Bukan Salahku, Indahnya Reuni
Oleh Sept
Menjadi tidak menarik setelah menikah, karena sibuk mengurus anak dan rumah, bukan menjadi alasan suami mencari hiburan di luar rumah.
Tari memang tidak secantik dulu saat masih remaja, tubuhnya juga sudah mulai berisi. Wajahnya yang dulu glowing perlahan kusam karena kurang perawatan.
Cara berpakaian Tari pun berubah drastis, setelah punya anak, dia lebih suka pakai baju yang simpel daripada modis dan fashionable.
Hal inilah yang membuat suaminya mulai cerewet dan protes. Kurang inilah, kurang itulah, seolah wanita yang dulu tampak indah dan sempurna di matanya, kini sama sekali tidak menarik.
"Tar, lain kali pakailah baju yang sedikit bagus. Aku malu pada mereka," cetus Dewa tanpa ragu.
Ucapan laki-laki beralis tebal itu cukup membuat jantung sang istri terkejut. Apa ada yang salah dengan pakaiannya? Bajunya bersih, wangi, dan warnanya tidak pudar. Memang sejak suaminya jadi manager, Tari merasa suaminya itu banyak berubah. Sudah mulai mengeluarkan gelagat aneh-aneh. Sering protes dan komplen.
Dewa mulai sering komplen ini dan itu, dari masalah kecil seperti menu masakan yang itu-itu saja, sampai komentar pakaian Tari yang mungkin kurang bagus di mata sang suami. Maklum, mungkin karena Dewa gaulnya dengan para wanita-wanita modis, wangi, muda dan cantik di luar sana.
"Malu? Kenapa Mas harus malu? Baju ini masih layak kok." Tari menatap suaminya. Membantah pendapat suaminya itu.
Sadewa Hartanto, seorang manager di perusahaan besar di ibu kota. Dia adalah sosok suami idaman sebelumnya.
Malam ini, mereka berdua selesai menghadiri jamuan makan malam. Banyak sekali rekan kerja Dewa yang hadir bersama dengan para istri atau anak mereka. Tadi, Dewa mengajak Tari. Membawa istrinya dan sedikit miris saat melihat istrinya jika dibandingkan dengan istri rekan kerjanya yang lain.
Sementara putri semata wayang mereka ditinggalkan di rumah ibunya Dewa. Karena pasti rewel kalau ikut acara yang sedikit formal tersebut.
Kini Dewa menatap wujud istrinya dari atas sampai bawah, spek bidadari yang dulu melekat pada diri Tari, seketika berbanding terbalik sekarang ini.
"Jangan membuat mereka berpikir aku tidak memberimu uang," celetuk Dewa lagi. Sepertinya dia menuntut agar Tari memakai pakaian yang fashionable, mirip seperti istri-istri rekan kerjanya.
Mendengar keluhan Dewa, Tari pun hanya diam saja. Mendengarkan tiap kata yang keluar dari bibir suaminya itu. Sosok laki-laki yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga delapan tahun bersamanya.
"Lalu kapan kita jemput Ibel?" tanya Tari, ia sengaja mengalihkan perhatian Dewa. Ia lakukan agar suaminya tidak fokus marah-marah tidak jelas karena perkara sepele. Ya, bagi Tari penampilan bukan segalanya sekarang.
Dewa pun membuang napas. "Besok saja, buatkan aku kopi sekarang," ucap Dewa.
Wanita 30 tahun itu pun menatap suaminya. Mereka hanya selisih 3 tahun. Perkenalan singkat mereka langsung membawa mereka ke jenjang yang lebih serius. Selang 5 bulan semenjak berkenalan, mereka memutuskan lamaran dan bulan berikutnya menikah.
Waktu itu Tari masih sangat cantik, saat mereka berkenalan Tari adalah gadis paling cantik dan paling diidolakan di kampus. Bahkan ada dosen yang sempat PDKT dengan Tari, tapi rasa nyaman justru hadir dari orang yang baru ditemuinya. Dari orang asing yang langsung klik di hati.
