NovelToon NovelToon

Hug Me, Please

Pemulung Kecil

Seorang gadis kecil memakai pakaian lusuh yang warnanya telah memudar, tampak sedang mengais tempat sampah yang terletak di ujung gang sebuah perumahan. Tidak ada rasa jijik ataupun mual karena ia telah terbiasa dengan semua itu.

Senyumnya tampak semringah saat menemukan sebungkus roti yang masih ada sisa seperempat di dalamnya. Dengan antusias ia mengeluarkan roti tersebut, menjilat selai coklat yang masih tersisa sedikit sebelum akhirnya melahap semuanya. Pipinya tampak lucu karena menggelembung penuh. Walau sedikit kesusahan ketika mengunyah, tetapi ia berusaha untuk terus bisa menelan roti tersebut.

Wajahnya tampak kumal, tetapi masih terlihat jelas gurat kecantikan di sana. Lesung pipi, gigi ginsul dan rambut hitam sebahu makin menambah kecantikan gadis berusia sepuluh tahun tersebut. Namun, terlepas dari kecantikan yang tertutup, sorot mata gadis itu terlihat menyimpan berjuta kepedihan. Ada luka yang tersirat di dalamnya.

"Mama, nanti aku mau beli coklat dan roti." Suara dari arah belakang berhasil menghentikan kunyahan gadis kecil itu. Ia menoleh dan melihat seorang anak laki-laki sedang berjalan bersama ibunya. Anak lelaki itu terlihat bersemangat berbicara dengan sang ibu yang terus saja mengiyakan permintaannya.

Tatapannya nanar. Merasa iri pada anak lelaki tersebut. Dalam benaknya selalu terpikir akan angan yang sampai saat ini tidak pernah bisa ia gapai. Kapan waktu akan memihak padanya. Mengetahui rasa rindu yang menggebu-gebu. Di saat anak lain mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, tetapi tidak dengan dirinya. Hidup terlunta-lunta tanpa belas kasihan dari siapa pun. Bahkan siapa orang tuanya saja gadis itu tidak mengetahuinya.

Gadis kecil itu mendongak. Menatap langit yang mulai terlihat gelap. Tanpa sadar bulir-bulir bening menggunung di kedua sudut matanya dan memaksa untuk keluar. Ia menangis sendirian. Kembali mengunyah sisa roti dalam mulutnya sebelum menelan habis.

"Aku tidak boleh menangis. Aku bukan anak cengeng. Kata Kak Diandra, aku ini anak kuat." Ia menyeka air mata yang terus saja mengalir hingga membuat kedua pipinya basah.

Shanum, kelak saat kakak pergi, kamu jangan menangis dan tetaplah lanjutkan hidupmu. Jika Tuhan sedang tidak berpihak pada kita maka bersabarlah. Setiap kesabaran pasti akan mendapat balasan yang indah. Bukankah kamu tahu kalau pelangi selalu tercipta setelah badai menerjang.

Perkataan Diandra selalu terngiang dalam ingatan Shanum. Ucapan terakhir sebelum Diandra meninggal karena sebuah kecelakaan. Cairan bening kembali mengalir saat gadis itu memejamkan mata. Bayangan saat melihat sang kakak yang sedang mengemis, tewas di tempat karena tertabrak mobil yang tidak terkendali karena sang sopir dalam keadaan mabuk.

Saat itu dunia Shanum terasa hancur. Tidak ada siapa pun yang ia punya di dunia ini. Hanya Diandra—kakaknya. Di antara banyaknya orang di kota itu, tidak ada dari mereka yang berniat mengadopsi Shanum. Mereka hanya sekadar memberi nasi itu saja tidak setiap hari.

Rintik hujan mulai menyapa bumi. Shanum dengan cepat menyeka air mata yang masih tersisa dan meninggalkan jejak di wajah cantiknya. Gadis itu berlari cepat menuju ke pelataran rumah yang tidak jauh dari tempatnya mengais tadi. Melipat kedua tangan untuk sedikit menghindar dari rasa dingin yang terasa menusuk sampai ke tulang. Suara petir yang menggelegar seketika membuat tubuh gadis itu gemetar ketakutan.

Tubuh Shanum luruh ke lantai dan dengan erat ia memeluk kedua lututnya. Lalu membenamkan wajahnya di dalam sana. Isakan terdengar sangat memilukan hingga kedua bahunya terlihat naik-turun.

"Kak Diandra ... Shanum takut," desisnya di antara bibir yang mulai memucat.

