, kenapa kamu tak bisa melakukan hal yang sama sepertinya? Buktikan kalau kamu juga bisa hidupnya tanpanya! Ayolah girl, jangan berpikiran sempit. Hei, atau jangan-jangan kamu ....?"
"Apa?"
"Iya kan?"
"Astagfirullah! Hei, jangan menuduh seenaknya. Itu namanya fitnah. Aku dan dia belum pernah melakukan hal-hal terlarang. Bahkan jalan bareng bisa dihitung jari karena kami sibuk kerja untuk masa depan. Aku bekerja dari Senin sampai Sabtu di pabrik dari pagi sampai malam. Jarang sekali aku tak mengambil lembur. Pada akhir pekan kugunakan untuk bekerja tambahan. Bagaimana bisa kau menuduhku serendah itu padahal kau tak kenal aku. Jahat sekali!"
"Ya baguslah. Kalau begitu kamu nggak perlu terlalu down dong."
"Tetap saja. Kamu tak akan tahu bagaimana takutnya aku. Sudah tak ada lagi yang bisa aku andalkan."
"Tapi kamu masih punya Tuhan. Berharap pada manusia hanya akan kecewa, berbeda dengan berharap pada Tuhan."
Aku diam sesaat. Mencoba mencerna perkataan lelaki di hadapanku. Benar juga, kenapa aku bisa sependek itu berpikirnya. Apalagi sampai berharap mas Fian akan frustasi karena aku bunuh diri. Yang ada lelaki itu akan cuek saja. Malah tak peduli juga aku mau melakukan apa.
"Terimakasih dok." kataku. Sambil membungkukkan sedikit badan sebagai penghormatan.
"Untuk apa?" tanya lelaki tersebut.
"Sudah menghalangi saya bunuh diri dan memberi motivasi. Sekarang pikiran saya sudah terbuka dan saya tak akan melakukan hal bodoh itu lagi." Aku berjanji padanya.
"Hm," ia terlihat acuh.
"Tapi ngomong-ngomong, rumah sakit semewah ini kenapa tak menyediakan tempat beristirahat untuk karyawannya? Biasanya kan di rumah sakit lain ada kamar khusus dokter dan perawat. Aku yang buruh saja punya tempat istirahat di gudang."
"Siapa bilang kami tidak punya?"
"Lalu kenapa Anda tidur di sini? Seperti tidak punya tempat saja."
Lelaki itu diam. Memandang dengan dinginnya. Tatapan itu membuat aku tak bisa berkata-kata.
"Eh, aku pamit dulu. Sekali lagi terimakasih ya dok!" Aku buru-buru keluar dari rooftop setelah melambaikan tangan pada dokter muda yang menurutku sangat tampan sekali. "Dokter S Pratama. Aku berhutang Budi padamu." ujarku.
***
Langkah kakiku terhenti di depan kosan lantai dua ketika seseorang memanggil. Bu Yana, ia adalah ibu pemilik kosan ini. Perempuan paruh baya itu mengingatkan tentang bayaran kosan yang sudah menunggak tiga bulan. Sebenarnya aku sangat beruntung bisa tinggal di sini meski sudah nunggak tiga bulan. Bu Yana juga tak pernah marah, ia mengingatkan dengan cara sopan dan sangat sabar. Bahkan meski aku selalu nunggak, ia masih tetap baik padaku.
"Maaf ya Ris, tapi ibu katakan padamu, anggap saja ini nasihat dari seorang ibu untuk anak perempuannya. Kamu itu kan bekerja, harusnya uang penghasilan kamu dinikmati sendiri karena memang kamu tak punya tanggungan lain selain diri sendiri. Jangan diberi ke pacar terus menerus hingga kamu kekurangan." Nasihat Bu Yana saat ku katakan masih belum punya uangnya sebab mas Fian belum membayar hutang-hutangnya. Padahal sebelumnya aku sudah menjanjikan.
Awal bulan saat gajian, rencananya aku akan membayar tunggakan kosan karena kebetulan lemburanku sudah turun. Tapi mas Fian meminjamnya karena di rumah sudah tak ada uang pegangan. Ibunya tak bekerja selama dua pekan ini karena sakit. Mas Fian juga memberi angin surga, mengharapkan dengan pinjaman dana dariku maka hati ibunya akan luluh dan merestui hubungan kami.
Bu Upi, ibu kandungnya mas Fian memang tak merestui hubungan kami sebab aku bukan anak kuliahan. Aku hanya lulusan SMA. Sementara anaknya, mas Fian adalah seorang mahasiswa. Sekarang sudah masuk tahun ketujuh dan kalau tidak lulus juga tahun ini makanya ia akan di DO.
Aku yang kala itu memang benar -benar berharap restu akhirnya memberikan semua uang gaji dan lemburan. Hanya tersisa lima ratus ribu untuk uang makan. Namun sekarang hubungan kami sudah kandas. Jangankan restu dari orang tuanya, anaknya pun sekarang sudah tak menginginkan aku.