Dulu Dewa sangat humble, humoris, ramah, penyayang, setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa adem, sekarang sikapnya sedikit berubah setelah mereka menikah. Apalagi kalau mendekati akhir bulan dan banyak pekerjaan di kantor, Dewa akan sering emosian saat di rumah.
Saat ini keduanya sedang menjalani kehidupan rumah tangga dengan orang yang sama, tapi sifat yang sudah mulai berubah. Seiring berjalannya waktu, bukan cuma sikap, tapi fisik pun berubah.
Tari dulu memiliki tinggi badan 165 cm, dan berat badan sangat ideal di jamannya. Sekarang jarum timbangan sering geser ke kanan. Terhitung saat hamil dan setelah melahirkan, body Tari sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak yahut lagi, gitar Spanyol yang dielu-elukan telah lewat. Wajah putih nan glowing sudah mulai dihiasi jerawat dan kerutan tanda penuaan dini. Mungkin karena banyak menahan tekanan batin dari segala arah, dan punya suami yang mulai sering mengerutuinya.
Tari kelihatan tidak glowing lagi juga bukan karena Tari tidak pandai merawat diri, hanya saja waktunya habis untuk fokus mengurus Ibel, balita super aktif yang kini ada di rumah mertuanya.
Sebenarnya tidak hanya masalah suami dan anak, ada masalah lain yang menjadikan sumber tekanan batin Tari selama ini, kadang mertua dan ipar komentar ini dan itu, lengkap sudah rasanya. Nano-nano tidak terkira. Dia pikir, menikah dengan Dewa adalah pilihan tepat, ternyata malah menyisihkan sedikit rasa stres hingga lari ke makan, ngemil dan akhirnya BB Tari tidak terbendung lagi. Tidak terkontrol dan jika diet, hasilnya selalu menyerah sebelum berhasil.
***
Pagi harinya, saat matahari belum tinggi. Dan hawanya masih sejuk. Dewa sudah duduk di balik kemudi, dia menekan klakson berkali-kali agar istrinya keluar. Wajahnya gusar, tidak sabar menunggu Tari yang tidak keluar-keluar dari rumah. Dan begitu melihat Tari membuka pintu, Dewa langsung membuka kaca mobilnya.
"Lama sekali?" cetus Dewa. Laki-laki yang dulu menatapnya penuh cinta, kini terlihat masam dan wajahnya ditekuk seperti cucian kusut.
"Meriksa dapur dulu, Mas. Takut ada kompor yang menyala. Sekalian bawa ganti Ibel. Tadi ibu telpon, suruh bawa ganti baju untuk Ibel," tutur Tari menjabarkan alasannya.
Tidak suka mendengar alasan, Dewa langsung memalingkan muka dan menyalakan mesin mobil.
Mobil warna putih itu pun melaju meninggalkan kediaman Dewa, masuk ke jalan utama dan kecepatannya pun mulai bertambah.
***
Tidak lama berselang, kurang dari setengah jam, mereka pun tiba di kediaman keluarga besar Dewa. Rumahnya lumayan besar, dan halaman pun luas. Cukup menampung beberapa mobil parkir di dalam sana. Dan ketikan Dewa turun dari mobil, Ibel si balita super aktif itu langsung lari merentangkan tangan ke arah Dewa. Kaki kecilnya lari menuju mobil yang sudah parkir.
"Papaa."
Dengan sayang, Dewa langsung meraih Ibel. Anak kecil yang sangat mirip dengannya itu. Jika di depan anak mereka, Dewa seperti menjelma jadi Malaikat. Sikapnya sangat berubah.