***

#Day1

#Team1

#Absen66

Mencari makan

Petir terus saja bersahutan. Tubuh Shanum mulai menggigil hebat. Rasa takut dan dingin beradu menjadi satu, menghantam tubuh mungilnya yang masih sangat rapuh. Cukup lama gadis kecil itu berkutat dengan ketakutan hingga saat hujan mulai mereda, tangisnya perlahan berhenti.

Ia sedikit mendongak, menatap hujan yang tinggal rintik-rintik. Sedikit mengembuskan napas lega. Lalu mengusap air mata yang masih meninggalkan jejak di wajah imutnya. Shanum memegang perut saat merasakan lapar. Sepotong roti tadi tenyata tidak mampu mengganjal rasa laparnya.

"Aku mau makan," desisnya. Ia terus memegangi perut yang mulai terasa perih. "Kak Diandra, aku harus makan apa." Gadis itu merintih.

Shanum membuka gulungan kain yang berisi baju ganti miliknya. Baju tiga potong yang sama-sama lusuhnya. Lalu tangan mungilnya mengambil bungkusan plastik kecil dan menghitung uang recehan di dalamnya yang jumlahnya tidak seberapa.

Ketika hujan benar-benar sudah reda, Shanum melangkah meninggalkan rumah tersebut. Mencari warung makan untuk membeli sebungkus nasi. Senyum gadis kecil itu mengembang saat melihat sebuah warung nasi yang masih lengkap lauk dan sayurnya.

"Kamu mau beli apa? Di sini tidak menerima hutang karena uangnya buat putar modal." Belum juga Shanum memesan, wanita pemilik warung tersebut sudah memberi peringatan. Bahkan, tatapannya begitu menghina, tetapi Shanum tetap mengulas senyumnya.

"Aku cuma punya uang ini, Bu. Apa cukup?" Shanum menyerahkan uang dalam bungkusan plastik. Pemilik warung tersebut segera menerima dan menghitung uang yang hanya sedikit.

"Uang ini hanya cukup untuk nasi dan tempe atau tahu saja," ujar pemilik warung tersebut.

"Tidak papa. Sama tahu saja, Bu. Aku tidak terlalu suka makan tempe," pesan Shanum. Wanita itu mengangguk lalu meminta Shanum untuk menunggu sebentar.

Shanum duduk di ujung kursi panjang. Menatap dua orang bapak-bapak yang sedang makan dengan lahap. Sepiring nasi, sayur, dan ayam tampak begitu menggugah selera. Shanum menelan ludahnya berkali-kali. Ingin sekali ia makan seperti itu, tetapi uangnya tidak cukup.

Senyum Shanum terlihat merekah saat pemilik warung tersebut membawa kresek hitam yang berisi dua bungkus nasi di dalamnya. Dengan antusias Shanum menerima kantong kresek tersebut.

"Kenapa dua bungkus, Bu?" Shanum mengamati dua bungkus nasi yang berada di dalamnya. Memastikan penglihatannya tidak salah.

"Ya, uangmu cukup untuk dua bungkus nasi dengan tahu," ujar wanita itu.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih." Shanum membungkuk hormat dan bibir mungilnya terus saja mengucapkan terima kasih. Pemilik warung yang tadinya bersikap ketus menjadi tidak tega.

"Kalau begitu aku pamit, Bu." Shanum berbalik pergi setelah pemilik warung tadi mengiyakan.

"Aku bisa makan nasi ini untuk nanti sore dan malam," gumam Shanum. Tersenyum semringah dan berjalan mencari tempat yang nyaman untuk makan.

Shanum duduk di depan bangunan kosong. Membuka sebungkus nasi untuk dimakan. Namun, Shanum terkejut saat melihat isi nasi bungkus tersebut bukan hanya tahu, tetapi ada sepotong ayam juga sayuran.

Air mata Shanum mengalir tanpa sadar saat kedua manik matanya melihat nasi tersebut. "Ya Allah, baik sekali Ibu pemilik warung tadi. Semoga Allah membalas semuanya. Melancarkan usahanya dan mendapat rezeki yang lebih dari cukup serta barokah."

Shanum menadahkan tangan, memanjatkan doa untuk pemilik warung tadi. Setelahnya, Shanum segera melahap nasi tersebut untuk mengisi perutnya yang sudah lapar. Ketika sedang sibuk mengunyah, Shanum dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita paruh baya, tetapi wajahnya tampak sedikit garang.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara wanita itu membuat tubuh Shanum gemetaran.

****

#Day2

#Team1

#Absen66

Ikut Wanita Asing

"Kenapa kamu tidak jawab? Bukankah kamu punya mulut untuk bicara?" tanya wanita itu lagi. Membuat selera makan Shanum mendadak hilang. Nasi yang barusan terasa nikmat pun kini rasanya benar-benar hambar.