"Jangan tersinggung ya Ris. Ini demi kebaikan kami. Rissa itu anak yang baik tapi jangan mau dimanfaatkan. Kamu enggak wajib menanggung beban hidup orang lain kan belum ada hubungan apa-apa. Kalau sebatas pacaran mah belum ada ikatan. Kapanpun bisa putus. Yang rugi nanti malah kamu sendiri." Kata Bu Yana lagi.
"Ya Bu, enggak akan lagi. Kami sudah putus." Kataku dengan suara pelan.
"Oh, maaf ya Ris. Udah jangan sedih lagi. Kamu itu cantik, banget malahan. Mudah kok dapat pengganti. InshaAllah. Yang penting tetap jadi anak baik. Apa mau ibu kenalkan dengan seseorang yang insha Allah lebih baik dari si pemuda parasit itu?" Kata Bu Yana yang memang memberi julukan mas Fian pemuda parasit karena ia selalu numpang seperti parasit yang menghisap inangnya yaitu aku.
"Nggak usah repot-repot Bu, saya mau menata hati dulu." Kataku, yang paham kemana arah pembicaraan Bu Yana.
Sejak awal ngekos di sini, Bu Yana secara terang-terangan menyatakan kekagumannya padaku. Entah dari bagian apa ia bisa menyenangi aku hingga selalu mengoceh ingin menjodohkan anaknya, mas Anas, yang saat ini baru lulus kuliah denganku. Hal itu juga yang membuat Bu Yana selalu bersikap baik dan mentolerir jika aku terlambat membayar uang kosan. Bu Yana juga selalu jutek kalau mas Fian datsng ngapel ke kosan. Ada saja sindiran yang ia lontarkan. Mas Fian sebenarnya sampai merasa tak nyaman namun aku belum mau pindah lantaran tak yakin bisa mendapatkan ibu kos sebaik Bu Yana.
"Bu, maaf, saya izin masuk dulu ya." Kataku. "InshaAllah besok saya ke pabrik mau ngajuin kasbon supaya bisa melunasi tunggakan kosan." Kataku.
"Eh nggak usah nyari hutangan di tempat lain. Rissa tagih saja sama si parasit itu. Atau kalau butuh bantuan biar ibu ikut bantu nagih. Ibu juga sudah gemas sekali sama itu anak. Bagaimana?" Tawar Bu Yana.
"Ya Bu, nanti kalau sudah baik-baik saja akan saya tagih sendiri." Kataku.
Tak mau bicara panjang lebar yang berujung pada ghibahin mas Fian, aku pamit ke kamar. Naik ke lantai dua, menuju kamar paling ujung. Kamarku. Kamar yang ukurannya tak terlalu besar namun cukup nyaman karena selama dua tahun ini aku tinggal di sini.
Masuk ke dalam kamar, pintunya ku tutup tanpa di kunci. Aku meletakkan tas secara sembarangan, lalu duduk di atas kasur tipis bekas punya Tari, sahabatku yang tinggal di kamar sebelah.
Kenapa nasibku begini tragis. Aku tak sanggup lagi untuk tak menangis. Meratapi ujian yang Allah berikan padaku. Seumur hidup apakah memang harus selalu sendiri. Tanpa siapapun yang bisa menemaniku. Kalau sehat-sehat saja mungkin aku masih bisa tegar, namun jika nanti sakit bagaimana?
Semalam aku menyempatkan diri membaca artikel tentang kanker. Bagaimana rasa sakitnya, akibatnya serta pengobatannya. Butuh biaya yang sangat banyak. Kalau tidak berobat maka sel kankernya akan menjalar dengan sangat cepat. Lalu bagaimana ini? Apa aku harus pasrah saja, merasakan sakit hingga akhirnya malaikat maut mencabut nyawaku? Tapi apa sanggup sementara menahan sakit perut saja kadang aku tak sanggup makanya kalau menjelang haid selalu izin karena tak sanggup.
Lalu bagaimana dengan biaya hidupku kalau aku sakit nanti? Siapa yang akan menanggung makanku? Apa aku masih tetap boleh tinggal di sini meski nantinya penyakitan, jelas-jelas tak akan mampu membayar biaya kosan. Tangisku semakin menjadi -jadi, tak tahu lagi harus bagaimana.
"Tuhan ... apa maksud dari semua ini? Kenapa rasanya rumit sekali? Saat ini aku gak punya siapa-siapa. Lalu aku harus bagaimana? Apa menerima takdir diam di sini hingga tak ada? Ya Allah ... apa itu bukan bagian dari bunuh diri?" Aku kembali menangis, meraung-raung sambil berbaring karena tak sanggup membayangkan betapa menyedihkan hidupku nantinya. Aku akan hidup di bawah belas kasih orang lain. Kalau tak ada yang kasihan maka semuanya benar-benar berakhir. Menjadi manusia yang terbuang bahkan mungkin akan hidup di jalanan seperti gelandangan yang sering terlihat di pinggiran Ibukota. Ya Allah ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!