Wajahnya berubah ramah, padahal sejak tadi ngomel-ngomel di rumah. Agak ketus di depan Tari. Begitulah Dewa, terlepas dari sifatnya yang mulai menjengkelkan di depan sang istri, kalau di depan Ibel, Dewa selalu jadi sosok ayah idaman.
Tidak mungkin hanya diam saja, Tari pun masuk ke dalam rumah, tidak lupa sambil membawa tas pakaian milik Ibel. Serta buah segar yang sebelumnya sudah dia beli untuk oleh-oleh. Gak enak titip anak tapi gak bawa apa-apa.
"Bawa apa, Mbak Tari?" tanya Rani, adik ipar Tari yang masih tinggal dengan mertua Tari. Rani basa-basi saat melihat iparnya datang.
Rani sudah menikah tahun lalu, tapi belum punya anak. Dan Rani paling suka kalau Ibel dititipkan di sana. Ibel yang merupakan cucu pertama, sudah mirip primadona di keluarga Hartanto. Apalagi anak Tari tersebut sangat cantik, meskipun sangat aktif dan cukup melelehkan saat menjaganya.
"Kok repot-repot," ucap sang mertua saat melihat Tari datang dengan menenteng barang-barang.
Tari membalas dengan senyum kemudian meletakkan barang yang dia bawa. Oleh-oleh di atas meja, sedangkan baju ganti dia letakkan di kamar.
Sampai sejauh ini, semuanya kelihatan normal. Mereka ngobrol santai dan kelihatan tidak ada masalah. Sampai ketika Tari ke dapur. Dan mertua serta iparnya mulai bisik-bisik di belakangnya.
"Istrimu suruh diet. Anak baru satu tapi badannya sudah melar begitu," gumam sang ibu. Pelan-pelan, takut Tari dengar.
Dewa yang sedang duduk dan memegangi tangan Ibel, hanya tersenyum tipis.
"Usianya lebih muda dari Rani. Tapi sudah mirip tantenya Rani," keluh ibunya lagi. Memang tidak sekali dua kali sang mertua membicarakan Tari di belakang. Hal itu membuat Dewa tambah tidak nyaman.
Sementara Rani, dia ikut nimbrung. Ikut menjelekkan Tari di depan kakak dan ibunya.
Sampai akhirnya, Tari diam di belakang mereka. Berdiri di balik tirai, sambil memegang gelas berisi jus jeruk untuk Ibel. Ya, dia sudah tahu sejak dulu, kalau mertua dan iparnya kurang respect. Di depan pura-pura baik. Namun, di belakang Tari, sering kali membicarakan hal-hal negatif tentangnya.
Tari menghela napas berat lalu berjalan melangkah dengan memaksa wajahnya agar kelihatan biasa saja.
"Ibel sayang, ini jusnya," ucap Tari. Dan orang-orang yang semula membicarakan dirinya seketika diam. Ibel yang hiperaktif, dia langsung mendekat. Kemudian duduk di sofa sambil bersandar pada tubuh Dewa.
Sekilas semuanya kelihatan baik-baik saja, tapi hati masing-masing di ruangan itu, saling berkecamuk. Saling sindir, bermuka manis meskipun dalam hati saling merutuk.
***
Beberapa bulan kemudian.
Tari mulai banyak alasan saat diajak ke rumah mertuanya, kadang pura-pura sakit kepala, atau ada saja alasannya. Ini semua ia lakukan untuk menjaga kewarasan.
Bertemu mertua dan ipar, hanya membuat Tari tertekan. Sampai suatu hari, Dewa mulai curiga.
"Kamu kenapa jarang main ke tempat ibu? Bukannya di rumah gak ada kerjaan? Main sana sama Ibel," kata Dewa yang habis mandi.
Pria itu kemudian meletakkan handuk di atas tempat tidur, lalu berdiri di depan cermin sambil memakai parfum.
Tari menatap handuk dan beralih menatap suaminya. Makin tambah umur, suaminya memang makin berkarisma. Meskipun kadang kata-katanya sering menjengkelkan.