"A-aku sedang makan, Bu." Shanum menjawab dengan suara bergetar karena sedikit ketakutan.

Wanita dengan tubuh cukup gemuk tersebut menatap Shanum dengan penuh selidik. Meneliti setiap inchi tubuh Shanum, setelahnya seringai terlihat jelas di sebelah sudut bibirnya hingga membuat Shanum makin ketakutan.

"Habiskan makananmu segera, setelah ini ikutlah denganku!" perintah wanita itu.

"Ikut ke mana, Bu?" tanya Shanum. Berusaha mengumpulkan keberanian.

"Jangan banyak tanya! Ikut denganku setelah ini atau kamu mau ikut sekarang dan buang makananmu itu!" Suara wanita yang penuh penekanan itu membuat Shanum memakan nasinya dengan cepat. Bahkan, tanpa mengunyah halus, Shanum sudah susah payah menelannya.

Baru saja memasukkan nasi terakhir ke dalam mulut, wanita dengan nama Sekar tersebut sudah menarik tangan mungil Shanum lalu mengajaknya pergi dari sana. Shanum pun hanya bisa menurut. Membiarkan wanita itu mencengkeram tangannya dan menarik tanpa peduli pada Shanum yang kesusahan menyeimbangi.

Mereka masuk ke sebuah rumah sederhana, bahkan seperti rumah tidak berpenghuni. Tubuh Shanum meringsut saat Sekar menghempaskan tangan bocah itu dengan kasar. Shanum sedikit mengernyit dan mengusap pergelangan tangan yang sudah memerah.

"Kamu tidak punya tempat tinggal 'kan?" tanya Sekar. Senyumnya terlihat meledek dan Shanum hanya mengangguk mengiyakan.

"Kalau begitu kamu akan tinggal di sini. Aku akan memberimu makan dan tidur gratis, tapi kamu harus bekerja untukku!" perintah Sekar. Shanum hanya menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan yang susah dijelaskan.

Shanum berpikir, untuk gadis sekecil dirinya memang pekerjaan apa yang bisa dilakukan? Mengenyam pendidikan saja Shanum belum pernah merasakannya.

"Aku tidak bisa bekerja, Bu." Shanum menjawab lirih. Kepalanya menunduk dalam karena takut pada sorot mata Sekar yang menajam, seolah akan melahap hidup-hidup gadis kecil itu.

"Kamu bisa mengemis atau berpura-pura cacat untuk menarik perhatian orang lain dan mereka akan memberi sumbangan untukmu." Sekar tersenyum licik.

"Tapi, Bu. Aku takut dimarahi." Shanum sama sekali tidak berani mengangkat kepala meski hanya sedikit.

"Siapa yang akan memarahimu? Tidak akan ada yang berani. Jadi, lebih baik kamu turuti perintahku dan jangan pernah sekalipun kamu menentang apalagi membangkang!" Sekar kembali menarik tubuh mungil Shanum dan menyuruhnya masuk ke dalam.

Shanum terkejut saat pintu ruangan terbuka, ada beberapa anak kecil di sana. Terlihat seumuran dengannya. Wajah mereka pun sama lusuhnya dengan Shanum. Tidak memakai pakaian layak dan tampak kusam. Tidak berbeda jauh dengan seorang gelandangan, pengemis, dan sebagainya.

"Masuklah! Aku akan membuka pintu ini saat waktunya makan malam!"

Shanum tersentak saat Sekar mendorong tubuh mungilnya masuk lalu mengunci pintu tersebut dari luar. Mendengar suara pintu dikunci, Shanum memukul pintu tersebut dan terus saja meminta Sekar untuk membukanya. Namun, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka.

"Buka, Bu! Aku mau keluar!" teriak Shanum, terus menggedor pintu tersebut.

Air mata Shanum mengalir deras membasahi hampir seluruh wajahnya. Sungguh, Shanum sangat takut saat ini. Ketika Shanum masih terus menggedor pintu, tiba-tiba gerakan tangannya terhenti saat seorang anak lelaki yang paling besar di sana, menepuk pundak Shanum.

"Jangan berisik! Lebih baik sekarang kamu duduk di ujung sana. Kalau sampai kamu masih berisik, aku tidak akan segan-segan merobek mulutmu!" ancam anak lelaki itu.

Tubuh Shanum bergetar hebat. Lalu berlari ke sudut ruangan dan menangis terisak di sana. Dalam hati Shanum terus saja berdoa meminta bantuan kepada siapa saja. Berharap Diandra akan menolongnya dari atas sana.

...****************...

#Day3

#Team1

#Absen66

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!