"Ya, minggu depan aku ke sana, Mas."
"Nah, begitu! Lagian di rumah juga gak ngapa-ngapain, kan?" tegas Dewa.
Tari tersenyum kecut. Hanya karena IRT, dia dikatakan tidak melakukan apapun di rumah. Hanya karena tidak bekerja, seolah dipandang sebelah mata. Padahal yang melarang kerja juga suaminya itu.
Percuma ijazah sarjana yang dia miliki, kalau boleh milih, Tari juga lebih suka kerja. Ia pun membayangkan sendiri, andai dia kerja mungkin hidupnya tidak boring seperti ini.
Dengan lesu Tari mengambil handuk basah, selalu begitu. Selesai mandi sang suami meletakkan handuknya dengan sembarangan.
Belum lagi harus merapikan rumah yang seperti kapal pecah karena punya balita. Selesai menidurkan si kecil, Tari pun ke dapur. Sebelum tidur, dia pun mencuci semua piring kotor. Segala pekerjaan rumah yang tiada habisnya, ia kerjakan sendiri. Dan kata suaminya, di rumah dia hanya menganggur saja.
***
Hari semakin gelap, sudah pukul 10 malam. Tiba-tiba ada WA masuk di ponsel Tari yang sedang di cas. Rupanya dari teman satu grupnya dulu.
[Tari, apa kabar? Lama tidak terdengar kabarnya. Aku baru dapat kontak baru kamu dari temen-temen. Aku cuma mau kasih kabar selaku panitianya. Minggu depan ada Reuni Akbar. Kamu wajib hadir, BTW ... Pak Hendra bakal datang loh, pasti lucu banget. Dulu beliau kan ngejar-ngejar kamu. Jangan lupa ya. Wajib hadir, kamu kan dulu maskotnya]
Tari membaca pesan WA sambil tersenyum simpul. Lalu menoleh ke belakang. Suaminya masih sibuk di laptop.
"Mas, boleh aku datang ke reuni?" tanya Tari.
"Hemm," jawab Dewa yang sepertinya cuek.
Wanita itu pun mengatupkan bibir. Kemudian membuka lemari, kira-kira besok pakai baju apa? Entahlah, ia mulai excited. Mungkin karena jenuh dengan aktifitas sehari-hari.
***
Bermula dari sini, dari sebuah Reuni yang membuat hidup Tari perlahan mulai berubah. Di sebuah cafe yang lumayan besar dan sudah di booking untuk acara Reuni Akbar.
Tari duduk bersama teman satu gengnya dulu. Dia datang sendiri, Ibel di tempat mertuanya. Sebelum datang ke acara reuni, Tari memang ke rumah mertua dulu. Karena sudah janji akan ke sana. Tidak enak juga, mereka beberapa kali menanyakan Ibel. Katanya sih kangen dengan cucu semata wayang mereka tersebut.
Kini, di tempat Reuni, Tari tidak lagi seperti dulu. Di mana hampir semua mata tertuju padanya. Yang ada sekarang malah terlihat beberapa teman seangkatan Tari sedang kasak-kusuk, seperti membicarakannya di belakang.
"Padahal dulu cantik banget, sekarang malah mending gue ke mana-mana," gumam salah satu teman seangkatan Tari.
Yang lain pun ikut mengomentari.
"Padahal suaminya manager loh," bisik yang lain.
"Bisa jadi dia bahagia, makanya badannya subur," celetuk teman lainnya lagi tapi dengan wajah yang mengejek.
Body merek-merek memang bagus, masih langsing. Wajah pun tertolong karena skincare mahal. Tapi tidak sepatutnya mereka menilai orang hanya dari luar saja.
Sampai akhirnya, sosok pria berkemeja putih dengan lengan yang dilipat sampai siku masuk. Semua tertuju pada sosok pria penuh kharismatik tersebut.
Sosok lelaki yang memiliki postur tubuh tinggi dan proporsional itu tiba-tiba menarik kursi dan duduk di sebelah Tari, lalu bersambung.
Fb Sept September
Ig Sept_September2020
Jangan lupa like, vote, komen ya. Agar Sept tambah semangat. Terima kasih banyak bestii.
Bukan Salahku, Indahnya Reuni Bagian 2
Oleh Sept
"Apa kabar?" Pria itu langsung duduk tanpa permisi. Wajahnya tampan, rambutnya tersisir rapi, dan kelihatan klimis. Aroma parfumnya pun lembut, wangi tapi soft.
Sementara itu, Tari jelas kaget. Kehadiaran lelaki tersebut dan suaranya itu membuat Tari terkesiap. Tari kemudian mendongak menatap sosok pria matang, tampan dan wangi tersebut. Familiar.
"Baik, kamu apa kabar?" tanya Tari basa-basi saat sudah menguasai keadaan.
Sejenak dia kaget, sebab tiba-tiba lelaki tersebut duduk di dekatnya. Padahal banyak kursi yang masih kosong, dan lagi banyak pula teman-teman yang lain yang kelihatan good looking, tidak seperti dirinya.
Kembali ke sosok laki-laki tampan itu. Pria tersebut hanya tersenyum tipis, kemudian meraih botol air mineral yang ada di tengah meja.
"Boleh? Aku haus," tanya pria itu.
Tari dan teman-temannya langsung mengangguk dan menjawab serempak.
"Boleh ... boleh silahkan."
Mereka kemudian kembali basa-basi, tapi pandangan lelaki tersebut, sesekali terarah pada Tari yang salting karena dilihat terus. Bagaimana pun juga Tari adalah perempuan, dilihat pria tampan lama-lama juga grogi sendiri, nervous juga.
"Dia itu kenapa lihat aku terus? Apa heran ya? Aku dulu langsing, sekarang agak berisi," pikir Tari yang merasa salah tingkah ditatap oleh pria tersebut.
"Kerja di mana sekarang?" tanya pria wangi itu. Yang pasti membuat Tari kembali kaget.
"Aku?" tanya Tari, karena mungkin yang ditanya adalah teman-temannya yang lain.
"Ya iya kamu, Tari ... siapa lagi. Kan dari tadi lihat ke kamu," celetuk teman Tari dengan nada bercanda. Mereka terkekeh sambil curi-curi pandang pada sosok pria tampan itu.
Pria tersebut hanya tersenyum tipis, menatap Tari. Sebenarnya Tari masih sama. Cuma agak gemukan, agak berisi dan cubby. Kalau untuk wajahnya, beberapa kali perawatan eklusif pasti juga kembali glowing seperti saat muda dulu. Karena dasarnya Tari memang cantik. Tidak peduli sudah beberapa tahun berlalu, wajah Tari tetap cantik di mata pria itu.
"Aku gak kerja, cuma di rumah ngurus anak," ucap Tari kemudian yang membuat satu meja langsung hening. Ya, Tari memang 100 persen IRT. Lain dengan teman-temannya yang kebayangkan wanita karir.
"Jadi kamu gak kerja? Sayang dong ijazah kamu. Padahal kamu nilainya paling bagus, otaknya paling encer di antara kita-kita," timpal teman Tari. Mereka merasa heran, Tari menyia-nyiakan ijazahnya.
Terdengar seperti pujian, tapi bagi Tari itu seperti sindiran halus.
"Suamiku mau aku fokus ngurus anak," ucap Tari kemudian. Tari mencoba mengalihkan perhatian, karena topik itu baginya membuat Tari tak nyaman.
"Aku juga punya anak, tapi aku punya babysitter, jadi aku bisa bebas kerja. Lagian enak Tari, bisa pegang duit sendiri. Mau liburan ke luar negri pun gak harus debat ini itulah. Apalagi kalau ada tas edisi terbaru, bisa beli pakai uang sendiri itu, puasnya beda banget," kata teman Tari dengan bersemangat.
Sementara wajah tari terlihat hambar. Sebenarnya dia juga mau kerja. Toh selama ini suaminya selalu memandang rendah dirinya. Uang yang diberikan oleh Dewa tidak pernah kurang, tapi benar kata temannya. Kalau kerja, dia akan bebas membeli ini itu tanpa banyak drama.
"Kalau butuh kerjaan, hubungi aku!" Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan dompet dan memberikan kartu nama pada Tari. Teman-teman Tari langsung cekikikan. Melihat kedua orang itu. Dalam hati pada kasak-kusuk.
"Gila si Rio, istri orang main PDKT aja. Kaya gak ada perempuan lain. Mana Tari udah tambah subur gitu. Astaga, harus pakai kacamata tuh," gumam teman Tari yang merasa iri.
"Apa Rio rabun ya?" gumam teman yang lain dalam hati.
"Pakai jampi-jampi apa itu si Tari? Sampai laki-laki ini natap dia terus?"
Terlalu banyak teman yang iri, tapi bibir mereka tersenyum ramah. Benar-benar sekumpulan orang-orang yang munafik. Lain di bibir dan lain pula di hati.
Bagi mereka mungkin Tari tidak level dengan Rio. Melihat Rio yang sangat perfeksionis, sempurna dan tidak ada cela. Sedangkan Tari, dari penampilan saja sudah mirip remahan roti di sudut kaleng konghuan.
Bagai langit dan bumi, semua orang seperti tidak suka interaksi antata Rio dan Tari.
Bagi sebagian mereka mungkin belum tahu, bahwa Rio adalah pria mapan dan tampan saat ini, dan dulu sempat naksir Tari diam-diam. Cinta yang tidak kesampaian karena tidak diucapkannya.
Kini Rio datang kembali, tapi semuanya sudah terlambat. Tari sudah menikah bahkan sudah punya anak. Apakah Rio mau merusak rumah tangga orang?
***
Acara mulai berlangsung, dan Tari pergi ke menjauh karena ada telpon. Ibunya yang tinggal di beda kota menghubungi Tari tiba-tiba.
"Ya, Bu."
"Tari, maaf Ibu mau repotin sedikit."
"Iya, Bu. Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Tari di telpon.
"Emm ... itu. Maaf, kalau gak butuh Ibu pasti gak telpon kamu."
"Ada apa, Bu? Jangan buat Tari penasaran."
Dari sambungan telepon, terdengar ibunya menghela napas dalam-dalam.
"Ibu pinjam duit, ada?"
Tari langsung memejamkan mata. Kalaupun tidak ada, pasti Tari akan usahakan. Inilah susahnya kalau tidak kerja, bakalan tidak bisa loss bantu orang tua.
"Berapa?"
"10 juta saja."
"Buat apa, Bu?" tanya Tari spontan.
Bukan masalah nominal, masalah baru bulan kemarin Tari transfer 5 juta. Itu pun dari tabungan Tari sendiri. Sisa dia menyisihkan uang pemberian Dewa.
"Ibu ada urusan, kalau bisa, besok ya?"
Tari pun menyandarkan kepalanya di tembok. Matanya menatap jauh ke arah teman-temannya yang berseda gurau.
"Ya, besok siang ya, Bu."
"Makasih banyak, Tari. Secepatnya Ibu balikin."
"Heem."
Sudah lagu lama, dan Tari tahu pasti tidak dibalikin. Tapi Tari ikhlas, dia tidak pernah menagih. Sebab, jasa sewa rahim ibunya selama 9 bulan tidak ternilai oleh uang.
Usia mengakhiri panggilan dari ibunya, tari kemudian melihat HP lagi. Membuka aplikasi mobile banking.
Ia melihat sisa saldo yang tertera. Masih cukup, masih ada, tapi itu jatah Sufor, popok, dan keperluan rumah.
Ada juga di rekening satunya, dan itu memang khusus tabungan untuk masa depan anak mereka. Tari galau, dan mulai kepikiran. Apakah ia harus kerja lagi?
"Tari ..."
Kaget namanya dipanggil, Tari langsung menoleh.
"Ya."
"Kenapa tidak gabung bersama mereka?"
Tari hanya tersenyum, kemudian hendak berjalan menuju teman-temannya.
"Tari ...!" panggil laki-laki itu.
"Ada apa? Ayo ke sana bersama yang lainnya. Gak enak, nanti dicari," kata Tari. Namun, tiba-tiba saja pria itu memegang tangannya, membuat Tari kaget dan refleks menarik tangannya kembali.
Bukan Salahku, Indahnya Reuni Bagian 3
Oleh Sept
Tidak mau ada yang melihat dan salah paham, Tari langsung menarik tangannya. Dia menjaga jarak dari Rio agar tidak ada yang berpikir aneh-aneh. Apalagi dia sudah punya suami dan anak. Tari sudah merasa tidak enak, sejak tadi Rio kelihatan terus menatapnya.
"Aku tahu kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu sekarang," ucap lelaki itu tiba-tiba. Rio seolah tahu, bahwa kehidupan rumah tangga Tari selama ini memang sedang tidak baik-baik saja. Lalu dari mana lelaki itu tahu?
Selama ini Tari mengubur masalah rumah tangganya. Bahkan pada ibunya saja Tari tidak pernah menjelekkan sang suami. Seolah semuanya sempurna tanpa cela.
Kini, Tari semakin terheran-heran, kenapa Rio bicara seperti itu. Apa Rio tahu tentang hubungan rumah tangganya, tahu dari mana?
"Maksud kamu apa?" tanya Tari kemudian sambil menatap Rio penuh selidik. Ia menantikan jawaban dan penjelasan lelaki tersebut.
"Tidak usah berbohong di depanku."
Wajah Rio seperti tahu segalanya, dan itu membuat Tari semakin tidak nyaman.
"Rio ..."
"Aku sudah tahu semuanya," kata Rio sekali lagi untuk menegaskan.
Tari beringsut, ia mundur selangkah, kemudian matanya menatap sekeliling. Mungkin Tari merasa tidak nyaman, dan sedikit takut. Sikap Rio yang lama tidak bertemu tiba-tiba begitu.
Dengan cepat Tari pun melangkah, menjauhi Rio dan mendekati teman-temannya yang lain. Merasa suasana semakin tidak nyaman, Tari pun mengeluarkan banyak alasan, agar bisa pergi lebih awal.
"Kok buru-buru, lama kan gak ketemuan?" protes teman Tari. Ia merasa Tari terlalu cepat pergi.
"Lain kali kita kumpul-kumpul lagi, ini aku ada urusan mendesak." Tari mencari alasan agar bisa meninggalkan tempat itu. Entah mengapa, kehadiran Rio membuatnya merasa tidak aman.
"Ya sudah, hati-hati ya. Jangan lupa bingkisannya."
Tari mengangguk, lalu pamit dengan mereka yang ada di dekat saja. Yang lainnya tidak ia pamiti.
"Oke. Bye ... aku balik dulu."
Tari pamit pada temannya, kemudian matanya sempat bertemu dengan mata Rio yang menatapnya dari jauh.
"Ada apa dengannya," gumam Tari lalu buru-buru pulang.
"Rio sangat aneh!" batin Tari dan buru-buru pergi.
***
Setelah reuni dan pertemuan itu, Tari mulai sering melamun. Apalagi ketika suaminya sudah mulai mengomeli dirinya, protes ini dan itu, membuat Tari jenggah.
Kini, kehidupan Tari berjalan seperti biasanya. Kadang bosan, jenuh dan diserang rasa hampa. Untung ada Ibel, setidaknya itulah hiburan satu-satunya Tari selama ini.
Tap tap tap
Dewa masuk ruangan, dan langsung main perintah.
"Besok aku mau perjalanan dinas, siapkan bajunya." Dewa memerintah, seperti bos pada bawahan. Tidak peduli wajah istrinya yang lelah. Capek ngurusin rumah dan anak yang kadang rewel.
"Ya, Mas." Tanpa membantah, Tari pun mengiyakan.
"Gosok lebih rapi, kemarin agak kusut."
Dewa ini bisanya memerintah dan protes saja.
"Hemmm."
"Dan itu, kenapa tembok kotor begitu?" protes Dewa. Ia mulai cerewet dan membahas hal-hal yang sewajarnya kalau punya anak kecil.
"Ibel yang coret-coret, Mas."
"Bagaimana sih kamu mengawasi anak?" omel laki-laki itu.
"Kan anak-anak, Mas. Coret-coret sudah biasa." Tari mencoba membela diri, tapi kalai debat bareng Dewa, dia selalu kalah dan selalu salah di mata lelaki tersebut.
"Ada buku, kan? Kreatif sedikit lah Tari," gerutu Dewa.
Wanita itu pun hanya menghela napas dalam-dalam, kemudian merapikan rumah yang kata suaminya kurang rapi.
Menjelang malam, Ibel sudah tidur. Dan Tari sedang merapikan semua mainan yang berserakan. Sementara sang suami, sibuk di depan laptop. Tidak di kantor tidak di rumah, kelihatan sibuk terus, apalagi setelah naik jabatan.
Sesekali Tari melirik, dilihatnya suaminya senyum-senyum di depan laptop.
"Sebenarnya, Mas Dewa lihat apa? Kenapa dia senyum-senyum, kelihatan senang begitu?" pikir Tari.
Hari semakin malam, Tari rupanya terbangun dari tidurnya. Dilihatnya sang suami yang tidur di sebelah.
Mata Tari tidak sengaja melihat ponsel di dekat kepala suaminya, tepat di bawah bantal. Entah mengapa, tangannya iseng meraih benda tersebut. Padahal selama ini, dia tidak mau tahu isi ponsel suaminya itu.
Malam ini, Tari membuka smartphone milik Dewa. Dan tidak bisa dibuka, harus pakai finger print. Tidak hilang akal, Tari pelan-pelan menempelkan sidik jari suaminya itu.
Hitungan detik, layar ponselnya pun terbuka sempurna. Dengan gerakan cepat dan sedikit gugup, Tari turun dari ranjang. Kemudian duduk di sofa kamar, sambil memeriksa ponsel Dewa.
Tidak ada yang aneh, pesan WA pun kebanyakan dari rekan bisnis dan akun bank atau lainnya. Tidak ada yang perlu dicurigai.
Biarpun Dewa mulai dingin, Tari yakin. Pasti suaminya setia. Mana mungkin Dewa berubah, lagian mereka sudah punya anak.
Saat akan meletakkan ponselnya, Tari justru mengambilnya lagi. Dia memeriksa galery. Banyak sekali foto-foto Ibel, dan foto Tari hanya satu dua. Tari pun berdiri, kemudian berkaca.
"Sepertinya harus diet!" gumamnya kemudian tersenyum getir.
Saat akan mengembalikan ponsel Dewa lagi, malah ada email masuk.
Tari tidak berani membuka, takut itu email penting dari perusahaan. Namun, dia sadar. Untuk apa orang perusahaan kirim email tengah malam.
Seketika insting sebagai perempuan langsung bekerja. Tari pun membuka email tersebut.
[Tadi sore tasnya sudah nyampek, makasih ya. See you besok malam]
Tari panik, ia kemudian melihat riwayat pesan email.
Dia semakin shock, saat melihat foto-foto yang tidak pantas untuk dilihat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!